AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN
by sariono sby
PENDAHULUAN
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagaai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi dan lain sebagainya. Simgkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti yang terjadi di Bali 6 tahun yang lalu dan menciptakan senjata kuman yang dipakai sebagai alat untuk mrmbunuh sesama manusia. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yaang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari ilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuwan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwan harus “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan aksiologi, di bawah ini diuraikan beberapa definisi tentang aksiologi, diantaranya :
1. Aksiologi berasal dari kata Yunani: axion (nilai) dan logos (teori), yang berarti teori tentang nilai.
2. Aksiologi dapat diartikan sebagai teori mengenai sesuatu yang bernilai. Salah satu yang mendapat perhatian adalah masalah etika/kesusilaan. Dalam etika, obyek materialnya adalah perilaku manusia yang dilakukan secara sadar. Sedangkan obyek formalnya adalah pengertian mengenai baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral dari suatu perilaku manusia.
3. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer
bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
4. Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian, yaitu :
a. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika.
b. Esthetic Expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan Keindahan
c. Sosio Political Life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.
5. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan Value and Valuation. Ada tiga bentuk Value and Valuation.
a. Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian
yang lebih sempit seperti, baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas, merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra sebagai lawan dari suatu yang lain dan ia berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika. Lewis menyebutkan sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai instrumental atau menjadi baik atau sesuatu yang menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan seperti estetis dari sebuah karya seni, sebagai nilai intrinsik atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai nilai kontributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi.
b. Nilai sebuah kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia dan system nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c. Nilai juga dikatakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.
B. NILAI ILMU DAN MORAL
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan
jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, yaitu:
1. Etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian
terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Seperti ungkapan “saya pernah belajar etika”.
2. Merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia yang lain.seperti ungkapan “ia bersifat etis atau ia seorang yang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila”.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan
bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimilki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya, atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimilki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Misalnya, seorang melihat matahari yang sedang terbenam di sore hari. Akibat yang dimunculkannya adalah menimbulkan rasa senang karena melihat betapa indahnya matahari terbenam itu. Ini merupakan nilai yang subjektif dari seseorang dengan orang lain akan memiliki kulitas yang berbeda.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memilki kadar secara realitas benar-benar ada. Misalnya, kebenaran tidak tergantung pada pendapat individu, melainkan pada objektivitas fakta, kebenaran tidak diperkuat atau diperlemah oleh prosedur-prosedur. Demikian juga dengan nilai. Orang yang berselera rendah tidak mengurangi keindahan sebuah karya seni.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingii matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan dalam ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan dipihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran –ajaran diluar bidang keilmuwan diantaranya agama.
Dalam kurun ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan: Ilmu yang Bebas Nilai!
Dihadapkan dengan masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat, yaitu:
1. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus berifat netral terhadap
Nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis.
Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongaan ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era Galileo.
2. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaanya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral.
Golongan kedua mendasarkan pendapatnyaa pada beberapa hal, yakni:
a. Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuwan.
b. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makim esoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan.
c. Ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan sosial.
Berdasarkan ketiga hal di atas, maka golongaan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Etika keilmuwan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsipetis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuwan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk ke dalam perilaku kailmuwannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang mempertanggungjawabkan perilaku ilmiahnya.
Etika normatif menetapakan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Nlai dan norma yang harus berada pada etika keilmuwan adalah nilai dan norma moral. Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Penetapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa teknologi, maupun teori-teori emansipasi masyarakat dan sebagainya itu, mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat dan sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya.
Di tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan harus tampil ke depan. Pengetahuan yang dimilkinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.
Kemudian bagaimana solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai? Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan “melulu” pada praxis, pada kemudahan-kemudahan material duniawi. Solusi yang diberikan oleh al-Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehimgga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sstra untuk sastra dan lain sebagainya. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi.
KESIMPULAN
1. Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemasalahatan manusia, atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan
2. Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannya itu adalah bangsa nya sendiri.
3. Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari ilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuwan serta masalah bebas nilai.
4. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.
5. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
6. Etika menilai perbuatan manusia, Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimilki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
7. Nlai dan norma yang harus berada pada etika keilmuwan adalah nilai dan norma moral.
8. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
http://referensiagama.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar