Senin, 17 Januari 2011

AHL Al-HALL Wa Al ‘AQD


AHL Al-HALL Wa Al ‘AQD
by sariono Sby

PENDAHULUAN
masalah pergantian kepemimpinan dalam Islam sepeninggal Rasulullah diserahkan kepada kaum muslim untuk dimusyawarahkan siapa yang layak atau patut menduduki posisi pimpinan setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Prinsip musyawarah ini pada hakikatnya diterapkan pada setiap kali terjadi pergantian pimpinan dalam masa al-Khulafa’ al-Ra>shidu>n, meski dengan versi yang beragam.
Adapun yang dimaksud dengan musyawarah dalam politik Islam adalah hak partisipasi rakyat dalam masalah – masalah hukum dan pembuatan keputusan politik. Akan tetapi musyawarah tidak mungkin dilaksanakan oleh seluruh rakyat, maka musyawarah dilaksanakan antar kelompok yang benar – benar mewakili rakyat yang dapat dipercaya dan merasa tenang dari keputusan mereka. Mereka itu tidak lain melainkan Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd (Dewan Perwakilan Rakyat). Metode ini sekarang dinamakan dengan “Politik Kekuasaan Rakyat”.
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pemimpin tidak boleh meninggalkan musyawarah, sebab Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya dengan hal itu. Bahkan para ulama sepakat bahwa musyawarah diperintahkan dalam Al Qur’an dan menjadikannya sebagai salah satu unsur pijakan Negara Islam. Bahkan jadi sistem hukum, musyawarah lebih dari sekedar unsur pelaksanaannya. Ia diciptakan sebagai kaidah pertama.

PEMBAHASAN
A. Selayang pandang tentang Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd
Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd ada dalam sistem pemerintahan Islam dikarenakan adanya suatu perintah dalam Al Qur’an untuk bermusyawarah. Musyawarah tersebut menurut para Ahli merupakan salah satu sistem hukum dalam Islam dan juga metode hidup dalam pemerintahan. Demikian juga dalam Negara terdapat rakyat, yang oleh Abu A’la> al Maudu>di> sebagaimana yang dikutip oleh A. Djazuli, mempunyai beberapa hak, antara lain :
1. Perlindungan terhadap hidupnya, hartanya dan kehormatannya.
2. Perlindungan terhadap kebebasan pribadi.
3. kebebasan menyatakan pendapat dan keyakinan.
4. terjamin kebutuhan pokok hidupnya, dengan tidak membedakan kelas dan kepercayaan.
Istilah Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd ada juga karena penafsiran para ulama’ tentang Un Abd al-Kha>liq (pakar politik Islam kontemporer mesir).
Al-Ma>wardi> menyebutkan Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd dengan ahl al-ikhtiyar, karena merekalah yang memilih khalifah. Al-Ra>zi> menyamakan pengertian antara Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd dan ulil amri yaitu para pemimpin dan para ahli yang memikirkan kepentingan umat.
Sedangkan Ibn Taimiyah menyebutkan dengan ahl al-shu>ra atau ahl al-ijtima’ atau Al Shaukah. Ibnu Taimiyah berkata “Ulil Amri adalah orang – orang yang memegang perkara dan pemimpin. Mereka adalah orang yang memerintah manusia, termasuk didalamnya orang yang memiliki kekuasaan dan kemampuan, juga orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teologi. Oleh sebab itu ulil amri ada dua macam yaitu ulama dan umara. Apabila mereka bagus, pasti manusia akan bagus. Namun jika mereka rusak, pasti manusia kan rusak pula”.
Sementara itu menurut Rashid Ridla bahwa ulil amri adalah Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd atau Dewan Perwakilan rakyat yang terdiri dari para ulama dan para pemimpin atau tokoh masyarakat yang dipercaya rakyat dalam segala keputusan yang mereka buat dan tetapkan lewat musyawarah dari peraturan – peraturan sipil, peradilan dan politik.
Selanjutnya Rashid Ridla juga berkaitan dengan perwakilan ini telah berkata, “Demikianlah, dikalangan umat harus ada orang-orang yang memiliki kearifan dan kecerdasan didalam mengatur kemaslahatan kemasyarakatan, serta mampu menyelesaikan masalah – masalah pertahanan dan ketahanan, serta masalah – masalah kemasyarakatan dan politik. Itulah yang disebut dengan Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd didalam Islam. Pengangkatan kholifah tidaklah dibenarkan, kecuali apabila mereka inilah yang memilihnya serta membai’atnya dengan kerelaannya. Mereka itulah yang disebut dengan wakil masyarakat pada bangsa-bangsa yang lainnya”.
Demikian juga dengan al-Baghda>di> menamakan mereka dengan “kelompok anggota masyarakat yang mewakili umat ( rakyat ) dalam menentukan arah dan kebijaksanaan pemerintahan demi tercapainya kemaslahatan hidup mereka.” Sejalan dengan pengertian ini, Abd al Ha>mid al-Ans}ari menyebutkan bahwa majelis syura yang menghimpun ahl al-shu>ra merupakan sarana yang digunakan rakyat atau wakil rakyatnya untuk membicarakan masalah-masalah kemasyarakatan dan kemaslahatan ummat.
Dengan demikian, sebenarnya rakyatlah yang berhak untuk menentukan nasibnya serta menentukan siapa yang akan mereka angkat sebagai kepala negara sesuai dengan kemaslahatan umum yang mereka inginkan.
Istilah yang lebih populer dipakai pada awal pemerintahan Islam tentang hal ini adalah ahl al-shu>ra. Pada masa Khalifah yang Empat, khususnya pada masa ‘Umar istilah ini mengacu kapada pengertian beberapa sahabat senior yang yang melakukan musyawarah untuk menentukan kebijaksanaan negata dan memilih pengganti kepala negara.
B. Syarat – Syarat Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd
Al-Ma>wardi> menyebut Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd harus memenuhi tiga syarat, antara lain :
1. Keadilan yang memenuhi segala persyaratannya.
2. Memiliki pengetahuan tentang orang berhak menjadi imam dan persyaratan – persyaratannya.
3. Memiliki kecerdasan dan kearifan yang menyebabkan dia mampu memilih imam yang paling maslahat dan paling mampu serta paling mampu tentang kebijakan – kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi umat.
Ibn Al Farra> berpendapat: Ahli Ikhtiyar harus memliki tiga syarat berikut :
1. Adil
2. Mempunyai ilmu pengetahuan yang dengan ilmu pengetahuan itu dpat mengetahui siapa saja yang berhak memegang tongkat kepemimpinan.
3. Ahli Ikhtiyar harus terdiri dari para pakar dan alhi manajemen yang dpat memilih siapa yang lebih pant6as untuk memegang tongkat kepemimpinan.
Ungkapan syarat yang dikemukakan oleh Al Ma>wardi> dan Ibn Al Farra> tersebut sangat mirip.
Selain itu syarat yang harus dipenuhi adalah sperti syarat dalam hal – hal yang lain seperti, baligh, merdeka, laki – laki dan beragama Islam. Akan tetapi untuk syarat laki – laki dan beragama Islam terjadi perbedaan pendapat antara para ulama. Ulama salaf berpendapat bahwa wanita dan kafir dzimmi tidak boleh menjadi anggota majelis syura. Sedangkan ulama fikih kontemporer seperti Fu’ad Abdul Mun’im Ahmad (pakar politik Islam kontemporer Mesir) memperbolehkan dengan batasan batasan tertentu yang tidak melanggar syari’at hukum.
C. Anggota Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd
Pada zaman Rasulullah saw, para ahli musyawarah tersebut terdiri dari para sahabat utama, antara lain Abu Bakr, ‘Umar, Uthman, ‘Ali, Zubair bin Awwan, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqqas}, Abu Ubaidillah, Said bin Al Ash. Mereka inilah yang diajak musyawarah oleh Rasulullah saw dalam urusan ummat.
Dimasa Khalifah Abu Bakr Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd terdiri dari ‘Umar Ibn Khattab, Uthman bin Affan, ‘Ali Ibn Abi Thalib, Abdurrahman Ibn Auf, Mu’adz Ibn Jabal, Ubai Ibn Ka’ab dan Zaid Ibnu Tsabit. Sedangkan ‘Umar bin Khattab pada masa akhir pemerintahannya membentuk tim formatur untuk memilih khalifah penggantinya yang anggotanya terdiri dari Uthman bin Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqas dan Abd al Rahma>n bin Auf. Serta putranya Abdullah bin Umar yang hanya punya hak memilih.
Berangkat dari praktek yang dilakukan al-Khulafa’ al-Rashidu>n inilah para ulama siyasah merumuskan pandangannya tentang siapa Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd yang antara lain :
1. Muhammad Abduh dan Rashid Ridla berpendapat, mereka adalah adalah pemuka masyarakat, para ulama’, petani, buruh, wartawan dan kalangan profesi lainnya. Serta angkatan bersenjata.
2. Ibnu Taimiyah berpendapat Al Shaukah terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai kalangan dan profesi dan mempunyai kedudukan terhormat dimasyarakat.
3. Imam Nawawi berpendapat bahwa mereka adalah ulama, para kepala Negara, dan para pemuka masyarakat yang berusaha mewujudkan kemaslahatan rakyat.
Dengan demikian para anggota Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd dapat terdiri dari semua lapisan masyarakat yang dapat menyampaikan aspirasi rakyat tanpa memandang dari mana mereka berasal.
D. Tugas dan Wewenang Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd
Dalam muqaddimah Ibnu Khaldun tertulis “jika imamah wajib berdasarkan ijma’ ulama, maka hal – hal itu merupakan fardlu kifayah, dan mengenai itu diserahkan pada ikhtiar pemuka – pemuka muslim yang berkopenten. Adalah kewajiban mereka mewujudkan institusi imamah, dan kewajiban setiap orang taat kepada pemimpin. Dengan demikian menurut Ibnu Khaldun bahwa kewajiban Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd bermusyawarah tentang urusan – urusan kemaslahatan umat. Karena memang urusan kemaslahatan umat diserahkan oleh Allah kepada manusia untuk berihktiar sendiri.
Al-Ma>wardi> Menerangkan bahwa tugas Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd disamping memilih khalifah dan membai’atnya juga mempunyai tugas juga bermusyawarah tentang masalah umat. Dalam hal ini, al- Ma>wardi> menjelaskan proses pemilihan kepala negara yang diawali dengan meneliti persyaratan kandidat. Lalu kandidat yang dianggap paling memenuhi kualifikasi untuk menjadi kepala negara diminta kesediaannya tanpa terpaksa. Bila ia bersedia menjadi kepala negara, maka dimulailah kontrak sosial antara kepala negara dan rakyat yang diwakili oleh Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd. Selanjutnya barulah rakyat secara umum menyatakan kesetiaan mereka kepada kepala negara.
Selanjutnya pemilihan ini diikuti dengan sumpah setia (bai’ah) umat Islam secara umum terhadap khalifah terpilih. Berdasarkan cara-cara tersebut, al-Ma>wardi> menguraikan perbedaan pendapat ulama tentang beberapa jumlah Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd yang dapat dikatakan sebagai representasi pilihan rakyat untuk mengangkat kepala negara. Menurutnya, sebagian ulama memandang pemilihan kepala negara baru sah apabila dilakukan oleh jumhur Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd. Ini sesuai dengan pemilihan Abu Bakr yang dibay’ah secara aklamasi oleh umat Islam yang hadir di Saqifah Bani Sa’idah. Pendapat lain mengatakan cukup hanya dipilih oleh lima orang anggota Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd. Dalam kasus pemilihan Abu Bakar, sebelum dibai’ah, ia terlebih dahulu dipilih oleh lima orang sahabat, yaitu ‘Umar ibn al-Khattab, Abu ‘Ubaidah ibn al-jarrah, Asid ibn Hudhair, Basyr ibn sa’d dan Salim mawla Abi Hudzaifah. Merekalah yang mula-mula melakukan bay’ah kepada Abu Bakr dan diikuti oleh umat Islam lainnya. Demikian pula dalam pemilihan ‘Uthman ibn ‘Affan melalui musyawarah enam sahabat senior. Pendapat ini, menurut al-Ma>wardi> adalah pendapat ulama fiqh dan mutakallimun dari Bashrah. Sementara ulama Kufah betpendapat bahwa pemilihan kepala negara dinyatakan sah apabila dipilih oleh tiga orang anggota Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd. Mereka menganalogikannya dengan dangan akad nikah dengan seorang wali dan dihadiri dua orang saksi. Sedangkan pendapat lain mengatakan cukup seorang Ahl al-h}all wa al-‘aqd saja yang melakukan bay’ah terhadap kepala negara, sebagaimana ‘Abbas melakukan bay’ah terhadap ‘Ali untuk menggantikan Khalifah ‘Uthman ibn ‘Affan.
Berbeda dengan al-Ma>wardi>, Ibn Taimiyah menolak pengangkatan kepala negara oleh Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd ini. Menurutnya, dalam prakteknya pada pasca lembaga legitimasi bagi kekuasaan khalifah Bani Umaiyyah dan Bani Abbas. Kedudukan mereka tidak lagi independen, karena mereka diangkat oleh khalifah. Akibatnya, Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd tidak lagi berfungsi sebagai lembaga kontrol terhadap kekuasaan kepala negara. Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd tidak pernah mencerminkan dirinya sebagai wakil rakyat. Bagaimana mungkin ia menjadi wakil rakyat kalau kalau yang menentukan keberedaannya adalah kepala negara. Menurut Ibn Taimiyah, istilah Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd tidak dikenal pada awal sejarah Islam, dan menjadi popoler hanya setelah Bani Abbas berkuasa. Ibn Taimiyah bahkan meragukan bahwa konsep Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd akan mengarah kepada terbentuknya lembaga kependetaan dalam agama Islam Shi’ah. Konsekwensi lebih jauh, doktrin ini akan menghilangkan hak rakyat untuk memilih.
Sebagai alternatif, Ibn Taimiyah mengembangkan konsep al-shaukah dalam teori polotiknya. Menurutnya Ahl al-Shaukah adalah orang-orang yang berasal dari berbagai kalangan dan profesi dan mempunyai kedudukan terhormat dimasyarakat. Mereka menjadi semacam tempat untuk bertanya bagi masyarakat dan ucapan meraka menjadi “kata putus” bagi masyarakat tersebut.
Merekalah yang memilih kepala Negara. Ibn Taimiyah mencontohkan hal ini pada pemilihan Khalifah Abu Bakr dan ‘Umar. Menurutnya, Abu Bakr memegang tampuk pemerintahan bukan karena bai’ah ‘Umar dan ‘Umar menjadi khalifah bukan karena wasiat Abu Bakr. Mereka naik memegang puncak pemerintahan umat Islam karena sumpah setia orang-orang yang memiliki kekuatan ( Ahl al-Shaukah ) dan kemudian diikuti oleh umat Islam. Seandainya umat Islam tidak menyetujui Abu Bakr dan ‘Umar, mereka berdua tidak mungkin tidak dapat menjadi kepala negara.
Berdasarkan pandangan ini, Ibn Taimiyah menolak keabsahan kekuasaan kepala negara yang dipilih oleh segelintir orang saja, seperti yang diteorikan al-Ma>wardi> di atas. Hal ini dapat menjurus kepada pembenaran kepala negara yang mencapai kekuasaan dengan cara-cara paksa dan ilegal. Dari pandangan Ibn Taimiyah dapat ditarik benang merah bahwa sebenarnya ia tidak menolak substansi Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd. Yang ditolaknya adalah keberadaannya dalam sejarah Islam yanbg hanya menjadi alat penguasa. Para anggota Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd pada masa Bani Umaiyyah dan Bani Abbas tidak menjalankan tugas dan fungsinya sebagai alat kontrol terhadap kekuasaan. Karenanya Ibn Taimiyah menginginkan peranan Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd yang lebih luas dan mencerminkan refresentasi kehendak rakyat. Dalam hal ini, rakyat merupakan pihak yang paling berhak menentukan kepala negara dan menyalurkan aspirasinya kepada Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd, yang pada teori Ibn Taimiyah disebut dengan Ahl al- shaukah.
Dari uraian para ulama tentang Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd ini tampak hal – hal sebagai berikut :
1. Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai wewenang untuk memilih dan membai’at imam
2. Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan masyarakat kepada yang maslahat.
3. Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd mempunyai wewenang membuat undang – undang yang mengikat kepada seluruh umat didalam hal – hal yang tidak diatur tegas oleh Al Qur’a>n dan al H}a>dith.
4. Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd tempat konsultasi imam didalam menentukan kebijakannya.
5. Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd mengawasi jalannya pemerintahan,
Wewenang tersebut hampir mirip dengan MPR, DPR dan DPA di Indonesial sebelum amendemen UUD 45.
E. Cara Pemilihan Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd
Berdasarkan praktek Khulafa al Rashidin maka pemilihan Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd terdapat bebarapa cara antara lain :
1. Pemilihan anggota Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd melalui seleksi dalam masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat akan melihat orang-orang yang terpandang dan mempunyai integritas pribadi serta memiliki perhatian yang besar untuk menjadi anggota Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd.
2. Disamping itu, ada juga anggota Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd yang diangkat oleh kepala Negara.
3. Pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala. Dalam pemilu ini, anggota masyarakat yang sudah memenuhi persyaratan memilih anggota Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd sesuai dengan pilihannya.
Diantara ketiga cara demikian, cara yang ketiga yang dapat diterapakan pada masa modern ini, kerana semakin banyaknya penduduk didalam suatu negeri yang tidak mungkin menjadi Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd semua. Sementara cara yang kedua tidak kondusif dimasa sekarang dan bagi independensi anggota Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd, karena ia diangkat oleh kepala negara. Dengan demikian posisinya tersubordinasi oleh kepala Negara. Sedangkan cara pertama adalah yang terbaik karena cara ini mencerminkan kehendak rakyat secara bebas, tetapi tidak mungkin dipraktekkan pada masa sekarang.
F. Pentingnya Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd
Dalam sejarah islam, secara pasti tidak diketahui siapa yang mengemukakan istilah Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd, Tetapi menurut sebagaian ulama fiqih siyasah, orang pertama yang mempopulerkan istilah tersebut adalam Imam Ma>wardi>. Pembentukan lembaga Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd dirasa perlu dalam pemerintahan Islam, mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan secara bijak dan pandangan yang tajam, sehingga mampu menciptakan kemaslahatan umat islam.
Lebih lanjut para ahli siyasah menyebutkan beberapa alasan pentingnya pelembagaan majelis syura ini, yaitu :
1. Rakyat secara keseluruhan tidak mungkin dilibatkan untuk dimintai pendapattentang masalah menegaraan dan pembentukan undang-undang. Oleh karena itu, harus ada kelompok mesyarakat yang bisa diajak musyawarah dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah dan pembentukan perundang-undangan.
2. Rakyat secara individu tidak mungkin dikumpulkan untuk melakukan musyawarah disuatu tempat, apalagi diantara mereka pasti ada yang tidak mempunyai pandangan yang tajam dan tidak mampu berfikir kritis.
3. Musyawarah hanya bisa dilakukan apabila jumlah pesertanya terbatas. Kalau seluruh rakyat dikumpulkan disuatu tempat untuk melakukan musyawarah, dipastikan musyawarah tersebut tidak dapat terlaksana.
4. Kewajiban amal ma’ruf nahiy munkar hanya bisa dilakukan apabila ada lembaga yang berperan untuk menjaga kemaslahatan antara pemerintah dan rakyata.
5. Kewajiban ta’at kepada ulul Amri (Peminpin umat) baru mengikat apabila peminpin itu dipilih oleh lembaga musyawarah .
6. Ajaran Islam sendiri yang menekankan perlunya pembentukan lembaga musyawarah.
Pada masa modern, sejalan dengan masuknya pengaruh pemikiran politik barat terhadap Islam, pemikiran tentang Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd juga berkembang. Para ulama siyasah mengemukakan pentingnya pembentukan Lembaga Perwakilan Rakyat atau DPR/MPR sebagai representasi dari kehendak rakyat. Mereka mengemukakan gagasan tentang Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd ini dengan mengkombinasikannya dengan pemikiran-pemikiran politik yang berkembang sekarang ini.


KESIMPULAN
1. Secara harfiah, Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd berarti orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Para ahli fiqh siyasah merumuskan pengertian Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd Sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara).dengan kata lain, Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat.
2. Al-Ma>wardi> menyebut Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd harus memenuhi tiga syarat, antara lain, Keadilan yang memenuhi segala persyaratannya. Memiliki pengetahuan tentang orang berhak menjadi imam dan persyaratan – persyaratannya. Memiliki kecerdasan dan kearifan yang menyebabkan dia mampu memilih imam yang paling maslahat dan paling mampu serta paling mampu tentang kebijakan – kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi umat. Sedangkan Ibn Al Farra> berpendapat: Ahli Ikhtiyar harus memliki tiga syarat berikut, Adil, Mempunyai ilmu pengetahuan yang dengan ilmu pengetahuan itu dpat mengetahui siapa saja yang berhak memegang tongkat kepemimpinan. Ahli Ikhtiyar harus terdiri dari para pakar dan alhi manajemen yang dpat memilih siapa yang lebih pantas untuk memegang tongkat kepemimpinan
3. Dari pendapat para Ahli Fiqih siyasah bahwa anggota Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd dapat terdiri dari semua lapisan masyarakat yang dapat menyampaikan aspirasi rakyat tanpa memandang dari mana mereka berasal
4. Sebagai orang pertama yang mempopulerkan Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd Al Ma>wardi>, Menerangkan bahwa tugasnya disamping memilih khalifah dan membai’atnya juga mempunyai tugas juga bermusyawarah tentang masalah umat.
5. Berdasarkan praktek Khulafa Al Rashidu>n maka pemilihan Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd terdapat 3 cara antara lain : Pemilihan anggota Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd melalui seleksi dalam masyarakat, ada juga anggota Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd yang diangkat oleh kepala Negara. Pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala.
6. Ahl Al-H{all Wa Al ‘Aqd sangat penting dalam kehidupan bernegara. Karena dalam Negara pada hakekatnya rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi. Sedangkan rakyat sendiri tidak memungkinkan untuk berkumpul bersama.


http://referensiagama.blogspot.com/januari/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar