Minggu, 30 Januari 2011







AL- KINDI DAN PEMIKIRAN FILSAFANYA
by sariono sby


PENDAHULUAN

1. 1 Latar belakang
Islam dengan kebudayaannya telah berjalan selama 15 abad. Dalam perjalanan yang demikian panjang terdapat 5 abad perjalanan yang menakjubkan dalam kegiatan pemikiran filsafat, yaitu antara abad ke-7 hingga abad ke-12. Dalam kurun waktu lima abad itu para ahli pikir Islam merenungkan kedudukan tentang manusia didalam hubungannya dengan sesama, dengan alam dan dengan Tuhan, dengan menggunakan akal pikirannya. Mereka berpikir secara sistematis dan analitis, serta kritis, sehingga lahirlah para filosof Islam yang mempunyai kemampuan tinggi karena kebijaksanaannya.
Dalam kegiatan pemikiran filsafat tersebut, terdapat dua macam kekuatan pemikiran, yaitu:
1. Para ahli pikir Islam yang berusaha menyusun sebuah sistem yang disesuaikan dengan ajaran Islam.
2. Para ulama yang menggunakan metode rasional dalam menyelesaikan persoalan ketauhidan.
Para ahli pikir Islam dan para ulama tersebut menggunakan instrumen atau alat filsafat untuk membela dan membentengi tauhidnya. Para ahli pikir mencoba memberikan suatu kesimpulan yang tidak bertentangan dengan dasar ketauhidan.
Filsafat Islam dibagian timur dunia Islam (Masyriqi) berbeda dengan filsafat islam di Maghribi (Dunia barat). Diantara para filosof islam di kedua kawasan tersebut terjadi perselisihan pendapat tentang berbagai pokok pengertian. dikawasan timur terdapat seorang filosof yang terkemuka yakni,Al-kindi.
Adalah wajar jika filsafat Islam muncul lebih dulu di Timur sebelum di bagian Barat. Sebagai akibat adanya peradaban yang berpusat di syam dan persia setelah sebelumnya berpusat di Athena dan di Iskandariyah. Setelah Islam datang orang Arab menguasai daerah persia, Syam dan Mesir. Kemudian pusat kekhalifahan pindah dari Hijaz (Madinah) ke Damaskus (Syam), sebuah kota yang dari segi politik menjadi pusat kekuasaan orang-orang Bani Umayyah. Pada masa itu muncul dua kota besar yang memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran Islam, yaitu Bashrah dan Kufah. Hingga datangnya zaman kekuasaan orang-orang bani Abbas, dua kota tersebut tetap memimpin kehidupan kebudayaan di seluruh dunia Islam. Setelah para penguasa daulat abbasiyah membangun kota Baghdad, pusat kebudayaan Islam pindah dari Kufah dan Bashrah ke kota yang baru itu. Sejak itu Baghdad menjadi pusat kekhalifahan disamping menjadi pusat kegiatan ilmu, filsafat dan peradaban. Kaum cendekiawan dan para ahli pikir dari berbagai pelosok dunia banyak yang tertarik ke Baghdad, sehingga kota itu mirip dengan Athena pada abad ke-5 sebelum masehi, atau mirip dengan Paris dalam abad ke-19 Masehi, yaitu sebagai pusat kebudayaan dunia.
Di dalam suasana kehidupan politik dan pemikiran yang sedang berkembang pesat, muncullah seorang filosof Arab atau filosof Islam: Ya’qub bin Ishaq al-Kindi. Al-Kindi merupakan filsuf pertama yang lahir dari kalangan Islam. Semasa hidupnya, selain bisa berbahasa Arab, ia mahir berbahasa Yunani pula. Banyak karya-karya para filsuf Yunani diterjemahkannya dalambahasa Arab; antara lain karya Aristoteles dan Plotinus. Sayangnya ada sebuah karya Plotinusyang diterjemahkannya sebagai karangan Aristoteles dan berjudulkan Teologi menurut
Aristoteles, sehingga di kemudian hari ada sedikit kebingungan. Al-Kindi berasal dari kalangan bangsawan, dari Irak. Ia berasal dari suku Kindah, hidup di Basra dan meninggal di Bagdad pada tahun 873. Ia merupakan seorang tokoh besar dari bangsa Arab yang menjadi pengikut Aristoteles, yang telah mempengaruhi konsep al Kindi dalam berbagai doktrin pemikiran dalam bidang sains dan psikologi.
Al Kindi menuliskan banyak karya dalam berbagai bidang, geometri, astronomi, astrologi, aritmatika, musik(yang dibangunnya dari berbagai prinip aritmatis), fisika, medis, psikologi, meteorologi, dan politik. Ia membedakan antara intelek aktif dengan intelek pasif yang diaktualkan dari bentuk intelek itu sendiri. Argumen diskursif dan tindakan demonstratif ia anggap sebagai pengaruh dari intelek ketiga dan yang keempat. Dalam ontologi dia mencoba mengambil parameter dari kategori-kategori yang ada, yang ia kenalkan dalam lima bagian: zat(materi), bentuk, gerak, tempat, waktu, yang ia sebut sebagai substansi primer.
Al Kindi mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis, yang kemudian diselesaikan oleh Ibnu Sina (Avicenna) seabad kemudian. Ia juga tokoh pertama yang berhadapan dengan berbagai aksi kejam dan penyiksaan yang dilancarakan oleh para bangsawan religius-orthodox terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid'ah, dan dalamkeadaan yang sedemikian tragis (terhadap para pemikir besar Islam) al Kindi dapat membebaskan diri dari upaya kejam para bangsawan orthodox itu. Al Kindi mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis, yang kemudiandiselesaikan oleh Ibnu Sina (Avicenna) seabad kemudian.
Ia juga tokoh pertama yang berhadapan dengan berbagai aksi kejam dan penyiksaan yang dilancarakan oleh para bangsawan religius-orthodox terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid'ah, dan dalamkeadaan yang sedemikian tragis (terhadap para pemikir besar Is lam) al Kindi dapatmembebaskan diri dari upaya kejam para bangsawan orthodox itu. datang ke daerah-daerah itu dengan Alexander yang Agung ke Timur di abad keempat sebelum Kristus. Politik Alexander untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan kebudayaan Persia meninggalkan bekas besar di daerah-daerah yang pernah dikuasainya dan kemudian timbullah pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur, seperti Alexandria di Mesir, Antioch di Suria, Jundisyapur di Mesopotamia dan Bactra di Persia [Harun Nasution, 1986:80]

PEMBAHASAN

1 Sejarah hidup al-Kindi
Nama lengkapnya adalah Abdul yusuf Ya’kub bin Ishaq bin al-Shabah bin ‘Imran bin Isma’il bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qais al-Kindi. Ia berasal dari kabilah Kindah, termasuk kabilah terpandang di kalangan masyarakat Arab dan bermukim di daerah yaman dan Hijaz. Sesepuh al-kindi yang paling dini memeluk Islam ialah al-Asy’ats bin Qais, seorang yang memimpin perutusan kabilah Kindah untuk menghadap Rasulullah SAW. Al-Asy’ats termasuk salah seorang sahabat Nabi yang paling pertama datang kekota Kufah. Ia pun termasuk diantara para sahabat yang meriwayatkan hadis-hadis Nabi. Bersama-sama dengan Sa’ad bin abi Waqqash ia turut berkecimpung dalam peperangan melawan Persia di Iraq. Dalam perang Shiffin di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib ia memegang panji kabilah Kindah. Ia turut pula berperang di fihak Ali bin Abi Thalib melawan pemberontakan kaum Khawarij Nahrawan. Anak lelaki al-Asyats yang bernama Muhammad pernah diangkat oleh Ibn Zubair sebagai penguasa daerah Maushil (Iraq). Pada tahun 85 H, anak lelakinya yang lain yaitu Abdurrahman bin al-Asy’at melancarkan pemberontakan terhadap al-Hajjaj bin Yusuf (penguasa bani Umayyah di Hijaz dan Iraq) hingga terbunuh dalam pertempuran. Sejak itu semua anak keturunan al-Asy’ats (Bani al-Asy’ats) tidak mempunyai kedudukan apa-apa di dalam dinasti Bani Umayyah. Kendatipun begitu keluarga (kabilah) al-Kindi di Kufah masih tetap dihormati orang. Demikianlah keadaannya sampai munculnya kekuasaan Bani Abbas. Orang-orang Bani Kindah kembali menempati kedudukan yang terpandang, Ishaq bin al-Shabah menjabat daerah Kufah, dari Zaman Khalifah al-Mahdi hingga Khalifah Harun al-Rasyid. Ia Ia dikaruniai seorang anak lelaki bernama Ya’kub, yang pada Zaman keemasan Islam terkenal sebagai seorang filosof, yaitu al-Kindi.
Dia lahir di Kufah sekitar 185 H/ 801 M dari keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya, al-Asy’ats bin Qais adalah salah seorang sahabat Nabi yang gugur bersama Sa’ad bin Abi Waqqash dalam peperangan antara kaum muslimin di Irak. Sedangkan ayahnya, Ishaq bin al-Shabah adalah Gubernur Kufah pada masa pemerintahan al-Mahdi 775-785 M dan al-Rasyid 786-809 M. Ayahnya wafat ketika ia masih kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik di Bashrah dan Baghdad dimana dia dapat bergaul dengan ahli piker terkenal.
Al-Kindi hidup semasa pemerintahan Daulah Abbasiyah (al-Amin 809-813 M, al-Ma’mun 813-833 M, al-Mu’tashim 833-842 M, al-Watsiq 842-847M, dan al-Mutawakkil 847-861 M, suatu masa kejayaan Dinasti Abbasiyah dan berkembangnya intelektual, khususnya faham Mu’tazilah. Dia diundang oleh Khalifah al-Ma’mun untuk mengajar di Bait al-Hikmah dan mengasuh Ahmad, putera Khalifah al-Mu’tashim. Melalui lembaga Bait al-Hikmah, ia sangat dikenal dan Berjasa dalam gerakan penterjemahan dan pelopor yang memperkenalkan tulisan-tulisan Yunani, Suriah dan India kepada dunia Islam. Dalam buku Thabaqat at-Athibba (golongan dokter) karya ibn Juljul, bahwa bahwa penerjemah yang mahir dalam Islam ada lima orang yaitu Hunain ibn Ishaq, Ya’kub ibn Ishaq, Al-Kindi, Tsabit bin Qurrah, dan Umar ibn Farkhan al-Thabari. Namun itu tidak berarti bahwa al-Kindi hanya ahli dalam bidang penerjemahan, karena ia juga menjelaskan dan menyingkap berbagai permasalahan yang sulit dipahami. Hal ini dimungkinkan karena al-Kindi banyak menguasai ilmu yang berkembang pada waktu itu di Kufah dan Baghdad, seperti kedokteran, filsafat, semantik, geometri, al-Jabar, ilmu falak, astronomi, bahkan ia berkemampuan mengubah lagu. Jadi tidak heran kalau banyak istilah-istilah yang dikembangkan al-Kindi mendapat perhatian filosof sesudahnya dan sampai saat ini masih dipergunakan, sebagai contoh dari istilah-istilah dimaksud dapat dikemukakan:
1. “jirm” (tubuh) oleh al-Kindi dirubah menjadi “Jisim”
2. istilah “thihanah” (materi) dirubah menjadi “maddah”
3. istilah “al-Tawahhum” (imajenasi)dirubah menjadi “al-Takhayul”
4. istilah “al-Tamam” (akhir) dirubah menjadi “Ghayah”
5. istilah “al-Ghalibiyah” (nafsu birahi) dirubah menjadi “al-Ghadabiyah”
6. istilah “al-Qaniah” (sifat/sikap) dirubah menjadi “al-Malakah”, dan
7. istilah “al-Jami’ah” (silogisme) dirubah menjadi “Qiyas”.
Ketika Dinasti Abbasiyah diperintah oleh al-Mutawakkil, Madhab Asy’ariyah dijadikan sebagai madhab resmi negara. Suasana ini dimanfaatkan oleh kelompok yang anti filsafat, maka atas hasutan Muhammad dan Ahmad, dua orang putera Ibn Syakir, yang mengatakan bahwa orang yang mempelajari filsafat menjadi kurang hormat kepada agama, maka al-Mutawakkil memerintahkan agar al-Kindi didera dan perpustakaannya yang bernama Kindiyah disita. Tetapi tidak lama kemudian perpustakaannya tersebut dikembalikan kepada pemiliknya.
Al-Kindi tidak hanya dikenal sebagai filosof, tetapi juga ilmuan yang menguasai berbagai cabang pengetahuan seperti matematika, geometri, astronomi, ilmu hitung, farmakologi, ilmu jiwa, optika, politik, musik dan sebagainya.
Sebenarnya tidak ada kepastian tentang tanggal kelahiran, kematian, dan siapa yang pernah menjadi gurunya. L. Massignon mengatakan bahwa al-Kindi wafat sekitar 246 H/ 860 M, C. Nallino menduga tahun 260 H/873 M, dan T.J. DeBoer menyebut 257 H/ 870 M. Adapu Musthafa Abdurrazaq (mantan Rektor al-Azhar) mengatakan tahun 252 H/ 866 M, dan Yaqutal-Himawi menyebutkan setelah berusia 80 tahun atau lebih sedikit.


2 Karya-karyanya
Sebagai seorang filosof Islam yang sangat produktif. Maka diperkirakan karya yang pernah ditulisnya dalam berbagai bidang tidak kurang dari 270 buku. Adapun dalam bidang filsafat diantaranya adalah:
a. Kitab al-Kindi ila al-Mu’tashim billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang filsafat pertama)
b. Kitab Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyah wa al-Muqtashah wa ma Fauqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan musykil, serta metafisika)
c. Kitab fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi al-Ilmi al-Riyadhiyyah (tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika)
d. Kitab fi Qashid Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang maksud-maksud Aristoteles dalam kategori-kategorinya)
e. Kitab fi Ma’iyyah al-Ilm wa Aqsamihi (tentang sifat ilmu pengetahuan dan klasifikasinya)
f. Risalah fi Hudud al-Asyya’wa Rusumiha (tentang definisi benda-benda dan uraiannya)
g. Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan)
h. Kitab fi Ibarah al-Jawami’ al-Fikriyah (tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komperhensif)
i. Risalah al-Himiyat fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tulisan filosofis tentang rahasia spiritual)
j. Risalah fi al-Ibanah an al-Illat al-Fa’ilat al-Qaribah li alKawn wa al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusakan)

3 Pemikiran filsafat al-Kindi
a. Talfiq
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat Menurutnya filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan teologi adalah bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan untuk berteologi.
Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang Benar Pertama (The First Truth) bagi al-Kindi ialah Tuhan dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya. Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian orang yang menolak filsafat maka orang tersebut menurut al-Kindi telah mengingkari kebenaran, dan karena itu ia dapat dikelompokkan kepada “kafir”, karena orang tersebut telah jauh dari kebenara, kendatipun ia telah menganggap dirinya paling benar. Disamping itu, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang keesaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal yang sebaliknya. Maka kita harus menyambut dengan gembira kebenaran dari mana pun datangnya, sebab “tidak ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran itu sendiri”. Karena itu, tidak wajar merendahkan kebenaran serta meremehkan orang yang mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun yang akan rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi mulia oleh kebenaran. Jika diibaratkan maka orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan orang yang memperdagangkan agama, dan pada hakikatnya orang itu tidak lagi beragama karena ia telah menjual agamanya. “Siapa yang memperdagangkan agama berarti ia bukan orang beragama. Orang yang mengingkari usaha mengetahui hakikat sesustu berhak untuk membebaskannya dari agama, sehingga ia disebut sebagai orang kafir”.
Disamping argumen rasional, al-Kindi juga mengacu kepada al-Qur’an yang banyak menyuruh meneliti dan mengamati segala macam fenomena yang terdapat di alam. Diantaranya adalah surat al-Hasyr ayat 2, al-Ghasyiyah ayat 17-20, al-A’raf ayat 185, dan al-Baqarah ayat 164.
Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan al-Qur’an. Hal semacam ini, menurut al-Kindi tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena hal itu dapat dilakukan dengan cara Ta’wil. Usaha ini adalah sah dan dimungkinkan, mengingat bahasa Arab memiliki dua makna, makna hakiki dan makna majazi (figurative). Tentu saja yang berwenang melakukan Ta’wil hanyalah mereka yang mendalami keyakinan agamanya dan ahli piker (Dzauq al-Din wa al-Bab). Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaan antara keduanya, seperti dijelaskan al-Kindi dalam karyanya Kammiyah Kutub Aristoteles, sebagai berikut:
1. Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melqalui proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
2. Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian (semu) dan memerlukan berpikir atau perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa al-Qur’an memberi jawaban secara pasti dan meyakinkan dengan mutlak. Bandingkan dengan surat Yasin ayat 79-81.
3. Filsafat menggunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan.
Walaupun demikian al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi tidak mendewa-dewakan akal. Baginya, tanggapan pemikiran belum dapat menjamin kebenaran sesuatu, karena itu dibutuhkan alat yang menjamin kebenaran sesuatu. Karena itu dibutuhkan alat yang menjamin untuk kebenaran sesuatu, yaitu Muru’ah al-Zihniyah an al-Khata’i.
b. Metafisika
Seperti halnya filosof-filosof yunani dan filosof-filosof yang lainnya, al-Kindi, adalah ahli ilmu pengetahuan. Pengetahuan ia bagi menjadi dua bagian :
a. Pengetahuan ilahi atau Ilmu iahiy (divine Science). Seperti yang tercantum dalam al-Qur’an, yaitu pengetahuan yang langsung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan.
b. Pengetahuan manusiawi atau ilmu insanyy (Human Science) atau filsafat yang didasarkan atas pemikiran (ratio reason).
Bagi al-Kindi Argumen–argumen yang dibawa al-Qur’an itu lebih meyakinkan daripada argumen-argumen yang dikemukakan filsafat. Tetapi filsafat dan al-Qur’an tidaklah bertentangan. Kebenaran yang diberitakan wahyu tidaklah bertentangan dengan kebenaran yang dibawa filsafat. Mempelajari filsafat dan berfilsafat tidaklah dilarang, karena teologi (ilmu kalam) adalah bagian dari filsafat. Umat Islam pun menurut filosof ini diwajibkan mempelajari filsafat.
Filsafat baginya adalah pengetahuan tentang yang benar atau Bahts an al-Haq (knowledge of truth). Dari sinilah kita bisa melihat persamaan antara filsafat dengan agama. Tujuan agama dan filsafat adalah sama, yaitu menerangkan apa yang benar dan apa yang baik. Agama, disamping wahyu, juga mempergunakan akal sebagaimana filsafat mempergunakan akal. Adapun kebenaran pertama menurut al-Kindi ialah Tuhan (Allah). Dialah al-Haq al-Awwal (The first Turth) dengan demikian filsafat membahas soal Tuhan, agama pun yang menjadi dasarnya Tuhan. Oleh karena itu bagi al-Kindi, filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Kebenaran ialah sesuainya apa yang ada dalam akal dengan apa yang ada diluar akal. Di alam ini terdapat benda-benda yang dapat ditangkap dengan pancaindera. Benda-benda ini merupakan juz’iyyat (particulars). Yang penting ialah hakekat yang terdapat dalam juz’iyyat tersebut, yaitu kuliyyat (universals, definisi). Tiap-tiap benda mempunyai dua hakekat, hakekatnya sebagai juz’i dan ini disebut anniyah, kedua, hakekat sebagai kuliyyat yang disebut mahiah, yaitu hakekat yang bersifat universal dalam bentuk genus atau species.
Tuhan dalam filsafat al-Kindi tidaklah mempunyai hakekat dalam arti aniyyah atau mahiyyah. Tidak aniyyah karena Tuhan tidak termasuk benda-benda yang terdpat dalam alam, bahkan ia adalah pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk ( Al-Hayyuliya wa al-shurah). Tuhan juga tidak mempunyai hakekat dalam bentuk mahiyyah, karena tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah unik. Ia adalah yang benar pertama ( Al-Haqq al-Awwal) dan Yang benar Tunggal ( Al-Haqq al-Wahid) Ia semata-mata satu. Hanya ialah yang satu, selain dari tuhan semuanya mengandung arti banyak.
Sesuai dengan faham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah pencipta dan bukan penggerak pertama seperti pendapat aristoteles. Alam bagi al-Kindi bukan kekal dizaman lampau (Qodim) tetapi mempunyai permulaan. Karena itu ia lebih dekat dalam hal ini pada filsafat plotinus. Yang mengatakan bahwa Yang maha satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi atau pancaran dari Yang maha satu. Tetapi sayang, faham emanasi ini kelihatannya tidak jelas dalam filsafat al-kindi. Al-Farabilah yang lebih jelas menulis tentang hal itu. Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz'iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan).
Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.
Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu pembahasan Al-Kindi. Ia juga merupakan filosof Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci. Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.
c. Filsafat jiwa
Al-Kindi memandang jiwa sebagai inti-sari dari manusia dan filosof-filosof Islam banyak memperbincangkan hal ini, karena ayat-ayat al-Qur’an atau Hadis Nabi tidak menjelaskan hakekat roh itu. Bahkan menurut suggesti yang ada dalam al-Qur’an, manusia tidak akan mengetahui hakekat roh. Roh adalah urusan Tuhan bukan urusan manusia. Tapi sungguhpun demikian filosof-filosof Islam membahas soal ini berdasar pada filsafat tentang roh yang mereka jumpai dalam filsafat yunani.
Menurut al-Kindi roh tidak tersusun atau Basithah ( simple, sederhana) tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansinya (jauhar) roh berasal dari substansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Pandangan ini sejalan dengan paham ibnu Taimiyah dan al-Ghazali.
Roh pun berbeda demgan badan dan mempunyai wujud sendiri. Argumen yang dimajukan al-Kindi tentang perlainan roh dari badan ialah keadaan badan mempunyai hawa nafsu (carnal desire) dan sifat pemarah (passion). Roh menentang keinginan hawa nafsu dan passion. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama, tetapi berlainan dari, yang dilarang.
Dengan perantaraan rohlah manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Ada dua macam pengetahuan : Pengetahuan pancaindera dan pengetahuan akal. Pengetahuan pancaindera dan pengetahuan akal.Pengetahuan pancaindera hanyai mengenai yang lahir-lahir saja.Dalam hal ini manusia dan binatang sama.Pengetahuan akal merupakan hakekat-hakekat dan hanya dapat diperoleh manusia tetapi dengan syarat ia harus melepaskan dirinya dari sifat binatang yang ada dalam tubuhnya.Melepaskan diri dari sifat ini ialah dengan meninggalkan dunia dan berfikir serta berkontemplasi tentang wujud. Dengan kata lain seseorang harus bersifat zahid. Kalau roh telah dapat meninggalkan keinginan-keinginan badan, bersih dari segala noda kematerian, dan senantiasa berfikir tentang hakekat – hakekat wujud, dia akan menjadi suci dan ketika itu akan dapat menangkap gambaran segala hakekat-hakekat, tak ubahnya seperti cermin yang dapat menangkap gambaran dari benda-benda yang ada di depannya. Pengetahuan dalam paham ini merupakan emanasi. Karena roh adalah cahaya dari Tuhan, roh dapat menangkap ilmu-ilmu yang ada pada Tuhan. Tetapi kalau roh kotor, maka seperti halnya dengan cermin yang kotor,roh tak dapat meerima pengetahuan-pengetahuan yang dipancarkan oleh cahaya yang berasal dari Tuhan itu.
Roh bersifat kekal dan tidak hancur dengan hancurnya badan. Ia tidak hancur, karena substansinya berasal dari substansi Tuhan. Ia adalah cahaya yang di pancarkan oleh Tuhan. Selama dalam badan, roh tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan roh memperoleh kesenangan sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah bercerai dengan badan, roh pergi ke alam kebenaran atau alam akal diatas bintang-bintang didalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Disinilah terletak kesenangan abadi dari roh.
Hanya roh yang sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke Alam Kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan belum bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil membersihkan diri disana, baru ia pindah ke merkurius,dan demikianlah naik setingkat demi setingkat hingga ia akhirnya, setelah benar-benar bersih, sampai ke Alam Akal, dalam lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.
Jiwa mempunyai 3 daya : daya bernafsu (Appetitive), daya pemarah (Irascible), dan daya berfikir (cognitif atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Daya berfikir itu disebut akal,Menurut Al-Kindi ada 3 macam akal : Akal yang bersifat potensial,akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual dan akal yang telah mencaai tingkat kedua dari aktualitas.
Akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu bagi Al-Kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bernama akal yang selamanya dalam aktualitas,ialah yang membuat akal yang bersifat potensial dalam roh manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini :
1. Ia merupakan akal pertama
2. Ia selamanya dalam aktualitas
3. Ia merupakan species dan genus
4. Ia membuat akal potensial menjadi aktual berfikir
5. Ia tidak sama dengan akal potensial tetapi lain dari padanya
Bagi Al-Kindi manusia disebut menjadi ‘akil jika ia mengetahui universals, yaitu jika ia telah memperoleh akal yang diluar itu.

d. Moral
Menurut al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa seorang filosof wajib menempuh hidup susila. Hikmah sejati membawa serta pengetahuan serta pelaksanaan keutamaan. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup yang bahagia (Stoa). Tabiat manusia itu baik, tetapi ia digoda oleh nafsu. Konflik itu dihapuskan oleh pengetahuan (Pradoks Socrates). Manusia harus menjauhkan diri dari keserakahan. Milik memberatkan jiwa. Socrates dipuji sebagai contoh Zahid (asket). Al-Kindi mengecam para ulama’ yang memperdagangkan agama (Tijarat bi al-Din) untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Dia merasa diri Korban Kelaliman negara seperti Socrates. Dalam kesesakan jiwa,, filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian, dan hikmahdalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filosof, al-Kindi prihatin kalau-kalau syariat kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam akhlak dia mengutamakan kaedah Stoa dan Socrates.



KESIMPULAN

1 Sejarah hidup al-Kindi
Nama lengkapnya adalah Abdul yusuf Ya’kub bin Ishaq bin al-Shabah bin ‘Imran bin Isma’il bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qais al-Kindi. Ia berasal dari kabilah Kindah, termasuk kabilah terpandang di kalangan masyarakat Arab dan bermukim di daerah yaman dan Hijaz.
Al-Kindi lahir di Kufah sekitar 185 H/ 801 M dari keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya, al-Asy’ats bin Qais adalah salah seorang sahabat Nabi yang gugur bersama Sa’ad bin Abi Waqqash dalam peperangan antara kaum muslimin di Irak. Sedangkan ayahnya, Ishaq bin al-Shabah adalah Gubernur Kufah pada masa pemerintahan al-Mahdi 775-785 M dan al-Rasyid 786-809 M. Ayahnya wafat ketika ia masih kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik di Bashrah dan Baghdad dimana dia dapat bergaul dengan ahli piker terkenal.
Sebenarnya tidak ada kepastian tentang tanggal kelahiran, kematian, dan siapa yang pernah menjadi gurunya. L. Massignon mengatakan bahwa al-Kindi wafat sekitar 246 H/ 860 M, C. Nallino menduga tahun 260 H/873 M, dan T.J. DeBoer menyebut 257 H/ 870 M. Adapu Musthafa Abdurrazaq (mantan Rektor al-Azhar) mengatakan tahun 252 H/ 866 M, dan Yaqutal-Himawi menyebutkan setelah berusia 80 tahun atau lebih sedikit.
2 Karya-karyanya
· Kitab al-Kindi ila al-Mu’tashim billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang filsafat pertama)
· Kitab Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyah wa al-Muqtashah wa ma Fauqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan musykil, serta metafisika)
· Kitab fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi al-Ilmi al-Riyadhiyyah (tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika)
· Kitab fi Qashid Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang maksud-maksud Aristoteles dalam kategori-kategorinya)
· Kitab fi Ma’iyyah al-Ilm wa Aqsamihi (tentang sifat ilmu pengetahuan dan klasifikasinya)
· Risalah fi Hudud al-Asyya’wa Rusumiha (tentang definisi benda-benda dan uraiannya)
· Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan)
· Kitab fi Ibarah al-Jawami’ al-Fikriyah (tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komperhensif)
· Risalah al-Himiyat fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tulisan filosofis tentang rahasia spiritual)
· Risalah fi al-Ibanah an al-Illat al-Fa’ilat al-Qaribah li alKawn wa al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusakan)
3 Pemikiran filsafat al-Kindi
a. Talfiq
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat Menurutnya filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan teologi adalah bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan untuk berteologi.
b. Metafisika
Filsafat baginya adalah pengetahuan tentang yang benar atau Bahts an al-Haq (knowledge of truth). Dari sinilah kita bisa melihat persamaan antara filsafat dengan agama. Tujuan agama dan filsafat adalah sama, yaitu menerangkan apa yang benar dan apa yang baik. Agama, disamping wahyu, juga mempergunakan akal sebagaimana filsafat mempergunakan akal. Adapun kebenaran pertama menurut al-Kindi ialah Tuhan (Allah). Dialah al-Haq al-Awwal (The first Turth) dengan demikian filsafat membahas soal Tuhan, agama pun yang menjadi dasarnya Tuhan. Oleh karena itu bagi al-Kindi, filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
c. Filsafat jiwa
Al-Kindi membagi Jiwa menjadi 3 daya : daya bernafsu (Appetitive), daya pemarah (Irascible), dan daya berfikir (cognitif atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
d. Moral
Menurut al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa seorang filosof wajib menempuh hidup susila.

http://referensiagama.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar