Rabu, 26 Januari 2011
ILMU AL-QUR’AN
ILMU AL-QUR’AN
by sariono sby
LINTASAN SEJARAH ILMU ALQUR'AN
Pada masa hidup Rasulullah SAW dan masa berikutnya, pada masa zaman generasi sahabat Nabi, tidak ada kebutuhan sama sekali untuk menulis atau mengarang buku-buku tentang ilmu al-Qur’an. Para sahabat Nabi adalah orang Arab murni yang mampu mencerna kesusasteraan tinggi. Kalaupun ada kesulitan, para sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Selain itu, Rasulullah SAW melarang para sahabatnya untuk menulis sesuatu selain al-Qur’an karena khawatir bercampur dengan al-Qur’an.
Usman bin Affan adalah sahabat peletak dasar ilmu rasmil qur’an (ilmu tentang penulisan al-Qur’an). Sahabat Ali bin Abi Thalib pernah memerintahkan Abul Aswad ad-Duali supaya meletakkan kaidah pramasastra Arab demi menjaga corak keasliannya. Dengan demikian Ali bin Abi Thalib adalah peletak dasar ilmu I’rabul Qur’an. Adapun perintis ilmu al-Qur’an yang lain adalah sebagai berikut:
1. Kelompok sahabat: empat orang khulafaur rasyidin, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.
2. Dari kelompok Tabi’in Madinah: Atha’ bin Yasar, Ikrimah, Qatadah, Hasan Bashri, Sa’id bin Jubair dan Zaid bin Aslam.
3. Dari kaum Tabi’it Tabi’in: Malik bin Anas.
Periode berikutnya, ilmu tafsir menjadi sangat dominan. Dari abad 2 H, Syu’bah bin al-Hajjaj, Sufyan bin Uyainah dan Waki’ bin al-Jarrah adalah para ulama yang menekuni ilmu tafsir. Pada masa berikutnya muncul Ibnu Jarir at-Thabari.
Kitab tentang ilmu al-Qur’an antara lain:
1. Abad ke-3 H: kitab tentang asbabun nuzul oleh Ali bin al-Madani (guru Imam Bukhari), Ubaid bin Qasim Bin Salam menulis tentang nasikh dan mansukh, qiraat dan fadhailul Qur’an. Muhammad bin Ayyub adh-Dharis (w. 294 H) menulis tentang kandungan ayat-ayat yang turun di Mekkah dan di Madinah. Muhammad bin Khalaf bin Murzaban (w. 309 H) menulis al-Hawi fi ulumil Qur’an.
2. Abad ke-4 H: Abu Bakar bin Qasim al-Anbari (w. 328 H) menulis Aja’ibu Ulumil Qur’an. Al-Asy’ari menulis al-Mukhtazan Fi Ulumil Qur’an. Abu Bakar as-Sajistani menulis tentang keanehan-keanehan al-Qur’an. Abu Muhammad al-Qashshab Muhammad Ali al-Kurkhi (w. 360 H.) menulis Nukatul Qur’an ad-Daallah ‘Alal-Bayan fi ‘Anwail-Ulumi Wal-Ahkam al-Munabbiah ‘An Ikhtilafil-Anam. Muhammad bin ‘Ali al-Afdawi (w. 388 H.) menulis al-Istighna fi ulumil Qur’an sebanyak 20 jilid.
3. Dalam abad ke-5 H: Ali bin Ibrahim bin Said al-Hufi menulis al-Burhan fi ulumil Qur’an da I’rabul Qur’an. Abu Amr ad-Dani (w. 444 H.) menulis at-Taisir fi Qira’atis Sab’I dan al-Muhkam fin-Nuqath.
4. Dalam abad ke-6 H: Abdurrahman as-Suhaili menulis Mubhamatul Qur’an.
5. Dalam abd ke-7 H: Ibnu Abdus Salam menulis majazul Qur’an. Ilmuddin as-Sakhawi menulis tentang qiraat.
Setelah itu, kemudian muncul ilmu-ilmu baru yaitu Badi’ul Qur’an, Hujajul Qur’an, Aqsamul Qur’an dan Amtsalul Qur’an.
Ilmu Asbabun-Nuzul
Ilmu asbabun nuzul adalah ilmu tentang sesuatu yang menjadi sebab turunnya ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa. Adakalanya sebuah ayat mengandung beberapa versi riwayat tentang sebab turunnya. Jika hal ini berdasarkan dua versi riwayat yang sama shahihnya, maka keduanya bisa diterima. Namun jika yang sahih hanya salah satunya, maka yang diambil adalah riwayat yang shahih.
Adakalanya satu peristiwa menjadi sebab bagi turunnya dua ayat atau lebih atau dikenal dengan istilah ta’addadun-nazil was-sabab wahid (beberapa ayat turun karena satu sebab). Untuk kasus ini para mufassir lalu memadukan penjelasan antara dua ayat atau lebih tersebut. Meskipun ilmu asbabun nuzul penting, namun jumhur ulama tetap mengambil keumuman makna suatu lafadz, tidak terbatas pada kekhususan maknanya yang menunjuk kepada sebab turunnya ayat.
Pengetahuan Tentang Ayat-Ayat yang Turun di Mekkah dan Madinah
Ilmu makki dan ilmu madani (pengetahuan tentang ayat-ayat dan surah-surah yang turun di Mekkah dan Madinah) lebih banyak membutuhkan penelitian riwayat-riwayat dan nash-nash hadits yang mendasarinya dengan bersandar pada fakta sejarah yang benar. Ilmu ini juga membutuhkan pengenalan terhadap seluruh isi al-Qur’an, surah-surahnya maupun ayat-ayatnya. Ini mengingat tidak selalu satu surat semuanya makkiyah atau semuanya madaniyah. Para ulama sudah menetapkan ayat tertentu sebagai ayat makkiyah atau madaniyah dengan criteria yang kritis, teliti dan cermat.
Bidang cakupan ilmul makky wal madany sangatlah luas. Ia merupakan pengetahuan tentang tahapan dakwah, tentang urutan waktu turunnya surah dan ayat, mengenai kepastian tempat turunnya, pemilihan soal dan temanya, serta penentuan oknum yang dimaksud oeh suatu ayat. Dengan demikian, titik berat dalam ilmul makky wal madany ada pada tempat (Mekkah-Madinah), pada waktu (sebelum hijrah-sesudah hijrah), pada Oknum (penduduk Mekkah-Penduduk Madinah) dan pada subyek (maudhu’).
Abul Qasim an-Nisaburi membagi turunnya al-Qur’an menjadi enam tahap: tiga tahap di Mekkah; permulaan, pertangahan dan akhir. Demikian juga tiga tahap di Madinah; awal pertengahan dan akhir. Selanjutnya ada juga ayat yang turun di Mekkah tapi hukumnya madaniyah, dan ada ayat yang turunnya di Madinah tapi hukumnya makkiyah.
Adapun cirri-ciri surah Makkiyah antara lain:
1. Terdapat ayat sajdah.
2. Terdapat lafadz kallaa.
3. Terdapat kalimat yaa ayyuhannaas.
4. Terdapat kisah para Nabi dan umat terdahulu kecuali surah al-Baqarah.
5. Terdapat kisah Nabi Adam dan Iblis kecuali surah al-Baqarah
6. Diawali huruf-huruf hijaiyah kecuali al-Baqarah dan Ali Imran.
Selain cirri, surah-surah Makkiyah juga memiliki tanda antara lain:
1. Ayat maupun surahnya pendek, ringkas, bernada keras dan lain nada suaranya.
2. Da’wah mengenai poko-pokok keimanan, hari akhir, sorga dan neraka.
3. Da’wah mengenai budi pekertidan amal kebajikan.
4. Sanggahan terhadap kaum musyrikin dan celaan terhadap alam fikiran mereka.
5. Banyak pernyataan sumpah.
Adapun cirri surah Madaniyyah antara lain:
1. Ada izin perang dan hokum-hukumnya.
2. Ada rincian hukum had, fara’idh, hukum sipil, hukum social dan hukum antar Negara.
3. Terdapat uraian tentang kaum munafik kecuali surah al-ankabut.
4. Bantahan terhadap ahli kitab dan seruan agar mereka meninggalkan sikap berlebihan dalam mempertahankan agamanya.
Tanda-tanda umum dari surah Madaniyah antara lain:
1. Sebagian besar ayat-ayatnya panjang-panjang dan susunan kalimat-kalimatnya mengenai soal-soal hukum bernada tenang.
2. Mengemukakan dalil-dalil dan pembuktian mengenai kebenaran agama Islam secara rinci.
BAB IV Pandangan Sekilas Tentang Awalan Surah
Dalam al-Qur’an terdapat huruf awalan yang berbeda-beda. Ada yang dimulai dengan satu huruf yaitu surah shad, qaaf dan al-Qalam. Ada juga sepuluh surah yang diawali dengan dua huruf. Surah ke-40 sampai 46 diawali dengan haa dan miim ditambah surah ke-20, 27 dan 36 yang juga diawali dengan dua huruf dengan huruf berbeda. Ada juga tiga belas surah lainnya yang diawali dengan tiga huruf, enam diantaranya dengan alif laam miim. Selain itu, ada juga dua surah yang diawali empat huruf dan satu surah dengan lima huruf. Total ada 14 huruf yang menjadi awalan surah. Ini artinya separoh dari huruf hijaiyah.
Banyak pendapat ulama tentang huruf sebagai awalan surah ini. Ada yang menyatakan bahwa itu untuk membuktikan bahwa al-Qur’an berbahasa Arab. Ada lagi yang mengatakan itu adalah misteri yang hanya Allah SWT saja yang tahu. Bahkan ada yang mengambil takwil untuk menyokong kelompok seperti syi’ah dan ahlus sunnah. Ada juga yang menghitung dengan bilangan ‘Adda Ubay Jad. Ada yang memberikan kepanjangan dari huruf-huruf tersebut. Pentakwilan tersebut semuanya tidak berdasar dan hanya memenuhi selera dan keinginan orang. Yang jelas, huruf-huruf terpisah tersebut cukup menarik perhatian kaum musyrikin dan ahlul kitab agar mereka mau mendengarkan yang disampaikan Rasulullah.
BAB V Ilmu Qiraat dan Pandangan Sekilas Tentang Para Ahli Qiraat
Pada umumnya, orang menganggap bahwa ada tujuh qiraat yang berlaku dan itulah yang dimaksud dalam hadits bahwa al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf. Padahal anggapan ini tidak benar. Tujuh huruf tidak bias dirtika tujuh qiraat. Masih ada qiraat lain dari tujuh huruf tersebut. Adalah Abu Bakar Ahmad bin Musa al-‘Abbas atau dikenal dengan Ibnu Mujahid yang mengumpulkan tujuh system qiraat pada permulaan tahun ke 300 H dari tujuh orang imam qiraat saat itu sehingga memunculkan anggapan salah seperti di atas.
Pada permulaan tahun ke-200 H sudah dikenal orang beberapa system qiraat yang berasal dari imam-imam:
1. Abdullah bin Katsir ad-Dari (w. 210 H.) yang ada di Mekkah.
2. Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Naim (w. 120 H.) yang ada di madinah.
3. Abdullah al-Yahsyabi atau Ibnu Amir (w. 118 H.) yang ada di Syam.
4. Zayyan bin al-‘Ala bin ‘Ammar atau Abu Amr (w. 154 H.) yang ada di Basrah.
5. Ya’qub bin Ishaq al-Hadhrami (w. 205 H.) yang ada di Basrah.
6. Hamzah bin Ibnu Habib az-Zayyat Maula yang ada di Kufah.
7. Ashim bin Anin Nujud al-Asadi (w. 127 H.) juga di Kufah.
Ibnu Mujahid menghimpun ketujuh qiraat di atas, hanya saja Ya’qub digantinya dengan Ali bin Hamzah al-Kisa’i (w. 189 H.) yang berasal dari Kufah. Sebutan sepuluh qiraat adalah ketujuh qiraat di atas ditambah dengan:
1. Sistem qiraat Ya’qub.
2. Sistem qiraat Khalaf bin hisyam (w. 299 H.)
3. Sistem qiraat Abu Ja’far Yazid bin al-Qa’qa (w. 130 H.)
Adapun sebutan empat belas qiraat, adalah sepuluh qiraat di atas ditambah dengan:
1. System qiraat Hasan al-Bashri (w. 110 H.).
2. System qiraat Muhammad bin Abdurrahman atau Ibnu muhaishan (w. 123 H.).
3. System qiraat Yahya bin Mubarok al-Yazidi (w. 202 H.)
4. System qiraat Abul Faraj Muhammad bin ahmad as-Syanbudzi (w. 388 H.)
Mengutip pendapat Ibnul Jazri, Imam Suyuthi mengatakan bahwa ada enam qiraat menurut sunnah:
1. Qiraat mutawatir
2. Qiraat masyhur
3. Qiraat yang isnadnya benar tetapi tidak sesuai dengan tulisan yang dibacanya, tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tidak terkenal luas.
4. Qiraat yang syadz (menyimpang).
5. Qiraat yang tanpa dasar dan tidak pasti asal usulnya.
6. Qiraat yang menyerupai kalimat hadits-hadits yang menambahkan kalimat penafsiran ke dalam ayat-ayat tersebut.
NASIKH DAN MANSUKH
Naskh kadang bermakna meniadakan (izaalah), kadang bermakna pengalihan (tahwit), dan kadang bermakna pemindahan (naqt). Meskipun maknanya berbeda-beda, tetapi para ulama memandang ada tiga macam naskh dalam al-Qur’an:
1. Ayat yang dinaskh bacaannya tetapi tidak dinaskh kandungan hukumnya.
2. Ayat yang dinaskh kandungan hukumnya tetapi tidak dinaskh bacaannya.
3. Ayat yang dinaskh bacaannya dan kandungan hukumnya sekaligus
BAB VII
ILMU RASAM QUR’ANI
Rasm usmani banyak menjadi rujukan orang dalam penulisan al-Qur’an. Tentang hal ini, ada ulama yang menyatakan bahwa huruf-huruf al-Qur’an itu adalah tauqifi dari Rasulullah. Ada yang sebaliknya, yakni bukan tauqifi. Untuk yang memandang tauqifi, mereka melarang atau mengharamkan menulis dalam bentuk selain rasm usmani. Sedangkan yang berpendapat bukan tauqifi, mereka membolehkan menulis sesuai dengan kebiasaannya.
ILMU TENTANG MUHKAM DAN MUTASYABIH
Semua ayat al-Qur’an adalah muhkam dalam artian kokoh, kuat, rapih dan indah susunannya. Kita bisa juga mengartikan bahwa semua ayat adalah mutasyabih dengan artian sebagai “kesamaan” ayat-ayatnya dalam hal balaghah, I’jaz, kesukaran membedakan mana ayat al-Qur’an yang lebih afdlol. Namun yang dimaksud bukanlah demikian. Para ulama sudah merumuskannya bahwa muhkam adalah jelas sedang mutasyabih adalah tidak jelas. Muhkam terang maknanya, kuat dan cepat difahami. Sedang mutasyabih adalah ayat yang mujmal, yang memerlukan ta’wil, yang musykil (sukar difahami).
Diantara contoh yang termasuk mutasyabih adalah lafadz istiwa’ yang berarti bersemayam. Untuk lafadz seperti ini ada dua madzhab:
1. Madzhab salaf. Mengimani sifat mutasyabihat dan menyerahkan makna serta pengertiannya kepada allah SWT.
2. Madzhab khalaf. Menetapkan makna bagi lafadz-lafadz yang dlahirnya mustahil bagi Allah dengan pengertian yang layak bagi Allah SWT.
Diantara hikmah adanya ayat mutasyabih adalah menjadi pendorong bagi kaum mu’minin untuk terus menggali berbagai ilmu menurut batas kemampuannya dalam memahami ayat-ayat mutasyabih.
http://referensiagama.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar