Sabtu, 22 Januari 2011

TAFSIRUL QUR’AN FI SURATUL MAKKIYAH WA MADANIYAH Kajian Al Qur’an Dari Geografis turunnya Ayat


TAFSIRUL QUR’AN FI SURATUL MAKKIYAH WA MADANIYAH
Kajian Al Qur’an Dari Geografis turunnya Ayat

PENDAHULUAN
Al Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai pedoman kehidupan manusia. Isi al Qur’an dari era awal kitab ini diturunkan sampai kapanpun juga tidak akan berubah dan dijamin keasliannya oleh Allah sendiri sebagimana yang tercantum dalam dalam Al-Qur’an “ Sesungguhnya kamilah yang menurunkannya dan kami juga yang menjaganya”.
Proses diturunkannya al Qur’an dari langit bumi ke nabi Muhammad dapat di bagi menjadi dua periode. Pertama, periode Makkiyah yaitu turunnya ayat ayat al Qur’an pada masa ketika Nabi Muhammad berada di Mekkah dengan setting sosial yang sangat terbelakang secara moral dan kedua, periode Madaniyah yaitu turunnya ayat ketika Nabi Muhammad berada di Madinah.
Pemaknaan ayat Makkiyah maupun Madaniyah, menurut beberapa pendapat, tidaklah sesederhana itu artinya tidak hanya dilihat dalam konteks histories-geografis, akan tetapi lebih luas ada beberapa hal yang menjadi ciri dari ayat Makkiyah Madaniyah.

HTTP://REFERENSIAGAMA.BLOGSPOT.COM/JANUARI/2011


















PEMBAHASAN
A. Pengertian Makkiyah Madaniyah
Secara sederhana, Makkiyah madaniyah dapat diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang surat-surat dan ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah dan yang diturunkan di Madinah.Definisi ini memang masih diperdebatkan karena dianggap tidak representatif dan terkesan bersifat hitam putih, padahal jika dilihat dari sejarah ayat-ayat al Qur’an terdapat ayat-ayat yang diturunkan di luar dua daerah tersebut. Oleh karena itu, ada pendapat yang mendefinisikan bahwa ayat Makkiyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Hijrah betapapun ayat ini tidak turun di daerah mekkah sementara ayat Madaniyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah Hijrah.
Pendapat yang kedua, dapat dikatakan sama dengan pendapat yang paling atas, bahwa ayat Makkiyah adalah ayat yang diturunkan di mekkah betapapun sesudah Hijrah, sementara ayat madaniyah adalah ayat yang diturunkah di madinah. Dan ayat yang diturunkan dalam perjalanan (bukan di dua tempat tersebut), ia dianggap sebagai ayat yang bukan Makkiyah dan juga bukan Madaniyah.
Pendapat yang ketiga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat Makkiyah adalah ayat yang Khitabnya adalah orang-orang Mekkah dan ayat Madaniyah adalah ayat yang khitabnya adalah orang-orang Madinah.
Ada lagi yang berpendapat bahwa ayat atau surat yang mengandung cerita Adam dan Iblis adalah Makkiyah kecuali al Baqarah. Dan setiap surat yang didalamnya disebutkan perihal orang munafik adalah madaniyah, kecuali al Ankabut. Ada juga yang mmberikan ta’rif yang cukup spesifik yaitu bahwa setiap surat yang didalamnya terdapat hudud(ayat ayat tentang hukuman)dan kewajiban-kewajiban adalah madaniyah sementara setiap surat yang didalamnya disebutkan sejarah masa lalu adalah Makkiyah.
B. Teori – teori Makkiyah Madaniyah
Ada beberapa teori dalam menetukan kriteria suatu ayat apakah ayat terkait itu Makkiyah ataukah Madaniyah. Para ulama membaginya menjadi empat teori, yaitu:
1. Teori Mulaahazhatu Makaanin Nuzuli (Teori Geografis)
Menurut teori ini ayat atau surat Makkiyah adalah ayat yang diturunkan di Mekkah dan sekitarnya baik sebelum nabi Muhammad Hijrah maupun sesudah beliau hijrah ke Madinah. Termasuk dalam kategori ini adalah ayat yang turun di Mina, Arafah,Hudaibiyah dan sebagainya.
Sedangkan ayat Madaniyah adalah ayat yang diturunkan di daerah Madinah dan sekitarnya, sehingga dalam hal ini ayat yang diturunkan di Badar, Qubq, Uhud dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai Madaniyah.
2. Teori Mulaahazhatu Mukhaathabiina Fin Nuzuuli (Teori Subjektif)
Yaitu teori yang berorientasi pada subyek siapa yang dikhitab/ yang dipanggil dalam ayat. Jika subyeknya adalah orang-orang Mekkah yang biasanya memakai kata “Ya Ayyuhan Naasu”(wahai Manusia), “Ya Ayyuhal Kafiruun”(wahai orang-orang kafir) atau “Ya Bani Adama”(wahai anak Adam) maka ayat tersebut dinamakan Makkiyah, begitu juga apabila yang dipanggil adalah orang madinah yang biasanya menggunakan kata “Ya Ayyuhal Ladzina Aamanuu”(Wahai Orang-orang yang beriman) maka ayat tersebut dinamakan Madaniyah.
3. Teori Mulaahazhatu Zamaanin Nuzuuli (Teori Historis)
Yaitu teori yang berorientasi pada sejarah waktu turunnya al Qur’an. Yang dijadikan tonggak sejarah oleh teori ini adalah hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah. Artinya,ayat atau surat yang diturunkan sebelum Nabi Hijrah ia disebut dengan ayat Makkiyah dan ayat yang diturunkan sesudah Nabi Hijrah disebut dengan ayat Madaniyah.
4. Teori Mulaahazhatu Ma Tadhammanat as Suuratu (Teori Content Analysis) yaitu teori yang mendasarkan kriterianya dalam membedakan Makkiyah dan madaniyah kepada isi dari ayat atau surat tersebut.
Beberapa teori diatas memilki kekurangan dan kelebihan tersendiri hanya saja yang paling masyhur dan dinilai banyak memiliki kelebihan dibandingkan dengan kekurangannya adalah teori histories (Mulaahazhatu Zamaanin Nuzuuli).
Dilihat dari fase turunnya al Qur’an, memang al Qur’an hanya dibagi menjadi dua yaitu ayat ayat yang diturunkan di Mekkah dan ayat yang diturunkan di Madinah. Oleh karena itu, merupakan suatu yang wajar apabila ayat Makkiyah Madaniyah selalu dinisbahkan kepada tempat dimana ayat tersebut diturunkan, di Mekkah atau di Madinah. Padahal jika dilihat dari sejarahnya, ada beberapa ayat yang ternyata tidaklah diturunkan di dua wilayah geografis tersebut seperti di Syam, bahkan ada sebuah sabda Rasul yang di sampaikan Tabrani bahwa Al Qur’an itu di turunkan di tiga tempat yaitu Mekkah, Madinah dan Syam.
Terkait dengan pembagian Makkiyah madaniyah, al Qur’an dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu :
a. Makkiy yang murni
b. Makkiy yang bercampur dengan Madany
c. Madani Murni
d. dan Madany yang bercampur dengan Makky.
Surat surat yang murni Makkiyah seperti al Alaq, Muddatstsir, al Qiyamah dan sebagainya. Sedangkan contoh surat Makkiyah yang bercampur dengan Madani adalah al An’am. Surat ini seluruhnya Makkiyah kecuali ayat
$tBur (#râ‘y‰s% ©!$# ¨,ym ÿ¾ÍnÍ‘ô‰s% øŒÎ) (#qä9$s% !$tB tAt“Rr& ª!$# 4’n?tã 9Ž|³o0 `ÏiB &äóÓx«
kemudian juga surat al A’raf yang keseluruhannya adalah Makkiyah kecuali ayat
öNßgù=t«ó™ur Ç`tã Ïptƒös)ø9$# ÓÉL©9$# ôMtR$Ÿ2 nouŽÅÑ%tn ̍óst7ø9$#
sampai pada lima atau delapan ayat setelahnya diketegorikan sebagai madaniyah. Sementara contoh yang murni Madaniyah antara lain al Baqarah, al Imran, an Nisa dan lain sebagainya. Dan surat Madaniyah yang “bercampur” dengan Makkiyah adalah Al Anfal. Semua ayat pada surat ini adalah Madaniyah kecuali ayat (واذ يمكربك الذين كفروا).
Karena ada beberapa ayat yang bercampur dengan ayat yang bukan kelompoknya, maka menentukan suatu ayat, apakah ia Makkiyah ataukah Madaniyah, tidak hanya ditekankan pada satu unsur saja sebagaimana yang ditekankan oleh setiap teori diatas akan tetapi pada setiap unsur yang ada seperti unsur tempat (dimana ia diturunkan), unsur masa (setelah hijrah atau sebelumnya), unsur oknum (kepada siapa ia di khitab) dan yang terakhir dari unsur maudhu’ (isi) nya.
Sebagai contoh Surat al-Mumtahinah, apabila ditinjau dari segi tempat ayat pertama sampai yang terakhir diturunkan di Madinah. Apabila dilihat dari segi masa, Ia turun setelah Nabi Hijrah sehingga hal ini semakin memperkuat bahwa surat ini adalah Madaniyah. Dilihat dari segi khitabnya, Ia dihadapkan kepada orang-orang Mekkah. Dan jika dilihat dari segi maudhu’nya, ia mengandung suatu tuntutan kemasyarakatan yang merupakan ujian bagi hati orang-orang mukmin. Sehingga kemudian para ulama sepakat memasukkan surat ini kedalam:
ما نزل با لمدينة وحكمه مكي

“Ayat yang turun di Madinah sedang hukumnya dimasukkan ke dalam ayat ayat yang turun di Makkah”

Ayat ayat semacam ini tidak dapat dimasukkan kedalam ayat madaniyah secara mutlak dan juga tidak dapat dimasukkah kedalam ayat Makkiyah secara mutlak pula.
Ayat ayat yang turun di Madinah tetapi hukumnya Makkiyah, antara lain:
1. Al Mumtahanah. Ayat ini diturunkan di Madinah tetapi yang dibicarakan adalah penyembahan berhala, mengarah kepada orang musyrik penduduk Mekkah.
2. Ayat 41 surat Al Nahl
3. Mulai awal surat Al Taubah (Bara’ah) sampai dengan ayat 28. Ayat ini sebenarnya Madaniyah, tetapi karana khitabnya adalah penduduk Mekkah maka hukum ayat ini Makkiyah.
Adapun ayat yang turun di Mekkah dan hukumnya Madaniyah, antara lain:
1. Ayat 13 surat Al Hujurat.

Ayat ini turun pada waktu fathu Mekkah dan ia dinyatakan Madaniyah karena ia turun setelah hijrah.
2. Ayat 3 sampai dengan 5 surat Maidah.
Tiga ayat ini turun pada hari Jum’at ketika umat islam sedang wukuf di Arafah dalam peristiwa haji wada’. Haji ini beliau lakukan setelah beliau hijrah. Oleh karena itu sekalipun ia turun di Arafah (kawasan di sekitar Mekkah), tetapi karena ia diturunkah setelah hijrah maka ia secara hukum ia dianggap madaniyah.
Disamping itu ada beberapa ayat yang dari segi bahasa serupa dengan ayat Makkiy padahal sebenarnya ia madani. Salah satunya adalah ayat 32 dalam surat al Anfal:

”Dan ingatlah ketika mereka-golongan musyrik- berkata: Ya Allah, jika benar Qur’an ini dari Engkau, hujanilah kami dengan batu dari langit dan datangkanlah kepada kami azab yang pedih”
Dan ada pula ayat yang menyerupai Madani padahal ia Makkiy. Salah satunya adalah surat an Najm ayat 32 :
”Yaitu mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil (an Najm:32)
Berkaitan dengan pembagian ayat Makkiyah dan Madaniyah, para ulama berbeda pendapat dalam menghitung jumlahnya. Suyuthi mengutip pendapatnya Ibnu al Hashshar mengatakan bahwa Madaniyah terdiri dari 20 surat, 12 yang diperselisihkan dan yang selebihnya adalah Makkiyah.
Surat-surat madaniyah yang 20 tersebut antara lain:
Al Baqarah
Ali Imran
An Nisa’
Al Maidah
Al Anfal
At Taubah
An Nur
Al Ahzab
Muhammad
Al Fath
Al Hujurat
Al Hadid
Al Mujadilah
Al Hasyar
Al Muntahanah
Al Jum’ah
AL Munafiqun
At Thalaq
Al Tahrim
An Nashr
Sementara 12 surat yang diperselisihkan, antara lain:
1. 1. Al fatihah
2. Ar Ra’d
3. Ar Rahman
4. Ash Shaf
5. Al Taghabun
6. Al Tathfif
7. Al Qadar
8. Al Bayyinah
9. Az Zilzalah
10. Al Ikhlash
11. Al Falaq
12. An Nas

Sedangkan surat Makkiyah adalah selain dari surat-surat diatas dan yang berjumlah 82 (Delapan puluh dua) surat.
C. Metode mengetahui ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah
Ada dua metode untuk mengetahui apakah suatu ayat atau surat itu Makkiyah atau Madaniyah, metode tersebut adalah:
1. Naqlis Sima’i (kutipan Lisan)
Naqlis Sima’i adalah metode yang menjelaskan ayat atau surat yang kita kenal bahwa ia adalah Makkiyah atau Madaniyah dengan cara periwayatan dari salah satu sahabat yang hidup pada periode wahyu dan mereka menyaksikan turunnya wahyu, atau mendengar dari salah satu tabi’in yang telah mendengar dari sahabat.
Diantara contoh ayat Makkiyah dan Madaniyah yang diketahui lewat para sahabat adalah firman Allah SWT (Q.S. Al Anfal: 64).
Al Bazzar telah meriwayatkan dari Ibnu Abas r.a bahwa ayat tersebut diturunkan pada saat Umar bin Khattab masuk Islam. Sudah diketahui bahwa umar masuk Islam di Mekkah, maka ayat tersebut adalah ayat Makkiyah.
2. Qiyas Ijtihadi
Metode ini sebenarnya merupakan derivasi atau turunan dari metode Naqlis Sima’i. Metode sima’i, seperti yang dijelaskan diatas, merupakan cara menetapkan Makkiyah madaniyah melalui hearing atas pendapat atau kesaksian para sahabat atau tabi’in terhadap ayat tersebut. Dari hasil metode ini kemudian para ulama merumuskan bagaimana karakteristik atau ciri-ciri ayat Makkiyah atau Madaniyah yang telah ditentukan aleh metode sima’i tersebut. Karena tidak semua ayat al Qur’an memperoleh penjelasan dari sahabat maupun tabi’in, maka untuk menentukan Makkiyah Madaniyah para ulama mengqiyaskan ayat ayat yang “belum punya identitas” tersebut kepada ciri-ciri Makkiyah madaniyah yang telah ada. Oleh karena ini merupakan wilayah ijtihad dan menggunakan qiyas, maka metode ini disebut dengan metode Qiyas Ijtihadi.

D. Ciri-Ciri Makkiyah dan Madaniyah
Ada dua karakteristik yang dapat membantu kita dalam menentukan apakah suatu ayat itu Makkiyah atau Madaniyah, yaitu:
1. Ciri-ciri Makkiyah
· Ciri-ciri khas yang bersifat Qath’i
· Ciri -ciri khas yang bersifat Aghlabi
Ada 6 ciri khas yang bersifat qath’I bagi surat Makkiyah:
a. Setiap surat yang terdapat ayat Sajadah di dalamnya, adalah surah Makkiyah. Sebagian Ulama mengatakan bahwa jumlah ayat sajadah ada 16 ayat.
b. Setiap surat yang di dalamnya terdapat lafal “Kalla”, adalah Makkiyah. sasarannya pada umumnya golongan-golongan yang keras kepala atau yang apriori menentang ajaran Islam, maka lafal “Kalla” digunakan untuk memberi peringatan yang tegas dank keras kepada mereka.
c. Setiap surat yang terdapat di dalamnya lafal “ya ayyuhannasu” dan tidak ada “ya ayyuhalladzina amanu” adalah Makkiyah kecuali Surah Al-Haj. Surah Al-Haj ini sekalipun pada ayat 77 terdapat “yaa ayyuhalladzina amanu” tetapi surat ini tetap di pandang Makkiyah.
d. Setiap surat yang terdapat kisah-kisah para Nabi dan Umat Manusia yang terdahulu, adalah Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah.
e. Setiap surat yang didalamnya terdapat kisah Nabi Adam dan iblis adalah Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah.
f. Setiap surat yang di mulai degan huruf tahajji (huruf abjad), adalah Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah dan Ali Imron.
Tentang Surat al-Ra’du masih di permasalahkan, tetapi menurut pendapat yang lebih kuat, bahwa surat al-Ra’du itu Makkiyah,karena melihat gaya bahasa dan kandungannya .
Keenam ciri khas di atas dengan beberapa pengecualian merupakan cirri-ciri yang qoth’i bagi surat Makkiyah, yang tepat benar penerapannya.
Ada 5 ciri khas lagi bagi surat Makkiyah,tetapi hanya bersifat aghlabi, artinya pada umumnya ciri tersebut menunjukkan Makkiyah, yaitu
a. Ayat-ayat dan surat-suratnya pendek-pendek (ijaz) nada perkataannya keras dan agak bersajak.
b. Mengandung seruan untuk beriman kepada Allah dan hari Kiamat dan menggambarkan keadaan Surga dan Neraka.
c. Mengajak Manusia untuk berakhlaq yang mulia dan berjalan di atas jalan yang baik (benar)
d. Membantah orang-orang yang Musyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan kepercayaan dan perbuatannya.
e. Terdapat banyak lafal sumpah.

2. Ciri-ciri khas bagi surat Madaniyah
Ciri-ciri khas yang membedakan antara surat Madaniyah dan surat Makkiyah ada yang bersifat qoth’i dan ada yang bersifat aghlabi
Ciri-ciri yang bersifat Qoth’i bagi surat Madaniyah antara lain adalah:
a. Setiap surat yang mengandung izin berjihad (berperang) atau menyebut hal perang dan menjelaskan hukum-hukumnya, adalah Madaniyah.
b. Setiap surat yang memuat penjelasan secara rinci tentag hukum pidana, faraid (warisan), hak-hak perdata, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perdata (civil), kemasyarakatan dan kenegaraan, adalah Madaniyah.
c. Setiap surat yang menyinggung hal ikhwal orang-orang munafik, adalah Madaniyah, kecuali surat al-Ankabut yang di turunkan di Mekkah.. Hanya sebelas ayat yang pertama dari surat al-Ankabut ini adalah Madaniyah, dan ayat-ayat tersebut menjelaskan perihal orang-orang Munafik.
d. Setiap surat yang membantah kepercayaan/pendirian/tatacara keagamaan ahli alkitab (Kristen dan Yahudi) yang di pandang salah, dan mengajak mereka agar tidak berlebih-lebihan dalam menjalanakan agamanya, adalah Madaniyah, seperrti surat al-Baqoroh, ali-Imron, al-Nisa’, al-Maidah, dan al-Taubah.
Ciri-ciri khas yang bersifat aghlabi untuk surat Madaniyah antara lain adalah:
a. Sebagian suratnya panjang-panjang, sebagian ayatnyapun panjang-panjang (ithnab) dan gaya bahasanya cukup jelas didalam menerangkan hukum-hukum agama.
b. Menerangkan secara rinci bukti-bukti dan dalil-dalil yang menunjukkan hakikat-hakikat keagamaan.

D. Faedah Mengetahui Makkiyah Madaniyah
Mengetahui ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat Madaniyah banyak faedahnya diantaranya adalah:
1. Sebagai penolong untuk menafsirkan Al-Quran. Sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat memebantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara yang nasikh dengan yang mansukh bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh atas yang terdahulu.
2. Meresapi gaya Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berda’wah menuju jalan Allah, sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang di kehendaki oleh situasi, merupakan arti paling khusus dalam ilmu retorica, karakteristik gaya Bahasa Makki dan Madani dalam Qur’an pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah kejalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaannya serta menguasai apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan. Setiap tahapan dakwah mempunyai topik dan pola penyampaian tersendiri. Pola penyampaian itu berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan tatacara keyakinan dan kondisi lingkungan. Hal yang demikian nampak jelas dalam berbagai cara Qur’an menyeru berbagai golongan: orang yang beriman, yang musyrik, yang munafik dan ahli kitab.
c. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat al-Qur’an, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik pada periode mekkah maupun pada periode madinah, Sejak permulaan Turun wahyu hinggل ayat terakhir diturunkan. Qur’an adalah sumber pokok bagi peri hidup Rasulullah. Peri hidup beliau yang diriwayatkan ahli sejarah harus sesuai dengan Qur’an, dan Qur’an pun memberikan kata putus terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkakn.










Kesimpulan

Penentuan ayat atau surat Makkiyah atau Madaniyah tidak hanya dilihat dari tempat dimana ia diturunkan, di Mekkah ataukah Madinah atau tartib makany. Akan tetapi ada hal –hal lain yang harus dipertimbangkan yaitu tentang waktu atau tartib zamany (ia diturunkan sebelum atau setelah hijrah), khitab atau Ta’yin Syakhsyi(kepada siapa ayat itu ditujukan, penduduk Mekkah atau Madinah) dan juga maudhu’ atau tahwil maudhu’i atau (tema).
Surat yang ada dalam al Qur’an dapat dibagi menjadi empat yaitu
1. Surat Makkiyah murni,
2. Surat Makkiyah yang didalamnya terdapat ayat Madaniyah,
3. Surat Madaniyah Murni dan
4. Surat madaniyah yang bercampur dengan ayat Makkiyah.
Untuk mengetahui surat Makkiyah maupun madaniyah, terdapat dua metode yaitu Naqlis Sima’i yaitu metode menentukan jenis ayat Makkiy dan Madani berdasarkan periwayatan dari sahabat yang mengetahui turunnya ayat tersebut atau dari tabi’in yang mendengar dan mengetahui sejarah ayat tersebut dari sahabat. Metode kedua adalah Qiyas Ijtihady yaitu mengkiyaskan suatu ayat kepada karakter-karakkter ayat yang didapat dari metode yang pertama sehingga dapat menentukan apakah ayat tersebut Makkiyah atau Madaniyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar