TEORI PERUBAHAN SOSIAL
A. Pengantar
Membahas teori perubahan social (social change theory), August Comte (1798-1857) membagi dalam dua konsep penting; yaitu Social Static (bangunan structural) dan Social Dyinamics (dinamika structural). Bangunan structural merupakan hal-hal yang mapan, berupa struktur yang berlaku pada suatu masa tertentu. Bahasan utamanya mengenai struktur social yang ada dimasyarakat yang melandasi dan menunjang orde, tertib, kestabilan masyarakat. Statika social ini kemudian disepakati oleh anggota masyarakat dank arena itu disebut sebagai ‘kemauan umum’ atau ‘volonte general’ (KJ. Veeger, 1985: 25-26). Hasrat dan kodrat manusia adalah persatuan, perdamaian, kestabilan atau keseimbangan. Tanpa unsure-unsur stuktural ini kehidupan manusia tidak dapat berjalan. Akan selalu terjadi pertengkaran dan perpecahanmengenai hal-hal yang sangat mendasar, sehingga kesesuaian paham sukar terbentuk. Pembedaan antara statika social dan dinamika social denagn demikian bukanlah pembedaan yang menyangkut masalah factual melainkan lebih tepat dikatakan sebagai pembedaan teoritik.
Dinamika social merupakan hal-hal yang berubah dari suatu waktu ke waktu yang lain, yang dibahas adalah dinamika social dari struktur yang berubah dari waaktu ke waktu. dinamika social adalah daya gerak dari sejarah tersebut, yang pada setiap tahapan evolusi manusia mendorng kearah tercapainya keseimbangan baru yang tinggi dari suatu masa kemasa berikutnya. Struktur dapat digambarkan sebagai hierarchy masyarakat yang memuat pengelompokan masyarakat berdasrkan kelas-kelas tertentu(elite, middle, dan lower class). Seangkan dinamika social adalh proses perubahan kelas-kelas masyarakat itu dari satu masa kemasa yang lain.
Perubahan social ada pada dinamika structural, yaitu perubahan atau issue perubahan social yang meliputi bagaimana kecepatannya, arahnya, agennya, bentuknya serta hambatan-hambatannya.
Perubahan bangunan structural dan dinamika structural merupakan bagian yang saling terkait, tidak dapat dipisahkan, yang berbeda hanya pada kajian atau analisisnya. Perubahan social memiliki cirri yaitu berlangsing terus-menerus dari waktu kewaktu, apakah direncanakan atau tidak yang terus terjadi tak tertahankan. Perubahan adalah proses yang wajar, alamiyah sehingga segala yang ada di dunia ini akan selalu berubah. Perubahan akan mencakup suatu system social, dalam bentuk organisasi social yang ada dimsyarakat, perubahan dapat terjadi dengan lambat, sedang atau keras tergantung situasi (fisil, buatan atau social) yang mempengaruhinya.
Untuk menrangkan proses perubahan social secara makro atau global, ada baiknya dipahami bahwa perubahan social akan tampak jelas dalam hubungan makro, yang tercermin dalam hubungan antar Negara, wilayah, regionalitas dan tata masyarakat yang sangat luas. Menurut kesepakatan internasional,, masyarakat dunia dibagi dalam tiga kelompok Negara. Tiga kelompok Negara ini dalam tata hubungan internasional, berkembang saling berinteraksi member pengaruh. Kelompok Negara Dunia I yaitu kelompok Negara Eropa Barat, Amerika serikat (berada dibagian utara belahan dunia) tapi banyak yang menyebut sebagai blok barat. Kelompok Negara Dunia II yaitu kelompok Negara Sosialis dan Komunis, yang lebih dikenal sebagai blok timur. Kelompok Negara Dunia III yaitu Negara-Negara di benua Asia, Afrika, dan Ameriaka Latin, yang berada di belahan dunia bagian selatan (sehingga dikenal sebagai kelompok selatan).
Pada Dunia III, perubahan social bukannya dibiarkan, tetapi ingin dikendalikan atau direncanakan oleh kelompok Dunia I (biasanya ‘menbantu’ dengan dana, sumber daya manusia dan teknologi). Ada unsure usaha khusus yang berasal dari pemerintah dan kelompok masyarakat untuk mencobamnegendalikan perubahan social kesatu arah yang diinginkan. Model perubahan social itu disebut planed change atau development. Di negara blok sosialis, perubahan social sangat ditentukan oleh Negara, sebahliknya di negara barat perubahan social ditentukan oleh permintaan pasar bebas sehingga perubahan lebih cepat terjadi dalam gerakan yang sangat dinamis.
Bahan-bahan konseptual yang dijadikan acuan penulisan tentang perubahan social ini meliputi : kelompok teorinSosiologi klasik diruntut dari pemikiran Karl Maex, Marx Weber dan Emile Durkheim. Penulisan ini terkait dengan satu upaya untuk menjelaskan suatu proses perubahan masyarakat dalam kerangka pendekatan teori-teori sosiologi dengan tepat. Disamping aspek kajian teoritik, perubahan social juga diproyeksikan dalam lima fenomena empiric. Kelima unsure perubahan social ini dilihat sebagai kekuatan eksternal, yang mempengaruhi dinamika spek-aspek static (structural) dalam masyarakat. 1) Informasi Komunikasi (meliputi pengaruh media massa dengan bentuk industry pers). 2) Birokrasi (meliputi keterkaitan birokrasi sipil dan militer). 3) Ideologi (meliputi agama dan HAM). 4) Modal (meliputi modal financial dan SDM). 5) Teknologi (merupakan unsure yang cepat berubah dan sangat tergantung kepada pemilikan modal). Kelima unsure itu menjadi materi utama perubahan social, memiliki relevansi yang sangat tinggi dalam khasanah perkembangan ilmu-ilmu social. Berbagai topic masalah yang muncul dari setiap permasalahan ini mengacu pada pokok permasalahan yang memiliki potensi besar dibahas secara menyeluruh.
1. Arus Berpikir
Studi tentang perubahan social pada umumnya bertolak dari lima pertanyaan yang selalu muncul dan menggelitas dari setiap pengkajian materi (subtansi).
1. Jenis studi apa yang membahas kerangka perubahan social ?
Kegiatan pengkajian perubaha social seringkali dikaitkan dengan sejarah suatu komunitas masyarakat yang diambil dari dua kurun yang berbeda, sehingga dapat dipakai sebagai ancangan kajian perubahan social secara lebih mendalam. Cirri utama dari kajian semacam itu akan mencakup domain (ekonomi, kebudayaan, politik dll) apa yang paling berpengaruh. Perubahan social selalu bersumber dari keadaan spesifik, dari suatu kondisi masyarakat sehingga dapat dipakai untuk menjelaskan kondisi perubahan social yang terjadi. (kajian itu mencakup jaringan social, organisasi social atau domain tertentu, meliputi ekonomi, hukum, politik, pendidikan dll)
2. Bentuk-bentuk perubahan social apa yang terjadi di masyarakat ?
Dengan memhami bentuk materi perubahan social dimasyarakat, dapat melakukan perbandingan sehingga mendapatkan kegunaan langsung dari aspek-aspek perubahan itu. Misalnya perubahan social yang dihasilkan dari akumulasi masyarakat terdidik disuatu lokasi, akumulasi itu membentuk kelas menengah pendidikan disuatu masyarakat. Kelompok ini menjadi innovator penggerak perubahan masyarakat yang secara eksplisit, menghasilkan peningkatan pola konsumsi masyarakat dan peningkatan produksi masyarakat dalam arti luas.
3. Apa yang disebut hubungan sebab-akibat (cause and effects) dalam proses perubahan social yang ada di masyarakat ?
Dalam memahami rangkaian hubungan sebab dan akibat ini dapat digambarkan adanya struktur dan fungsi dari factor-faktor perubahan social. Hubungan sebab-akibat ini ditujukan dengan metodologi yang jelas, terutama untuk mengkaji bahan-bahan primer. Seringkali hubung sebab akibat diaktualisasikan dalam bentuk hubungan antara berbagai konsep teoritis yang menjado acuan konsepsi penelitian yang sangat positivistic. Asumsi perubahan social sebagai konsep sebab-akibat ini mengandung daya kritik yang cukup tajam dari kelompok post positivism yang kemudian dilanjutkan oleh kelompok pemikir sosiologi mikro yang berasal dari aliran kritikal teori atau realism (marx)
4. Bagaiman membedakan mentuk-bentuk perubahan social yang ada dimasyarakat ?
Sampai dimana studi perubahan social membedakan beragam domain dalam suatu masyarakat. Sebab sejauh ini studi perubahan social selalu muncul dari berbagai domain yang saling terkait. Perubahan social yang berasal dari aspek ekonomi akan selalu terkait dengan perubahan perilaku yang berasal dari aspek non-ekonomis (politik, pendidikan dll)
5. Sampai dimana perlu mempelajari kepribadian dan maturasi orang dalam rangkaian proses perubahan social yang terjadi (bagaimana perkembangan personality masing-masing actor social, yang mengarahkan perubahan)?
Apakah ilpu psikologi perlu diambil ‘jasanya’ untuk menjelaskan proses perubahan social pada umumnya. Kalau hal ini dapat dibenarkan maka aliran pengaruh freud menjadi cukup penting beserta aliran-aliran psikologi perkembangan lain. Dalam pembahasan ini, hal itu hanya dipertanyakan, sejauh perlukah member bobot atau warna tersendiri bagi kajian ilmu psikologi bagi materi perubahan social.
2. Proses Perubahan Sosial
Menurut Roy Bhaskar (2984), perubahan social biasanya terjadi secra wajar, gradual, bertahap serta tidak pernah terjadi secara radikal atau revolusioner. Proses perubahan social meliputi :
1. Proses reproduction
Proses reproduction adalah proses mengulang-ulang, menghasilkan kembali segala hal yang diterima sebagai warisan budaya dari nenek moyang kita sebelumnya. Dalam hal ini meliputi bentuk warisan budaya yang kita miliki. Warisan budaya dalam kehidupan keseharian meliputi :
a. Material (kebendaan, teknologi)
b. Immaterial (non-benda, adat, norma, dan nilai-nilai)
Roy Bahaskar menyatakan, reproduction berkaitan dengan masa lampau perilaku masyarakat, yang berhubungan dengan masa sekarang dan masa yang akan datang. Transformasi merupakan suatu proses masa depan yang menjadi ancangan perilaku manusia, yang sebetulnya dasar perilaku strukturalnya telah tertanam pada masa sekarang dan masa lalu. Dengan demikian transformasi masa depan bukanlah perilaku yang lepas dari dasar kegiatan manusia pada masa sekarang serta masa lalunya.
2. Proses Transformation
Proses Transformation adalah suatu proses penciptaan hal yang baru yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berubah adalah aspek budaya yang sifatnya material, sedangkan yang sifatnya norma dan nilai sulit diadakan perubahan (bahkan ada kecenderungan untuk dipertahankan). Sebagai contoh orang jawa, memakai pakaian denga stelan dasi dan jas, tapi nilai kehidupannya masih tetap wonogiri atai purwodadi Grobogan. Hal ini menunjukan bahwa budaya yang tampak lebih mudah diubah, tapi sikap hidup adalah menyangkut nilai-nilai yang sukar untuk dibentuk kembali.
Menurut kalangan sejarawan inggris, hanya bangsa yang mampu menjawab tantanganlah yang akan tetap eksis didunia ini. sedang yang tidak berani menjawab tantangan zaman akan tergilas dalam proses perubahan.
3. Konsep Perubahan Sosial
Membahas perubahan social tidak bisa lepas dari konteks filsafat barat, yaitu suatu pandangan terhadap kemajuan manusia dalam masyarakat yang ditimbulkan oleh kemajuan masyarakatnya. Ilmu pengetahuan yang berasal dari barat ditopang oleh dua kelompok pemikiran utama yaitu filsafat Yunani (Greek Philosophy) dan perilaku kehidupan ke-kristen-an (Cristianity) yang sifatnya progresif dan perfection.
Dari dua soko guru pemikiran itu terdapat bibit pemikiran yang menyumbangkan pada perubahan pembangunan.
Dalam filsafat Yunani pada intinya terdapat beberapa pemikiran yang sifatnya konsisten yang menggabungkan perilaku manusia dalam kehidupan keseharian.
1. Filsafat yang empiric yaitu menghubungkan perilaku manusia dalam alam lingkungannya. Pada hakekatnya kehidupan manusia tidak dapat lepas dari alam, karena ia juga menyadari bagian dari kekuatan alam yang tidak terpisahkan.
2. Lingkungan pertama diamati dalam kehidupan manusia adalah lingkungan alam atau lingkungan biologi. Lingkungan itu berada pada lapisan yang paling dekat dengan keberadaan manusia.
3. Dalam mengamati lingkungan alam kemudian timbul gagasan tentang adanya proses pertumbuhan atau growth. Untuk tumbuh diperlukan adanya sinar matahari, yaitu pusat kegiatan alam bagi lingkungan manusia.
4. Dalam proses pertumbuhan itu kemudian orang mengenal dimensi waktu (time dimension). Ada perubahan hari, yang diamati dari adanya pagi, siang sore, malam dalam hitungan detik, jam dan sebagainya.
5. Pertumbuhan membutuhkan arahan (direction). Karena ada proses yang disebut kematangan, yang dialami oleh manusia, alam, hasil karya manusia (peradaban).
6. Orang belajar kemudian menemukan bahwa kehidupan biologi memiliki pola pertumbuhan yang sifatnya umum (Pattern of growth).
7. Pertumbuhan yang tumbuh dengan pola tertentu melalui tahap-tahap tertentu yang disebut “stage”. Tidak ada meloncat, semua tumbuh dengan keteraturan, ada sistimatika dan langkah yang pasti.
Pada konsepsi hidup kristiani, dinyatakan bahwa manusia sebagai individu tumbuh lewat arah serta pola tertentu. Pertumbuhan manusia sebagai individu mengarah pada kesempurnaan(berlangsung secara progresif dan menuju pada perfection). Gagasan berubag secara evolusionalistic/gradual melalui tahap-taghap tertentu (melalui satu garis lurus yang disebut unilinear. Kritik terhadap gagasan dari sifat kristiani, di atas meliputi dua aspek pertanyaan :
1. Apakah perkembangan masyarakat akan selalu tampil progresif ?
2. Apakah perubahan tidak menimbulkan kemungkinan perubahan yang bersifat multilinear?
Ideology yang selama ini diterima di kalangan mayarakat menyatakan bahwa perubahan dalam masyarakat terjadi dari masyarakat transisi menjadi masyarakat “maju” (menurut konep barat) yaitu masarakat 9ndustrial-modern. Selama ini dalam kajian teori-teori social klasik ada tiga tokoh utama yang membuat teori utama tentang perubahan kemasyarakatan(evolusioner dan unilinear), mereka adalah Kalr Marx, Emile Durkheimdan Max Weber. Kelompok teoritisi lain kemudian melanjutkan pemikiran mereka, dengan berbagai pengembangan sesuai dengan kondisi masyarakat dan sifat kajian yang dilakukan.
B. Teori Perubahan Sosial : Menurut Teori Sosial Klasik
Teori sosiologi klasik muncul dari tiga tokoh (Karl Marx, Max Weber, dan Emile Durkhiem). Tokoh-tokoh tersebut secara khususmenjadi peletak dasar dari konstruksi teori yang nantinya menjadiinduk perkembangan teori-teori sosiologi. Dalam memahami perubahan sosial ketiga tokoh ini berusaha memahami fenomena perubahan secara radikal terutama untuk masyarakat barat yang sedang beralih dari struktur agraris ke struktur industri. Meskipun pemikiran ketiga tokoh pendiri sosiologi tersebut menunjukkan kiblat eropa baratnya, namun kalangan akademisi di Indonesia tetap menampilkan ketiga tokoh tersebut dalammembicarakan beragam fenomena sosial.
Ketiga tokoh itu merupakan peletak dasar ilmu sosiologi, yang muncul di eropa pada awal abad ke 19. Pemikiran mereka membawa khasanah berpikir ilmu-ilmu social khususnya sosiologi memasuki babakan baru sejarah manusia yang bernama ‘modernisasi’. Ketiga tokoh ilmu sosial itu melahirkan pemikiranhampir secara bersama-sama, ketika terjadi proses industrialisasipertama di Inggris, yaitu ketika mesin-mesin industri mulaidimanfaatkan untuk menggantikan keberadaan tenaga manusia.
Dalam kaitan dengan proses industrialisasi juga mulai dirasakan perubahan pada pola hubungan antar individu manusia. Proses perubahan sosial yang meluas juga mulai dirasakan sampai. pada sendi-sendi kehidupan agraris masyarakat negara berkembang. Negara-negara tersebut juga merasakan seperti yang pernahdialami oleh kalangan negara maju seabad yang silam, dengandemikian pernik-pernik pemikiran ketiga tokoh ilmu sosial itumasih memiliki kekuatan generalisasi terhadap kehidupan masya-rakat di negara berkembang.
1. Karl Marx (1818-1883)
Uraian tentang Marx ini sebagian besar disarikan dari buku Kapitalisme dan Teori Sosial Modern yang ditulis oleh Anthony Giddens (1985). Pada dasarnya sumber pemikiran dari filsafatMarx banyak terinspirasi dari Hegel dan Imanuel Kant. Dari Kant, Marx berhutang mengenai prinsip bahwa hakikatnya manusia berangkat dari kesempurnaan tetapi di dalam dunia dia masuk pada alam yang serba terbatas, kotor dan tidak suci. Disini untukmewujudkan kembali kebenaran dan kesucian manusia menjaditugasnya untuk memperjuangkan nilai-nilai hakiki manusiadalam tatanan kehidupan.
Sementara dari Hegel, Marx berhutang mengenai falsafah dialektika. Bahwa hukum kebenaran selalu berangkat dari proses dialektis (saling bertentangan untuk menyempurnakan). Sebuah tesis pernyataan kebenaran akan dipertentangkan kelemahannya
dengan antitesis. Proses pertentangan antara tesis dan antithesis pada akhirnya akan menghasilkan kebenaran baru yang lebih relevan sebagai perpaduan kedua kebenaran terdahulu.
Sampai beberapa waktu berikutnya Marx masih mengacu pada pemikiran Hegel yang selalu mengasumsikan tentang dua hal yang kontradiktif kemudian dapat ditemukan sintesisnya sehingga berwujud dialektika. Pemikiran tentang dialektika inibernada evolusionis (menuju kesempurnaan), demikian pula kehidupan dengan sendirinya selalu dibayangkan bergerak mencapai kesempurnaan.
Tetapi dalam perkembangannya Marx berubah, menurutnya Emanuel Kant dan Hegel adalah orang yang idealis, terlalu menerawang, apa yang mereka pikirkan justeru tidak nyata. Ide yang ditawarkan adalah pikiran itu sendiri, sehingga gagal untuk bersenyawa dengan kenyataan-kenyataan empiris.
a. Tentang Materialisme
Bagi Marx kontradiksi harus pula terjadi di tingkat sejarah yang bertolak dari materi (bukan dari pemikiran). Konsep Marx yang kemudian dikenal sebagai Materialisme Historis, mengungkap bahwa perilaku manusia ditentukan oleh kedudukan materinya bukan pada idea karena ide juga bagian dari materipula.
b. Tentang Sistem Ekonomi
Dalam konsep Marx sistem ekonomi memiliki 4 unsur. Sebagaimana dikutip Salim (2002) sistem tersebut meliputi: (1) system produksi, (2) sistem distribusi, (3) sistem perdagangan dan (4) sistem konsumsi.
1. Sistem produksi, berarti menyangkut seluruh proses produksi barang-barang konsumsi. Di dalam sistem ini meliputi proses pembuatan bahan sampai menjadi barang baru, lalu dilanjutkan reproduksi barang-barang tersebut sehingga bisamenghasilkan keuntungan.
2. Sistem distribusi. Usaha untuk meneruskan dari tempatproduksi menuju ke wilayah konsumen.
3. Sistem perdagangan. Merupakan proses pertukaran barang yang telah diproduksi.
4. Sistem konsumsi. Semua unsur yang ikut terlibat dalamkonsumsi suatu barang hasil produksi.
Semua unsur-unsur diatas tercakup dalam suatu hubungansosial berwujud relasi sosial dari mode produksi. Mengingat Marx berpijak pada masyarakat industri maka konsep sistem ekonominya terfokus membahas hubungan kerjaantara pemilik modal dan buruh. Intinya melalui relasi sosial dari mode produksi industri ternyata lebih banyak menguntungkan para pemilik modal sendiri. Buruh selain harus bekerja keras dengan upah yang minim juga menggadaikan semua potensi kemanusiaan termasuk jaminan untuk tetap hidup. Dalam hal ini perlu ada upaya untuk menuntut keadilan sosial agar penindasan para pemilik modal tidak berlarut-larut. Hal itu bisa dilakukan dengan mengubah mode produksi yang tadinya memihak kelas kapitalis menjadi mode produksi yang berbasis dari kaum tertindas (para pekerja).
c. Tentang Surplus Value
Konsep ini lebih mengupas tentang keuntungan berlebih yang seharusnya menjadi hak para buruh. Namun karena kekuasaan alat-alat produksi maka hak itu diambil alih secara sepihak oleh pemilik modal. Sebagaimana diungkap oleh Salim (2002), ada dua keuntungan yang diperoleh pengusaha yaitu:
1. Keuntungan utama, yang diperoleh melalui sisa waktu lebih dari kerja buruh. Namun dalam prosesnya buruh tidak pernah menerimanya sehingga tidak merasa dirugikan. Sehingga keuntungan itu diraup oleh pengusaha dan secara sepihakdianggap sebagai haknya yang sah.
2. Keuntungan sekunder, yakni ukuran harga jual barang hasil produksi dengan mengacu pada biaya produksi, tanpa memperhitungkan harga tenaga yang dikeluarkan oleh buruh. Dalam kondisi tersebut sebenarnya telah terjadi penghisapan secara terselubung, yang dari masa ke masa senantiasa menyulitkan posisi buruh dalam menuntut haknya.
d. Dinamika Perubahan Sosial Menurut Marx
Acuan konsep materialisme historis telah menegaskan bahwa sejarah perubahan dan perkembangan manusia selalu berlandaskan pada kondisi sejarah kehidupan material manusia. Dalam hal ini mode produksi, sebagai basis ekonomi dan infrastrukturmasyarakat sangat mempengaruhi proses hubungan-hubungan sosial yang terjadi.
Uraian refleksi sejarah masyarakat menurut Marx berangkat dari masyarakat primitif tanpa kelas. Lalu disusul masyarakat feodalis, dimana kapitalisme dalam tahap awal sudah mulai nampak. Kemudian masyarakat akan beranjak menuju masyarakat industrialis kapitalis, dimana sumber daya kekuatan ekonomi telah dikuasai oleh para pemilik modal dan melangsungkan serangkaian proses penghisapan yang merugikan kalangan pekerja. Pada akhirnya, asumsi Marx menyatakan bahwa kapitalisme akan menemui kehancurannya sendiri, dan segera masyarakat pekerja mampu mengambil alih perangkat-perangkat produksi. Dalam tahap selanjutnya seluruh sumber daya yang ada menjadi milik bersama dan masyarakat telah berkembang menjadi masyarakat komunis. Dalam masyarakat tersebut penggambaran Marx menekankan bahwa pola pikir masyarakat sangat rasional dimana dalam struktur kehidupan sudah bertahtakan ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi. Sumber daya material itu tidak merugikan pihak-pihak tertentu karena struktur sosial sudah menghapus kelas sebagai sarang diskriminasi dan ketidakadilan.
Dari paparan diatas, maka secara garis besar dapat ditangkap beberapa formulasi penting menurut Marx mengenai dinamikaperubahan sosial :
1. Perubahan sosial berpusat pada kemajuan cara atau teknik produksi material sebagai sumber perubahan sosial-budaya. Pengertian tersebut meliputi pula perkembangan teknologi dan penemuan sumber daya baru yang berguna dalam aktivitas produksi. Bagi Marx, teknologi tinggi tidak dapat menghadirkan kesejahteraan sebelum semuanya dikuasai langsung oleh kaum pekerja. Justeru teknologi menjadi petaka apabila masih bernaung dibawah kekuatan para pemilik modal.
2. Dalam perubahan sosial selain kondisi material dan cara berproduksi, maka yang patut diperhatikan adalah hubungan sosial beserta norma-norma kepemilikan yang tersusun berkat keberadaan sumberdaya di tangan pemilik modal. Harapan yang diinginkan bahwa tahap kehidupan komunal menjanjikan masyarakat manusiawi. Dimana motif dan ambisi individual berganti menjadi solidaritas bersama yang menempatkan pemerataa sebagai landasan berkehidupan.
3. Asumsi dasar dari hukum sosial yang bisa ditangkap bahwa manusia menciptakan sejarah materialnya sendiri, selama ini mereka berjuang menghadapi lingkungan materialnya dan terlibat dalam hubungan-hubungan sosial yang terbatas dalam proses pembentukannya. Kemampuan manusia untuk membentuk sejarah dibatasi oleh keadaan lingkungan material dan sosial yang telah ada.
Dari ketiga formulasi tersebut bagi Marx, perubahan social hanya mungkin terjad karena konflik kepentingan materiil. Konflik sosial dan perubahan sosial menjadi satu pengertian yang setara, karena perubahan sosial berasal dari adanya konflik kepentingan material tersebut akan melahirkan perubahan sosial.
2. Max Weber (1864-1920)
Paparan yang terurai dari penjelasan tentang Weber di bawah ini sebagian besar diambil dari buku Teori Sosiologi Klasik dan Modern karangan Doyle Paul Johnson (1986).
Suatu sumbangsih pemikiran yang paling dikenal oleh public berkaitan dengan Weber dalam sosiologi adalah telaah Weber yang cukup detail membahas kiprah akal budi (rasio) yang dominan dalam masyarakat barat. Dalam masyarakat barat model rasionalisme akan mewarnai semua aspek kehidupannya. Orang barat tampaknya hidup operational-teknis sehingga perilakunya bisa diperbaiki secara terus menerus. Menurut Weber, bentuk “rationale” meliputi “mean” (alat) yang menjadi sasaran utama dan “ends” yang meliputi aspek kultural, sehingga dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya orang barat hidup dengan pola pikiran rasional yang ada pada perangkat alat yang dimiliki dan kebudayaan yang mendukung kehidupannya. Orang rasionalakan memilih man yang paling benar untuk mencapai tujuannya.
a. Tentang Rasionalitas
Dalam pemikiran Weber rasionalitas meliputi empat macam model yang hadir di kalangan masyarakat. Rasionalitas ini dapat berdiri sendiri namun juga bisa integral secara bersama menjadi acuan perilaku masyarakat. Sebagaimana dituangkan oleh Doyle Paul Johnson (1986), rasionalitas menurut Weber meliputi:
1. Rasionalitas tradisional: jenis nalar yang mengutamakan acuan perilaku berdasarkan dari tradisi kehidupan masyarakat. Disetiap masyarakat seringkali diketemukan aplikasi nilai yang merujuk dari nilai-nilai tradisi kehidupan. Hal ini berdampak pada kokohnya norma hidup yang diyakini bersama.
Contohnya: Upacara perkawinan yang menjadi tradisi hamper semua kelompok etnis di Indonesia.
2. Rasionalitas berorientasi nilai: suatu kondisi kesadaran yang menghinggapi masyarakat dimana nilai menjadi pedoman perilaku meski tidak aktual dalam kehidupan sehari-hari. Jenis rasio ini biasanya banyak dipengaruhi oleh peresapan nilai keagamaan dan budaya yang benar-benar mendalam. Sebagaicontoh: orang bekerja keras-membanting tulang di kota besar, kemudian setahun sekali tabungan uang habis untuk mudik kedaerah asal.
3. Rasionalitas Afektif: jenis rasio yang bermuara dalam hubungan emosi yang mendalam, dimana ada relasi hubungan khusus yang tidak bisa diterangkan diluar lingkaran tersebut. Contohnya: hubungan suami-istri, ibu-anak dan lain sebagainya.
4. Rasionalitas Instrumental. Bentuk rasional menurut Weber yang paling tinggi dengan unsur pertimbangan pilihan rasional sehubungan dengan tujuan dan alat yang dipilihnya. Disetiap komunitas masyarakat, kelompok masyarakat, etnik tertentu, ada banyak unsur rasionalitas yang dimiliki dari banyak segi rasionalitas tersebut hanya ada satu unsur rasionalitas yang paling populer, yang banyak diikuti oleh masyarakatnya. Sebagai contoh: rasionalitas ekonomi sering menjadi pilihan utama di banyak masyarakat. Sepanjang sejarah kehidupan rasionalitas ini bisa menggerakkan banyak perubahan sosial-mengubah perilaku kehidupan orang-per-orang secar kontekstual.
b. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme
Dua bentuk semangat ini merupakan hasil telaahan Weber mengamati bentuk kemajuan awal kapitalisme di eropa barat yang mendapat dorongan dari ajaran protestan secara bersamaan. Masyarakat barat yang dikenal mengunggulkan rasionalitas instrumental (yakni rasionalisme yang paling tepat-guna/efisien serta efektif demi mencapai tujuan) hadir bersama-sama denganetika protestan.
Weber menekankan bahwa karakteristik ajaran protestan yang mendukung masyarakat yakni, melihat kerja sebagai panggilan hidup. Bekerja tidak sekedar memenuhi keperluan, tetapi tugas yang suci. Bekerja adalah juga pensucian sebagai kegiatan agama yang menjamin kepastian akan keselamatan, orang yang tidak bekerja adalah mengingkari sikap hidup agama dan melarikan diri dari agama. Dalam kerangka pemikiran teologis seperti ini, maka ‘semangat kapitalisme’ yang bersandar pada cita-cita ketekunan, hemat, berpenghitungan, rasional dan sanggup menahan diri menemukan pasangannya.
Dengan demikian terjalinlah hubungan antara etika protestan dengan semangat kapitalisme, hal ini dimungkinkan oleh proses rasionalisasi dunia, penghapusan usaha magis, yaitu suatu manipulasi kekuatan super natural, sebagai alat untuk mendapatkan keselamatan.
Perkembangan rasionalisme masyarakat sesuai dengan konsepsi Weber bergerak dari jenis-jenis rasional sesuai tahap-tahap tertentu. Pada awalnya, model rasionalitas bermula dari masyarakat agraris lalu menuju masyarakat industri.
c. Tentang Birokrasi
Birokrasi merupakan agen perubahan sosial. Menurut Weber, birokrasi meliputi birokrasi pemerintah maupun birokrasi yang dikelola oleh kaum swasta. Semua produk asumsi mengenai birokrasi acuan Weber, yakni birokrasi merupakan produk berpikir barat yang dibangun azas kemodernan sehingga sesuatu yang barat adalah rasional. Konsepsi birokrasi adalah sistem kerjayang memberi wewenang untuk menjalankan kekuasaan. Birokrasi berasal dari dua konsep kata (bureau + cracy). Beareau adalah kantor yang menjadi alat dari manusia dalam hal ini adalah seperangkat peran yang menghasilkan basis kekuasaan dengan berlandaskan pada aturan-aturan yang baku. Cracy adalah kekuatan yang kemudian menghasilkan kewibawaan. Birokrasi bagi Weber merupakan hasil dari tradisi rasional masyarakat barat yang dicerminkan ke dalam aplikasi lembaga kerja manusia yang mengurusi segala keperluan teknis untuk memudahkan pelayanan kepada publik atau konsumen.
3. Emile Durkhiem (1858-1912)
Penjelasan konsepsi pemikiran Emile Durkhiem berikut ini diangkat dari dua sumber sebelumnya, yakni Doyle Paul Johnson (1986) dalam judul Teori Sosiologi Klasik dan Modern dan Anthony Giddens (1985) berjudul Kapitalisme dan Teori Sosial Modern.
Dari ketiga tokoh pendiri sosiologi maka sesungguhnya Durkhiem-lah yang merintis konsepsi tentang keteraturan sosial. Hal tersebut berangkat dari kekhawatiran Durkhiem melihat ketidakpastian dan kekacauan masyarakat barat pasca revolusi.
Akibat revolusi industri yang berlangsung di Inggris dan daratan Eropa, mengakibatkan perubahan sosial yang sangat cepat dan meminta banyak korban. Emile Durkhiem merisaukan keadaan itu terutama yang terjadi di Perancis. Perubahan yang terlalu cepat dan radikal membawakan akibat dalam sekup sosial kecil maupun ancaman tatanan sosial makro. Untuk mengatasi dampak perubahan yang sangat cepat itu ia menawarkan kajian sosiologi peru-bahan sosial yang merupakan hasil rekayasa dan perubahan social yang stabil dengan tetap berafiliasi kepada status quo.
a. Pendekatan Sistem
Pembahasan ini sebenarnya berfungsi untuk mengantisipasi agar ketidakpastian masyarakat tidak semakin parah. Masyarakat diibaratkan seperti organisme hidup, yang dapat dianalisa denganpenjelasan sebuah struktur yang saling berfungsi. Dalam hal ini organisme hidup maksudnya makhluk hidup seperti jugamanusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan memiliki organisme yang hidup dalam satu tatanan sistem, masing-masing organ akan memiliki fungsi sendiri-sendiri dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika satu organ tidak berfungsi maka akan membuat organ lain macet atau terganggu. Oleh karena itu asumsi-asumsi yang dibangun dalam pendekatan sistem adalah:
1. Suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagiannya secaratotalitas yang menggambarkan suatu sistem yang utuh.
2. Masing-masing bagian memiliki fungsi yang saling mengisi untuk mendukung eksistensi sistem.
3. Terdapat sebuah hubungan antara subsistem secara terpadu dan kokoh.
4. Kekokohan hubungan antar unsur memberikantingkat ketergantungan yang sangat tinggi antar elemen.
Melihat penekananya pada hubungan yang saling mengisi dalam keterpaduan sistemik, maka pendekatan sistem menganggap bahwa perubahan sosial merupakan kondisi abnormal, karena disinyalir proses perubahan merupakan cerminan dari goyahnya keseimbangan unsur di dalam sistem sosial, oleh karena itu unsur-unsur di dalam sistem tersebut perlu mengupayakan kondisi seperti sedia kala agar aktivitas unsur-unsur lain tidak terganggu. Sehingga di dalam pendekatan sistem menekankan hal-hal:
1. Equilibrium atau keseimbangan. Yaitu suatu keadaan dimana diutamakan terjadinya keseimbangan kekuatan sehingga tidak terjadi perubahan sosial yang mengarah pada penghancuransistem yang ada.
2. Faktor eksternal, yakni faktor-faktor di luar sistem yang diproyeksikan selalu menjadi penyebab utama proses perubahan sosial.
3. Konsensus, yaitu proses pencapaian kesepakatan sosial dariorang-orang atau lembaga yang terlibat dalam konflik sosial.
b. Teori Perubahan Sosial
Durkhiem adalah penganut teori perubahan sosial bertahap, mengenal dua tahap perkembangan masyarakat yang disebut dengan evolusionistic unilinear. Menurut Durkhiem, dengan perspektif struktural fungsional, menyatakan bahwa struktur yang pertama kali berubah adalah struktur penduduk. Perubahan ini akan menyeret perubahan lain. Pada awalnya memang selalu bertolak dari kondisi yang seimbang. Tetapi proses waktu yang berkembang menjadikan populasi jumlah penduduk meningkat pesat. Terjadi perubahan penduduk, yaitu tingkat kepadatan penduduk, menjadikan kondisi yang tidak seimbang.
Konsep Emile Durkhiem mengenai perubahan sosial bertolak dari konsepsi pembagian kerja, yang menyatakan bahwa proses pembagian kerja berkembang karena lebih banyak individu dapat berinteraksi satu sama lain. Hubungan aktif berasal dari “kepadatan dinamis atau moral” masyarakat, menjadi dua sifat utama. Pertama kepadatan yang bersifat demografis, yakni bersumber pada konsentrasi penduduk, terutama beriringan dengan perkembangan kota. Kedua kepadatan yang bersifat teknis akibat meningkatnya alat-alat komunikasi dan transportasi secara cepat. Dengan berkurangnya ruang yang memisahkan segmen sosial, maka kepadatan masyarakat akan meningkat. Karena itu faktor utama penyebab pertumbuhan pembagian kerja adalah meningkatnya kepadatan (moral) masyarakat. Proses pembagian kerja itu memiliki mekanisme tertentu, bagaimana peningkatan kepadatan moral pada umumnya meningkatkan jumlah penduduk, menghasilkan peningkatan diferensiasi sosial atau pertumbuhan pembagian kerja.
Bagi Durkhiem kepadatan penduduk yang maksimal mengakibatkan persaingan dan kompetisi dikalangan penduduk menjadi sangat ketat. Hal itu memicu anggota masyarakat untuk menciptakan lapangan kerja baru yang menimbulkan spesialisasi kerja. Hubungan yang tercipta pun akan semakin mengkerucut menjadi hubungan yang mengarah kepada pekerjaan dalam suatu komunitas pekerjaan.
Pada struktur masyarakat yang digambarkan oleh Durkhiem, perwakilan orang dalam lembaga legeslatif tidak lagi didasarkan pada latar belakang suku atau ras, melainkan dari komunitas-komunitas pekerjaan. Ide-ide yang dominan berkembang akan mencerminkan dinamika interaksi hubungan antar profesi atau seprofesi, oleh karena itu kohesi sosial yang paling kuat terbentuk dari ikatan pekerjaan.
4. Dialog Tiga Tokoh Klasik dalam Konsepsi Perubahan Sosial
Kajian teoritis dari perubahan sosial menurut tiga tokoh sosiologi klasik ini sudah sangat dikenal di-Eropa sejak dua abad silam. Lalu kemudian berkembang menjadi mainstream berpikir para ahli muda yang hidup setelah generasi mereka. Terlihat jelas ketiga tokoh itu memiliki spesifikasi epistemologi yang berbeda secara teoritik, sehingga melahirkan paradigma teoritik tersendiri.Ketiga pemikir itu berkembang menjadi suatu acuan besar mana kala banyak orang belajar tentang sosiologi, sejauh itu ketiganya banyak mewarnai cara-cara berpikir, melahirkan asumsi-asumsi, dasar teoritik dan kemudian menjadikan paradigma besar dalam sosiologi.
Menurut pengamatan ketiga tokoh peletak sosiologi itu memiliki pendapat yang saling menyambung, atau bisa saja dikatakan saling melengkapi. Namun disisi lain pemikiran mereka sebenarnya merupakan upaya saling mengkritisi satu sama lain. Dalam hal ini Karl Marx bahkan berperan sebagai pengantar awal yang menjadi acuan tindakan saling kritis dengan pemikiran Emile Durkhiem dan Max Weber yang datang kemudian.
Pandangan tentang dunia dan perubahan sosial dari ketiga pemikir sosiologi itu dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Konsep perubahan sosial dapat muncul dari dua kubu yang saling mencari pengaruh, yaitu kubu materialisme (dipelopori Marx dan Durkhiem) dan kubu idealism dipoelopori oleh Weber. Pemikiran Weber pada awalnya setuju dengan ide dasar pemikiran Marx, namun ia tidak setuju menempatkan manusia sebagai robot, karena individu memiliki tempat terhormat. Dalam proses perubahan sosial, Marx menempatkan kesadaran individu, sejajar dengan kesadaran kelas, ideologi dan budaya yang kemudian medium perantara antara struktur dan individu.
2. Weber dan Marx tampaknya setuju untuk menolak idealisme Hegel, yang menyatakan bahwa didunia ada yang mendominasi yakni semangat nasionalisme. Sementara Durkhiem lebih terfokus mengamati semangat kelompok yang mengikat anggota sehingga dapat dijadikan sebagai unit analisa. Kekuatan Durkhiem memang terletak pada analisis tentang perilaku masyarakat dalam fakta sosial.
Pada kesempatan ini Weber, mengakui bahwa masyarakat memang merupakan unit analisa tetapi tidak memiliki kekuatan determenistis diikat oleh spirit yang seragam. Masyarakat memiliki dinamika sendiri-sendiri yang dipengaruhi oleh beberapa factor. Bagaimanapun masyarakat tetap merupakan unit yang kompleks dan dapat dianalisa secara beragam. Pada Masyarakat modern (Weber dan Marx) memiliki kesamaan pandangan, bahwa masyarakat itu diikat oleh spirit dalam struktur kapitalis.
Perubahan sosial adalah suatu fenomena yang sama, tapi ketiga tokoh tersebut menjelaskan dengan perspektif dan teori yang berbeda. Bagi Marx, perubahan sosial dipacu dengan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat terjadi sangat cepat. Sebagai akibatnya mode produksi masyarakat mengalami perubahan sangat cepat dan mendasar.
Menurut pandangan Weber, dinyatakan bahwa sebelum terjadinya perubahan teknologi terlebih dahulu terjadi perubahan gagasan baru dalam pola pemikiran masyarakat (dalam hal ini Weber memfokuskan Etika Protestan sebagai pendorong berkembangnya semangat kapitalisme). Di setiap masyarakat ada suatu sistem nilai yang hidup dan tumbuh secara khusus, yang membedakan masyarakat satu dengan lainnya. Nilai yang merupakan gagasan tersebut akhirnya menjadi kekuatan dominan dari suatu kelompok masyarakat, yang membedakan keberadaanya dengan masyarakat lain.
Sementara Emile Durkhiem lebih bertolak kepada keteraturan masyarakat yang menjamin terciptanya keseimbangan sosial. Bagi Durkhiem pendekatan individu sebagai reduksi perilaku ekonomi, yang menurunkan manusia dalam teori pertukaran pasar dengan sendirinya menempatkan individu tidak bermoral. Oleh karena itu, Durkhiem lebih tertarik mengungkap fakta sosial sebagai pedoman individu. Dengan asumsi semacam itu wajar jikaDurkhiem menganggap perubahan sosial merupakan kondisi yang abnormal. Karena secara internal dampaknya akan mengganggu kelancaran aktivitas organ dalam sistem sosial.
C. Teori Modernisasi dan Teori Ketergantungan dalam Konsep Perubahan Sosial
Konstelasi hubungan dalam tataran dunia antar negara demi menjalankan motif peningkatan kesejahteraan menimbulkan terjadinya spesialisasi produksi pada tiap-tiap negara sesuai dengan keuntungan komparatif yang dimiliki. Dalam hal ini, konsekuensi logis yang melanda dunia terdapat dua belahan kelompok negarayang memiliki fungsi sesuai dengan potensi dan kemampuan mencetak sumber daya unggulan komparatif.
Secara garis besar dua kelompok negara itu yakni
a. Negara yang memperoleh hasil pertanian dan,
b. Negara yang memproduksi barang industri
Melihat masing-masing sumber daya yang sifatnya fungsional, maka jalinan hubungan dagang antar kelompok negara tersebut menjadi sebuah kenyataan, secara teoritis kedua bentuk hubungan akan mendatangkan keuntungan yang seimbang antar kedua belah pihak.
Selang beberapa waktu selama jalinan hubungan berlangsung, nampak bahwa Negara-negara industri yang padat modal dan teknologi menjadi semakin kaya, sedangkan negara pertanian justeru jauh tertinggal. Neraca perdangan yang terjalin antar keduanya tempaknya menjadi timpang. Sebab pada kenyataannya negara yang bertugas memproduksi barang industri, lebih banyak mendapat keuntungan dibandingkan negara yang memproduksi barang pertanian. Melihat kenyataan demikian, dalam diri kita muncul serangkaian pertanyaan: apa yang menjadi penyebab ketimpangan hubungan itu? Mengapa kemudian terjadi dua kelompok negara – yaitu kelompok negara miskin yang biasanya merupakan negara pertanian dan kelompok negara kaya yang merupakan negara industri?
Sebagai refleksi atas kenyataan demikian, menurut Budiman (1996) terdapat dua kelompok teori yang muncul secara berkelanjutan:
Pertama: teori-teori yang menjelaskan bahwa kemiskinan ini terutama disebabkan oleh factor faktor yang terdapat didalam negeri negara yang bersangkutan. Teori kelompok pertama ini kemudian dikenal dengan Teori Modernisasi.
Kedua: Teori-teori yang lebih banyak mempersoalkan faktor-faktor eksternal sebagai penyebab terjadinya kemiskinan di negara-negara tertentu. Kemiskinan lebih banyak dilihat sebagai akibat bekerjanya kekuatan-kekuatan luar yang menyebabkan negara yang bersangkutan gagal melakukan pembangunannya. Teori-teori ini masuk dalam kelompok teori struktural yang kemudian melahirkan Teori Dependensia atau Teori Ketergantungan.
a. Teori Modernisasi
Pada hakikatnya daya pikir dari teori modernisasi lebih berorientasi pada pembentukan mentalitas baru bagi manusia di negara-negara berkembang. Dengan menempa kesadaran manusia agraris agar menerima pola pikir barat yang cenderung “rasional instrumental” maka konsepsi modernisasi menjadi komoditi di kalangan masyarakat yang menempatkan mentalitas sebagai penyebab perubahan.
Karena modernisasi merupakan budaya yang berasal dari barat maka modernisasi tidak lepas dari keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam masyarakat lalu konsepsi modernisasi berkembang menjadi asumsi yang tidak usah dipertanyakan lagi kebenarannya.
Gambaran kematangan masyarakat menurut teori modernisasi, dilukiskan sebagai sebuah model linear yang bergerak kearah masyarakat industri. Masyarakat industri dalam teorimodernisasi dibangun dengan orientasi masa depan yang lebih baik. Kematangan masyarakat menuju masyarakat industri, memiliki bentuk transisi yang cukup panjang dan lama dalam bentuk orientasi sekarang. Dalam masyarakat transisi bentukrasionalitas yang diharapkan belum muncul sebagai potensi utama, sebab modernisasi baru direspons sebagai ‘kekaguman’ bentuk luar dari kebudayaan barat. Namun, sebagian besar masyarakat di negara berkembang telah melihat bahwa tradisi yang dimilikinya secara turun temurun merupakan sejumlah faktor yang menghambat kemajuan. Tradisi ditempatkan sebagai lawan pola pikir modernisasi yang sangat rasional. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa modernisasi yang menggejala di Negara berkembang tidak memperhatikan budaya lokal dan tercerabut dari ekologi murni masyarakat asli, oleh karena itu bersifat ahistoris.
Dalam teori modernisasi, indikator tingkat kemodernan masyarakat adalah pada nilai dan sikap hidup maupun system ekonomi yang menghidupinya. Sementara untuk membedakan manusia modern dan manusia tradisional adalah pada orientasi masa depannya. Tampaknya teori-teori modernisasi bertolak dari landasan material yang kuat, suatu bentuk eksploitasi manusia dan alam lingkungan yang berorientasi pada kelimpahan material.
b. Teori Dependensia atau Ketergantungan
Kemunculan teori dependensia merupakan perbaikan sekaligus antitesis dari kegagalan teori pembangunan maupun modernisasi dalam menjalankan tugasnya mengungkap jawaban kelemahan hubungan ekonomi dua kelompok negara di dunia. Teori ini muncul di Amerika Latin, yang menjadi kekuatan reaktif dari suatu kegagalan yang dilakukan teori modernisasi. Tradisi berpikir yang sangat kental dari teori ini timbul akibat kejadian dalam varian ekonomi, yaitu pada tahun 1960-an.
Dalam konsep berpikir teori ketergantungan, pembagian kerja secara internasional mengakibatkan ketidakadilan dan keterbelakangan bagi negara-negara pertanian. Dari sini pertanyaan yang muncul adalah mengapa teori pembagian kerja internasional harus diterapkan jika ternyata tidak menguntungkan semua negara ?
Teori modernisasi menjawab masalah tersebut dengan menuding kesalahan pada negara-negara tersebut dalam melakukan modernisasi dirinya. Hubungan internasional dalam kontak dagang justru membantu negara-negara tersebut, melalui pemberian modal, pendidikan dan transfer teknologi. Akan tetapi teori dependensi menolak jawaban yang diberikan oleh teori modernisasi. Teori yang bersifat struktural ini berpendapat bahwa kemiskinan yang dialami negara dunia ketiga (negara pertanian) akibat dari struktur perekonomian dunia yang bersifat eksploitatif, dimana yang kuat melakukan penghisapan terhadap yang lemah. Surplus yang seharusnya dinikmati negara dunia ketiga justeru mengalir deras kepada negara-negara industri maju.
Perkembangan teori ketergantungan selanjutnya sangat terkait dengan, upaya memahami lingkar hubungan makro antar berbagai negara dalam proses pembangunan masyarakatnya. Analisa teori ketergantungan cukup futuristik untuk membahas masalah globalisasi yang mencakup organisasi perdagangan nasional (World Trade Organization) yang mengatur produksi perusahaan-perusahaan Multy National Corporation (MNC). Bahwa sebenarnya telah terjalin hubungan yang tidak adil antara Negara berkembang dengan Negara maju. Meskipun kelihatannya Negara maju memberi suntikan dana dalam bentuk utang kepada Negara berkembang, tetapi sebetulnya telah mencekik mereka perlahan-lahan dengan membikin tata hubungan ekonomi internasional yang eksploitatif.
Sekelumit uraian dari teori-teori perubahan sosial menurut kacamata sosiologi diatas hanyalah menunjukkan ilustrasi keragaman analisa sosiologi dalam rentangan perkembangan produksi teorinya. Masih terdapat turunan teori yang lain lagi, antara lain: teori sistim dunia dan teori-teori kritis lainnya. Tentu saja kemunculan setiap teori selalu dilatarbelakangi oleh situasi dominan dibelakangnya. Sebuah teori merupakan perwujudan dari harapanwarga masyarakat pendukungnya. Dari sini teori sosiologi klasik sesungguhnya lebih berfungsi sebagai pembuka gerbang nalar manusia untuk mengungkap masyarakat tatkala akal budi yang tercermin dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tumbuh berkembang menjadi mindset peradaban dunia. Teori-teori berikutnya lebih membedah kasus-kasus kelemahan seputar perkembangan gerbong “kuasa nalar” atas dunia. Hingga di penghujung abad ini teori dasar tersebut tengah mengalami perdebatan serius. Apalagi perbaikan teoritik yang menyusulnya mulai mendorong potensi masyarakat dunia ketiga untuk tampil dalam panggung sejarah.
Dalam hal ini tentunya pendidikan sebagai bagian dari masyarakat tidak bisa dipisahkan dari arah perubahan yang menggejala. Dinamika orientasi pendidikan selalu berjalan beriringan dengan konteks wilayah sosial-politik yang menaunginya. Sehingga pada praktik pendidikan terjadi perbedaan yang menajam antar negara. Negara maju dengan segala keberhasilan peradabannya tentunya sudah menghantarkan orientasi pendidikan yang menjadi satelit acuan penting bagi aktivitas pendidikan dinegara berkembang. Sementara itu demi mengejar ketertinggalan, negara berkembang mencoba menyesuaikan perpaduan hukum perkembangan masyarakat (masih seputar modernisasi) dengan penerapan sistim pendidikannya.
Makalah ini diambil dan disarikan dari : Agus Salim, Perubahan Sosial : Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia, (Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya, 2002) hal. 9-80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar