AL FARABI:
(BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FILSAFATNYA)
(BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FILSAFATNYA)
by sariono sby
PENDAHULUAN
Al-Farabi dikenal sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun. Ia terkenal dengan sebutan Guru kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya Aristoteles. Ia termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”. Ia mempunyai kapasitas ilmu logika yang memadai.
Beberapa potongan riwayat hidup al-Farabi yang terselamatkan sekaligus memenuhi hasrat intelektualnya. Kita juga mengenal beberapa guru dekatnya di bidang logika dan filsafat yang membentuk jalinan mata rantai panjang dalam transmisi ajaran filosofis dari orang Athena sejak zaman Aristoteles hingga orang Baghdad pada zamannya sendiri.
Untuk melengkapi sumber-sumber ini terdapat sejumlah kisah kehidupan al-Farabi yang ditulis para sarjana modern. Para peneliti ini, dalam upaya mendapatkan pemahaman lebih baik tentang berbagai sisi kehidupan, gagasan dan ajaran al-Farabi, telah melacak mulai dari awal paruh kedua abad kesembilan guna memperbaiki biografi-biografi tradisional ini dengan menguraikan kontradiksi tertentu yang terdapat di antara bahan-bahan itu. Mereka juga melengkapinya dengan data dan sumber informasi baru.
PEMBAHASAN
1. RIWAYAT HIDUP
Berbeda dengan kehidupan beberapa filosof besar islam yang berpengaruh dan memiliki pengaruh besar di dunia Islam dan Barat Latin, seperti Ibn Sina (370-429 H / 980-1037 M), latar belakang keluarga atau kehidupan awal, pelatihan dan pendidikan al-Farabi sangat sedikit yang diketahui dengan pasti. Bahkan berkenaan dengan kehidupannya setelah itu, terdapat banyak episode yang hingga saat ini tidak diketahui dengan pasti. Meskipun al-Farabi mempunyai beberapa murid dekat,6 dia tidak pernah mendiktekan otobografinya kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana yang dilakukan Ibn Sina kepada murid kesayangannya, al Juzjani. Juga tidak seperti Ibn Khaldun, al-Farabi tidak mau menulis otobiografinya sendiri. Namun sesungguhnya, karyanya yang hilang kitab fi zhuhur al-falsafah (Kitab tentang Kemunculan Filsafat).7
___________________________________
6 Beberapa sumber tradisional menyebutkan bahwa al-Farabi mempunyai sejumlah
Murid, misalnya, Ibn Khallikaan, kitab wafayat al-a’yan; Ibn Abi Usaibi’ah, ‘Uyun
al-anba fi thabaqat al-athibba
7 Judul yang diberikan oleh Ibn Abi Usaibi’ah, yang merupakan sarjana pertama yang
menyinggungnya.
Sebutan Al Farabi diambil dari Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad Ibn Tharkhan ibn Auzalagh al Farabi, dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nashr, wakil terkemuka kedua dari mazhab filosof-ilmuwan Paripatetik (masysya’i) Muslim setelah al-Kindi. Dia dilahirkan di Wasij, sebuah dusun kecil di distrik kota Farab, provinsi Transoxiana, Turkestan sekitar tahun 257 H/890 M. tempat kelahiran al Farabi tidak termasuk dar al islam hingga sekitar tiga dasawarsa sebelum kelahirannya. Saat itu distrik Isbijab tempat Farab terletak, ditaklukkan dan diislamkan oleh Nuh Ibn Asad, salah satu anggota keluarga Samaniyah, pada tahun 225 H/839-840M.8. Ini berarti kemungkinan besar kakek al-Farabi termasuk muallaf (orang yang baru masuk Islam).
Meskipun dalam sumber-sumber tertentu ayahnya disebutkan keturunan bangsawan Persia, namun keluarga al-Farabi dianggap sebagai orang Turki. Bukan hanya karena mereka berbicara dalam bahasa Sogdia atau sebuah dialek Turki, tetapi karena gaya hidup dan kebiasaan kultural mereka mirip orang Turki. Bahwa al-Farabi mestinya-paling tidak-berasal dari keluarga terhormat, kalau bukan dari keluarga yang kaya, juga ditegaskan oleh D.M.Dunlop.9
_______________________
8 Mahdi , Muhsin, “Al Farabi”, Dictionary of Scientic Biography, ed.C.C.Oillispie, New
York, 197, hlm 523
9 D.M. Dunlop, Arab Civilization up to 1500 A, D, Beirut London, 1971 hlm. 184
Pendapat ini didasarkan atas pertimbangannya tentang nama kakek al Farabi, Tharkhan yang dalam bahasa Turki bukan hanya menunjukkan nama seorang pejabat militer tetapi juga berkaitan dengan keistimewaan-keistimewaan dan hak-hak feodal tertentu.
Jika memang demikian, maka tradisi keluarga dengan karir militer menonjol yang agaknya baru saja ditegakkan, dilanggar ketika al Farabi yang berbakat intelektual menyebal dari tradisi itu dan memilih kehidupan ilmiah. Sebagaimana dipaparkan oleh Ibn Abi Usaibi’ah, ayah al Farabi ternyata juga seorang pejabat militer (aa’ib jaisy).10
Kemungkinan besar ayah al-Farabi berdinas dalam ketentaraan Pemerintahan dinasti Samaniyah yang menguasai sebagian besar wilayah Transoxiana. Sejak 260/874 seluruh kawasan itu menjadi propinsi otonom di dalam kekhalifaahan ‘Abbasiyah. Tentu saja tidak ada alasan yang memaksa kita untuk lebih condong pada pendapat Walzer bahwa ayah al-Farabi mungkin merupakan anggota pengawal khalifah berkebangsaan Turki. Ini berarti al-Farabi berada di Baghdad lebih awal.11
Karena hal ini, dia, memisahkan dirinya dari filosof-filosof islam abad pertengahan lainnya.
________________________
10 Ibn Abi Usaibi’ah, ‘Uyun, hlm. 603 (cf. Mahfuzh, hlm.98)
11 R. Walzer, al-Farabi,”Encyclopaedia of Islam, ed. Ke-2, hlm. 778
Tak seperti Ibn Sina, ayah Ibn Sina bekerja dalam birokrasi Samaniyyah atau al Kindi, ayahnya adalah gubernur Kufah.. Al Farabi tidak termasuk dalam kelas katib, suatu kelas yang memainkan peranan administrative yang besar bagi penguasa-penguasa Abbasiyah beserta satelit-satelit mereka.
Dalam catatan Ibn Khallikan, al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab.12 sedangkan menurut Ibn Abi Usaibi’ah berdasarkan laporan Abu’l Hasan Al Amidi, Damaskuslah tempat al Farabi dibesarkan.13
2. PENDIDIKAN AL-FARABI
Al Farabi belajar ilmu-ilmu Islam di Bukhara. Sebelum diciptakan sistem madrasah di bawah Seljuq, menuntut ilmu berlangsung di lingkungan-lingkungn pengajaran yang diadakan oleh berbabggai individu, baik dirumah mereka maupun di masjid. Selain itu berbagai individu maupun berbagai istana di seluruh empirium yang mempunyai perpustakaan besar. Perpustakaan-perpustakaan ini menyambut hangat para pakar yang hendak melakukan studi.
Ada dikotomi tertentu antara ilmu-ilmu Islam seperti tafsir, hadist, fiqih serta ushul ( prinsip-prinsip dan sumber-sumber agama ) dan studi
_______________________
12 Ibn Khallikan, op.cit, hlm.307
13 Ibn Abi Usaibi’ah, op. cit., hlm. 603
tambahannya seperti studi bahasa Arab dan kesusastraan dan apa yang disebut ilmu-ilmu asing, yaitu ilmu-ilmu Yunani yang memasuki dunia Islam melalui penerjemahan oleh orang-orang Kristen Nestorian seperti Hunain Ibn Ishaq (w. 873 M) dan mazhabnya. Lembaga pendidikan pada awalnya bersifat tradisional, yang mendapatkan dukungan finansial dari wakaf, sedangkan ilmu-ilmu rasional biasanya diajarkan dirumah atau Dar Al-Ilm.14 Dengan demikian disimpulkan di Farablah, yang penduduknya sebagian besar pengikut mazhab fiqih Syafi’iyah, al Farabi menerima pendidikan dasarnya.
Apa yang dipelajari al Farabi pada tingkat dasar, baik di bawah bimbingan guru privat di rumah atau dalam pertemuan-pertemuan formal di masjid, tidak jauh berbeda dari kurikulum tradisional diberikan kepada setiap anak muslim sebayanya pada masa itu. Tentu saja, basisnya adalah al Qur’an.
Selain menerima pengajaran al Qur’an, al Farabi mestinya juga telah mempelajari tata bahasa. Kesusatraan, ilmu-ilmu agama (khususnya fiqih, tafsir dan ilmu hadis) dan aritmetika dasar.
Setelah mendapatkan pendidikan awal al-Farabi kemudian pergi ke Marw. Di Marw inilah al-Farabi belajar ilmu logika kepada orang Kristen Nestorian yang berbahasa Suryani yaitu Yuhana ibn Hailan.
_____________________________
14 Makdisi, George, The Rise Of Colleges : Institution of learning in Islam and the west,
Edinburgh: 1981,h.79
Pada masa kekhalifahan al-Mu’tadid (892-902 M), baik Yuhana Ibn Hailan maupun al Farabi pergi ke Baghdad. Al Farabi unggul dalam ilmu logika, selanjutnya dia banyak memberikan sumbangsihnya dalam penempatan sebuah bahasa filsafat baru dalam bahasa Arab, meskipun menyadari perbedaan antara tata bahasa Yunani dan Arab.
3. KARIER AL FARABI
Antara 910 dan 920, al Farabi kembali ke Baghdad untuk mengajar dan menulis, reputasinya sedemikian rupa sehingga dia mampu mencapai ahli ilmu mantiq (logika), ia kemudian mendapat sebutan sebagai al-Mu’allim al-Tsani (guru kedua). Maksudnya ia adalah orang yang pertama kali memasukkan ilmu logika ke dalam kebudayaan Arab, dan dialah filosof muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif . Keahlian ini rupanya sama yang dialami oleh Aristoteles sebagai Guru pertama. Ia (Aristoteles) orang pertama yang menemukan ilmu logika.
Murid-murid al-Farabi sendiri yang disebutkan namanya hanyalah
teolog sekaligus filosof Jacobite15 Yahya ibn ‘Adi (w.975) dan saudara
Yahya yaitu Ibrahim. Yahya sendiri menjadi guru logika terkemuka:
__________________________
15 Rescher, Nicholas, Studies in the History of Arabic Logic, Pittsburgh, 1963, h.15.
“sebenarnya separo jumlah ahli logika Arab pada abad kesepuluh adalah muridnya.”16
Pada tahun 942 M situasi di ibu kota dengan cepat semakin buruk karena adanya pemberontakan yang dipimpin seorang mantan kolektor pajak al Baridi, kelaparan dan wabah merajalela. Khallifah al Muttaqi
sendiri meninggalkan Baghdad untuk berlindung di istana pangeran Hamdaniyyh, Hasan (yang kemudian mendapat sebutan kehormatan Nashr al Daulah) di Mosul. Saudara Nashir, Ali bertemu khalifah di Tarkit. Ali memberi khalifah makanan dan uang agar khalifah dapat sampai ke Mosul. Kedua saudara Hamdaniyyah ini kemudian kembali bersama khalifah ke Baghdad untuk mengatasi pemberontakan. Sebagai rasa terima kasih khalifah menganugerahi Ali gelar Saif al Daulah.
Farabi sendiri merasa akan lebih baik pergi ke Suriah. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah dan al Qifti, al Farabi pergi ke Suriah pada tahun 942 M. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah di Damaskus, al Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang kebun dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat dengan memakai lampu jaga. Al Farabi terkenal sangat shaleh dan zuhud.
Al Farabi tidak begitu memperhatikan hal-hal dunia. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah, al Farabi membawa manuskripnya yang berjudul Al Madinah Al Fadhilah, manuskripnya ini mulai ditulisnya di Bahdad ke
__________________________
16 Galston, Miriam, Politic and Exellence: The Politic Philosophy of al-Farabi, Printon:
1990, h.15, catatan 15.
Damaskus. Di Damaskus inilah manuskripnya tersebut diselesaikan pada tahun 942/3 M.
Sekitar masa inilah al Farabi setidak-tidaknya melakukan suatu perjalanan ke Mesir (Ibn Usaibi’ah menyebutkan tanggalnya yaitu 338 H, setahun sebelum al Farabi wafat) yang pada saat itu diperintah oleh Ikhsyidiyyah. Ikhsyidiyyah ini semula dibentuk oleh opsir-opsir tentara Farghanah di Asia Tengah. Menurut Ibn Khallikan di Mesir inilah al Farabi menyelesaikan Siyasah Al Madaniyyah yang dimulai ditulisnya di Baghdad.
Setelah meninggalkan Mesir al Farabi bergabung dengan lingkungan cemerlang filosof, penyair, dan sebagainya yang berada disekitar pangeran Hamdaniyyah yang bernama Saif Al Daulah. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah disinilah al Farabi mendapatkan gaji kecil yaitu empat dirham perak sehari.
Al Farabi wafat di Damaskus pada tahun 950 M, usianya pada saat itu sekitar 80 tahun.
4. KARYA-KARYA AL FARABI
Karya al Farabi tersebar di setiap cabang ilmu pengetahuan yang dikenal dunia pada abad pertengahan, dengan pengecualian khusus pada ilmu kedokteran.
Karya al Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih kalah jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek berbentuk risalah dan sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam pembicaraannya.
Sebagian karangan al Farabi masih diketemukan dibeberapa perpustakaan, sehingga di dunia Islam dapat mengenang dan mengabadikan namanya. Ciri khas tertentu yang ada pada pada karangannya adalah bukan saja mengarang kitab besar atau makalah-makalah namun jug memberi ulasan-ulasan dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al Fraudismy dan Plotinus.
Selama di Baghdad waktunya dihabiskan untuk mengajar dan menulis. Hasil karyanya diantara buku tentang ilmu logika, ilmu fisika, ilmu jiwa,, metafisika, kimia, ilmu politik, music dll. Tapi kebanyakan karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab telah hilang dari peredaran. Sekarang yang masih tersisa diperkirakan hanya sekitar 30 buah.
Karya-karya nyata dari al Farabi adalah :
1. Al Jami’u Baina Ra’yai Al Hakimain Al Falatoni Al Hahiy wa Aristhotails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles)
2. Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan)
3. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan)
4. Fususu Al Taram (hakikat kebenaran)
5. Arroo’u Ahli Al MAdinah Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan)
6. As Syiyasyah (ilmu politik)
7. Fi Ma’ani Al Aqli
8. Ihsho’u Al Ulum (kumpulan-kumpulan ilmu/statistik ilmu)
9. At Tangibu ala As Sa’adah
10. Ishbatu Al Mufaraqaat
11. Al Ta’liqat
12. Agrad al Kitab ma Ba’da Tabi’ah (intisari buku Metafisika)
13. ‘Uyun al Masa’il (pokok-pokok persoalan)
Ilmu tersebut yang mendapat perhatian besar oleh al Farabi adalah ilmu fiqih dan ilmu kalam. Sedangkan ilmu mantiq membahas delapan bagian yaitu :
1. Al Maqulaati Al Asyr (kategori)
2. Al Ibarat (ibarat)
3. Al Qiyas (analogi)
4. Al Burhan (argumentasi)
5. Al Mawadi Al Jadaliyah (the topics)
6. Al Hikmatu Mumawahan (sofistika)
7. Al Hithobah (ilmu pidato)
8. Al Syi’ir (Puisi)
5. FILSAFAT AL FARABI
Filsafat al Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aritoteles dan Neo Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syiah Imamiyah. Al Farabi berkeyakinan penuh bahwa antara agama dan filsafat tidak terdapat pertentangan karena sama-sama membawa kepada kebenaran. Namun demikian, ia tetap berhati-hati atau bahkan khawatir kalau-kalau filsafat itu membuat iman seseorang menjadi rusak, dan oleh Karena itu ia berpendapat seyogianya disamping dirumuskan dengan bahasa yang samar-samar, filsafat juga hendaknya jangan sampai bocor ke tangan orang awam.
Filsafat al-Farabi, antara lain akan diuraikan di bawah ini.
a. Filsafat Emanasi/Pancaran
Pemikiran filsafat al Farabi yang terkenal adalah penjelasannya
tentang emanasi (al Faidh), yaitu teori yang mengajarkan tentang proses urut-urutan kejadian suatu wujud yang mungkin (alam makhluk) dari zat yang wajib al wujud (Tuhan). Menurutnya, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Segala sesuatu, menurut al Farabi, keluar (memancar) dari Tuhan karena Tuhan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Ilmu Nya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahuiNya.
Bagaimana cara emanasi itu terjadi? Al Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu benar-benar Esa sama sekali, karena itu, yang keluar dari padaNya juga tentu harus satu wujud saja. Kalau yang keluar dari zat Tuhan itu terbilang, maka berarti zat Tuhan itupun berbilang pula. Menurut al Farabi dasar adanya emanasi ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal yang timbul dari Tuhan, terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan.
Dalam alam manusia sendiri, apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya.
Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama(الوجودالأوُل) dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (الوجوداالثانى) yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut akal pertama, First Intelligence (العقل الأوُل) yang tidak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga (الوجودالثالث)disebut Akal kedua, Second Intellegence (العقل الثانى).
Wujud Kedua atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbullah Langit Pertama (السماءالأولى) , First Heaven.
Wujud Ketiga/Akal Kedua
· Tuhan = Wujud Keempat/Akal Ketiga
· Dirinya = الكواكبالثابتة (bintang-bintang)
Wujud Keempat/Akal Ketiga
· Tuhan = Wujud Kelima/Akal Keempat
· Dirinya = كرةالزهل (Saturnus)
Wujud Kelima/Akal Keempat
· Tuhan = Wujud Keenam/Akal Kelima
· Dirinya = كرةالمشتوى (Jupiter)
Wujud Keenam/Akal Kelima
· Tuhan = Wujud Ketujuh/Akal Keenam
· Dirinya = كرةالمريخ (Mars)
Wujud Ketujuh/Akal Keenam
· Tuhan = Wujud Kedelapan/Akal Ketujuh
· Dirinya = كرةالشمس (Matahari)
Wujud Kedelapan/Akal Ketujuh
· Tuhan = Wujud Kesembilan/Akal Kedelapan
· Dirinya = كرةالزهرة (Venus)
Wujud Kesembilan/Akal Kedelapan
· Tuhan = Wujud Kesepuluh/Akal Kesembilan
· Dirinya = كرةالعطارد (Mercury)
Wujud Kesepuluh/Akal Kesembilan
· Tuhan = Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh
· Dirinya = كرةااقمر (Bulan)
Pada pemikiran Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akaal-akal. Tetapi dari akal kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api,udara, air dan tanah.
Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari Akal Kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya, yaitu :
1. Gerak (المحركة, motion)
§ Makan (الغاذية, nutrition)
§ Memelihara (المربية, preservation)
§ Berkembang (المولدة, reproduction)
2. Mengetahui (المدركة, cognition)
§ Merasa (الحاسة , sensation)
§ Imajinasi (المتخيلة , imagination)
3. Berpikir ( , intelection)
§ Akal praktis (العقل العملي , practical intellect)
§ Akal teoritis (العقل النظري , theoritical intllect)
b. Filsafat Kenabian
Selain filsafat emanasi, al Farabi juga terkenal dengan filsafat
kenabian dan filsafat politik kenegaraannya. Dalam hal filsafat
kenabian, al Farabi disebut sebagai filusuf pertama yang membahas
soal kenabian secara lengkap. Al Farabi berkesimpulan bahwa para nabi / rasul maupun para filusuf sama-sama dapat berkomunikasi dengan akal Fa’al, yakni akan ke sepuluh (malaikat. Perbedaannya, komunikasi nabi/rasul dengan akal kesepuluh terjadi melalui perantaraan imajinasi (al mutakhayyilah) yang sangat kuat, sedangkan para filusuf berkomunikasi dengan akal kesepuluh malalui akal Musfad, yaitu akal yang mempunyai kesanggupan dalam menangkap inspirasi dari akal kesepuluh yang ada diluar diri manusia.
Dalam hal filsafat kenegaraan, al Farabi membedakan menjadi lima macam :
1. Negara utama (al-madinah al-fadilah), yaitu Negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Menurut Negara terbaik adalah Negara yang dipimpin oleh rasul dan kemudian oleh para filusuf;
2. Negara orang-orang bodoh (al-madinah al-jahiliyah) yaitu Negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan;
3. Negara orang-orang fasiq (al-madinah al fasiqah), yakni Negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, Tuhan dan akal (Fa’alal-madinah al-fadilah), tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negeri yang bodoh; seperti penduduk utama.
4. Negara yang berubah-ubah (al-madinah al-mutabaddilah), ialah negara yang penduduknya semula mempunyai pikiran dan pendapat seperti yang dimiliki Negara utama, tetapi kemudian mengalami kerusakan;
5. Negara sesat (al-madinah ad-dallah), yaitu Negara yang penduduknya mempunyai konsepsi pemikiran tentang Tuhan dan akal Fa’al, tetapi kepala negaranya beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatnnya.
Mengenai etika kenegaraan, al Farabi mengemukakan suatu ide
bahwa dalam tiap keadaan ada unsur-unsur pertentangan. Hal ini dalam alam, yang kuat berarti lebih sempurna dari yang lemah. Dalam politik kenegaraan orang harus mengambil teladan dari naluri-naluri hewani itu. Sebab keadilan itu baru bisa dilaksanakan bila kita dalam kemenangan.
Dalam hal ini al Farabi memberi contoh tentang jual-beli atau perjanjian yang dibuat oleh manusia. Hal itu terjadi sebenarnya karena adanya faktor kelemahan secara individual pada masing-masing anggota yang bersangkutan. Akan tetapi, bila salah seorang yang mengadakan perjanjian itu menjadi lebih kuat, maka dia akan mengubah maksud perjanjian yang telah dibuatnya menurut interpretasi kemauannya sendiri.
Etika kenegaraan al Farabi ini ternyata sangat sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi dalam perkembangan sejarah Negara-negara sejak dahulu kala hingga dewasa ini.
Demikian sekilas soal al Farabi, semoga kita juga menjadi umat Islam yang bisa berpikir kritis dan cerdas. Semoga kita juga senantiasa berpandangan positif tentang filsafat karena sebenarnya para filosof adalah orang-orang bijak yang hidup sederhana dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencari kebenaran dan menebarkan cinta kasih pada sesama. Wallahua’lam bisshowaab……..
KESIMPULAN
1. Al Farabi adalah seorang filosof Muslim dalam arti yang sebenarnya. Ia telah menciptakan sistem filsafat yang relatip lengkap, dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat di dunia Islam. Ia menjadi anutan/guru dari filosof-filosof Islam sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
2. Al Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, justru sama-sama membawa kebenaran. Hal ini terbukti dengan karangannya yang berjudul Al Jami’Baina Ra’yani Al Hakimain dengan maksud mempertemukan pikiran-pikiran Plato dengan Aristoteles.
3. Al Farabi juga mempertemukan hasil-hasil pemikiran filsafat dengan wahyu dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batin).
4. Al Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seoranng wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai (Perpaterik) filosof-keilmuan.
5. Al Farabi merupakan orang pertama yang memberikan uraian sistematik terhadap hierarki wujud dalam kerangka hierarki intelegensi dan jiwa serta pemancaran (faidh)-nya dari Tuhan sehingga ia mendapat gelar Al Mu’allim Al Tsani
6. Al Farabi membagi wujud menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah sebabnya. Pertama, wujud keberadaanya sama sekali tidak memiliki sebab, al Farabi menyebut ini sebagai wujud pertama atau sebab pertama yang merupakan prinsip tertinggi eksistensinya setiap wujud lainnya. Tentang prinsip tertinggi ini hanya terbatas pada pengetahuan tentang hal itu dan bukan prinsip-prinsip wujudnya. Kedua, wujud yang memiliki keempat sebab Aristotelian: material, formal, efisiensi dan final. Jenis kedua ini mengacu kepada genus-genus benda terindra, termasuk benda langit. Ketiga,wujud yang sepenuhnya immaterial – yang lain daripada wujud benda di dalam atau menempati benda-benda. Atas dasar tiga skema klasifikasi wujud di atas, maka pembahasan makalah ini mengecil pada basis ontologis yang khas Faribian
http://referensiagama.blogspot.com
mohon ijin copy paste
BalasHapus