Rabu, 26 Januari 2011

IBNU SINA DAN PEMIKIRAN FILSAFATNYA


IBNU SINA DAN PEMIKIRAN FILSAFATNYA
By sariono sby

PENDAHULUAN

Jika membicarakan sejarah pemikiran Islam, utamanya filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dianggap sebagai sosok filosof Muslim yang disamping merupakan sosok yang unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim selama beberapa abad.
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki system pemikiran tersendiri, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan orisinalitasnya yang membedakannya dari yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Sina memang memiliki pemikiran yang jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi. Hal demikian juga nampak dalam sistem pemikiran filsafat keagamaan Islam.
Ibnu Sina disamping dikenal sebagai ahli di bidang kedokteran dan proses pengobatan, dikenal pula sebagai filosof tak tertandingi. Menurutnya, seseorang baru diakui sebagai ilmuwan, jika ia menguasai filsafat secara sempurna. Ibnu Sina sangat cermat dalam mempelajari pandangan-pandangan Aristoteles dibidang filsafat.
Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filosof sebelumnya semisal al-Kindi dan al-Farabi, Ibnu Sina berhasil menyusun sistem filsafat Islam yang terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan besar yang dilakukan Ibnu Sina adalah menjawab berbagai persoalanan filsafat yang tak terjawab sebelumnya.
Hidup Ibnu sina penuh dengan kesibukan bekerja dan mengarang, penuh pula dengan kesenangan dan kepahitan hidup.





PEMBAHASAN
1. RIWAYAT HIDUP
Ibnu Sina dilahirkan dalam masa kekacauan, dimana khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran, dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khilafah tersebut mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sendiri, dikuasai oleh golongan Banu Buwaih pada tahun 334 H hingga tahun 447 H.
Di antara daerah-daerah yang berdiri sendiri ialah Daulat Samani di Bukhara, dan diantara khalifahnya ialah Nuh bin Mansur. Pada masanya, yaitu di tahun 370 H (980 M), di suatu tempat yang bernama Afsyana, dari daerah Bukhara, Ibnu Sina dilahirkan dan dibesarkan. Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman.
Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu-ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Dari seorang ahli ilmu mantiq Abu Abdullah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator-komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang-cabangnya. Kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan tingginya kemampuan otodidak Ibnu Sina. Namun di suatu saat, Dia harus terpaku menunggu saat menyelami ilmu metafisika-nya Aristoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.
Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak mau mencukupkan hanya dengan teori-teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang sakit. Ia tidak pernah bosan membaca buku-buku filsafat. Setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Allah SWT untuk diberinya petunjuk. Terbukti permohonannya tidak pernah berakhir dengan kekecewaan. Sering kali ia tertidur karena kepayahan membaca, maka di dalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu.
Pada usia 22 tahun ayah Ibnu sina meninggal dunia, kemudian ia meninggalkan Bukhara untuk menuju ke Jurjan, dan dari sini ia pergi ke Khawarazm. Di Jurjan ia mengajar dan mengarang, tetapi tidak lama juga tinggal di sini, karena kekacauan politik. Sesudah itu ia berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain, dan akhirnya sampai di Hamadzan. Oleh penguasa negeri ini, yaitu Syamsuddaulah, ia diangkat menjadi menterinya beberapa kali, sesudah ia dapat mengobati penyakit yang dideritanya, meskipun pada masa tersebut ia pernah dipenjarakan. Sesudah itu ia pergi ke Isfahan, dan dari penguasa negeri ini ia mendapat sambutan baik, serta berkali-kali diajak bepergian dan berperang.
Ibnu Sina wafat pada tahun 428 hijriyah pada usia 58 tahun. Ia pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada khasanah keilmuan umat manusia dan namanya akan dikenang sepanjang sejarah. Ibnu Sina adalah contoh dari tokoh besar dari peradaban besar di zamannya.

2. KARYA-KARYA IBNU SINA
Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis.
Dalam bidang materia medeica, Ibnu Sina telah banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga dimana tumbuh - tumbuhan banyak membantu terhadap beberapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak (miningitis). Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya.
Ibnu sina jugalah yang mula-mula mempraktekkan pembedahan penyakit-penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan last but not least dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa dengan cara-cara modern yang kini disebut psikoterapi.
Di bidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya. Ia memang merupakan satu bintang gemerlapan yang memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman. Karena itulah sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan-peperangan yang merajalela di sebelah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.”
Selain kepandaiannya sebagai filosof dan dokter, ia pun penyair. Ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku-buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair.
Kebanyakan buku-bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Orang-orang Eropa di abad pertengahanpun mulai mempergunakan buku-bukunya itu sebagai textbook di berbagai universitas. Oleh karena itu nama Ibnu Sina dalam abad pertengahan di Eropah sangat berpengaruh.
Dalam dunia Islam kitab-kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku-bukunya dalam bahasa Persia telah diterbitkan di Teheran pada tahun 1954.
Karya-karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah ringkasan dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat dikarangkannya kemudian untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan-karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya.
Sekalipun ia hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk dengan soal negara, ia masih sempat menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Diantaranya karya yang paling masyhur adalah “al-Qanun fi at-thiib” yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di Universitas Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental “Kitab As-Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam.
Di antara karangan - karangan Ibnu Sina adalah :
1. As-Syifa’ (The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan).
2. An-Najat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
3. Al-Qanun fii at-Thiib, buku ini adalah buku ilmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
4. Risalah al-Siyaasah, buku tentang politik.
5. Al-Musiqa. Buku tentang musik.
6. Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
7. Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.
8. Danesh Nameh. Buku filsafat.
9. Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
10. Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar ilmu logika secara lengkap.
11. Hikmat al Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
12. Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.
13. Al-Hudud. Berisikan istilah-istilah dan pengertian-pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat.
14. Al-Isyaaraat wat Tanbiihaat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil - dalil dan peringatan-peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
15. An-Najah, (buku tentang kebahagiaan Jiwa)
16. dan sebagainya.
Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicena (Spanyol aven Sina) dan kemasyhurannya di dunia Barat sebagai dokter melampaui kemasyhuran sebagai Filosof, sehingga ia mereka beri gelar “the Prince of the Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama Al-Syaikh al-Rais. Pemimpin utama (dari filosof - filosof).

3. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA
A. Teori Fisika
Dasar-dasar fisika ini bersifat teori, dan obyek pembicaraanya ialah benda yang wujud, karena ia terdapat dalam perubahan, dan karena ia mempunyai diam dan bebrmacam-macam gerak. Ilmu fisika mempunyai beberapa dasar. Dasar-dasar tersebut adalah :
1. Benda ( maddah), shurah (form) dan tiada (‘adam)
2. Gerak dan diam
3. Zaman
4. Tempat dan kekosongan
5. Terbatas dan tidak terbatas
1. Benda,Shurah dan Tiada
Setiap benda yang tersusun mempunyai 3 unsur yaitu bendanya, shurah, dan tiada.
2. Gerak dan diam
Gerak adalah pergantian kepada yang menetap pada benda sedikit demi sedikit dengan menuju kepada suatu arah tertentu, demikian kata Ibnu Sina. Atau bisa dikatakan perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain adalah gerak. Begitu pula bertambah atau berkurangnya sesuatu bentuk juga dikatakan gerak.
Tentang diam, maka dikatakan oleh Ibnu Sina, sebagai tidak adanya gerak dari suatu yang bisa bergerak. Jadi perlawanan antara diam dengan gerak sama dengan perlawanan antara tiada dengan ada.
3. Zaman
Zaman adalah ukuran (kadar) gerak yang bundar, dari segi maju mundurnya. Kalau zaman itu adalah ukuran gerak, sedang zaman itu bukan baru (dari segi zaman), maka arti gerak itu bukan hal yang baru.
4. Tempat, kekosongan, Terbatas dan Tidak terbatas
Tempat ialah suatu, di mana benda itu berada di dalamnya. Jadi tempat itu meliputi benda tersebut, memuatnya, terpisah dari padanya, ketika terjadi gerakan, dan sama (seimbang) dengan benda tersebut sebab tidak mungkin terdapat dua benda dalam tempat yang satu dan dalam masa yang satu pula. Tempat itu bukan benda (matter, hule), bukan pula form, karena kedua-duanya ini hanya berada (terdapat) pada sesuatu yang terdapat dalam tempat.
Dalam soal kekosongan, Ibnu Sina juga mengikuti Aristoteles, yaitu tidak membenarkan adanya kekosongan, sebagaimana ia mengingkarinya adanya batas (kadar) yang tidak terhingga, atau adanya bilangan yang tidak berakhir ataupun gerak yang tidak berujung.

B. Filsafat Jiwa
Perhatian Ibnu Sina dalam masalah jiwa ini lebih serius. Karena Ibnu Sina menulis masalah jiwa ini semenjak ia masih muda. Ia juga menunjukkan adanya hubungan antara jiwa dengan tubuh. Psikologi menurut Ibnu Sina pada dasarnya studi posifistik eksperimental.
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Segi-segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
1. Segi fisika yang membicarakan tentang macam-macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan-kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain-lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
2. Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.
Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu :
1. Dalil alam-kejiwaan (natural psikologi).
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan (idrak, pengetahuan).
Gerak ada dua macam yaitu :
1. Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
2. Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :
a. Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
b. Gerak yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sedang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur-unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut ialah jiwa.
Pengenalan (pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua- duanya dari Aristoteles.
Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan-kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda-benda tersebut hanya terdiri dari unsur-unsur yang satu macam, sedang benda-benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur-unsurnya). Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda-benda yang bergerak melawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur-unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat-alat (mesin) yang bergerak dengan gerak yang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun tidak mengira bahwa alat-alat (mesin-mesin) tersebut berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Para ahli biologi sendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan).
Nampaknya Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam kitab-kitab yang dikarang pada masa kematangan ilmunya, seperti al-syifa dan al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas segi-segi pikiran dan jiwa, yang merupakan genitalianya Ibnu sina.
2. Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau saya tidur, maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.
3. Dalil Kelangsungan (kontinuitas).
Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada hubungannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Kalau kita ini bergerak dalam mengalami perubahan, maka gerakan-gerakan dan perubahan tersebut bertalian satu sama lain dan merupakan satu rangkaian. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi karena peristiwa-peristiwa jiwa merupakan limphan dari sumber yang satu dan beredar sekitar titik tarik yang tetap.
Ibnu Sina dengan dalil kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya beberapa abad, karena pendapatnya tersebut dipegangi oleh ilmu jiwa modern dan telah mendekati tokoh-tokoh pikir masa sekarang.
4. Dalil Orang Terbang atau Tergantung di Udara.
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota-anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu-ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.
Dalil Ibnu Sina tersebut seperti halnya dengan dalil Descartes, didasarkan atas suatu hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda-beda mengharuskan adanya perkara-perkara yang berbeda-beda pula. Seseorang dapat melepaskan dirinya dari segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita ketahui dengan adanya perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang kita ketahui dengan langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan-pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya jiwa tersebut.
C. Filsafat Wujud.
Ibnu Sina tentang wujud, sebagaimana filsuf muslim terdahulu berpendapat bahwa dari Tuhanlah kewujudan yang pasti. Kami mengatakan bahwa Tuhan dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud tunggal dan mutlak. Sedang segala sesuatu selain Tuhan memiliki kodrat yang mendua. Adanya Tuhan adalah satu keniscayaan, sedang adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan dari adanya Tuhan.
Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada: baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Oleh karena itu, menurut Ibnu Sina, Allah itu bersifat wujud dan wajib wujudnya dan bersifat qadim. Sedangkan makhluk juga wujud tapi wujudnya adalah mumkin dan bersifat baru. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.
Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
C. Falsafat Wahyu dan Nabi
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang oleh Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi.
Wahyu merupakan bentuk pancaran yang diterima oleh para nabi dan yang turun kepada mereka, seolah-olah ia merupakan pancaran yang bersambung dengan akal universal, yang terinci bukan secara esensial melainkan secara kebetulan, disebabkan kekhususan para penerimanya. Jadi kerasulan ialah bagian dari pancaran itu yang dinamakan wahyu, yang diterimakan dalam berbagai bentuk ekspresi untuk kepentingan umat manusia.
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni.
Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi. Dari pandangan ini, memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.



KESIMPULAN/PENUTUP
1. Ibnu Sina adalah Abu Ali Al Husain Ibn Abdullah Ibnu Sina. Lahir di Afsyana (Bukhara) pada tahun 340 H (980 M), meninggal dunia di Hamadan tahun 428 H (1037 M). Dia seorang yang ahli dalam ilmu-ilmu agama dan juga ilmu pengetahuan umum. Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai seorang yang agamis dalam berfilsafat, sementara al-Ghazali menjulukinya sebagai Filsuf yang terlalu banyak berfikir.
2. Karya-karya masyhur yang dihasilkan oleh Ibnu Sina :
1. As-Syifa
2. Al-isyarat Wat-Tanbihat
3. Al-Hikmat Al-Masyriqiyyah
4. Al-Qanun fii at-Thiib
3. Filsafat ajarannya :
1. Teori fisika
2. Ilmu jiwa
3. Tentang wujud, dan
4. Kenabian



http://referensiagama.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar