Sabtu, 22 Januari 2011

IBN TAIMIYAH


IBN TAIMIYAH


A. Pendahuluan
Dalam banyak pemikiran yang bersebrangan, terdapat kecenderungan bahwa penilaian terhadap sosok ibnu Taimiyah, seperti halnya juga dengan Al-Ghazali, Al-Sy>afi’i, lebih banyak menitikberatkan pada pemikirannya yang menonjol dan menjadi kecenderungannya. Al-Sy>afi’i diidentifikasi sebagai pemikir Fiqh, Al-Gh>azali berkompeten dalam Tasauf, sedangkan Ibnu Taimiyah menduduki posisi yang tidak terlalu menonjol dalam bidang tertentu, hanya saaja sosok ibnu taimiyah mampu membawa perubahan-perubahan dalam pemahaman tare>kat.
Berikut ini adalah suatu kajian yang menitikberatkan pada pembahasan tentang sosok Ibnu Taimiyah dalam hubungannya dengan tare>kat. Untuk kepentingan ini maka penulis akan berusaha mengumpulkan bukti-bukti tentang pemikirannya yang ada hubungannya dengan tare>kat, dengan terlebih dulu mempelajari sejarah hidupnya, watak dan kepribadiannya, setting historis, serta garis besar pemikiran dan ide-idenya. Maka penulis berusaha untuk menggali kronologi pemikirannya, terutama pada masa seputar kehidupannya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah mengemukakan pengaruh pemikirannya sampai dengan abad ke duapuluh yang tetap akan menjadi kontrofersi dalam masyarakat.
Karena terbatasnya literatur yang kami miliki, usaha untuk mengungkapkan semua itu tidak dapat tersaji secara lengkap. Untuk ide-ide pokoknya memang akan kami ambil dari beberapa karangannya, tetapi untuk kelengkapan data-datanya, kami ambil dari bahan-bahan skunder yang tersebar sampai saat ini, baik dalam bentuk ulasan para ahli, hasil penelitian, maupun Ensiklopedi.

Tare>kat merupakan suatu hal yang sangat berkaitan dengan tasawuf. Ketika seseorang berbicara tentang tasawuf, umumnya selalu dikaitkan dengan persoalan tare>kat. Tasawuf dapat diartikan sebagai mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan akhlak.Sementara tare>kat diartikan sebagai cara atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui amalan yang telah ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in kemudian diteruskan oleh guru-guru tare>kat.
Tare>kat memiliki beberapa komponen antara lain guru, murid, amalan, zawiyyah dan adab. Masing masing tare>kat umumnya mempunyai zikir-zikir atau cara berzikir tertentu, baik berupa zikir yang tersembunyi maupun zikir yang tampak. Ada zikir yang diucapkan bersama, baik yang diiringi dengan tabuh tabuhan maupun diiringi dengan tari tarian menurut irama zikir, dengan tarikan nafas, langgam suara dan gerak badan yang tertentu. Begitu pula dalam bacaan zikir pun terdapat perbedaan perbedaan, bahkan beberapa diantaranya sangat jauh berbeda denga bacaan zikir yang diucapkan oleh Nabi SAW.
Terkait dengan ini, Ibnu Taimiyah, seorang pemikir kelahiran Turki, memberikan kritikan yang cukup tajam terhadap praktek tare>kat, khususnya yang dipraktekkan pada waktu itu. Dan, makalah ini akan membahas bagaimana kritikan beliau terhadap tare>kat.

B. Riwayat Hidup Ibn Taimiyah.
Taqiyuddin Ibnu Taimiyah atau yang punya nama panjang Abu Abbas Ahmad bin Abd Halim bin Abd al Salam Abdullah bin Muhammad bin Taimiyah lahir pada hari senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H bertepatan dengan tanggal 22 Juni 1263 M dikota Harran, sebuah kota kecil dibagian utara kota Mesopotamia dekat Urfa di bagian tenggara Negara Turki. Nama Taimiyah lebih dikenal sebagai sebuah nama keluarga dari etnis Kurdi, meskipun ada pendapat lain yang mengatakannya dengan nama sebuah tempat dekat Tabuk.
Pada usia Tujuh tahun, dia mengikuti ayahnya, Abu al Maha>sin Abdu al Hali>ma, untuk pindah ke Damaskus demi menghindari kekejaman dan intimidasi bangsa Mughal. Ayahnya merupakan seorang ulama terkemuka dari madzhab Hambali dan bahkan, kakeknya, Syeikh al Islam Abu al Barakat Abd al Salam bin Abdullah, adalah juga seorang ahli fiqh Hambali sekaligus ahli hadist dan tafsir. Keluarga Ibnu Taimiyah merupakan keluarga besar yang sangat disegani dan dihormati oleh masyarakat luas dizamannya.
Di Damaskus ini, Ibnu Taimiyah memulai proses belajar kepada sang ayah kemudian berguru kepada Ali Zain al Din al Muqaddasi, Najm al Din bin Asakir, Zainab binti Maki dan ulama lain pada saat itu. Dalam proses ini Ibnu Taimiyah tidak hanya concern pada studi ilmu al Qur’an, ilmu Hadi>st, Fiqh, Ushu>l Fiqh kalam ,Tasawuf, logika, Matematika dan kesusastraan saja tetapi juga mempelajari bidang hukum madzhab Hamba>li, dimana ayahnya merupakan tokoh pentingnya.
Dalam hal kemampuan berfikir, Ibnu Taimiyah dianggap memiliki kecerdasan otak diatas rata-rata. Selain itu, motivasi intern yang sangat tinggi, ketekunan serta kecermatan dalam menyelesaikan masalah, kemudian menghantarkan Ibnu Taimiyah menduduki posisi yang cukup bagus pada era tersebut. Sejak berumur dua puluh tahun, Ibnu Taimiyah sudah menduduki posisi sebagai Mufti. Ketika ayahnya meninggal pada Tahun 1284 M, dan ia telah menyelesaikan pendidikan formalnya, ia kemudian menggantikan jabatan ayahnya sebagai direktur madrasah Dar al hadist as Syukkariyah, tepat ketika beliau berumur dua puluh satu tahun. Dan setahun kemudian tepatnya tanggal 10 Safar 684 H/17 April 1285 M, Ibnu Taimiyah mulai memberi pengajian umum di masjid Umayyah Damaskus yang selama ini diasuh ayahnya dalam mata kuliah tafsir al Qur’an. Selain itu Ibnu Taimiyah juga menggantikan kedudukan ayahnya sebagai guru besar di bidang studi Hadist dan fiqh madzhab Hanbali di beberapa madrasah terkenal di Damaskus.
Denagn mudal pengetahuan dan ketokohan yang handal, Ibnu Taimiyah mencurahkan hidupnya untuk beribadah pada Allah dengan wujud menyelenggarakan pendidikan, penulisan dan penyebaran karya-karya ilmiyah.
Pada tahun 692 H/1293 M. dalam usia 30 Thn, Ibnu Taimiyah menulis buku Manasik Al-Haj, sebagai koreksi terhadap peraktek-peraktek bid’ah, yang di lihatnya swaktu menunaikan ibadah haji setahun sebelumnya. Setahun kemudian namanya semakin melejit karma ketrlibatannya dalam kasus Assaf al-Nasrani. Yang telah menghina nabi Muhammad Saw, ketika hukuman mati di cabut oleh pemerintah siria, setelah assaf memilih masuk Islam. Ibnu Taimiyah mengajukan protes keras kepada pemerintah, akibatnya beliau di masukkan dalam penjara Adrawiyah di Damaskus. Namun pengalamannya di penjara, beliau manfatkan untuk menulis buku Apologrikna. Yang terkenal yaitu Sarim al-Mas’ul ala Syatim al-Rasul
Seusai di penjara pada tgl 17, Sa’ban 695.H/1296 M.Ibnu Taimiyah menjadi guru besar pada madrasah Hanbaliyah di Damaskus.
Popularitas yang semakin melejit menjadi ujian berat baginya karma ada pihak-pihak yang tidak senang dan menuduh bahwa Ibnu Taimiyah berpaham Mujassimah/Tajsi>m (memandang Allah berjisim) dan Musabbihah/Tasb>ih (menyerupakan Allah dengan mahluknya). Hal ini bermula dari penulisan kitab al-Risalah al-hamawiyah yang di maksedkan sebagai jawaban atas pertanyaan orang-orang Hammah tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi sifat-sifat Allah dan oleh Ibnu taimiyah di jawab bahwa ayat-ayat tersebut harus di pahami apa adanya tanpa harus di takwil. Jawaban tersebut ternyata enimbulkan reaksi yang keras dari para fuqohak di bawah komando Al-Qodi Jalaluddin Hanafi. Polemic antara kedia belah pihak ini baru reda ketika setahun kemudian tentara Mughol menduduki sebagian wilayah siriya, pada tahun 699 H/1300 M.Bersama ulama’ lainnya Iabnu Taimiyah turut menggerakkan umat untuk berjihad melaean tentar mughol. Kemenangan Ibnu Taimiyah di dapat oleh kelompok Ibnu Taimiyah pada Tahun 702 H/1303 M.dengan bantuan tentara Mesir yang di kirim oleh raja Mamluk.
Murid dan karya-karyanya.
Untuk melengkapi biografi Ibnu Taimiyah maka saya coba untuk melirik murit-muritnya dan karya-karyanya sebagai bukti kealiman Ibnu Taimiyah dan kebesarannya. Sebagai seorang alim dan ulama’terkemuka beliau memiliki pengikut yang banyak.
Diantara murid Ibnu Taimiyah yanga terkenal adalah sebagai berikut:
1. Ibnul Qoyyim Al-jauzi>yah (W. 1325 M)
2. Ibnu ka>sir (W. 1373 M)
3. Al-Hafi>z Zaha>bi (W. 1348.M)
4. Ibnu abdul Ha>di (W. 1344.M)
5. Ibnu Al-Wardi (W1349 M)
Tentaang karya-karyanya Abul Ha>san Ali na>jwi menyimpulkan ada empat macam keistimewaan karya-karya Ibnu Taimiyah.
1. Karyannya selalu memberi kesan pada pembacanya bahwa beliau seorang yang sangat memahami tujuan-tujuan syari’at degan agama.
2. karyanya selalu dirasakan hidupdan dinamis oleh para pembacanya, karma pada umumnya ditulis untuk merespon pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan padanyaa ataupun dalam rangka mengkritisi suatu masalah yang berkembang.
3. Karyanya tersesan pdat, jelas dan penuh keseriusan, hal ini bisa kita rasakan dari kebiasaanya yang selalu memberi rujukan bagi pandangan-pandangannya, baik pada Al-Qur’an dan Hadi>th maupun pendapat-pendapat para ‘ualam’ salaf.
4. Karyanya biasanya ditulis dalam bahasa yang jelas lugas dan tegas.
Dilihat dari karya-karyanya yang begitu banyak, Ibnu Taimiyah tergolong ‘ulam’ yang produktif dan sulit di cari tandingannya baik pada masanya ataupun setelahnya.
Ada dua pendapat tentang jumlah karya-karyanya Ibnu Taimiyah, mereka memperrkirakan kurang lebih berkisaran antara 300-500 buah karya-karya. diantaranya adalah 1. Minhajus Sunnah
2. Al-Jawa>b Ash-Shahih Liman Baddala Di>na Al-Masih
3. Kita>bun Nubuwat
4. Ar-Raddu 'Ala> Al-Manthiqiyyi>n
5. Iqtidhau Ash-Shirathi Al-Mustaqim
6. Majmu' Fatawa
7. Risalatul Qiya>s
8. Minha>jul Wushul Ila 'Ilmil Ushu>l
9. Syarhu Al-Ashbiha>ni war Risa>lah Al-Humuwiyyah
10. At-Tamiriyyah
11. Al-Wasi>thiyyah
12. Al-Ka>ilani>yyah
13. Al-Baghda>diyyah
14. Al-Azha>riyyah
Dan lain-lain
Karya-karyanya tersebut meliputi berbagai disiplin ilmu ke Islaman
tentang kehidupan penjaranya.
Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan kaum munafiqin serta antek-anteknya yang mengakibatkan beliau mengalami tekanan berat dalam berbagai penjara, justru dihadapi dengan tabah, tenang dan sabar. Terakhir beliau harus masuk ke penjara Qal’ah di Dimasyq. Dan beliau berkata: “Sesungguhnya aku menunggu saat seperti ini karena di dalamnya terdapat kebaikan besar.”
Dalam syairnya yang terkenal beliau juga berkata:
Apakah yang diperbuat musuh padaku !
Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku
Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku dan tiada pernah tinggalkan aku.
Aku, terpenjara,
aku adalah khalwat
Kematianku adalah mati syahid
Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.
Beliau pernah berkata dalam penjara:
“ Orang dipenjara ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang yang tertawan ialah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya.”
Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan fitrah islahiyah- nya, tidak menghalanginya untuk berdakwah dan menulis buku-buku tentang Aqidah, Tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid’ah.
Pengagum-pengagum beliau diluar penjara semakin banyak. Sementara di dalam penjara, banyak penghuninya yang menjadi murid beliau, diajarkan oleh beliau agar mereka iltizam kepada syari’at Allah, selalu beristighfar, tasbih, berdoa dan melakukan amalan-amalan shahih. Sehingga suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah mendapat hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara bersamanya. Akhirnya penjara menjadi penuh dengan orang-orang yang mengaji.
Tetapi kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau dari kalangan munafiqin serta ahlul bid’ah semakin dengki dan marah. Maka mereka terus berupaya agar penguasa memindahkan beliau dari satu penjara ke penjara yang lain. Tetapi inipun menjadikan beliau semakin terkenal.
Pada akhirnya mereka menuntut kepada pemerintah agar beliau dibunuh, tetapi pemerintah tidak mendengar tuntutan mereka. Pemerintah hanya mengeluarkan surat keputusan untuk merampas semua peralatan tulis, tinta dan kertas-kertas dari tangan Ibnu Taimiyah.
Namun beliau tetap berusaha menulis di tempat-tempat yang memungkinkan dengan arang. Beliau tulis surat-surat dan buku-buku dengan arang kepada sahabat dan murid-muridnya. Semua itu menunjukkan betapa hebatnya tantangan yang dihadapi, sampai kebebasan berfikir dan menulis pun dibatasi. Ini sekaligus menunjukkan betapa sabar dan tabahnya beliau. Semoga Allah merahmati, meridhai dan memasukkan Ibnu Taimiyah dan kita sekalian ke dalam surganya.

C. Sifat Pemikiran Keagamaan Ibnu Taimiyah
Kuliah yang diajarkan mencakup segala aspek ajaran Islam yang kesemuanya mengerucut pada suatu tema besar yaitu menghidupkan kembali semangat Nabi dan sahabat sahabatnya, ketika Islam belum dicemari oleh ide-ide asing serta bid’ah dan khurafat. Jika dipetakan, pemikiran Ibnu Taimiyah ini sepertinya bercorak purifying (purifikasi) atau mencoba untuk menjernihkan kembali praktek praktek keagamaan dari suatu yang terkontaminasi dengan bid’ah kemudian akan dikembalikan pada apa yang telah di praktekkan pada masa nabi dan Sahabat-sahabatnya atau yang disebut dengan Sala>f ash Shalih>in.
Generasi salaf ini adalah umat Islam yang hidup pada tiga generasi umat Islam pertama yaitu generasi Nabi, Sahabat dan Tabi’in, sesuai dengan sabda Nabi:
خير القرون القرن الذي بعثت فيهم ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
” Sebaik baik generasi adalah generasi ketika aku diutus, kemudian generasi setelahnya dan generasi setelahnya”
Sementara setelah generasi salaf ini disebut generasi Khala>f dan Ibnu Taimiyah tidak menginginkan generasi khala>f ini lebih tau dari generasi sala>f sehingga beliau menginginkan amalan amalan agama yang ada pada generasi Khala>f ini dikembalikan kepada amalan ibadah pada generasi sala>f. Dengan demikian dapat juga diartikan bahwa metode sala>f, sebagaimana yang diinginkan Ibnu Taimiyah, lebih mendahulukan pendekatan periwayatan (arRiwayah) dari pada pendekatan ilmiyah (al Dirayah).
Secara umum, ketika terjadi persoalan keagamaan mereka tidak hanya berpusat kepada amalan generasi salaf, akan tetapi yang menjadi tahapan awal dalam menyelesaikan persoalan tersebut adalah merujuk pada al Qur’an dan Sunnah dan kemudian pendapat para sahabat. Pendapat sahabat ini menjadi salah satu rujukan utama karena mereka menerima langsung dari Nabi sehingga mereka dianggap lebih mengetahui kandungan al Qur’an..
Terkait dengan corak pemikiran Ibnu Taimiyah ini, fazlur Rahman dalam bukunya yang berjudul “Islam” menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah ini adalah seorang Neo Sufi. Neo Sufisme ini adalah: suatu corak pemikiran tasawuf yang menekankan kembalinya semangat kaum salaf (Ortodox Activism) dan menanamkan suatu pandangan yang positif terhadap kehidupan dunia.
Corak pemikiran yang mengarah pada neo Sufisme ini dapat dilihat dari buah pemikiran beliau yang oleh Abu> Ali al Husni al Nadwi di petakan menjadi Empat ide pemikiran.
Pertama, pembaharuan bidang akidah tauhid dan pemberantasan terhadap maupun praktik praktik politeisme (Isyraq).
Kedua, pembaruan bidang metode pemahaman Islam atas dasar Qur’an dan sunnah serta penolakan terhadap metode pemahaman non Qur’an (filosofis Spekulatif).
Ketiga, pembaharuan bidang disiplin ilmu keislaman sebagai warisan budaya Islam.
Keempat, pembaharuan dalam menghadapi pandangan atau kelompok non Islam.

D. Sosial Politik dan Keberagamaan Pada masa Ibn Taimiyah
Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral. Dari segi politik kekuasaan pemerintahnya yang seharusnya berada di tangan penguasa secara total beralih kepada penguasa lokal. Khalifah seolah kehilangan ”gigi taring”nya dalam memanage negara, semua diambil alih oleh penguasa daerah atau wilayah baik yang bergelar sultan, raja maupun amir. Wilayah kekuasaanpun semakin dipersempit dan bahkan ada yang direbut oleh penguasa-penguasa Tatar dari Timur dan oleh Krusades dari Barat.
Sementara dari segi sosial, Masyarakat dimana Ibnu Taimiyah hidup ini sangat heterogen baik dalam hal kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Sebagai akibat sering terjadinya perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat tinggi. Dalam satu wilayah terdapat banyak macam bangsa : Arab asal Irak, Arab asal Turki, Mesir, Turki, Tartar dan sebagainya sedang mereka semua berbeda satu sama lain dalam adat istiadat, tradisi, perilaku dan alam pikiran. Dan kesemuanya ini sangat merupakan potensi untuk timbulnya kerawanan-kerawanan kehidupan bernegara dan kelangsungan hidup sosial. Keserasian sosial dan pemupukan moral dan akhlaq merupakan suatu hal yang sangat sulit diciptakan.
Persoalan lain yang mengakibatkan pada masa ini umat Islam mengalami kemunduran adalah sikap fanatisme dan sektarianisme aliran atau madzhab yang sangat tinggi diantara para pendukungnya. Ibnu Taimiyah pernah menjadi ”korban” atas fanatisme ini, Ibnu Taimiyah pernah dipenjara karena hasutan ulama lain yang berasal dari madzhab diluar madzhab Hambali, madzhab yag dianutnya.
Ketika Baghdad yang menjadi icon pusat peradaban Islam dan Spanyol di Barat mengalami kehancuran, lembaga tare>kat mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Akan tetapi yang sangat disayangkan penganut tare>kat adalah orang orang awam yang kurang mendalami ajaran agama sehingga dengan sangat mudah mereka terjerumus ke dalam praktek praktek Okultisme dan pemujaan kepada para wali atau orang orang yang dipandang suci. Bahkan Ibnu Taimiyah menyaksikan adanya orang orang yang berdo’a di kuburan para wali dengan harapan akan mendapatkan barokahnya.
Terkait dengan ini, Ibnu Taimiyah pernah dihukum karena kritikannya yang keras terhadap kebiasaan kebiasaan yang dipandang sebagai bid’ah dan khurafat seperti pemujaan makam para Nabi dan wali serta sejenisnya. Pada masa hidup beliau memang telah terjadi pencampuradukan ajaran Islam dengan paham dan praktek praktek non Islam yang dicoba dinisbatkan dengan Islam. Ajaran Islam yang semestinya mudah untuk diamalkan kemudian menjadi sulit dan terasa berat untuk diamalkan karena menjadi sangat rumit. Inilah yang sesungguhnya menjadi akar mengapa Ibnu Taimiyah begitu lantang menyuarakan upaya pemurnian.

E. Pandangan Ibn Taimiyah tentang Tasawuf
Ibnu Taimiyah memiliki pemikiran yang cukup berbeda dengan pemikir lain tentang tasawuf. Karena perbedaan ini kemudian banyak yang mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah adalah sosok yang sangat antipati terhadap tasawuf, bahkan dalam sebuah literatur dikatakan bahwa dia sama sekali menolak tasawuf (He denies tasawuf entirely) walaupun tidak dapat disangkal pula ada yang berpendapat bahwa beliau tidaklah menolak sama sekali hanya saja corak tasawufnya sangat berbeda dengan yang lainnya, misalnya al ghaza>li.
Tentang keabsahan Tasawuf sebagai jalan menempuh kebenaran, menurutnya tidak selamanya metode tasawuf dapat mengantarkan pada kebenaran, bahkan mustahil manusia bisa mengetahui kebenaran sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah. Makrifah, sesuatu yang sering disebut-sebut sebagai tujuan akhir kegiatan tasawuf, juga tidak dapat mengantarkan pada kebenaran. Menurutnya, tujuan akhir kehidupan manusia adalah ibadah. Baginya tasawuf memang dapat mengantarkan seseorang pada pembersihan jiwa (tazkiyah), namun posisinya sama dengan prilaku moralitas pada umumnya, dimana seseorang yang memiliki akhlak yang tinggi akan membantu pembersihan jiwanya. Ibnu Taimiyah mengakui keabsahan metode eksperimental tasawuf, tapi ia menyarankan agar Tasawuf juga mempergunakan validitas eksternal untuk menguji kebenaran konsepnya. validitas eksternal yang dimaksud adalah ajaran pokok yang ada dalam Islam.
Inti dari pandangan Ibnu Taimiyah tentang Tasawuf adalah bahwa ia (tasawuf) merupakan perpanjangan dari agama Islam yang secara normatif harus bersumber dari al Qur’an dan as Sunnah dan secara historis applikatif harus merujuk pada keteladanan salaf al salihin. Beliau juga berpandangan bahwa tasawuf adalah produk ijtihad dalam arti hasil penelaahan dan pemikiran mengenai cara yang ditempuh untuk menjalankan ajaran agama Islam dengan benar dan sungguh-sungguh sehingga ia bukanlah satu satunya sarana atau jalan yang paling benar dalam melaksanakan ajaran agama sebagaimana yang diklaim para sufi.
Dari sini dapat juga dipahami mengapa Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa konsep Wahdatul Wujud merupakan sesuatu yang membahayakan karena menurut beliau konsep ini mengaburkan perbedaan antara sang Khaliq dengan Makhluq. Terlebih lagi ekses tersebut ternyata banyak yang disalah gunakan, misalnya bila seorang (wali,syeikh) sudah dianggap sampai pada tahapan ittihad maka ia berada di luar batas batas syari’at dalam arti ia tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan syari’at. Segala sesuatu yang dilakukan dengan tidak berdasarkan syari’at, maka menurut Ibnu Taimiyah ia adalah perbuatan yang menyimpang.

F. Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Tare>kat.
Secara etimologis Tare>kat berasal dari kata ”Tari>qah” yang berarti jalan. Secara istilah ia diartikan sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui amalan yang telah ditentukan dan dicontohkan Nabi Muhammad SAW, dikerjakan oleh para sahabat dan tabi’in lalu secara sambung menyambung diteruskan oleh guru-guru Tare>kat Akan tetapi secara umum tare>kat mengajarkan akhlak mulia antar sesama manusia dan meningkatkan ibadah kepada Tuhan. Aboe Bakar Atjeh mengemukakan lima prinsip yang merupakan pokok ajaran semua tare>kat, yaitu:
1. Mempelajari Ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan pelaksanaan semua perintah agama.
2. Mendampingi guru-guru dan teman-teman setare>kat untuk mempelajari cara cara melaksanakan ibadah sebaik baiknya.
3. Meninggalkan rukhsah dan ta’wil untuk menjaga kesempurnaan amal.
4. Menjaga dan menggunakan waktu dan mengisinya dengan wirid dan doa guna mempertebal khusu’
5. Mengekang diri, tidak menuruti hawa nafsu.
Ciri khas tare>kat adalah berdzikir kepada Allah. Tujuan zikir dalam Tare>kat tidak hanya untuk mencapai ketentraman hati sebagaimana yang tertera dalam surat ar Ra’d ayat 28

الذبنءامنواوتطمئن قلوبهم بذكرالله ءالابذكرالله تطمئن القلوب

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

tetapi juga untuk mencapai pengalaman rohani yang berupa penyaksian terhadap Tuhan dengan hati sanubari. Akan tetapi, betapapun seseorang tidak mendapatkan pengalaman rohani tersebut, setidaknya ia akan mendapatkan ketenangan hati. Salah satu cara untuk mendapatkan pengalaman rohani adalah Muraqabah (Menghadirkan tuhan ke dalam hati sanubari) dan muraqabah dalam berdzikir berupa kalimat yang berbunyi Allah Hadiri, Allah Nisiri, Allah Ma’i (Allah di hadapan saya, Allah adalah penolong saya, Allah Bersama saya). Dan selain dzikir ini ditempuh pula aturan tentang cara duduk, pengaturan nafas dan ketentuan mengenai jenis bacaan dan jumlahnya.
Terkait dengan tare>kat ini, Ibnu Taimiyah sangat menentang ibadah dalam tare>kat yang tidak mempunyai dasar dalam al Qur’an atau Sunnah. Salah satu kritikannya ditujukan pada praktek dzikir yang diucapkan dengan ism mufrad yaitu dzikir dengan mengucapkan perkataan ”HU” (Dia), ”La Huwa illa Hu” (Tidak ada Dia-Tuhan- selain Dia), ”Ya Man Huwa Illa Hu” (wahai Tuhan, yang tiada Dia kecuali Dia) dan lain sebagainya.
dzikir dengan isim mufrod, menurut ibnu Taimiyah, merupakan dzikir bid’ah (perbuatan yang tidak mempunyai dasar dalam Islam), menurut Ibnu Taimiyah isim mufrod baik berupa muzhar yaitu perkataan Allah maupun dalam bentuk mudmar yaitu perkataan Huawa atau Hu tidak memberikan pengertian yang sempurna. Disamping itu dzikir dengan ism mufrod adalah perbuatan yang tidak pernah di lakukan oleh Rasulullah maupun generasi salaf
Menurut Ibnu Taimiyah dzikir yang sesuai dengan syari’ah adalah dzikir dengan kalimat yang sempurna. Pendapat tersebut berdasarkan pada sabda Nabi

افضل ا لذكرلااله الاالله وافضل الدعاءالحمد لله
artinya: sebaik baik dzikir adalah lailaha illah dan sebaik-baik do’ak adalah alhamdulillah.
sebagai tokoh pemikiran salaf, Ibnu Taimiyah memegag teguh perinsip bahwa ibadah yang benar adalah ibadah yang diajarkan oleh Nabi dan selain apa yang diajarkannya adalah bid’ah dalam Agama. Ia mengatakan pula bahwa penyucian hati haruslah disertai dengan taqwa yaitu ” mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangannya”.
Dari sini dapat di tarik kesimpulan bahwa Ibnu Taimiyah sebenarnya tidak menentang jalan penyucian hati yang di tempuh oleh kaum sufi, apabila jalan itu mempunyai dasar dalam ajaran Islam. ia juga mengiginkan agar peraktek-peraktek ibadah yang dilakukan oleh penganut ajaran-ajaran tare>kat di kembalikan kepada ajaran al Qur’an dan as Sunnah, seperti apa adanya dan tidak di tambah-tambahi.











KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa ibnu Taimiyah adalah seorang tokoh yang konsisten dalam upaya purifikasi (pemurnian Agama). Beliau menginginkan bahwa segala sesuatu atau perbuatan harus dikembalikan kepada al Qur’an, Sunnah dan amalan generasi salaf. Ide sentral ini kemudian seolah menjadi ruh pada setiap pendapat pendapatnya, salah satunya tentang tasawuf dan tare>kat. Tentang Tasawuf, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa aktifitas pencarian kebenaran itu menjadi absah apabila tidak menyimpang dari apa yang telah menjadi ketetapan Allah yaitu Syariat Islam. Seseorang dengan tingkatan pengalaman rohani yang tinggi tetapi tidak melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang Muslim, oleh Ibnu taimiyah dianggap sebagai pribadi yang menyimpang dalam agama. begitu juga dalam tare>kat, Dzikir, yang menjadi aktivitas utama dalam tare>kat ini haruslah dzikir yang telah dicontohkan oleh nabi dan generasi salaf, jika tidak demikian, Ibnu taimiyah menamakannya sebagai perbuatan Bid’ah.
Ibnu Taimiyah mengaggap segala sesuatu bentuk tare>kat kalau itu jauh dari apa yang telah di lakukan oleh Nabi saw. Maka Ibnu Taimiyah tidak segan mengatakan bahwa itu perbuatan yang menyimpang, serta beliau melarang keras melakukan tare>kat semacam itu.
Kunci ibadah menurut Ibnu Taimiyah adalah Alqur’an dan Hadi>th, selain dari itu Ibnu Taimiyah tidak memakainya sebagi Hujjah ato hukum.
Bahwa pemikiran Ibnu Taimiyah pada dasarnya berusaha mengembalikan arus pemikiran Islam yang sudah terdiferensiasi ke dalam beberapa jalur yang saling bertolakbelakang, mulai dari pemikiran ibadah-ibadah, Falsafah, Fiqh maupun Sufisme. Momentum pemunculan pemikirannya itu memang bertepatan dengan fenomena sosial dan politik dunia Islam abad keempatbelas yang suram.
Ibnu Taimiyah adalah seorang Neo-Sufisme, dengan cara mengembalikan Sufisme ke dalam pangkuan Tauhid, dengan konsep-konsep salaf seperti Ibadah, iman,ahlak.
Meskipun Ibnu Taimiyah tidak membawa gerakan besar, tetapi pengaruhnya cukup luas, bukan hanya di jazirah Arab, tetapi sampai ke negara-negara lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar