Senin, 04 Juli 2011

AYAT - AYAT TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NABI NUH KEPADA KAN’AN


AYAT - AYAT TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NABI NUH KEPADA KAN’AN
created and publised://http.referensiagama.blogspot.com
by sariono sby

BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan Islam adalah salah satu sarana untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berlangsung seumur hidup dan pelaksanaannya dimulai sejak anak dilahirkan sampai akhir hayat serta menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian, pelaksanaan pendidikan Islam tidak hanya formal tetapi juga informal dan non formal, sehingga pendidikan Islam dapat dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Memahami lingkungan pendidikan Islam tidaklah dapat dipisahkan dari pada pemahaman akan konsepsi pendidikan itu sendiri. Karena pendidikan merupakan suatu proses yang berlanjut terus menerus, sebagai suatu proses yang berlangsung dalam bermacam-macam situasi dan lingkungan, baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkunga sekola dan masyarakat. Tiap-tiap lingkungan tersebut dapat memberikan pengaruh pada proses pembentukan individu melalui pendidikan yang diterimanya baik langsung maupun tidak langsung.
Pendidikan Islam mula-mula diberikan di lingkungan keluarga karena keluarga adalah benteng utama tempat anak-anak diasuh dan dibesarkan serta merupakan lingkungan pertama bagi anak untuk memperoleh pendidikan. Segala kelakuan dan tindakan orang-orang dewasa dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan pribadi anak itu sendiri. Pendidikan Islam ini selanjutnya diberikan di lingkungan, sehingga kehidupan beragama yang telah dibina dalam keluarga akan terus-menerus berkesinambungan. Islam sebagai agama terakhir yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, sebagaimana dijelaskan dalam surat al Maidah ayat 3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينا
“Pada hari ini Aku sempurnakan agamamu dan telah-Ku cukupkan kepadamu rahmat-Ku dan telah-Ku ridhai Islam menjadi agama bagimu (QS. Al-Maidah: 3)”.



BAB II
PEMBAHASAN

TAFSIR PENDIDIKAN ISLAM DALAM KELUARGA ( NABI NUH DAN KAN’AN ).
A. Pengertian Pendidikan Islam
Untuk memahami pengertian pendidikan dengan benar, pendidikan dapat dibedakan dari dua pengertian, pengertian pendidikan dalam arti teoritik filosofis dan pengertian yang bersifat pendidikan dalam arti praktis. Pengertian pendidikan dalam arti teoritik filosofis adalah pemikiran manusia terhadap masalah-masalah kependidikan untuk memcahkan dan menyusun teori-teori baru dengan berdasarkan pada pemikiran normatif, spekulatif, rasional empirik, nasional filosofis maupun historis filosofik.
Pengertian Pendidikan dalam arti praktis adalah suatu proses pemindahan pengetahuan ataupun pengembangan-pengembangan potensi-potensi yang dimiliki subjek didik untuk mencapai perkembangan secara optimal serta membudayakan manusia melalui proses transformasi nilai-nilai utama. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN, bab I pasal 1) pendidikan diartikan sebagai: “Usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya dimasa yang akan datang”.
Menurut Drs. H.M. Chalib Thoha, MA, Pendidikan Islam adalah pendidikan yang falsafah dan tujuan serta teori-teori dibangun untuk melaksanakan praktek pendidikan yang didasarkan nilai-nilai dasar Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadith Nabi.
Menurut Prof. Dr. Oemar Muhammad At-Toumy Al-Syaibani, Pendidikan Islam diartikan sebagai usaha merubah tingkah laku individu didalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitar melalui proses pendidikan.
B. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan Pendidikan secara umum adalah untuk mencapai tujuan hidup muslim, yakni menumbuhkan kesadaran manusia sebagai makhluk Allah SWT agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berakhlaq mulia dari beribadah kepada – Nya. Jika kita berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, berarti bicara tentang nilai-nilai ideal yang bercorak Islami. Hal ini mengandung makna bahwa tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah mengandung nilai perilaku manusia yang didasari atau dijiwai iman dan taqwa kepada Allah SWT sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati.
Menurut Dr. Hasan Lunggalung, Tujuan Pendidikan Islam adalah suatu istilah untuk mancari fadhilah, kurikulum pendidikan Islam berintikan akhlaq yang mulia dan mendidik jiwa manusia berkelakuan dalam hidupnya sesuai dengan sifat-sifat kemanusiaan yakni kedudukan yang mulia yang diberikan Allah SWT melebihi makhluk-makhluk lain dan dia diangkat sebagai khalifah.
Senada dengan pendapat tersebut Abdurrahman An-Nahlawi berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan penghambaan kepada Allah SWT dalam kehidupan manusia baik secara individual maupun secara sosial.
Selanjutnya menurut pendapat pendapat Prof. H. Abuddin Nata, MA, bahwa tujuan pendidikan Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan dimuka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan.
2. Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya dimuka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
3. Mengarahkan manusia agar berakhlaq mulia sehingga ia tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
4. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya sehingga ia memiliki ilmu, akhlaq dan ketrampilan yang semua ini dapat digunakan guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya
5. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.
Apabila perumusan tersebut dikaitkan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan al-hadith maka tujuan pendidikan Islam adalah sebagai berikut :
a. Tujuan pendidikan Islam adalah menumbuhkan dan mengembangkan ketaqwaan kepada Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT:
b. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam” (QS. Al-Imran: 102).
b. Tujuan pendidikan Islam adalah menumbuhkan sikap dan jiwa yang selalu beribadah kepada Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah AKU ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-KU” (QS. Ad-Dariyaat: 56).
c. Tujuan pendidikan Islam adalah membina dan memupuk akhlaqul karimah sebagimana sabda Nabi Muhammad SAW:
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق (رواه البخاري)
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik” (HR. Bukhari).
Sedangkan menurut pendapat Dr. M. Athiyah al-Abrasi maka tujuan pendidikan Islam bukan hanya sekedar memahami otak murid-murid dengan ilmu pengetahuan tetapi tujuannya, ialah mendidik akhlaq dengan memperhatikan segi-segi kesehatan, pendidikan fisik dan mental, perasaan dan praktek mempersiapkan manusia menjadi anggota masyarakat. Suatu moral yang tinggi adalah tujuan utama dan tertinggi dari pendidikan Islam dan bukan sekedar mengajarkan kepada anak-anak yang tidak diketahui mereka, tetapi lebih jauh dari itu menanamkan fadhilah, membiasakan bermoral, sopan santun, islamiyah, tingkah perbuatan yang baik sehingga hidup ini menjadi suci, kesucian yang disertai keikhlasan.

C. Tanggung Jawab Orang tua dalam Pendidikan Islam
Rumah keluarga muslim adalah benteng utama tempat anak-anak dibesarkan melalui pendidikan Islam. Yang dimaksud dengan keluarga muslim adalah keluarga yang mendasarkan aktivitasnya pada pembentukan keluarga yang sesuai dengan syariat Islam. Menurut Abdurrahman An-Nahlawi, tujuan terpenting dari pembentukan keluarga adalah sebagai berikut:
1. Mendirikan syariat Allah SWT dalam segala permasalahan rumah tangga.
2. Mewujudkan ketentraman dan ketenangan psikologi.
3. Mewujudkan sunnah Rasul SAW dengan melahirkan anak-anak saleh sehingga Rasul SAW merasa bangga dengan kehadiran kita.
4. Memenuhi kebutuhan cinta kasih anak.
5. Menjaga fithrah anak agar tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan.
Dalam pandangan Islam , anak adalah amanah yang dibebankan oleh Allah SWT kepada orang tuanya. Oleh karena itu harus menjaga, memelihara dan mendidik serta menyampaikan amanah itu kepada yang berhak menerimanya. Karena manusia adalah milik Allah SWT, mereka harus mengantarkan anaknya untuk mengenal dan menghadapkan diri kepada Allah SWT.
Dengan demikian, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam bab IV, pasal 10 menyebutkan: “Pendidikan Keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama. Nilai budaya, nilai moral dan keterampilan. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً
“Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At-Tahrim: 6).
Maksud dari ayat ini adalah setiap orang yang beriman harus melakukan self education dan melakukan pendidikan terhadap anggota keluarganya untuk menaati Allah dan Rasulnya. Sesuatu hal yang mustahil dalam pandangan Islam bila seseorang yang tidak berhasil mendidik diri sendiri akan dapat melakukan pendidikan kepada orang lain. Oleh karena itu, menyelamatkan orang lain harus lebih dulu menyelamatkan dirinya dari api neraka. Tidak ada seseorang yang tenggelam yang mampu menyelamatkan orang lain yang sama-sama tenggelam.
Tanggung jawab keluarga untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya melalui pendidikan Islam juga telah ditegaskan dalam hadith Nabi Muhammad SAW:
كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه (رواه البيهقي)
“Tiap-tiap anak dalam keadaan suci (fithrah) maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani, dan Majusi” (HR. Baihaqi).
Pengertian fithrah dalam hadith ini adalah sikap tauhid kepada Allah SWT, sejak manusia dalam kandungan, mereka telah melakukan perjanjian dengan Allah SWT untuk beriman dan bertauhid kepada-Nya. Orang tuanya bertanggung jawab saat kekuatan akal pikiran manusia belum sempurna dalam memiliki tanggung jawab untuk memelihara perjanjian sampai anak mampu menemukan dirinya sendiri dan bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak ini berlangsung terus sampai akhir hayat.
Dalam kaitan ini pula menurut Abdurrahman An-Nahlawi, orang tua pendidik berkewajiban melakukan dua langkah, yaitu:
1. Membiasakan anak untuk mengingat kebesaran dan nikmat Allah SWT serta semangat mencari dalil dalam meng- Esakan Allah SWT melalui tanda-tanda kebesaran-Nya.
2. Membiasakan anak-anak untuk mewaspadai penyimpangan-penyimpangan yang kerap membiasakan dampak negatif terhadap diri anak.

D. Aspek-aspek Pendidikan Islam dalam Keluarga
Sebagai realisasi tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak, ada beberapa aspek yang sangat penting untuk diperhatikan orang tua, yaitu:
1. Pendidikan Ibadah
2. Pendidikan dan pengajaran Al-Qur’an serta Pokok-pokok ajaran Islam
3. Pendidikan Akhlaqul Karimah
4. Pendidikan Aqidah Islamiyah
Keempat aspek inilah yang menjadi tiang utama dalam pendidikan Islam:
a. Pendidikan Ibadah
Pendidikan shalat keluarga disebutkan dalam hadith Nabi Muhammad SAW:
مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم أبناء عشر سنين (رواه أبو داود)
“Perintahlah anak-anakmu untuk menjalankan ibadah salat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun (belum mau menjalankanya)”. (HR. Abu Daud)
b. Pendidikan dan pengajaran Al-Qur’an serta Pokok-pokok ajaran Islam
Sebagaimana hadith Nabi Muhammad SAW:
خيركم من تعلم القرأن وعلمه (رواه البيهقي)
“Sebaiknya-baiknya dari kamu sekalian adalah orang-orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Baihaqi)
Penanaman nilai-nilai baik yang bersifat universal, kapanpun dan dimanapun disebutkan oleh manusia. Menanamkan nilai-nilai baik tidak berdasarkan pertimbangan waktu dan tempat, meskipun kebaikan itu hanya sedikit jika dibandingkan dengan kejahatan, baik antara sebiji sawi dan seluas langit dan bumi maka yang baik akan tampak baik dan yang jahat akan nampak jahat sebagai kejahatan. Penanaman pendidikan ini harus disertai dengan contoh-contoh konkret yang masuk pikiran akal anak sehingga penghayatan mereka disertai dengan kesadaran nasional, sebab dapat dibuktikan secara empirik di lapangan.
c. Pendidikan Akhlaqul Karimah
Penekanan utama pendidikan keluarga dalam Islam adalah pendidikan akhlaq, dengan jalan melatih anak membiasakan berbuat baik, menghormati kepada kedua orang tua, bertingkah laku yang sopan dan baik dalam perilaku keseharian maupun bertutur kata. Pendidikan akhlaq tidak dikemukakan secara teoritik melainkan disertai contoh-contoh konkrit untuk dihayati maknanya, dicontohkan kesusahan ibu mengandung.
d. Pendidikan Aqidah Islamiyah
Pendidikan Islam dalam keluarga adalah pendidikan aqidah Islamiyah, Aqidah adalah inti dasar keimanan seseorang yang harus ditanamkan kepada anak secara dini.

E. Kisah Nabi Nuh dan Kan’an
Nu>h} as mempunyai nama lengkap: Nuh bin Lamik bin Matwasyalah bin Khanukh (Idris) bin Yarad bin Mahlayil bin Qanin bin Anwasy bin Syith bin Adam ‘alaihissalam. Dalam hadith Shahih Bukhar disebutkan sebuah hadith dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Jarak antara Nabi Adam dan Nabi Nuh adalah sepuluh abad, semua orang yang hidup pada masa itu memeluk Islam.” Secara umum dapat dikatakan, Nabi Nu>h ‘alaihissalam diutus Allah SWT ketika manusia menyembah berhala dan tenggelam dalam kesesatan dan kekafiran, kemudian Allah SWT mengutusnya sebagai rahmat bagi umatnya.
Nu>h} as ketika diangkat menjadi Rasul berusia 450 tahun, Wafat pada usia 950 tahun, dengan demikian Nu>h} as berdakwah kepada umatnya selama lima abad / 500 tahun. Meski demikian pengikut Nu>h} as yang beriman hanya sedikit yaitu kurang dari 100 orang (80 orang). Didalam Al-Qur’an Allah SWT menceritakan kisah Nu>h} as dan kaumnya serta adzab berupa banjir/taufan yang diturunkan-Nya kepada mereka yang kafir, juga kisah penyelamatan yang Dia lakukan kepadanya dan orang-orang yang berada didalam perahu. Diantara surat yang mengangkat kisah ini adalah:
Nama Nu>h} as. disebutkan dalam al-Qur’a>n sebanyak 50 kali[1] dan diabadikan menjadi nama surat pada urutan ke 71. Secara garis besar sejarah Nu>h} as. dalam al-Qur’a>n berisi tentang penjelasan berikut: Nu>h} as. rasul pertama yang diutus ke bumi,[2] dakwah nabi Nu>h} as.,[3] Nabi Nu>h} menghadapi cobaan,[4] gelar 'Abd Shaku>r /hamba yang bersyukur,[5] terkabulnya doa nabi Nu>h} as.,[6] Allah menghancurkan kaum Nu>h} as.[7] keselamatan Nu>h} as. di atas kapal,[8] dan pujian atas nabi Nu>h} as.[9]
Sedangkan nama Kan’a>n tidak terdapat secara langsung dalam ayat, melainkan sebuah interpretasi. Ayat-ayat yang menjelaskan interaksi Nu>h} as. dan Kan’a>n tidak terdapat dalam surat Nu>h} itu sendiri, melainkan dalam surat Hu>d ayat 42 sampai 48.
1. Pendidikan Nu>h} as. terhadap Kan’a>n
Tema ini mencermati salah satu sisi kehidupan nabi Nu>h} bersama anaknya Kan’a>n. Berdasarkan uraian di atas, Nu>h} merupakan rasul pertama yang diutus Allah ke bumi. Oleh karena itu dakwah yang dilakukan sangat berat, mendapat hambatan dan rintangan dari umatnya, dan tidak terkecuali dari anaknya sendiri Kan’a>n
Interaksi Nu>h} dengan Kan’a>n memuat prinsip-prinsip pendidikan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Nu>h} dengan karakter kerasulannya tidak mampu mengantarkan Kan’a>n untuk beriman kepada Allah. Terbukti Kan’a>n lebih memilih bergaul dengan orang-orang kafir dari pada harus mengikuti seruan ayahnya. Pada diri Kan’a>n lebih terlihat dominasi rasional dari pada emosionalnya. Hal ini terlihat dengan jawabanya yang diplomatis untuk menyalamatkan diri dari gelombang banjir dengan naik ke atas gunung.
Nu>h} menyadari akan kegagalannya mendidik Kan’a>n, lalu menyesalinya dengan mengadukan kepada Allah untuk mengadakan pembelaan terhadap nasib anaknya. Allah menegaskan bahwa ikatan keluarga hanya terjadi bila dalam naungan keimanan yang sama. Pada akhirnya diselamatkanlah orang-orang yang menerima seruan pendidikan dari Nu>h} as.
2. Ayat-ayat yang berhubungan dengan pendidikan Nu>h} as. kepada Kan’a>n
Interaksi pendidikan Nu>h} kepada Kan’a>n terdapat dalam surat Hu>d ayat 42 sampai 48. Interaksi itu tidak dijumpai pada ayat lain, sekalipun pada surat Nu>h} sendiri. Ayat-ayat tersebut pada awalnya menggambarkan peristiwa banjir bandang yang terjadi pada kaum Nu>h}, dimana Kan’a>n tidak termasuk dalam bahtera. Kisah berakhir dengan tenggelamnya orang yang tidak beriman dan diselamatkanlah bahtera Nu>h}.
3. Penafsiran ayat

}‘Édur “̍øgrB óOÎgÎ/ ’Îû 8löqtB ÉA$t6Éfø9$$x. 3“yŠ$tRur îyqçR ¼çmoYö/$# šc%Ÿ2ur ’Îû 5AÌ“÷ètB ¢Óo_ç6»tƒ =Ÿ2ö‘$# $oYyè¨B Ÿwur `ä3s? yì¨B tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÍËÈ
42. Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. dan Nu>h} memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir."

Penafsiran
a) “Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung dan Nu>h} memanggil anaknya”.
Maksudnya anak laki-laki istrinya.[10] Nama anak tersebut ialah Kan’a>n, dan menurut satu pendapat bernama Ya>m.[11] Usia Nu>h} pada saat itu 600 tahun, dimana pada usia 400 tahun diangkat menjadi rasul, dan hidup selama 350 setelah peristiwa angin taupan.[12]
b) “sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil”.
Maksudnya Kan’a>n berada pada agama yang berbeda dengan ayahnya. Atau berada terpisah dari bahtera. Menurut satu pendapat, Nu>h} tidak mengetahui bahwa Kan’a>n kafir, bahkan menyangkanya mukmin. Oleh sebab itu Nu>h} melarangnya bergaul dengan orang kafir.[13]
c) "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir".
Kondisi kaum Nu>h} telah berpaling dari jalan agama nabi Idris. Mereka mengembara ke jurang Nil di Mesir dan membangun komunitas sosial. Strata sosial kaum Nu>h} ini –menurut H}ilmi> ‘Ali> Sya’ba>n- terdiri dari tiga tingkatan. Pertama; strata para raja (mulu>k). Mereka mentahbiskan dirinya sebagai tuhan dan senantiasa dikelilingi oleh para pengawal kerajaan. Kedua; strata punggawa (jaba>birah), mereka membantu raja untuk memenuhi kepuasannya. Untuk tujuan itu, mereka berlaku diktator terhadap masyarakat. Ketiga; strata rakyat (ra’iyyah), mereka terdiri dari para pelayan dan budak yang mengabdi pada raja dan para pembantunya.[14]
Agama raja adalah agama yang harus dianut rakyatnya, ialah menyembah berhala dan shirik kepada Allah. Penentangan terhadap agama raja ini merupakan tindak kriminal terberat. Kondisi sosial dipenuhi dengan kerusakan, kekufuran dan kesesatan. Mereka minum khamr, menyembah berhala dan meninggalkan Allah. Mereka kaum yang pertama kali musyrik dimuka bumi.[15]

tA$s% ü“Ír$t«y™ 4’n<Î) 9@t6y_ ÓÍ_ßJÅÁ÷ètƒ šÆÏB Ïä!$yJø9$# 4 tA$s% Ÿw tLÄŒ$tã tPöqu‹ø9$# ô`ÏB ̍øBr& «!$# žwÎ) `tB zOÏm§‘ 4 tA%tnur $yJåks]÷t/ ßlöqyJø9$# šc%s3sù z`ÏB šúüÏ%tøóßJø9$# ÇÍÌÈ
43. Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nu>h} berkata: "Tidak ada yang melindungi hari Ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha penyayang". dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; Maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.

Kejadian tenggelamnya Kan’a>n -menurut satu riwayat yang sahih- ketika itu Kan’a>n berkuda dengan sombongnya, waktu banjir bandang datang, ia mengetahuinya kemudian memberi tahu ayahnya. Pada saat itulah Nu>h} mengajak naik perahu. Belum sampai Nu>h} mengulangi panggilannya, Kan’a>n sudah tenggelam ditelan gelombang yang besar. Riwayat lainya menyebutkan, Kan’a>n membuat rumah dari kaca di atas bukit T{ursina untuk melindungi dirinya dari air bah. Ketika banjir bandang datang, ia masuk kerumah itu dan menguncinya dari dalam. Namun kemudian banjir menenggelamkan semuanya.[16]

Ÿ@ŠÏ%ur ÞÚö‘r'¯»tƒ ÓÉën=ö/$# Ï8uä!$tB âä!$yJ|¡»tƒur ÓÉëÎ=ø%r& uÙ‹Ïîur âä!$yJø9$# zÓÅÓè%ur ãøBF{$# ôNuqtFó™$#ur ’n?tã Äd“ÏŠqègø:$# ( Ÿ@ŠÏ%ur #Y‰÷èç/ ÏQöqs)ù=Ïj9 tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÍÍÈ
44. Dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan Hai langit (hujan) berhentilah," dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: "Binasalah orang-orang yang zalim ."

a) Tempat mendaratnya bahtera Nu>h} di atas Ju>di>, sebuah gunung dekat Mosul pada hari jum’at tanggal 10 Muh}arram. Pada saat itulah Nu>h} memerintahkan semua umatnya yang selamat untuk berpuasa sebagai tanda bersyukur kepada Allah.[17]
b) Menurut Qutb Nu>h} dan sekelompok kaumnya berada pada negeri yang makmur pada saat itu. Lalu diterpa banjir bandang tersebut.[18]

3“yŠ$tRur ÓyqçR ¼çm­/§‘ tA$s)sù Å_Uu‘ ¨bÎ) ÓÍ_ö/$# ô`ÏB ’Í?÷dr& ¨bÎ)ur x8y‰ôãur ‘,ysø9$# |MRr&ur ãNs3ômr& tûüÏJÅ3»ptø:$# ÇÍÎÈ
45. Dan Nu>h} berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yang benar. dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya."

a) “Dan Nu>h} berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku”.
Nabi Nu>h} mengadu kepada Allah, kenapa anaknya tenggelam bersama orang-orang kafir. Padahal janji Allah itu pasti benar untuk menyelamatkan orang yang beriman. Pengaduan ini dilakukan Nu>h}, karena dalam keyakinan Nu>h}, Kan’a>n termasuk orang beriman. Hal ini terbukti dengan larangan Nu>h} kepada Kan’a>n agar tidak bergaul dengan orang kafir. Bukti lainnya, tidak mungkin Nu>h} membela keluarganya kalau tidak beriman. Pada kenyataannya, Kan’a>n berpenampilan iman dan merahasiakan kekafirannya. Keadaanyang sebenarnya itulah yang dibertahukan Allah kepada Nu>h}.
Diriwayatkan, bahwa kaum nabi Nu>h} yang beriman dari golongan wanita ialah “ ‘Umrah”, lalu dinikahi oleh Nu>h} dan memiliki tiga anak, yaitu Sa>m, H}a>m dan Ya>fits. Wanita kedua yang beriman ialah “ Wa>li’ah” dan dinikahi oleh Nu>h} dengan keturunan Kan’a>n. Hanya saja “ Wa>li’ah” ini kemudian munafiq lalu murtad dan akhirnya menyembah berhala. Pada saat itulah Nu>h} memisahkan diri dari mereka dan senantiasa mengikuti nasehat ayahnya yang bernama “La>mik” agar tidak menyeleweng dan tetap beribadah kepada Allah.[19]
b) “dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yang benar, dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya”.
Janji Allah untuk menyelamatkan keluarganya yang beriman sehingga Nu>h} meminta realisasinya.[20] Nu>h} meminta rahmat kepada Allah agar ia dapat memberi shafa>’at kepada anaknya.[21]

tA$s% ßyqãZ»tƒ ¼çm¯RÎ) }§øŠs9 ô`ÏB šÎ=÷dr& ( ¼çm¯RÎ) î@uHxå çŽöxî 8xÎ=»|¹ ( Ÿxsù Ç`ù=t«ó¡n@ $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íNù=Ïæ ( þ’ÎoTÎ) y7ÝàÏãr& br& tbqä3s? z`ÏB tûüÎ=Îg»yfø9$# ÇÍÏÈ
46. Allah berfirman: "Hai Nu>h}, Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), Sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan."

a) “Allah berfirman: "Hai Nu>h}, Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan)”.
Allah mengingatkan Nu>h} bahwa ikatan keluarga bukan didasarkan pada ikatan darah saja, tetapi ikatan akidah. Karena anaknya tidak beriman, maka bukan termasuk keluarganya. Ikatan akidah merupakan ikatan yang kuat, bahkan melebihi ikatan keluarga. [22]
b) “Sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik”.
Perbuatannya tidak baik maksudnya kafir kepada Allah dan durhaka kepada nabi Allah.[23]
c) “Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan”.
Atas peringatan Allah ini, Nu>h} menangis selama 40 tahun, bahkan –dalam satu riwayat- selama 300 tahun.[24] Terlepas dari validitas keterangan ini, setidaknya data ini menunjukkan bahwa Nu>h} memiliki tanggung jawab dan kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan Kan’a>n.

4. Kandungan ayat
Kandungan ayat 42 sampai 46 surat Hu>d tersebut di atas secara garis besar sebagai berikut:
a) Nu>h} mengajak Kan’a>n untuk naik bahtera dan melarang bersama orang kafir.
b) Kan’a>n tidak mau naik bahtera Nu>h} karena ingin menyelamatkan diri ke puncak gunung.
c) Bahtera Nu>h} berlayar di atas gelombang dan mendarat di bukit judi dengan selamat bersama orang yang beriman.
d) Nu>h} membela Kan’a>n dan mengadukan kepada Allah atas tenggelamnya Kan’a>n.
e) Allah menegaskan bahwa ikatan akidah merupakan ikatan keluarga sejati.
5. Analisa
a) Tujuan pendidikan Nu>h} terhadap Kan’a>n
Tujuan pendidikan Nu>h} terhadap Kan’a>n adalah untuk pembebasan teologis dengan menanamkan keimanan kepada Allah. Realitas keagamaan pada masa Nu>h} seperti yang digambarkan di atas, menyebabkan misi risalah Nu>h} yang pertama dan utama ialah membebaskan sistem kepercayaan masyarakat dari keterkungkungan terhadap praktek pengabdian kepada berhala dan hegemoni raja. Dalam kondisi ini, misi risalah juga menyangkut pemberdayaan moralitas sosial.
Nu>h} tidak mengenalkan konsep ketuhanan secara rinci kepada Kan’a>n. Akan tetapi konsep akidah itu dipahami dari larangan Nu>h} kepada Kan’a>n untuk meninggalkan pergaulan dengan orang kafir dan sekaligus meninggalkan praktek kekafiran bersama mereka. Konsep ketuhanan digambarkan (dalam ayat 43) dengan Allah yang maha kuasa, yang mana pada saat itu tidak ada manusia dapat melindungi dari azab-Nya selain Allah sendiri yang Maha Penyayang.
b) Materi pendidikan Nu>h} terhadap Kan’a>n
Materi pendidikan Nu>h} terhadap Kan’a>n menyangkut pendidikan akidah dan moral. Berdasarkan uraian di atas, kondisi keagamaan pada saat itu telah terjadi kemusyrikan yang luar biasa. Hegemoni dan intimidasi kerajaan begitu kuat terhadap masyarakat yang mencoba keluar dari sistem agama kerajaan yang musyrik. Pendidikan untuk pembebasan teologis menjadi misi utama pendidikan Nu>h}.
Pada aspek pendidikan moral, Nu>h} ingin memberdayakan moralitas Kan’a>n dengan meninggalkan pergaulan bersama orang-orang kafir. Nu>h} mengajak keluar dari tradisi kerajaan dan masyarakat pada umumnya yang tidak beragama. Lingkungan pergaulan ini telah membesarkan Kan’a>n menjadi sosok anak didik yang keras kepala. Di samping itu, moralitas Kan’a>n mungkin dipengaruhi oleh faktor genetika Kan’a>n dari keturunan ibunya. Ibunya (Wa>li’ah) meskipun mau beriman, namun akhirnya musyrik, bahkan murtad dari agama Nu>h} dan kembali menyembah berhala. Hal ini menegaskan dominasi pengaruh lingkungan terhadap prilaku anak didik. Dengan kata lain, ajar (lingkungan) mengalahkan dasar (genetika).
c) Karakter pendidik
Sikap nabi Nu>h} yang sangat menonjol diprofilkan oleh al-Qur’a>n surat al-Isra> ayat 3 dengan hamba yang banyak bersyukur ('abd shaku>r). Sikap sukur ini cerminan dari keimanan dan ketaqwaannya. Termasuk dalam realisasi sikap sukur nabi Nu>h}, ditunjukkan dalam rangka tanggung jawabnya yang tinggi untuk mendidik Kan’a>n. Meskipun pada akhirnya pendidikannya gagal, namun tetap komitmen untuk membela anaknya.
Pembelaan nabi Nu>h} atas kegagalan pendidikannya, dijelaskan dalam ayat 45. Pada ayat tersebut Nabi Nu>h} mengadu kepada Allah, kenapa anaknya tenggelam bersama orang-orang kafir. Menurut al-Suyu>t}i, Nu>h} meminta realisasi janji Allah untuk menyelamatkan keluarganya.[25] Dengan kata lain, menurut Sha’ba>n, Nu>h} meminta rahmat kepada Allah agar ia dapat memberi shafa>’at kepada anaknya.[26]
Uraian tersebut menunjukkan bahwa Nu>h} sebagai pendidik memiliki tanggung jawab yang tinggi untuk keberhasilan dan keselamatan anaknya. Karakter pendidik yang dicontohkan menekankan pada jiwa pendidik yang tidak membangun interaksi pendidikan secara transaksional. Maksudnya jasa pendidikan menyangkut tanggung jawab moral terhadap keberhasilan anak didik di dunia dan keselamatannya di akherat.
Tampaknya sikap emosional Nu>h} sebagai ayah Kan’a>n tidak sampai hati melihat anaknya mengalami musibah tenggelam. Nu>h} seakan telah kehilangan pertimbangan rasionalnya, kenapa harus membela anaknya yang secara terang-terangan tidak memenuhi seruan pendidikannya. Inilah yang ditegaskan dalam ayat 46, yang mana –menurut Qutb- Allah mengingatkan Nu>h} bahwa ikatan keluarga bukan didasarkan pada ikatan darah saja, tetapi ikatan akidah. Karena anaknya tidak beriman, maka bukan termasuk keluarganya dan ikatan akidah ini merupakan ikatan yang paling kuat, bahkan melebihi ikatan keluarga.[27]
Apa yang dilakukan Nu>h} merupakan realisasi sikap syukur yang dimilikinya. Ia menyadari akan tanggung jawab pendidikan terhadap anaknya. Kasih sayang dan perhatian dicurahkan untuk keberhasilan dan keselamatan anaknya. Implikasinya terhadap pendidikan, sang pendidik harus mengembangkan kasih sayang terhadap anak didik, bahkan –menurut al-Ghazali>- memposisikannya seperti anak sendiri.[28] Dengan demikian terhindar dari interaksi pendidikan yang bersifat transaksional, karena didasari atas tanggung jawab moral untuk keberhasilan dan keselamatan anak didik.



d) Etika anak didik.
Ujian terberat dalam dakwah Nu>h} datang dari keluarganya, yaitu anak dan istrinya. Berdasarkan penjelasan al-Qurt}ubi>, Kan’a>n berada pada agama yang berbeda dengan ayahnya. Akan tetapi Nu>h} tidak mengetahui bahwa Kan’a>n kafir, bahkan menyangkanya mukmin. Karena itu Nu>h} melarangnya bergaul dengan orang kafir.[29]
Sedangkan istri Nu>h} yang melahirkan Kan’a>n –menurut penjelasan Sha’ba>n- termasuk munafik dan menghalangi dakwahnya. Diriwayatkan, bahwa kaum nabi Nu>h} yang beriman dari golongan wanita ialah “ ‘Umrah”, lalu dinikahi oleh Nu>h} dan memiliki tiga anak, yaitu Sa>m, H}a>m dan Ya>fits. Wanita kedua yang beriman ialah “Wa>li’ah” dan dinikahi oleh Nu>h} dengan keturunan Kan’a>n. Hanya saja “Wa>li’ah” ini kemudian munafiq lalu murtad dan akhirnya menyembah berhala.[30]
Kondisi sosial-agama pada saat itu adalah agama raja yang harus dianut rakyatnya dengan menyembah berhala dan shirik kepada Allah. Penentangan terhadap agama raja ini merupakan tindak kriminal terberat. Kondisi sosial dipenuhi dengan kerusakan, kekufuran dan kesesatan. Mereka minum khamr, menyembah berhala dan meninggalkan Allah. Mereka kaum yang pertama kali musyrik dimuka bumi.[31]
Misi pendidikan nabi Nu>h} yang utama ialah mengajak umatnya menuju agama tauhid dan meninggalkan penyembahan berhala. Dalam kontek pendidikannya terhadap Kan’a>n, Nu>h} telah melakukan dengan penuh kesabaran. Akan tetapi reaksi Kan’a>n sebagai anak didik tidak menjunjung etika pendidikan dan etika pergaulan.
Pada diri Kan’a>n lebih menonjol dominasi rasional daripada ikatan emosiaonalnya. Dominasi rasional ini terlihat pada pilihannya untuk naik ke atas gunung untuk menyelamatkan dirinya dari banjir bandang. Kan’a>n mengabaikan ikatan emosionalnya yang semestinya mempertimbangkan pendidikan (ajakan) yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. Sikap keras kepala Kan’a>n sebagai anak didik ini telah menyebabkan kegagalan misi pendidikan nabi Nu>h}.
e) Metode pendidikan
Metode pendidikan Nu>h} terhadap Kan’a>n mengedepankan pendekatan rasional-teologis. Tatkala seruan beriman tidak dihiraukan, maka Nu>h} mendesak beriman dengan pendekatan factual-rasional. Yakni fakta akan terjadinya banjir yang siap menenggelamkan semuanya telah di depan mata, pada saat itulah Nu>h} mengajak berfikir kepada Kan’a>n agar segera menyelamatkan diri dengan naik bahtera.
Reaksi Kan’a>n menunjukkan sikap keras kepala dan beralasan berdasarkan pada pertimbangan rasionalnya sendiri, yaitu akan menyelamatkan dirinya dengan naik di atas puncak gunung. Disinilah metode Nu>h} menawarkan pendidikannya dengan pendekatan rasional, dengan tujuan agar berhasil. Namun pertimbangan anak didik juga menggunakan dalil rasional. Hanya saja rasionalitas Nu>h} atas bimbingan ilahi, sedangkan rasionalitas Kan’a>n didasarkan pada keinginan sikap keras kepala. Akhirnya misi pendidikan Nu>h} gagal karena sikap keras kepala anaknya.
Nu>h} dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul memiliki keistemewaan sebagai penyebar risa>lah ila>hiyah. Oleh karenanya, tanggung jawab utamanya ialah sebagai rasul adalah menyebarkan ajaran Allah. Atas pemahaman ini, maka keilmuan pendidikan Nu>h} diperoleh dari Allah melalui wahyu. Tugas sebagai rasul memiliki cakupan interaksi sosial yang} sangat luas, karena berhubungan dengan misi dakwah kepada kaumnya. Dalam kapasitas sebagai ayah, interaksinya dengan Kan’a>n sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Interaksi pendidikan yang terdata dalam al-Qur’a>n menggambarkan bagaimana perjuangan gigih Nu>h} untuk menanamkan keimanan terhadap anaknya. Karena problem krusial yang dihadapi Kan’a>n adalah pergaulannya dengan komunitas ateis (kafir). Nu>h} dengan tegas menyeru Kan’a>n meninggalkan hubungan dengan orang kafir ( surat Hu>d ayat 42).
Seruan Nu>h} agar Kan’a>n segera bergabung dengan keimanannya semakin gencar dilakukan, terutama ketika datang angin topan dan banjir bandang yang siap menenggelamkan semua kehidupan. Seakan-akan Nu>h} menjadikan fakta lingkungan yang siap menenggelamkan itu sebagai sarana pendidikan keimanan. Namun demikian Kan’a>n menolak ajakannya, seraya dengan daya tawar rasionalitasnya ingin menyelamatkan diri dari gelombang banjir dengan naik ke atas gunung.
Dari gambaran di atas dipahami bahwa dalam rangka mendialogkan pendidikan keimanan yang diperoleh Nu>h} melalui intuisi, konsep keimanan tidak sepenuhnya dapat diterima dengan pendekatan dogmatis-doktriner. Bahkan, ketika pemahaman keimanan itu harus diyakini dapat menyelamatkan dari bahaya banjir, Kan’a>n tetap menolak beriman. Tampaknya, metode pendidikan interaktif-dialogis ini tidak membawa hasil, bahkan yang terjadi justru sebaliknya, yaitu kegagalan pendidikan keimanan.












BAB III
KESIMPULAN

Dari paparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa :
1. Pendidikan: Nu>h} menyadari akan kegagalannya mendidik Kan’a>n, lalu menyesalinya dengan mengadukan kepada Allah SWT untuk mengadakan pembelaan terhadap nasib anaknya. Allah SWT menegaskan bahwa ikatan keluarga hanya terjadi bila dalam naungan keimanan yang sama. Pada akhirnya diselamatkanlah orang-orang yang menerima seruan pendidikan dari Nu>h} as.
2. Ujian terberat dalam dakwah Nu>h} datang dari keluarganya, yaitu anak dan istrinya.
3. Interaksi pendidikan Nu>h} kepada Kan’a>n terdapat dalam surat Hu>d ayat 42 sampai 48.
4. Kandungan ayat 42 sampai 46 surat Hu>d tersebut di atas secara garis besar sebagai berikut:
a) Nu>h} mengajak Kan’a>n untuk naik bahtera dan melarang bersama orang kafir.
b) Kan’a>n tidak mau naik bahtera Nu>h} karena ingin menyelamatkan diri ke puncak gunung.
c) Bahtera Nu>h} berlayar di atas gelombang dan mendarat di bukit judi dengan selamat bersama orang yang beriman.
d) Nu>h} membela Kan’a>n dan mengadukan kepada Allah SWT atas tenggelamnya Kan’a>n.
e) Allah SWT menegaskan bahwa ikatan akidah merupakan ikatan keluarga sejati.
5. Tujuan pendidikan Nu>h} terhadap Kan’a>n adalah untuk pembebasan teologis dengan menanamkan keimanan kepada Allah. Materi pendidikan Nu>h} terhadap Kan’a>n menyangkut pendidikan akidah dan moral
6. Karakter: Sikap nabi Nu>h} yang sangat menonjol diprofilkan oleh al-Qur’a>n surat al-Isra> ayat 3 dengan hamba yang banyak bersyukur ('abd shaku>r).
7. Metode pendidikan Nu>h} terhadap Kan’a>n mengedepankan pendekatan rasional-teologis.
Demikian sekelumit paparan yang dapat kami sampaikan, tentunya masih banyak kekurangan disana-sini, oleh karena itu masukan/saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA


Nata, H. Abuddin, “Kapita Selekta Pendidikan Islam“, Bandung: Angkasa Bandung, 2003, 28.
Departemen Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahannya” , Jakarta: CV.Pustaka Agung Harapan, 2006, 142.
Toha, H.M. Chalib, “Kapita Selekta Pendidikan Islam”, Yogyakarta: Pustaka, cet ke-I, 1996, 98.
Undan-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pelaksanaan, Jakarta: Sinar Grafika, cet ke-3, 1992, 12.
Al-Syaibani, Oemar Muhammad Al-Toumy, “Falsafah At-Tarbiyah Al-Islamiyah”, Ter.Dr.Hasan Lunggalung, Jakarta: Bulan Bintang, cet. Ke-I, 1979, 399.
Lunggalung, Hasan, “Azas-azas Pendidikan Islam”, Jakarta: Pustaka A;-Husna, cet ke-II, 1992, 117.
An-Nahlawi, Abdurrahman, “Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalihiha fi Baiti wal Madrasatul wal Mujtama”, Jakarta: Gema Insani Press, cet ke-3, 2002, 117.
Nata, H. Abuddin, “Filsafat Pendidikan Islam”, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet. Ke-I, 1997, 53 – 54.
Bukhari, Imam, “Shahih Bukhari”, Jakarta: Wijaya, 1984.
Al-Abrasy, M. Athiyah, “Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam”, Jakarta: Bulan Bintang, cet ke-4, 1984.


[1] Terdapat pada surat dan ayat berikut: Ali Imran 33 dan 44, al-Ni>sa>> 163, al-An’a>m 84, al-A’ra>f 59 dan 69, al-Taubah 70, Yu>nus 71, Hu>d 25, 32, 36, 42, 45, 46, 48, 49, Yu>suf 102, 109, Ibra>hi>m 9, al-Nah}l 43, al-Isra> 3, 17, Maryam 58, al-Anbiya> 7, 25, al-H}aj 42, al-Mu’minu>n 23, al-Furqa>n 37, al-Syu’ara> 15, 106, 116, al-‘ankabu>t 14, al-Ah}za>b 7, al-S}a>ffa>t 75, 79, S}a>d 12, Gha>fir 31, al-Syu>ra 13, Qa>f 12, al-D}a>riyya>t 46, an-Najm 52, al-Qamar 9, al-H}adi>d 26, al-Tah}ri>m 10, Nu>h} 1, 21, 26.
[2]al-Qur’>an: 4 (al-Nisa>’):163, 6 (al-An’a>m):84, 11 (Hu>d):25, 26 (al-Shu’ara>’):107, 29 (al-Hasahr):14, 37 (al-S{a>ffat):75, 57 (al-H{adi>d):26, 71(Nu>h):1,2, 5.
[3]Ibid., 4 (al-Nisa>’)163, 7 (al-A’ra>f):59,61, 62, 63, 64, 10 (Yu>nus):71,72 , 11 (Hu>d):25, 26,28,-31, 42, 23 (al-Mu’minu>n):23, 26 (al-Shua>ra>):105, 106, 108, 26, 110, 71 (Nu>h}):1, 2, 3, 8-20.
[4]Ibid., 7 (al-A’ra>f):60, 61, 10 (Yu>nus):71, 11 (Hu>d):27, 32, 14 (Ibra>hi>m):9, 23 (al-Mu’minu>n):24-26, 25 (al-Furqa>n):37, 26 (al-Shu’ara’)>:105, 111-113,116-118, 38 (S{a>d):12, 40 (al-Mu’min):5, 50 (Qa>f):12, 53 (al-Najm):52, 54 (al-Qamar):9, 10, 66 (al-Tah}ri>m):10, 71 (Nu>h{):6, 7, 21-27.
[5]Ibid., 17 (al-Isra>’):3.
[6]Ibid., 21(al-Anbiya>’):76,77, 26 (al-Furqa>n):119, 37 (al-S{a>ffat):75, 54 (al-Qamar):11, 12..
[7]Ibid., 7 (al-A’ra>f):64, 9 (al-Tawbah):70, 10 (Yu>nus):73, 11(Hu>d):37, 43, 44, 89, 23 (al-Mu’minu>n):27, 25 (al-Nu>r):37, 26 (al-Shu’ara>’):120, 29 (al-‘Ankabu>ta):14, 37 (al-S{a>ffat):82, 40 (al-Mu’min):31, 51 (al-D{ariyyat):46, 53 (al-Najm):52, 54 (al-Qamar):11, 12, 71 (Nu>h}):25.
[8]Ibid., 7 (al-A’ra>f):64, 10 (Yu>nus):73, 11 (Hu>d):37,38, 40-44, 48, 23 (al-Mu’minu>n):27-29, 26 (al-Shu’ara>’):119, 29 (al-‘Ankabu>t):15, 37 (al-S{a>ffat):76, 54 (al-Qamar):13-15, 69 (al-Ha>qqah):11.
[9]Ibid., 17 (al-Isra>’):3, 37 (al-S{a>ffat):78-81, 66 (al-Tah}ri>m):10.
[10]al-Suyu>t}i>, al-Durr al-Manthu>r, 433.
[11]al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’, vol. 7, 38.
[12]H}ilmi> ‘Ali> Sya’ba>n, Nu>h}} ‘Alaih al-Sala>m ( Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991), 14.
[13]al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’, vol. 7, 38.
[14]Sha’ba>n, Nu>h}, 9.
[15]Ibid, 11.
[16]al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’, vol. 7, 40.
[17]Ibid.
[18]Qutb, Fi Zila>l, 68.
[19]Sha’ba>n, Nu>h}, 22.
[20]al-Suyu>t}i>, al-Durr al-Manthu>r, 437.
[21]Sha’ba>n, Nu>h}, 44.
[22]Qutb, Fi Zila>l, 66.
[23]al-Suyu>t}i>, al-Durr al-Manthu>r, 439.
[24]Ibid.
[25]al-Suyu>t}i>, al-Durr al-Manthu>r, 437.
[26]Sha’ba>n, Nu>h}, 44.
[27]Qutb, Fi Zila>l, 66.
[28]al-Ghaza>li>, Ihya>’, vol. 1, 69.
[29]al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’, vol. 7, 38.
[30]Sha’ba>n, Nu>h}, 22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar