Jumat, 28 Januari 2011

HADIS PADA MASA RASUL SAW DAN SAHABAT


HADIS PADA MASA RASUL SAW DAN SAHABAT
by saryono sby

A. HADIS PADA MASA RASUL SAW
Perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapinya, yang antara satu periode dengan periode lainnya tidak sama, maka pengungkapan sejarah persoalannya perlu diajukan ciri-ciri khusus dan persoalan-persoalan tersebut. Terlepas dari periodesasi yang dikemukakan diatas, yang perlu diuraikan secara khusus pada bahasan ini, ialah masa Rasul SAW., dan masa Sahabat.
Membicarakan hadis pada masa Rasul SAW, berarti membicarakan hadis pada pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul SAW, sebagai sumber hadis. Rasul SAW, Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwujudkannya hadis. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT, kepadanya dijelaskannya melalui perkataan (aqwâl), perbuatan (afâl), dan penetapan (taqrîr) nya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Rasul SAW, merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT, yang berbeda dengan manusia lainnya.

1. Cara Rasul SAW menyampaikan Hadis
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya. Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasul SAW, sebagai sumber hadis. Antara Rasul SAW, dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Allah menurunkan al-Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad SAW, sebagai utusan-Nya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu. Allah berfirman dalam menggambarkan kondisi utusan-Nya tersebut.

وما ينطق عن ا لهوى ان هو الا وحى يوحى - النجم - 53- 3-4


“Dan tiadalah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS. Al-Najm (53): 3-4)
Kedudukan Nabi yang demikian ini otomatis menjadikan semua perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan para sahabat tidak menyia-nyiakan keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Mereka mentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri dimaksudkan agar keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan diantara kedua belah fihak sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat yang biasa digunakan Rasul SAW, cukup bervariasi, seperti di masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di rumah). Melalui tempat-tempat tersebut Rasul SAW, menyampaikan hadis, yang terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyâfahah), dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya oleh mereka (melalui musyâhadah).
Menurut riwayat Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasul SAW, menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya.
Ada beberapa cara Rasul SAW, menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu:
Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-‘Ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi SAW.
Para sahabat begitu antusius untuk tetap bisa mengikuti kegiatan di majlis ini, ini ditunjukkannya dengan banyak upaya. Terkadang diantara mereka bergantian hadir, seperti yang dilakukan oleh Umar ibn Khattab. Ia sewaktu-waktu bergantian hadir dengan Ibnu Zaid (dari bani Umayah) untuk menghadiri majlis ini, ketika ia berhalangan hadir. Ia berkata: “Kalau hari ini aku yang turun atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi, demikian aku melakukannya.” Terkadang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka sekembalinya dari sini.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul SAW, juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul SAW, sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang, seperti hadis-hadis yang ditulis oleh Abdullah ibn Amr ibn Al-‘Ash.
Untuk hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutana yang menyangkut hubungan suami istri), ia sampaikan melalui istri-istrinya. Bagitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal diatas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW, seringkali ditanyakan melalui istri-istrinya.
Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasul SAW, adalah melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika Haji Wada’ dan Futuh Makkah.



2. Perbedaan Para Sahabat
Diantara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis. Ada yang memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali. Hal ini tergantung kepada beberapa hal:
Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasul SAW, Kedua, perbedaan dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masji Rasul SAW.
Ada beberapa orang sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul SAW, dengan beberapa penyebabnya. Mereka itu antara lain:
a. Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sâbiqûn Al-Awwalûn (yang mula-mula masuk Islam), seperti Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib dan ibn Mas’ud. Mereka banyak menerima hadis dari Rasul SAW., Karena lebih awal masuk Islam dari sahabat-sahabat lainnya.
b. Ummahât Al-Mukminîn, seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul SAW daripada sahabat-sahabat lainnya. Hadis-hadis yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami istri.
c. Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul SAW, juga menuliskan hadis-hadis yang diterimanya, seperti Abdullah Amr ibn Al-‘Ash.
d. Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasul SAW, akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
e. Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW, banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.

3. Menghafal dan Menulis Hadis
a. Menghafal Hadis
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Qur’an dan Hadis, sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasul SAW, menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al-Qur’an ia secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya ditulis disamping dihafal. Sedang terhadap hadis ia hanya menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi. Dalam hal ini ia bersabda:

لا تكتبوا عنى ومن كتب عن غير القران فليمحه حد ثوا عنى ولا حرج ومن كد ب
على متعمدا فليتبوا مقعده من النار - رواه مسلم - 6

“Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”. (HR.Muslim).
Maka segala hadis yang diterima dari Rasul SAW, oleh para sahabat diingatnya secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Rasul SAW, untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang diterimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan manghafal hadis ini. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwariskan sejak pra Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya; Kedua, Rasul SAW, banyak memberikan spirit melalui do’a-doanya; Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.

b. Menulis Hadis
Dibalik larangan Rasul SAW, seperti pada hadis Abu Sa’id Al-Khudri diatas, ternyata ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadis dan memilki catatan-catatannya, ialah:
1. Abdullah ibn Amr Al-‘Ash. Ia memiliki catatan hadis yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasul SAW, sehingga diberinya nama al-sahîfah al-shadiqah. Menurut suatu riwayat diceritakan, bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap Abdullah ibn Amr, karena sikapnya yang selalu menulis apa yang datang dari Rasul SAW, mereka berkata: “ Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan marah ”. Kritikan ini disampaikan kepada Rasul SAW, dan Rasul menjawabnya dengan mengatakan: اكتب فوالدي نفسي بيد ه م يحرج منه الا الح - رواه البخاري-

“Tulislah ! Demi dzat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar dari pada-Nya kecuali yang benar”. (HR.Bukhari).
Hadis-hadis yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadis, yang menurut pengakuannya diterima langsung dari Rasul SAW, ketika mereka berdua tanpa ada orang lain yang menemaninya.
2. Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari (w. 78 H). Ia memiliki catatan hadis dari Rasul SAW, tentang manasik Haji. Hadis-hadisnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya ini dikenal dengan Sahîfah Jâbir.
3. Abu Hurairah Al-Dausi (w. 59 H). Ia memilki catatan hadis yang dikenal dengan Al-Sahifah Al-Sahîhah. Hasil karyanya ini diwariskan kepada anaknya bernama Hammam.
4. Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al-Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada Rasul SAW, dicatatkan hadis yang disampaikannya ketika pidato pada peristiwa futuh Makah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah terhadap salah seorang lelaki Bani Lais. Rasul SAW, kemudian bersabda:

. اكتبوالا بي شاه - رواه البخاري -

“Kalian tuliskan untuk Abu Syah”
Disamping nama-nama diatas, masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya, yang juga mengaku memiliki catatan hadis dan dibenarkan Rasul SAW, seperti: Rafi’ bin Khadij, Amr bin Hazm, Ali bin Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud.

c. Mempertemukan Dua Hadis yang Bertentangan
Dengan melihat dua kelompok hadis yang kelihatannya terjadi kontradiksi, seperti pada hadis dari Abu Sa’id A-Hudri di satu pihak, dengan hadis dari Abdullah ibn Amr ibn Al- ‘Ash, di pihak lain, yang masing-masing didukung oleh hadis-hadis lainnya, mengundang perhatian para ulama untuk menemukan penyelesaiannya. Diantara mereka ada yang mencoba dengan menggugurkan salah satunya, seperti dengan jalan nâsikh dan mansûkh, dan ada yang berusaha mengkompromikan keduanya, sehingga keduanya tetap digunakan (ma’mul).
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalâni, larangan Rasul SAW, menuliskan hadis adalah khusus ketika al-Qur’an turun. Ini karena ada kekhawatiran tercampurnya naskah ayat al-Qur’an dengan Hadis. Kemudian menurutnya larangan itu dimaksudkan juga untuk tidak menuliskan al-Qur’an dalam satu suhuf. Ini artinya, bahwa ketika wahyu tidak turun dan dituliskan bukan pada suhuf untuk mencatat wahyu, adalah dibolehkan. Al-Nâwawî dan Al-Suyûthî memandang, bahwa larangan tersebut dimaksudkan bagi orang yang kuat hafalannya, sehingga tidak ada kekhawatiran akan terjadinya lupa. Akan tetapi bagi orang yang khawatir lupa atau kurang ingatannya, diperbolehkan mencatatnya.
Jika pendapat ulama dalam hal ini dicoba diambil kesimpulannya, maka (sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Ajjâj Al-Khatîb) akan ditemukan sekitar empat qaul, seperti dibawah ini:
Pertama, menurut sebagian ulama bahwa hadis dari Abu Said Al-Khudri bernilai mauqûf, karenanya tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib, pendapat ini tidak bisa diterima, karena hadis Abu Said Al-Khudri dan hadis-hadis yng semakna dengannya adalah shahîh.
Kedua, yang lain menyebutkan bahwa larangan menulis hadis terjadi pada priode awal Islam. Hal ini karena adanya keterbatasan-keterbatasan. Maka pada saat umat Islam sudah semakin bertambah dan tenaga yang menulis hadis sudah memungkinkan, penulisan hadis menjadi diperbolehkan. Menurut kelompok ini, hukum tentang larangan menulis hadis berubah menjadih mubah. Mereka pada sisi lainnya memandang, kemungkinan larangan penulisan hadis dimaksud jika disatukan pada satu suhuf dengan al-Qur’an.
Ketiga, ada ulama yang memandang bahwa larangan tersebut pada dasarnya bagi orang yang kuat hafalannya. Hal ini untuk membiasakan diri melatih kekuatan hafalannya, dengan menghilangkan ketergantungan kepada penullisan. Sedang izin penulisan diberikan kepada orang-orang yang lemah hafalannya, seperti Abu Syah atau yang khawatir lupa seperti Abdullah ibn ‘Amr bn Al-‘Ash.
Keempat, ada juga yang memandang bahwa larangan tersebut dalam bentuk umum, yang sasarannya masyarakat banyak. Akan tetapi untuk orang-orang tertentu yang mempunyai keahlian menulis dan membaca, yang tidak ada kekhawatiran terjadinya kekeliruan dalam menulisnya, adalah diperbolehkan.

B. HADIS PADA MASA SAHABAT
Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat, khususnya masa khulafâ’ Al-Râsyidîn (Abu Bakar, Umar ibn Khathab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya.Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan (al-tasabut wa al-iqlâl min al-riwâyah).

1. Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasul SAW, berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang lain, sebagaimana sabdanya:

. تركت فيكم امرين لن تظلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله و سنة نبيه - رواه مالك -
“ Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnahku (al-Hadis)”. (HR. Malik)
Dan sabdanya pula:

. بلغوا عني ولو اية - رواه ا لبخاري -


“Sampaikanlah dariku walau satu ayat/satu hadis”.
Pesan-pesan Rasul SAW, sangatlah mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW, dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkannya.

2. Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadis
Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan al-Qur’an. Ini terlihat bagaimana al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar ibn Khathab. Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman ibn Affan, sehingga melahirkan Mushaf Usmâni. Satu disimpan di Madinah yang dinamai mushaf al-imâm, dan yang empat lagi masing-masing disimpan di Makkah, Bashrah, Syiria dan Kufah. Sikap memusatkan perhatian terhadap al-Qur’an tidak berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian terhadap hadis. Mereka memegang hadis seperti halnya yang diterimanya dari Rasul SAW, secara utuh ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber tasyri’ setelah al-Qur’an, yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Qur’an. Oleh karenanya, para sahabat khsusnya khulafa’ al-rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) dan sahabat lainnya, seperti Al-Zubair, Ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.
Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara hadis. Menurut Al-dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama sekali menerima hadis dengan hati-hati. Diriwayatkan oleh Ibn Syihab dari Qabisah ibn Zuaib, bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar soal bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik dalam al-Qur’an maupun hadis. Al-Mughirah menyebutkan, bahwa rasul SAW, memberinya seperenam. Abu Bakar kemudian meminta supaya Al-Mughirah mengajukan saksi lebih dahulu baru kemudian hadisnya diterima.
Setelah Rasul SAW, wafat Abu Bakar pernah mengumpulkan para sahabat. Kepada mereka, ia berkata: “Kalian meriwayatkan hadis-hadis rasul SAW, yang diperselisihkan orang-orang setelah kalian akan lebih banyak berselisih karenanya. Maka janganlah kalian meriwayatkan hadis (tersebut).
Sikap kehati-hatian juga ditunjukkan oleh Umar ibn khathab. Ia seperti halnya Abu Bakar, suka meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Akan tetapi untuk masalah tertentu acapkali ia pun menerima periwayatan tanpa syahid dari orang tertentu, seperti: Hadis-hadis dari Aisyah. Sikap kedua sahabat juga diikuti oleh Usman dan Ali. Ali, selain dengan cara-cara diatas, juga terkadang mengujinya dengan sumpah.
Perlu pula dijelaskan disini, bahwa pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab, seperti al-Qur’an. Hal ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekususan mereka (umat Islam) dalam mempelajari al-Qur’an. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadis dari rasul SW, sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadis, di kalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz, dan kesahihannya.

3. Periwayatan hadis dengan Lafaz dan Makna
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, tidak berarti hadis-hadis Rasul tidak diriwayatkan. Dalam batas-batas tertentu hadis-hadis itu diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-harinya, seperti dalam permasallahan ibadah dan muamalah. Periwayatan terebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadis tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari rasul SAW, pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul SAW) dan kedua, dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).
a. Periwayatan Lafzhi
Seperti telah dikatakan, bahwa periwayatan lafzhi, adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis, seperti yang diwurudkan Rasul SAW. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW, bukan menurut redaksi mereka. Bahkan menurut ‘Ajjâj Al-Khathib, sebenarnya, seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi bukan dengan maknawi. Sebagian dari mereka secara ketat melarang meriwayatkan hadis dengan maknanya saja, hingga satu huruf atau satu katapun tidak boleh diganti. Begitu pula tidak boleh mandahulukan susunan kata yang disebut Rasul dibelakang atau sebaliknya, atau meringankan bacaan yang tadinya tsiqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar ibn Khathab pernah berkata: “Barang siapa yang mendengar hadis dari Rasul SAW, kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat.”
Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadis dengan jaan lafhzi adalah Ibnu Umar. Ia seringkali menegur sahabatyang membacakan hadis yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rasul SAW, seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid ibn Amir. Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan hadis tentang lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan keempat, sebagaimana yang didengarnya dari rasulullah SAW.

b. Periwayatan Maknawi
Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW, boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi atinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW, tanpa ada perubahan sedikitpun.
Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadis ada istilah-istilah tertentu yang digunakannya untuk meguatkan penukilannya, seperti dengan kata: qâla Rasûl SAW, hâkadzâ (Rasul SAW telah bersabda begini), atau nahwan, atau qâla Rasul SAW, qarîban min hâdzâ.
Periwayatan hadis dengan maknawi akan mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang redaksinya antara satu hadis dengan hadis lainnya berbeda-beda, meskipun maksud atau maknanya tetap sama. Hal ini sangat tergantung kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut.
Karakteristik yang menonjol pada era sahabat ini adalah bahwa para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memeliharanya dalam lembaran-lembaran, mushaf, dan dalam hati mereka. Kehati-hatiannya terhadap Al-Kitab ini juga diberlakukan terhadap Sunnah meskipun disatu sisi ada larangan dari Nabi SAW, untuk menuliskannya. Meskipun demikian mereka barupaya mempertahankan keotentikan kedua-duanya. Setelah Al-Kitab terkumpul dalam satu suhuf, mereka baru berani menuliskan Sunnah Nabi.

KESIMPULAN

1. Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat mengetahui sikap dan tindakan umat islam yang sebenarnya, khususnya para ulama ahli hadis, terhadap hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab hasil tadwîn secara sempurna.
2. Hadis Pada Masa Rasul SAW, yang meliputi : a. Cara Rasul SAW menyampaikan Hadis, b. Perbedaan Para sahabat dalam menguasai hadis, c. Menghafal dan Menulis Hadis ( Menghafal Hadis dan Menulis Hadis serta Mempertemukan Dua Hadis yang Bertentangan ).
3. Hadis Pada Masa Sahabat, yang meliputi : a. Menjaga Pesan Rasul SAW, b. Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadis, c. Periwayatan Hadis dengan Lafaz dan makna ( Periwayatan Lafzhi dan Maknawi ).

http://referensiagama.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar