Selasa, 08 Februari 2011

sekilas tentang TAFSIR MUQADDIMAH FI USUL AT-TAFSIR KARYA IBU TAIMIYAH


sekilas tentang
TAFSIR MUQADDIMAH FI USUL AT-TAFSIR
KARYA IBU TAIMIYAH
by sariono sby
posted, http://referensiagama.blogspot.com.


I. PENDAHULUAN
Penafsiran al-Quran memerlukan metodologi. Tanpa metodologi tafsir, upaya penafsiran al-Quran akan berjalan tanpa kaidah dan lebih bersifat arbitrer, alias suka-suka tanpa alasan rasional.

Di sinilah urgensi metodologi tafsir, atau istilah teknisnya ushul at-tafsir, yang didefinisikan sebagai sekumpulan kaidah (qawâ’id) atau dasar (asas) yang wajib digunakan oleh mufassir untuk menafsirkan al-Quran secara benar.

II. BIOGRAFI PENGARANG
NAMA DAN NASAB

Beliau adalah imam, Qudwah, 'Alim, Zahid dan Da'i ila Allah, baik dengan kata,
tindakan, kesabaran maupun jihadnya; Syaikhul Islam, Mufti Anam, pembela
dinullah daan penghidup sunah Rasul shalallahu'alaihi wa sallam yang telah
dimatikan oleh banyak orang, Ahmad bin Abdis Salam bin Abdillah bin Al-Khidhir
bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy Al-Harrany Ad-Dimasyqy. Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah
(Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiu'ul Awal tahun 661H.

Beliau berhijrah ke Damasyq (Damsyik) bersama orang tua dan keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinyaa. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan-pun pada mereka.

Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga hampir
saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka
ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah Ta'ala. Akhirnya mereka
bersama kitab-kitabnya dapat selamat.


PERTUMBUHAN DAN GHIRAHNYA KEPADA ILMU

Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu
tiba di Damsyik beliau segera menghafalkan Al-Qur'an dan mencari berbagai
cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu.
Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang.

Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu
Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab.

Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa
kali, kemudian kitabu-Sittah dan Mu'jam At-Thabarani Al-Kabir.

Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama besar dari
Halab (suatu kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.

Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama, mempunyai
kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang
bermanfaat. Beliau infakkan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar,
menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah Rasul-Nya SAW.

Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh
berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Beliau pernah berkata: Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.

Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi tokoh fuqaha' dan ilmu serta dinnya telah mencapai tataran tertinggi.

PUJIAN ULAMA

Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib AD-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu Taimiyah, berkata: Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya: Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam ulama lain.

Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu
Taimiyah .... dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap
kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu'alaihi wa sallam serta lebih ittiba'
dibandingkan beliau.

Al-Qadhi Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: Setelah aku berkumpul
dengannya, kulihat beliau adalah seseorang yang semua ilmu ada di depan
matanya, kapan saja beliau menginginkannya, beliau tinggal mengambilnya,
terserah beliau. Dan aku pernah berkata kepadanya: Aku tidak pernah menyangka
akan tercipta manusia seperti anda.

Al-Qadli Ibnu Al-Hariry mengatakan: Kalau Ibnu Taimiyah bukah Syaikhul Islam,
lalu siapa dia ini ?

Syaikh Ahli nahwu, Abu Hayyan An-Nahwi, setelah beliau berkumpul dengan Ibnu Taimiyah berkata: Belum pernah sepasang mataku melihat orang seperti dia .... Kemudian melalui bait-bait syairnya, beliau banyak memberikan pujian kepadanya.

Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni dalam
tafsir, aqidah, hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan
Islam lainnya, hingga beliau melampaui kemampuan para ulama zamannya.
Al-'Allamah Kamaluddin bin Az-Zamlakany (wafat th. 727 H) pernah berkata:
Apakah ia ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka siapa pun yang mendengar atau
melihat (jawabannya) akan menyangka bahwa dia seolah-olah hanya membidangi
ilmu itu, orang pun akan yakin bahwa tidak ada seorangpun yang bisa
menandinginya. Para Fuqaha dari berbagai kalangan, jika duduk bersamanya pasti
mereka akan mengambil pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang sebelumnya belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa dipatahkan hujahnya. Beliau tidak pernah berkata tentang suatu cabang ilmu, baik ilmu syariat atau ilmu lain, melainkan dari masing-masing ahli ilmu itu
pasti terhenyak. Beliau mempunyai goresan tinta indah, ungkapan-ungkapan,
susunan, pembagian kata dan penjelasannya sangat bagus dalam penyusunan
buku-buku.

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga berkata: Dia adalah
lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat pemahamannya terhadap Al-Kitab was-Sunnah serta perbedaan pendapat, dan lautan dalil naqli. Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya baik dalam hal ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma'ruf, nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun dan amat menguasai hadits dan fiqh.

Pada umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap mengajar dan berfatwa, amat
menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-ilmu lain, baik
pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan ketelitiannya. Pada sisi
lain Adz-Dzahabi mengatakan: Dia mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu wat Ta'dil, Thabaqah- Thabaqah sanad,
pengetahuan ilmu-ilmu hadits antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits
yang menyendiri padanya .. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang bisa
menyamai atau mendekati tingkatannya .. Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa:
Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah hadist.

Demikian antara lain beberapa pujian ulama terhadap beliau.

DA'I, MUJAHID, PEMBASMI BID'AH DAN PEMUSNAH MUSUH

Sejarah telah mencatat bahwa bukan saja Ibnu Taimiyah sebagai da'i yang tabah,
liat, wara', zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang pemberani yang
ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari
kedzaliman musuh dengan pedangnya, seperti halnya beliau adalah pembela aqidah
umat dengan lidah dan penanya.

Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat Islam
untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan
sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah pertempuran.
Sampai ada salah seorang amir yang mempunyai diin yang baik dan benar,
memberikan kesaksiannya: ...tiba-tiba (ditengah kancah pertempuran) terlihat
dia bersama saudaranya berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan
memberikan peringatan keras supaya tidak lari... Akhirnya dengan izin Allah
Ta'ala, pasukan Tartar berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri Syam,
Palestina, Mesir dan Hijaz.

Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam mengajak
kepada al-haq, akhirnya justru membakar kedengkian serta kebencian para
penguasa, para ulama dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Kaum
munafiqun dan kaum lacut kemudian meniupkan racun-racun fitnah hingga
beliau harus mengalami berbagai tekanan di pejara, dibuang, diasingkan dan
disiksa.

WAFATNYA
Beliau wafatnya di dalam penjara Qal'ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang
muridnya yang menonjol, Al-'Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah.

Beliau berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari,
mengalami sakit dua puluh hari lebih. Selama dalam penjara beliau selalu
beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur'an. Dikisahkan, dalam tiap
harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula beliau sempat menghatamkan Al-Qur'an
delapan puluh atau delapan puluh satu kali.

Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami'Bani Umayah sesudah shalat Zhuhur.
Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan jenazahnya,
termasuk para Umara', Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota Dimasyq
menjadi libur total hari itu. Bahkan semua penduduk Dimasyq (Damaskus) tua,
muda, laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergian beliau.

Seorang saksi mata pernah berkata: Menurut yang aku ketahui tidak ada seorang
pun yang ketinggalan, kecuali tiga orang musuh utamanya. Ketiga orang ini pergi
menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa. Bahkan menurut ahli sejarah,
belum pernah terjadi jenazah yang dishalatkan serta dihormati oleh orang
sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad bin Hambal.

Beliau wafat pada tanggal 20 Dzul Hijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada waktu
Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin.

III.METODOLOGI DAN SISTEMATIKA PENULISAN

Pokok-Pokok Metodologi TafsirMetodologi tafsir secara garis besar tidak keluar dari lingkup metodologi tafsir Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Metodologi tafsir beliau dapat diringkas dalam pokok-pokok berikut:
1. Menjadikan bahasa Arab penafsir al-Quran.
Prosedur pemaknaan al-Quran dengan bahasa Arab adalah sebagai berikut:
a) Suatu ayat hendaknya lebih dulu ditafsirkan menurut haqîqah syar’iyyah, yaitu makna hakiki menurut syariah. Misalkan kata shalat (QS al-Baqarah [2]: 34) harus ditafsirkan secara syar’i sebagai shalat yang dicontohkan Rasulullah saw. meski makna asal shalat secara bahasa adalah ad-du’â (doa).
b) Jika tidak ada makna syar’i-nya, hendaklah ayat ditafsirkan menurut haqîqah ‘urfiyah, yaitu makna hakiki menurut kebiasan orang Arab berbicara. Jika makna haqîqah ‘urfiyah juga tak ada, maka ayat ditafsirkan menurut haqiqah lughawiyah, yaitu makna hakiki sebagai makna asal bahasa.
c) Jika suatu ayat tidak dapat ditafsirkan dalam ketiga makna hakikinya mengikuti tertib di atas, ia diartikan menurut makna majazinya. Makna majazi adalah makna sekunder, setelah makna primernya (yaitu makna hakiki) tidak dapat digunakan dalam pengertian aslinya. Misal kata wajh[un] dalam ayat yang berbunyi wa yabqa wajhu rabbika (QS ar-Rahman [55]: 27). Kata wajh[un] tidaklah tepat jika diartikan dalam makna hakikinya (wajah): Tetap kekal wajah Tuhanmu.” Sebab, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah. (QS asy-Syura [42]: 11). Karena itu, kata wajah itu hendak-lah dialihkan menuju makna majazinya, yaitu zat, sehingga makna ayat menjadi: Tetap kekal Zat Tuhanmu (hlm. 27-28).
d) Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan mengetahui isytiqâq, yaitu proses derivasi berbagai kata yang berasal dari sebuah akar kata. Misalkan kata rahmah, rahîm dan rahmân, yang berasal dari kata rahima. Proses isytiqâq menurut wazan (pola baku pembentukan kata) dalam bahasa Arab meski melahirkan banyak kata, namun memiliki makna umum yang sama. Misalnya kata rahmân (QS al-Isra’ [17]: 110), artinya adalah kasih sayang yang banyak (katsîr ar-rahmah), yang masih satu makna secara umum dengan akar katanya, yakni rahima (mengasihi/menyayangi) (hlm. 33).
e) Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan mengetahui ta’rîb, yaitu proses arabisasi suatu kata yang berasal dari bahasa non-Arab sesuai dengan wazan bahasa Arab. Misalkan kata sundus dan istabraq (QS al-Insan [76]: 21) yang berasal dari bahasa Nabatean (an-nabathiyah). Kedua kata itu dapat diberi makna oleh orang Arab mengikuti makna aslinya dari bahasa yang non-Arab, yaitu sundus berarti sutra halus; sedangkan istabraq berarti sutra kasar

2. Menjadikan Akal Penafsir al-Quran dalam batas kemampuannya.
Akal hanya dapat berfungsi jika obyek yang dipikirkan adalah fakta yang dapat diindera. Jika yang dipikirkan bukan fakta yang dapat diindera.
Karena itu, perkara-perkara gaib tidak dapat dibahas menggunakan akal, melainkan harus menggunakan sarana lain, yaitu dalil naqli (berita yang dinukil dari al-Quran dan as-Sunnah). Contoh: kata kalâmullâh (QS at-Taubah [9]: 6). Allah sendiri telah menyebut bahwa al-Quran adalah kalamullah. Dalam hal ini, tidak perlu dibahas lagi mengenai kayfiyah (bagaimana) caranya Allah ber-kalam (berfirman) itu.

3. Menjadikan muhkam hakim untuk mutasyâbih.
Muhkam artinya ayat yang hanya memiliki satu makna. Mutasyâbih adalah ayat yang mengandung makna lebih dari satu. Muhkam adalah induk al-Quran atau makna asal yang wajib menjadi rujukan (QS Ali ‘Imran [3]: 7). Karena itu, muhkam menjadi hakim (penentu) makna mutasyâbih (hlm.28-29). Contoh mutasyâbih adalah kata wajh[un] (QS ar-Rahman [55]: 27). Kata ini tidak dapat diartikan “wajah tetapi tak seperti wajah kita”. Sebab, pemaknaan ini masih tetap mengikuti arti hakikinya, yakni wajah. Padahal akidah Islam tidak membolehkan adanya tasybîh (penyerupaan) Allah dengan makhluk-Nya. Jadi, kata wajh[un] yang mutasyâbih (QS ar-Rahman [55]: 27) ini wajib dipalingkan ke arah makna majazinya, karena ada ayat muhkam (QS asy-Syura [42]: 11) sebagai hakim yang tidak membenarkan makna hakikinya, yakni firman Allah yang muhkam:
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya (QS asy-Syura [42]: 11).

4. Memperhatikan hubungan ayat sebelumnya dengan sesudahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar