Senin, 17 Januari 2011
Tafsir Tahlili : Kajian Terhadap Tafsir Al Jami’ Li Ahkami al Qur’an Karya Al Qurtubi
Tafsir Tahlili : Kajian Terhadap Tafsir Al Jami’ Li Ahkami al Qur’an Karya Al Qurtubi
by Sariono Sby
PENDAHULUAN
Tafsir biasa diartikan dengan al idah wa al tabyin, menjelaskan dan menerangkan, atau lebih lengkapnya adalah suatu ilmu yang dengannya kitab Alloh dapat dipahami,menerangkan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum-hukum serta hikah-hikmahnya. Dapat juga diartikan dengan ilmu yang membahas al Qur’an al Karim dari segi dilalahnya sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh Allah, dalam batas kemampuan mausia. Dengan demikian tafsir secara sederhana dapat dipahami sebagai usaha manusia dalam memahami al Qur’an.
Salah satu dari sekian banyak tafsir yang ad adalah tafsir al Jami’ li Ahkam al Qur’an karya al Qurtubi, sehingga tafsir ini sering disebut dengan ama tafsir al Qurtubi.
Dalam menafsirkan Al Qur’an sudah barang tentu para ulama menggunakan metode-metode (manhaj) dan dalam bentuk penafsiran tertentu tergantung dari kecenderungan mufasirnya. Mengambil istilah yang disampaikan oleh Prof DR.H.M. Ridlwan Nasir, MA. dalam makalahnya bahwa tafsir al Jami’ li Ahkam al Qur’an dalam penafsirannya menggunakan metode :
a. Segi sumber penafsirannya : bi al Ma’thur
b. Segi cara penjelasan : Muqarin
c. Segi keluasan penjelasan: Itnabi
d. segi sasaran dan tertib ayat : Tahlili
Adapun dari sisi Ittijah-nya (kecenderungan) tafsir al Jami’ li ahkam al Qur’an beraliran Fiqhi.
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Tafsir menurut bahasa mengikuti wazan “ taf’il,” artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna-makna rasional. Adapun Tafsir menurut istilah, Manna al Qattan menukil dari pendapat Abu Hayyan adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadh-lafadh Al Qur’an, indikator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik yang independent maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadh yang melengkapinya. Atau menurut al Zarkasi, Tafsir adalah suatu ilmu yang dengannya kitab Alloh dapat dipahami,menerangkan makna-maknanya dan mengeluarkan hokum-hukum serta hikah-hikmahnya. Dari dua pengertian yang telah disebut melihat pada cakupanya yang rinci, luas dan jelas, penulis lebih cenderung kepada definisi yang pertama, seakan-akan semua yang berkenaan dengan penafsiran suatu ayat sudah tercakup didalamnya seperti ilmu qira’at, ilamu lughoh (ilmu Saraf, ilmu, i’rob, ilmu Bayan dan ilmu Badi), tentang makna haqiqi dan Majazi dan mengenai nask, asbab al Nuzul, al Qasas dan lain-lain. Adapun mengenai pengertian Tafsir Tahlili yaitu menjelaskan Al-Qur'an dengan menguraikan berbagai seginya baik yang berkaitan dengan lafal-lafalnya maupun yang berkaitan dari sisi maknanya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
Kalau kita lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahlili yang jumlah sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh bentuk tafsir, yaitu : Al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-Shufi, At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i.
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur'an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur'an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah.
Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’y, sebagaimana. Dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan.
Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’y (pemikiran). Diantara kitab tahlili yang mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) adalah :
a. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an al-Karim, karangan Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) dan terkenal dengan Tafsir al-Thabari.
b. Ma’alim al-Tanzil, karangan al-Baghawi (w. 516 H)
c. Tafsir al-Qur’an al-Azhim, karangan Ibn Katsir; dan
d. Al- Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, karangan al-Suyuthi (w. 911 H)
e. Tafsir Al Jami’ Li Ahkami al Qur’an, karangan al Qurtubi (w. 671 H.)
Adapun tafsir tahlili yang mengambil bentuk ra’y banyak sekali, antara lain
a. Tafsir al-Khazin, karangan al-Khazin (w. 741 H)
b. Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, karangan al-Baydhawi (w. 691 H)
c. Al-Kasysyaf, karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H)
d. Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, karangan al-Syirazi (w. 606 H)
e. Al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, karangan al-Fakhr al-Razi (w. 606 H)
f. Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, karangan Thanthawi Jauhari;
g. Tafsir al-Manar, karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M);
h. Dalam kitab Madhal ila Manhaji al ufassirin karya Muhammad al Sayyid Jibril memasukan Tafsir al Qurtubi dalam kategori bil Ra’yi.
Mengenai perbedaan pandangan tentang tafsir al Qurtubi apakah termasuk tafsir bil ma’thur atau bil Ra’yi? Menurut hemat penulis, tidaklah menjadi sebuah masalah, karena memang dari satu sisi al Qurtubi dalam menafsirkan satu ayat dalam al Qur’an mengemukakan hadis nabi ataupun pendapat para sahabat. Sehingga dari sini dapat dikemukakan bahwa tafsir al Qurtubi dikategorikan tafsir bi al Ma’thur.
Adapun mengenai yang berpendapat bahwa Tafsir al Qurtubi termasuk tafsir bi al Ra’yi, barangkali yang menjadi pertimbangan adalah karena tafsir Al Qurtubi cenderung lebih menekankan pada permasalahan fikih, sehingga jelas dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an khususnya ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum atau berhubungan dengan permasalahan fiqih, membutuhkan ijtihad dalam beristimbat. Ijtihad tidaklah mugkin tanpa melibatkan penalaran yang mendalam terhadap dalil ataupun madlulnya. Dari sini memungkinkan pengkategorian Tafsir Al Qurtubi dalam Tafsir bi al Ra’yi.
2. Kelebihan dan Kekurangan Metode Tahlili
Sebagaimaa metode-metode yang lain, metode tahili juga mempunyai kelebihan dan kekurangan. Diantara kelebihan meted ini adalah :
· Ruang lingkupnya luas, artinya metode ini dapat digunakan oleh mufassir dalam dua bentuknya yaitu ma’thur dan ra’yi.
· Memuat berbagai ide, artinya tafsir dengan metode tahlili relative memberikan kesempatan yang luas kepada mufasir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan al Qur’an.
Adapaun kekurangan-kekurangannya adalah diantaranya :
· Menjadikan petunjuk al Qur’an parsial. Seperti halnya metode ijmali, metode tahlili juga dapat membuat petunjuk al Qur’an bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan al Qur’an memberi pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya.
· Melahirkan penafsiran yang subyektif. Seperti dikemukakan diatas metode ini memberikan peluang yang luas sekali kepada mufasir untuk mengemukakan ide dan pemikiranya, sehingga kadang-kadang mufasir tidak sadar bahwa ia telah menafsirkan al Qur’an secara subyektif dan bahkan kadang tidak mengindahkan kaidah-kaidah penafsiran yang benar.
· Masuknya pemikiran israiliyat. Dikarenakan metide ini tidak membatasi mufasir dalam mengemukakan pemikirannya maka berbagai pemikiran dapat masuk kedalamnya, tidak terkecuali pemikiran israiliyat.
Tafsir Al Jami’ Li Ahkami al Qur’an
Tafsir Al Jami’ Li Ahkami al Qur’an adalah sekian dari tafsir yang dalam penafsirannya menggunakan metode analitik (tahlili). Dari penamaanya sudah terlihat bahwa tafsir ini lebih menitik beratkan pada hukum-hukum terdapat dalam Al Quran, walaupun didalamnya terdapat pula masalah-masalah linguistic dan sastra, sehingga dalam kitab Al Tafsir wal Mufasirun tafsir ini dikelompokan dalam Tafsir al Fuqaha. Dalam pembahasan mengenai tafsir ini akan penulis sampaikan melalui beberapa pembahasan yaitu :
1. Riwayat Hidup Pengarang
Tafsir ini ditulis oleh Al Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al Anshori Al Khajraji Al Andalusi Al Qurtbi, seorang ulama ternama dikalangan Maliki. Beliau dilahirkan di Kodova salah satu kota di Andalusia (Spanyol), dan tumbuh besar bersama orang tuanya, mengenai tahun kapan belia dilahirkan sumber-sumber sejarah tidak ada yang menyebutkan tahun kapan Al Qurtubi dilahirkan, namun semua sepakat tahun wafatnya yaitu pada malam senin, 9 Shawal 671 H. Dalam Maktabah al Shamilah yaitu dalam biografi-biografi para ulama, penulis menemukan tahun kelahirannya yaitu pada tahun 600 H./1273M. akan tetapi mengenai kebenaran tahun kelahirannya ini, karena tidak disebutkannya sumber pengambilannya dan setelah penulis coba merujuk pada kitab-kitab Ulum al Tafsir, ternyata tidak ada sama sekai yang menyebutkannya secara jelas kapan ia dilahirkan. Hanya saja Muhammad Shafa Shaih Ibrahim Haqqi menukil dari gurunya Ali bin Sulaiman al ‘Abid menyebutkan kapan al Qurtubi dilahiran, tapi juga tidak rinci yaitu pada permulaan abad ke tujuh Hijriyah, sehingga kejelasanya tetap masih merupakan misteri.
Al-Qurthubi dikenal sebagai sosok pribadi yang saleh, mempunyai ilmu yang luas, wara’ dan zuhud terhadap kehidupan dunia, beliau senantiasa disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan akhiratnya antara beribadah atau menulis.
al-Qurthubi tinggal di Maniyyah Ibnu Khashib sampi wafat dan dikuburkan di kota tersebut pada malam Senin, 9 Shawwal 671 H. Rahima Allohu wa radiya ‘anhu.
a. Karya-Karya Al Qurtubi
Seperti dikatakan diatas bahwa al Qurtubi dikenal sebagai orang yang saleh yang menghabiskan waktunya untuk beribadah dan menulis. Oleh karenanya banyak karya yang telah beliau wariskan yang sangat bermanfaat untuk generasi setelahnya. Karta-karya yang telah beliau tulis adalah :
§ al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin lima tadlammana min as-Sunnah wa Ay al-Furqan, ini adalah karya beliau yang paling fenomenal dalam bidang tafsir, terdiri dari 12 jilid, didalamnya tidak termemuat tentang kisah-kisah dan sejarah, sebagai gantinya ia menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam Al Qur’an dan bagaimana pengambilannya serta menyebutkan macam-macam Qira’at dan I’rob serta Nasikh Mansukh. Al-Qurthubi juga menulis tentang yang diberi judul
§ al-Kitab al-Usna fi Asmaillah al-Husna berisi tentang penjelasan mengenai nama-nama Allah swt, tertulis dalam 2 jilid.
§ Al Tidhkar fi Afdal al-Adhkar berkisar tentang dzikir. Dalam penulisannya beliau menulisnya seperti kitab Attibyan karya Al Nawawi namun lebih sempurna dan lebih banyak muatannya.
§ Al Tadhkirah bi umûr al Akhirah dalam 2 jilid,
§ Syarh Al Taqassi
§ Qamh al-Hirs bi al-Zuhi wa al-Qana’ah
§ Dan beliau juga menulis rangkaian syair yang memuat nama-nama Nabi Muhammad saw dan beberapa karangan beliau yang lain.
b. Guru-Guru al Qurtubi
Al-Qurthubi berguru kepada asy-Syaikh Abul Abbas Ahmad bin Umar al-Qurthubi penulis kitab al-Mufhim fi Syarhi Shahihi Muslim, beliau menyimak darinya beberapa bagian kitab sharah tersebut, dan beliau juga meriwayatkan beberapa hadits dari al Hafidh Abu Ali al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad al-Bakari dan Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Hafs al Yahshibi serta dai beberapa orang selain keduanya.
c. Murid al Qurtubi
Mengenai murid yang berguru kepada Al Qurtubi dalam sejarahnya tidak ada yang disebutkan kecuali satu orang yaitu anaknya yang bernama Shihab al Din Ahmad, ini menarik sekali untuk dikaji, seorang Al Qurtubi dengan kapasitas keilmuannya yang tidak diragukan lagi dilihat dari hasil karya-karyanya terlebih Tafsirnya ini, sangat mustahil jika tidak mempuyai murid kalau tidak karena adanya hal-hal tertentu. Penulis setuju dengan analisis yang dilakukan oleh Muhammad Sofa Shaih Ibrahim Haqqi dalam menanggapi sementara alasan yang dikemukakan oleh sebagian para pembahas, yaitu hal itu terjadi – hanya mempunyai satu murid- karena kesibukan dirinya dalam memperdalam ilmu di depan para gurunya dan tercurahnya waktu beliau hanya untuk menulis kitab dan beribadah sehingga tidak memungkinkan dirinya berkecimpung dalam pemerintahan maupun pendidikan. Alasan seperti ini tidak menjadikan terang akan sejarahnya, bagaimana mungkin seorang yang sangat alim, salah satu karyanya yaitu tafsir al Jami’ li Ahkai al Qur’an sudah menunjukan akan kepakarannya dalam ilmu-ilmu agama, ditinggalkan oleh para pencari ilmu dalam kurunnya, padahal orang-orang yang sepertinya dalam kepandaiannya, para pencari ilmu siap antri di depan pintunya hanya demi mendapatkan pelajaran atau hanya untuk mendengarkan satu hadis, bahkan ada sebagian dari mereka yang rela melakukan sesuatu agar di penjara dan kemudian dapat bertemu seorang yang alim yang telah dipenjarakan. Menurut analisis Muhammad Sofa Shaih Ibrahim Haqqi, hal itu tidak lepas dari peran politik yang ada pada waktu itu. Kalau melihat bagaimana sikap Al Qurtubi terhadap kaum-kaum Rafidhah khususnya mengenai pendapat-pendapat mereka yang dianggap melenceng oleh Al Qurtubi, jelaslah sudah, Al Qurtubi sangat anti terhadap mereka, oleh karena itu al Qurtubi dilarang uantuk mengembangkan ilmunya pada orang lain, dan kemudian diasingkan, bahkan bisa saja karangan-karangan beliau dihasilkan ketika beliau dalam pengasingan itu.
2. Keistimewaan Tafsir al Jami’ Li Ahkami Al Qur’an
Dalam Muqaddimah-nya al Qurtubi menyampaikan beberapa catatan yng menurut hemat penulis, merupakan suatu hal yang membedakan dari karya-karya tafsir lainnya. Hal ini tidak berlebihan karena al Qurtubi benar-benar konsisten dengan apa yang telah disampaikannya dalam Muqaddimah tafsirnya. Secara ringkas akan penulis sampaikan kesimpulan dari muqaddimah-nya itu.
a. Menyandarkan semua perkataan pada orang-orang yang mengatakannya dan berbagai hadis kepada pengarangnya. Dalam hal ini beliau menyampaikan sebuah prinsip
من بركة العلم ان يضاف القول الى قائله
Artinya : diantara berkah ilmu adalah menyandarkan perkataan kepada yang mengatkannya. Dalam hal ini tidak semua penulis memakai prinsip ini, sehingga merupakan prestasi tersendiri bagi al Qurtubi dalam Tafsirnya ini.
b. Menjelaskan Ayat-ayat Al Qur’an secara panjang lebar terlebih yang berkenaan dengan masalah fiqih. Memang dalam penamaan tafsirnya sudah mengindikasikan kalau tafsirnya ini berkecenderungan pada masalah fikih, akan tetapi al Qurtubi khusus untuk ayat yang berkenaan dengan masalah fiqih beliau akan menafsirkannya lebih mendalam, sebagai contoh dapat dilihat ketika ia menafsirkan surat al Fatihah. Al Qurtubi mendiskusikan persoalan-persoalan fiqh, terrutama yang berkaitan denga kedudukan basmlah ketika dibaca dalam salat, juga persoalan bacaan fatikhah makmum ketika salat Jahr. Terhadap ayat yang sama, para mufasir lain yang sama-sama dari kelompok mufasir ahkam hanya membahasnya secara sepintas, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr al Jasshash. Ia tidak membahas ayat ini secara khusus, tetapi hanya menyinggung dalam sebuah bab yang diberi judul Bab Qira’ah al Fatihah fi al Shalah. Ibn al ‘Arabi juga tidak membahas surat ini secara menyeluruh. Ia meninggalkan penafsiran ayat al Rahman al Rahim dan Malik Yaum al Din.
c. Walaupun beliau dikenal sebagai pemuka madhab maliki tapi beliau dalam tafsirnya tidak terlihat fanatic terhadap madhabnya. Ketika menjelaskan ayat-yang mengandung perselisihan pendapat maka beliau mendiskusikan pendapat beberapa ulama dan kemudian beliau berpendapat secara obyektif tanpa harus terikat dengan madhab yang dianutnya.
Sebagi contoh saat menafsirkan firman Alloh,dalam Q.S. Al Baqarah: 187,
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; (Al Baqarah : 187)
Dalam masalah kedua belas dari masalah yang terkandung dalam ayat ini, sesudah mengemukakan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum orang yang makan di siang hari bulan Ramadhan karena lupa, dan mengutip pendapat imam Malik yang mengatakan batal dan wajib mengqadha’. Ia mengatakan, “ Menurut pendapat selain imam Malik, tidaklah dipandang batal setap orang yang makan karena lupa akan puasanya. Menurut pendapat saya pribadi, ia adalah pendapat yang benar dan jumhurpun berpendapat sama bahwa barang siapa makan atau minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadhanya. Dan puasanya tetap sempurna. Hal ini berdasarkan pada Hadis Abi Hurairah, Rasulullah bersada “ jika seorang sedang berpusa lalu makan atau minum karena lupa, maka yang demikian adalah rizki yang diberikan Allah kepadanya, dan ia tidak wajib mengqadhanya.”
Dari kutipan ini kita melihat, dengan pendapat yang dikemukakan itu al Qurtubi tidak sejalan dengan madhabnya sendiri. Ia berlaku adil terhadap madhab lain.
d. Gaya bahasanya halus dalam melakukan konfrontasi terhadap sejumlah golongan lain.yang dianggap pendapatnya melenceng dan sesat, seperti kaum mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah, Rafidhah, para filosof dan kaum sufi ekstrim. Karena kesantunannya ini beliau sempat mengkritik Ibn al ‘Arabi karena ungkapan-ungkapan yang digunakanny kasar dan keras terhadap para ulama.
e. Banyak dan berkualitasnya referensi yang dipakai oleh Al Qurtubi dalam penafsiranya.
f. Al Qurtubi berusaha menghubungkan sebagian masalah-masalah ulumul Qur’an dengan kasus yang terjadi
Tentang keistimewaan tafsir al Qurtubi ini tentunya masih banyak lagi dengan melakukan penelitian yang lebih seksama.
3. Sistimatika Tafsir Al Qutubi
Dalam penulisan kitab tafsir dikenal adanya tiga sistimatika : Pertama, sistimatika Mushafi yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dengan dimulai dari surat Al Fatihah, Al aqarah dan seterusnya sampai surat An Nas. Kedua, Sistimatika Nuzuli yaitu dalam menafsirkan Al Qur’an berdasarkan kronologis turunnya surat-surat Al Qur’an, contoh mufasir yang memakai sistimatika ini adalah Muhammad ‘Izzah Darwazah dengan tafsirnya yang berjudul al Tafsir al Hadith. Ketiga, sistimatika Maudhu’i, yaitumenafsirkan Al Qur’an berdasarkan topic-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan topic tertentu kemudian ditafsirkan.
Al Qurtubi dalam menulis kitab tafsirnya, memulai dari surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat Al Nas, dengan demikian tafsir Al Qurtubi dalam penulisannya memakai sistimatika Mushafi, yaitu dalam menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.
Adapun mengenai langkah langkah Al Qurtubi dalam menafsirkan Al Qur’an dapat dijelaskan dengan perincian sebagai berikut :
a. Memberikan kupasan dari segi bahasa
b. Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadis-hadis dengan menyebut sumbernya sebagai dalil.
c. Mengutip pendapat para ulama dengan meyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaita dengan pokok pembahasan.
d. Menolak pendapat yang tidak sesuai dengan ajaran islam
e. Mendiskusikan pendapat para ulama dengan argumentasi masing-masing, setelah itu ia melakukan tarjih dan mengambil pendapat yang dianggap paling benar.
Langkah-langkah yang ditempuh al Qurtubi ini masih mungkin diperluas lagi dengan melakukan penelitian yang lebih seksama.terhadap tafsirnya itu
4. Komentar Terhadap Tafsir Al Qurtubi
Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang tafsir yang terbaik dari tiga tafsir yang disodorkan kepadaya; Tafsit al Zamakhsari, Al Qurtubi dan al Baghawi. Ia menjawa : sungguh tafsir al Qurtubi lebih baik dari tafsirnya al Zamakhsari, sebab tafsir al Qurtubi lebih dekat dengan thariqoh Ahli al Sunah wa al Jama’ah dan lebih jauh dari bid’ah.
Ibn al Khatib dalam kitabnya Al Furqon mengecualikan al Qurtubi dari kebanyakan mufasir dalam tidak memasukannya kisah-kisah israiliyat dalam tafsirnya itu dan ia menyatakan bahwa tafsir al Qurtubi adalah sebaik-baik kitab tafsir.
al Hafidz Abd Karim: al Qurthubi adlh hamba Allah yg shaleh, ulama yang arif dan wara’, sertab beliau adalah seorang zahid
al Dahabi menyataka al Qurtubi adalah seorang yang dalam ilmunya, cemerlang akalnya dan penuh keutamaan.
al Qattan mengemukakan al Qurtubi dalam menafsirkan al Qur’an tidak hanya ayat-ayat ahkam saja, akan tetapi juga menjelaskan asbab al nuzul ,qira’at, i’rab, gharib alfad al Quran.
Menurut Muhammad Shafa Shaih Ibrahim Haqqi, merupakan kesalahan jika ada seorang yang menolak ungkapan pencari ilmu “ cukuplah mempelajari tafsir al Qurtubi dari lainnya ketika ingin memahami isi kandungan Al Qur’an” karena memang keberadaan tafsir al Qurtubi yang mecakup aspek-aspek penafsiran, baik dari sisi bahasa, hukum-hukum dalam ayat-ayat Al Qur’an ataupun mengenai ilmu Qira’at.
Masih mengenai keistimewaan tafsir Al Qurtubi, Abdullah bin Abdul Muhsin al Turki berkata : “Kitab al Jami’ Li Ahkami al Qur’an atau yang di kenal dengan tafsir al Qurtubi adalah termasuk sebaik-baiknya kiab tafsir karena didalamnya tercakup beberan yang luas mengenai makna-makna yang terdapat dalam Al Qur’an, penjelasan hukum-hukum yang terkandung didalamnya dan juga karena didalamnya terdapat penjelasan tentang macam-macam Qira’at dan I’rob, shahid-shahid yang berupa shi’ir, pembahasan kebahasaan dan penolakan terhadap pendapa-pendapat ahl al Bida’ wa al Ahwa’.
Dari pernyataan-pernyataan para ulama mengenai keistimewaan tafsir al Qurtubi tersebut kiranya bisa penulis simpulkan bahwa keistimewaan tafsir al Qurtubi tersebut tidak lain karena keluasan pembahasan yang ada di dalamnya dan penolakanya terhadap pendapat-pendapat ahl al Bida’ wa al Ahwa serta minimnya cerita-cerita israiliyat yang terdapat didalamnya.
Sesempurna apapun sebuah karya tentunya tidak lepas dari sisi-sisi kekurangan, begitu juga tafsir al Qurtubi, menukil dari apa yang disampaikan oleh Abdullah bin Abdul Muhsin al Turki dalam karya tahqiqnya terhadap tafsir al Jami’ Li Ahkami al Qur’an, ada beberapa yang perlu menjad catatan terhadapnya yaitu diantaranya :
a. Al Qurtubi meriwayatkan hadis do’if bahkan hadis mudu’ tanpa menjelaskan statusnya. Sebagai contoh hadis yang terdapat dalam juz I hal 42
أحبّوا العرب لثلاث : لأنّي عربيّ, والقرأن عربي وكلام أهل الجنّة عربي
Cintailah orang arab karena tiga hal yaitu : saya orang arab, Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan bahasa ahli surga adalah bahasa Arab.
b. Melakukan penyendirian dalam penjelasan mengenai suatu lafal atau hadis. Contoh beliau menyebutkan bahwa Nun yang terdaat dalam lafal ننج dalam surat yunus ayat 103
Adalah dengan satu Nun, padahal semua ahli Qira’at sepakat bahwa lafal tersebut dengan dua Nun.
c. Mengikuti kesalahan-kesalahan (Auham) yang terdapat dalam sumber-sumber tafsirnya. sebagai contoh, beliau menyebutkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari jalur ‘Amr bin Shu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi membunuh seseorang di Al Qasamah ……, padahal dalam sanad hadis ini terdapat kesalahan. Beliau mengikuti apa yang terdapat dalam Ahkam al Qur’an karya Ibn al ‘Arabi (I/25) dan mengikuti Ibnu Abdi al Bar dalam al Tamhin-Nya (23/217). Yang benar adalah “ dari ‘Amr bin Shu’aib dari Nabi SAW. hadis ini adalah termasuk hadis Mu’dhal.
KESIMPILAN
Dari paparan diatas dapat disimpulkan :
1. al Qur’an yang berfungsi sebagai Hudan li al Nas tidak dapat berfungsi tanpa adanya penafsiran
2. Tafsir Tahlili yaitu menjelaskan Al-Qur'an dengan menguraikan berbagai seginya baik yang berkaitan dengan lafadh-lafadhnya maupun yang berkaitan dari sisi maknanya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir
3. salah satu tafsir yang dalam menafsirkan menggunakan metode tahlili adalah Tafsir al Jami’ Li Ahkami al Qur’an. Ditulis oleh Al Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al Anshori Al Khajraji Al Andalusi Al Qurtbi, seorang ulama ternama dikalangan Maliki. Beliau dilahirkan di Kodova salah satu kota di Andalusia (Spanyol), mengenai pada tahun berapa beliau dilahrkan tidak ada sumber yang jelas akan hal itu. Adapu wafatnya di kota Maniyyah Ibnu Khashib pada tanggal 9 Shawwal 671 H.
4. keistimewaan tafsir al Qurtubi
a. Menyandarkan semua perkataan pada orang-orang yang mengatakannya dan berbagai hadis kepada pengarangnya
b. Menjelaskan Ayat-ayat Al Qur’an secara panjang lebar terlebih yang berkenaan dengan masalah fiqih
c. Tidak terlihat fanatic terhadap madhabnya
d. Gaya bahasanya halus dalam melakukan konfrontasi terhadap sejumlah golongan lain.yang dianggap pendapatnya melenceng dan sesat
e. Banyak dan berkualitasnya referensi yang dipakai oleh Al Qurtubi dalam penafsiranya
f. Al Qurtubi berusaha menghubungkan sebagian masalah-masalah ulum al Qur’an dengan kasus yang terjadi
5. Sistimatika yang digunakan Al Qurtubi dalam penulisannya memakai sistimatika Mushafi
6. berbagai macam komentar para ulama terhada Tafsir al Qurtubi kebnyakan menilai positif, hal ini dilatar belakangi karena keluasan pembahasan yang ada di dalamnya dan penolakanya terhadap pendapat-pendapat ahl al Bida’ wa al Ahwa serta minimnya cerita-cerita israiliyat yang terdapat didalamnya.
http://referensiagama,blogspot.com/januari/2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar