Bagaimana Membayar Hutang Shalat Kita?
11/11/2008
Kita mengenal istilah qadha shalat yang artinya melunasi hutang shalat. Berarti yang bersangkutan pernah meninggalkan shalat, disengaja atau tidak itu lain soal. Yang jelas, hutang kewajiban shalat sama halnya dengan hutang kewajiban kepada Allah yang lain, ia harus dilunasi.
Bahwa shalat yang kita tinggalkan itu adalah disebabkan kelalaian kita. Kepada manusia saja hutang harus dibayar, kenapa hutang kepada Allah justru dipermudah? Walaupun kita tahu Allah adalah Dzat Maha Pemaaf, tapi itu masalah lain.
Dalil yang kita pakai:
اتَّفَقَ العُلَمَاءُ عَلَى أنَّ قَضَاءَ الصَّلَاةِ وَاجِبٌ عَلَى الناَّسِيّ وَ النّاَئِمِ لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ قَوْلِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، أنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفرِيْطٌ. وَ إنَّمَا التَّفْرِيْطُ فِيْ الْيَقْظَةِ. فَإذَا نَسِيَ أَحَدٌ صَلاَةُ أوْ نََامَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّيْهَا إذَا ذَكَرَهَا
Para ulama sepakat bahwa melunasi hutang shalat yang ditinggalkan itu wajib hukumnya, baik karena lupa ataupun tertidur. Seperti pernah disampaikan Rasul: Tertidur itu bukan kelengahan karena yang dikatakan lengah itu bila seseorang tidak tidur. Apabila ia lupa atau tertidur dan tidak mengerjakan shalat, shalatlah ketika teringat. (Lihat dalam FIqhus Sunnah, Juz II, hlm. 185)
Kita memang dapat membayarnya lain waktu yang senggang. Akan tetapi, lebih cepat membayar, lebih baik. Misalnya, kita baru saja hutang shalat Subuh karena bangun kesiangan maka waktu yang terbaik dapat dikerjakan jam tujuh atau jam delapan pagi ketika kita bangun dari tidur, atau ketika kita sempat membayamya dan tidak perlu ditunda-tunda. Meski pada dasarnya hutang (qadha) shalat Subuh dapat dikerjakan di waktu shalat Zhuhur, Maghrib, Ashar, atau kapan saja.
Demikian juga berlaku pada shalat-shalat lain yang kita tinggalkan. Soal apakah dosa besar ketika kita meninggalkan shalat, tentu saja akan dilihat alasannya. Kalau kita beralasan tidur, tidak ada yang membangunkan, tentu Allah Mahatahu. Berbeda bila kita meninggalkan shalat karena alasan lain seperti bus yang kita tumpangi tidak berhenti, atau di kereta yang katanya tidak ada tempat, di pesawat yang katanya tidak ada air, atau sedang sakit, semua itu Allah Mahatahu.
Yang jelas, shalat bagi kaum muslimin merupakan suatu kewajiban yang harus dikerjakan pada waktunya, dalam kondisi apapun. Jika tidak bisa berdiri, duduk. Tidak bisa duduk, tiduran. Tidak bisa tiduran, isyarat mata. Tidak bisa isyarat mata, dengan hati. Begitu mudahnya syari'at Islam, namun kemudahan itu masih saja dirasa berat oleh orang yang suka bermalas-malasan.
Sekarang, bagaimana jika hutang shalat satu minggu karena sakit belum bisa membayarnya keburu meninggal, siapa yang harus membayar?
Hutang shalat tadi bisa dibayar lewat dua cara. Cara pertama, dilunasi keluarganya; dan cara kedua, bisa melunasinya dengan membayar fidyah (denda), yaitu 1 waktu shalat yang ditinggalkan sama dengan 6 ons beras atau makanan pokok lainnya. Berarti, keluarga harus membayarkan 6 ons beras x 5 x 7 dan diberikan kepada tetangga yang miskin.
وَمَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلاَةٌ فَلا قَضَاءَ وَ لاَ فِدْيَةَ. وَ فِيْ قَوْلٍ كَجَمْعِ الْمُجْتَهِدِيْنَ أنَّهَا تَقْضَى عَنْهَا لِخَبَرِ البُخَارِي وَ غَيْرِهِ. وَ مِنْ ثَمَّ اخْتاَرَهُ جَمْعٌ مِنْ أئِمَّتِناَ وَ فَعَلَ بِهِ السُبْكِي عَنْ بَعْضِ أَقاَرِبِهِ
ٍSiapa meninggal dunia sedang ia punya hutang shalat, baginya tak perlu diqadha. Tetapi menurut sebagian besar ulama Mujtahidin: bagi keluarganya tetap terkena kewajiban membayar karena ada hadits riwayat Imam Bukhari, dll. Rupanya pendapat terakhir ini cenderung diikuti ulama-ulama, Syafi’iyah, antara lain Imam Subki dan sebagian sahabatnya. (Lihat Ahkamul Fuqoha, Juz II, hal 50)
الصَّحِيْحُ هَوَ الإفْتاَءُ الأوَّلُ بِإخْرَاجِ الْفِدْيَةِ أرْبَعِيْنَ مُدًّا لِتَرْكِ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَةِ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ فِيْ خَمْسِ مَكْتُوْباَتٍ
... yang benar adalah fatwa pertama yang mengatakan: harus mengeluarkan fidyah (denda) 40 mud (1 mud = 6 ons) bagi yang telah meninggalkan shalat selama 8 hari, yang seharusnya dia mengerjakan shalat 5 kali sehari. (Lihat dalam I’anatut Thalibin, Juz II, hal 229)
KH Munawir Abdul Fattah
Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta
/home/pns1010/ULUMUL ISLAM/FIQH SHOLAT/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar