Sabtu, 15 Januari 2011
Epistemologi (teori Pengetahuan)
EPISTIMOLOGI (TEORI PENGETAHUAN)
by Sariono Sby
PENDAHULUAN
di antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain saling berkaitan, dan tolak ukur keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari semua ilmu empirik adalah prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat, dengan demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu empirik. Begitu pula, ilmu logika yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara berpikir yang benar, diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan manusia.
Namun, epistemologi (teori pengetahuan), karena mengkaji seluruh tolak ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi yang benar, diletakkan setelah epistemologi.
Hingga tiga abad sebelum abad ini, epistemologi bukanlah suatu ilmu yang dikategorikan sebagai disiplin ilmu tertentu. Akan tetapi, pada dua abad sebelumnya, khususnya di barat, epistemologi diposisikan sebagai salah satu disiplin ilmu. Dalam filsafat Islam permasalahan epistemologi tidak dibahas secara tersendiri, akan tetapi, begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas dalam pokok-pokok pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian tentang jiwa, kenon-materian jiwa, dan makrifat jiwa. Pengindraan, persepsi, dan ilmu merupakan bagian pembahasan tentang makrifat jiwa. Begitu pula hal-hal yang berkaitan dengan epistemologi banyak dikaji dalam pembahasan tentang akal, objek akal, akal teoritis dan praktis, wujud pikiran, dan tolak ukur kebenaran dan kekeliruan suatu proposisi. Namun belakangan ini, di Islam, epistemologi menjadi suatu bidang disiplin baru ilmu yang mengkaji sejauh mana pengetahuan dan makrifat manusia sesuai dengan hakikat, objek luar, dan realitas eksternal.
Latar belakang hadirnya pembahasan epistemologi itu adalah karena para pemikir melihat bahwa panca indra lahir manusia yang merupakan satu-satunya alat penghubung manusia dengan realitas eksternal terkadang atau senantiasa melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menangkap objek luar, dengan demikian, sebagian pemikir tidak menganggap valid lagi indra lahir itu dan berupaya membangun struktur pengindraan valid yang rasional. Namun pada sisi lain, para pemikir sendiri berbeda pendapat dalam banyak persoalan mengenai akal dan rasionalitas, dan keberadaan argumentasi akal yang saling kontradiksi dalam masalah-masalah pemikiran kemudian berefek pada kelahiran aliran Sophisme yang mengingkari validitas akal dan menolak secara mutlak segala bentuk eksistensi eksternal.
Dengan alasan itu, persoalan epistemologi sangat dipandang serius sedemikian sehingga filosof Yunani, Aristoteles, berupaya menyusun kaidah-kaidah logika sebagai aturan dalam berpikir dan berargumentasi secara benar yang sampai sekarang ini masih digunakan. Lahirnya kaidah itu menjadi penyebab berkembangnya validitas akal dan indra lahir sedemikian sehingga untuk kedua kalinya berakibat memunculkan keraguan terhadap nilai akal dan indra lahir di Eropa, dan setelah Renaissance dan kemajuan ilmu empirik, lahir kembali kepercayaan kuat terhadap indra lahir yang berpuncak pada Positivisme. Pada era tersebut, epistemologi lantas menjadi suatu disiplin ilmu baru di Eropa yang dipelopori oleh Descartes (1596-1650) dan dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–1716) kemudian disempurnakan oleh John Locke di Inggris.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Epistemologi
Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolak ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya.
Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
1. Hakikat itu ada dan nyata;
2. Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
3. Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
4. Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.
Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang sejarah manusia?. Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan-persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan.
Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhdap objek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indra mencapai hakikat dan menyerap objek eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indra. Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi.
Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolak ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.
2. Epistemologi di Zaman Yunani Kuno
Berdasarkan penulis sejarah filsafat, orang pertama yang membuka lembaran kajian epistemologi adalah Parmenides. Hal ini karena ia menempatkan dan menekankan akal itu sebagai tolak ukur hakikat. Pada dasarnya, ia mengungkapkan satu sisi dari sisi-sisi lain dari epistemologi yang merupakan sumber dan alat ilmu, akal dipandang sebagai yang valid, sementara indra lahir hanya bersifat penampakan dan bahkan terkadang menipu.
Heraklitus berbeda dengan Parmenides, ia menekankan pada indra lahir. Heraklitus melontarkan gagasan tentang perubahan yang konstan atas segala sesuatu dan berkeyakinan bahwa dengan adanya perubahan yang terus menerus pada segala sesuatu, maka perolehan ilmu menjadi hal yang mustahil, karena ilmu memastikan kekonstanan dan ketetapan, akan tetapi, dengan keberadaan hal-hal yang senantiasa berubah itu, maka mustahil terwujud sifat-sifat khusus dari ilmu tersebut. Oleh karena itu, sebagian peneliti sejarah filsafat menganggap pemikirannya sebagai dasar Skeptisisme.
Kaum Sophis ialah kelompok pertama yang menolak definisi ilmu yang bermakna kebenaran yang sesuai dengan realitas hakiki eksternal, hal ini karena terdapat kontradiksi-kontradiksi pada akal dan kesalahan pengamatan yang dilakukan oleh indra lahir.
Pythagoras berkata, "Manusia merupakan parameter segala sesuatu, tolok ukur eksistensi segala sesuatu, dan mizan ketiadaan segala sesuatu. Gagasan Pythagoras ini kelihatannya lebih menyuarakan dimensi relativitas dalam pemikiran.
Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada, maka mustahil diketahui, kalau pun bisa dipahami, namun tidak bisa dipindahkan.
Socrates ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang lantas bangkit mengkritisi pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara induksi dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu. Ia memandang bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi.
Democritus beranggapan bahwa indra lahir itu tidak akan pernah mengantarkan pada pengetahuan benar dan segala sifat sesuatu terbagi menjadi sifat-sifat majasi dimana dihasilkan dari penetapan pikiran seperti warna dan sifat-sifat hakiki seperti bentuk dan ukuran. Pembagian sifat ini kemudian menjadi perhatian para filosof dan sumber lahirnya berbagai pembahasan.
Plato, murid Socrates, ialah filosof pertama yang secara serius mendalami epistemologi dan menganggap bahwa permasalahan mendasar pengetahuan indriawi itu ialah terletak pada perubahan objek indra. Ia juga berkeyakinan, karena pengetahuan hakiki semestinya bersifat universal, pasti, dan diyakini, maka objeknya juga harus tetap dan konstan, dan perkara-perkara yang senantiasa berubah dan partikular tidak bisa dijadikan objek makrifat hakiki. Oleh karena itu, pengetahuan indriawi bersifat keliru, berubah, dan tidak bisa diyakini, sementara pengetahuan hakiki (baca: pengetahuan akal) itu yang berhubungan dengan hal-hal yang konstan dan tak berubah ialah bisa diyakini, universal, tetap, dan bersifat pasti. Dengan dasar ini, kemudian melontarkan gagasan tentang mutsul (maujud-maujud non-materi di alam akal).
Pengetahuan hakiki dalam pandangan Plato ialah keyakinan benar yang bisa diargumentasikan, dimana pengetahuan jenis ini terkait dengan hal-hal yang konstan. Pengetahuan-pengetahuan selain ini ialah bersifat prasangka, hipotesa, dan perkiraan belaka. Begitu pula, definisi Plato tentang pengetahuan dan makrifat lantas menjadi perhatian serius para epistemolog kontemporer.
Lebih lanjut ia berkata bahwa panca indra lahir itu tidak melakukan kesalahan, melainkan kekeliruan itu bersumber dari kesalahan penetapan makna-makna maujud di ruang memori pikiran atas perkara-perkara indriawi.
Aristoteles, murid Plato, lebih menekankan penjelasan ilmu dan pembuktian asumsi-asumsinya daripada menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan probabilitas pengetahuan. Ia yakin bahwa setiap ilmu berpijak pada kaidah-kaidah awal dimana hal itu bisa dibuktikan di dalam ilmu-ilmu lain, akan tetapi, proses pembuktian ini harus berakhir pada kaidah yang sangat gamblang yang tak lagi membutuhkan pembuktian rasional. Dalam hal ini, prinsip non-kontradiksi merupakan kaidah pertama yang sangat gamblang yang diketahui secara fitrah. Ia menetapkan penggambaran universal, abstraksi, dan analisa pikiran menggantikan gagasan mutsul Plato. Ia menyusun ilmu logika dengan tujuan menetapkan suatu metode berpikir dan berargumentasi secara benar dengan menggunakan kaidah-kaidah pertama dalam ilmu dan pengetahuan yang bersifat gamblang, dengan demikian, pencapaian hakikat dan makrifat hakiki ialah hal yang sangat mungkin dan tidak mustahil.
Kelompok Rawa>qiyyu>n yang yakin pada pengalaman agama dan indra lahir, menolak pandangan tentang konsepsi universal pikiran dari Aristoteles dan konsep mutsul Plato tersebut. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah pengenalan partikular sesuatu. Disamping meyakini bentuk intuisi batin (al-shuhu>d) itu sebagai tolak ukur kebenaran, juga meyakini penalaran rasionalitas.
Epicure (270-341 M) memandang indra lahir sebagai pondasi dan tolak ukur kebenaran pengetahuan. Makrifat yang diperoleh lewat indra itu merupakan makrifat yang paling diyakini kebenarannya, dengan perspektif ini, ilmu matematika dianggap hal yang tidak valid.
Kaum Skeptis beranggapan bahwa kesalahan indra lahir dan akal itu merupakan dalil atas ketidakabsahannya. Sebagian dari mereka bahkan menolak secara mutlak adanya kebenaran dan sebagian lain memandang kemustahilan pencapaiannya. Perbedaan kaum Skeptis dengan kaum Sophis adalah bahwa argumentasi-argumentasi kaum Sophis menjadi pijakan utama kaum Skeptis. Gagasan Skeptisisme muncul sebelum Masehi hingga abad kedua Masehi yang dipropagandai oleh Agrippa (di abad pertama) dan kemudian dilanjutkan oleh Saktus Amirikus (di abad kedua).
Walhasil, epistemologi di zaman Yunani kuno dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian dibahas dalam bentuk yang berbeda dalam filsafat. Dan semua persoalan, keraguan, jawaban, dan solusinya hadir dalam bentuk yang semakin kuat dan sistimatis serta terlontarnya pembahasan seputar probabilitas pengetahuan, sumber ilmu, dan tolok ukur kesesuaian dengan realitas eksternal.
3. Epistemologi pada Abad Pertengahan (dari Awal Masehi hingga Abad Kelimabelas)
Inti pembahasan di abad pertengahan adalah persoalan yang terkait dengan universalitas dan hakikat keberadaannya, disamping itu, juga mengkaji dasar-dasar pengetahuan dan kebenaran.
Plotinus, penggagas maktab neo platonisme, di abad ketiga masehi melontarkan gagasan-gagasan penting dalam epistemologi. Ia membagi tiga tingkatan persepsi (cognition), yaitu:
1. Persepsi panca indra (sensuous perception),
2. Pengertian (understanding),
3. Akal (logos, intellect). Tingkatan pertama berkaitan dengan hal-hal yang lahir, tingkatan kedua adalah argumentasi, dan akal sebagai tingkatan ketiga, bisa memahami hakikat 'kesatuan dalam kejamakan' dan 'kejamakan dalam kesatuan' tanpa lewat proses berpikir. Dan tingkatan di atas akal adalah intuisi (al-shuhu>d).
Augustine (354-430 M) beranggapan bahwa ilmu terhadap jiwa dan diri sendiri itu tidak termasuk dalam ruang lingkup yang bisa diragukan oleh kaum Skeptis dan Sophis, di samping itu ia memandang bahwa ilmu itu sebagai ilmu yang paling benar dan proposisi-proposisi matematika adalah bersifat gamblang yang tidak bisa diragukan lagi. Pengetahuan indriawi itu, karena objeknya senantiasa berubah, tidak tergolong sebagai makrifat hakiki.
Dalam pandangannya, ilmu dan pengetahuan dimulai dari diri sendiri, karena ilmu terhadap jiwa tidak bisa diragukan. Salah satu ungkapan beliau adalah "Saya ragu, oleh karena itu, saya ada".
Salah satu pembahasan inti di abad pertengahan ialah kajian tentang universal dan sumber kehadirannya, yakni apakah universal itu adalah penyaksian mutsul Plato itu sendiri ataukah konsep abstraksi akal yang bersifat universal yang sebagaimana diyakini oleh Aristoteles. Apakah "universal" itu secara mendasar tidak memiliki wujud luar. Apakah "universal" itu hanya sebatas suatu konsep. Apakah "universal" itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa mencakup beberapa individu-individu eksternal. Apakah wujud "universal" itu sendiri sama dengan wujud "partikular" yang keberadaannya bukan hanya di alam pikiran, bahkan juga berada di alam eksternal yang sebagaimana maujud-maujud hakiki yang lain?
Sebagai contoh "manusia universal". Apakah "manusia universal" di sini hanyalah sebuah konsep universal yang ada di alam pikiran semata, ataukah "manusia universal" itu sendiri memiliki realitas eksternal (misalnya ia berada di alam non-materi) yang hanya bisa disaksikan secara intuitif dan shuhu>di, ataukah "manusia universal" itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa diterapkan pada lebih dari satu objek individual?.
Upaya-upaya pemikiran di abad pertengahan itu tak lain ialah untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Dalam hal ini, ada tiga perspektif dan aliran pemikiran:
a. Realisme (universalitas itu memiliki wujud eksternal atau mutsul Plato),
b. Idealisme (universal itu hanya terdapat dalam alam pikiran atau gagasan Aristoteles),
c. Nominalisme (menetapkan kata-kata umum yang mewakili individu-individu eksternal).
Boethius (470-525 M) ialah orang pertama yang beranggapan bahwa universal itu hanyalah kata semata, walaupun ia berupaya menyelesaikan persoalan universal itu lewat gagasan Aristoteles.
Roscelin (1050-1120 M) berkeyakinan bahwa yang hanya ada di alam eksternal adalah partikular, sementara universal itu tidaklah memiliki wujud hakiki dan hanya bersifat kata-kata semata.
Peter Abelard (1079-1142 M) memandang bahwa universal itu terdapat di alam pikiran dan konsep-konsep universal itu adalah konsep-konsep abstraksi yang diambil dari maujud-maujud luar dengan memperhatikan sifat-sifatnya, dengan kata lain, universal itu merupakan konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran yang menceritakan tentang realitas-realitas hakiki dan eksternal.
Segala kaidah filsafat dan ilmu berpijak pada penerimaan atas konsep-konsep universal, yakni jika seseorang beranggapan bahwa universalitas itu hanyalah sebuah kata semata dan menolak konsep universal itu, maka tidak satu pun kaidah yang ia bisa diterima, karena semua proposisi universal akan menjadi proposisi partikular yang hanya terkait dengan individu tertentu saja, dengan demikian, segala proposisi universal yang merupakan pijakan seluruh ilmu dan kaidah-kaidah ilmiah tidak memiliki individu-individu eksternalnya, begitu pula, seluruh filsafat dan hukum-hukumnya tak bermanfaat. Dengan alasan ini, pembahasan "universalitas" memiliki urgensi.
Roger Bacon (1214-1294 M) ialah orang yang berpijak pada empirisme dan positivisme. Ia memandang bahwa alat pengetahuan adalah teks suci, argumentasi, dan experimen. Proposisi matematik yang karena berkaitan langsung dengan experiman bisa diterima.
Thomas Aquinas (1225-1274 M) yakin bahwa rasionalitas dan pemikiran itu sangat bergantung pada pengindraan lahiriah, yakni pertama-tama indra lahir kita berhubungan dengan alam luar, kemudian akan terbentuk konsep-konsep imajinasi, dari konsep ini akal akan membentuk konsep-konsep universal. Perlu diketahui bahwa ia banyak bersentuhan dengan pemikiran filsafat Islam.
William of Ockam (1287-1347 M) adalah seorang yang dikenal sebagai pengingkar konsep-konsep universal. Namun, sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa ia secara mutlak mengingkari dan menolaknya, karena ia menafsirkan "universal" itu sebagai "penghubung" antara pikiran dan objek-objek luar, dan terkadang ia juga menyebut "penghubung" itu sebagai "konsep-konsep".
4. Perkembangan Epistemologi Modern.
Arus anti-intelektualisme dibalik oleh René Descartes (René Dèkar, 1600), yang memulai arus-balik untuk memulihkan hak-hak intelek. Dengan demikian Descartes menjadi bapak filsafat modern. Walaupun dia ahli matematika, namun paham epistemologinya sangat kurang, justru karena mau menerapkan metodologi matematika di segala bidang. Ilmu psikologinya yang kacau memerosotkan epistemologinya karena penuh dengan asumsi-asumi yang membuat ilmu mengenai “pengertian” itu sangat membosankan.
Descartes menolak peran indera; dia menghidupkan kembali pendapat Plato mengenai idea innata (konsep bawaan sejak lahir, bukan dari pengalaman hidup); dialah yang menyebar-luaskan konsep representasi dalam “mengerti sesuatu” (konsep yang dianggap sebagai pendapat skolastik, walaupun tidak dikembangkannya, yaitu bahwa pengertian mengenai suatu hal itu hanyalah -representasi- menghadirkan sesuatu lain yang abadi yang sudah ada sebelumnya).
Usul Descartes paling baik; dia bermaksud menjadi sekaligus realis (benda-benda) dan juga mau membela posisi primer akal-budi. Namun pandangan-pandangannya malah dari satu pihak justru menuntun orang kepada idealisme dan skeptisisme, dan dari lain pihak sukses memupuk dualisme antara pikiran dan materi, yang sampai sekarang masih membingungkan para pemikir modern.
Mulai Descartes sampai akhir abad 18 (1790), Epistemologi merosot. Baru selanjutnya Immanuel Kant (1724-1804) memulai lagi revolusi filsafat yang menawarkan dibuangnya asumsi-asumsi yang tak punya dasar alasan lalu mulai mengutak-atik pengertian (pengetahuan).
Kant, walaupun filsafatnya tetap memakai intelek untuk menerobos benda-benda dan sangat metodologis, dengan kerja yang tekun, dan niat yang kuat, namun dia tidak sukses; karena dia itu sangat cerdas dan sekaligus juga mengabaikan tradisi epistemologi yang panjang yang sudah ada sebelumnya. Tanpa mau tahu fakta bahwa pengertian intelektual manusia itu abstrak (fakta ini telah memaksa Aristoteles dan Thomas Aquinas mengakui kemampuan pengabstrakan intelek manusia) Kant tidak melihat alternatif: kalau bukan idea innata (Plato dan Descartes, yang ditolaknya), ya teorinya sendiri mengenai intelek (bahwa intelek menangkap informasi data inderawi tetapi sekaligus menentukan sendiri bentuk tertentu atas data inderawi yang diterima).
Bagi Kant, pikiran itu berperan aktif membuat benda-benda bisa dimengerti; pikiran memberi sifat “bisa dimengerti” pada benda-benda; sedangkan kebenaran atau kenyataan itu dari dirinya sendiri (tanpa sentuhan pikiran manusia) tidak bisa dimengerti. Dalam pandangan Kant, Metafisik (mengakui adanya sesuatu di balik fisik) menjadi mustahil. Akibatnya, pengertian berakhir dengan menjadi subjektivisme (hanya menghiraukan apa yang tergambar di pikiranku, tetapi mengabaikan obyek sebagai sumber gambar tersebut) dan sekaligus menjadi agnostisisme (aliran yang berpendapat bahwa kita tidak bisa tahu apa-apa mengenai hal-hal yang non-materiil).
Untuk mengantisipasi akan jadi apa nanti teorinya, Kant mengembangkan pendapatnya mengenai intelek praktis (yang secara a priori dan transendental menangkap sesuatu dari data inderawi dan menyimpulkannya) dan buah pikirannya itu mempersiapkan jalan untuk voluntarisme (kehendak kita sangat berperan menentukan adanya sesuatu; yang kita kehendaki itulah yang tampil dalam pengertian kita) dan pragmatisme (hanya menggarap apa yang ada di hadapannya saja).
Paham idealisme (yang mementingkan idee subjektif dari pada benda objektif yang coba dimengerti) yang beredar pada jaman itu dan masuk dalam epistemologi juga berasal dari Kant. Kutub lawannya adalah garis pikiran David Hume yang ikut mengembangkan ilmu-ilmu alam dan tampil dalam pelbagai bentuk, seperti empirisisme (mementingkan yang bisa diamati, bukan yang diduga), positivisme (yang bisa dilihat dan dibuktikan, bukan yang dipikirkan), scientivisme (yang mementingkan syarat-syarat ilmu, yaitu harus ada data, bukti, saksi, yang teruji), utilitarianisme (yang langsung bisa dimanfaatkan, bukan yang diteorikan), dan instrumentalisme (= yang langsung bisa dipakai untuk mencapai tujuan).
KESIMPULAN
1. Epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolak ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.
2. Berdasarkan penulis sejarah filsafat, orang pertama yang membuka lembaran kajian epistemologi adalah Parmenides. Hal ini karena ia menempatkan dan menekankan akal itu sebagai tolak ukur hakikat k
3. Inti pembahasan di abad pertengahan adalah persoalan yang terkait dengan universalitas dan hakikat keberadaannya, disamping itu, juga mengkaji dasar-dasar pengetahuan dan kebenaran
4. Mulai Descartes sampai akhir abad 18 (1790), Epistemologi mengalami kemerosatan. Baru selanjutnya Immanuel Kant (1724-1804) memulai lagi revolusi filsafat yang menawarkan dibuangnya asumsi-asumsi yang tak punya dasar alasan lalu mulai mengutak-atik pengertian (pengetahuan).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ARE YOU IN NEED OF A PROFESSIONAL HACKER?(CATCHING A CHEATING SPOUSE, RECOVERY OF LOST FUNDS, WEBSITE HACK...)
BalasHapusHigh prolific information and Priviledges comes rare as i would be sharing with you magnificent insight you wish you heard years before now. As it's been understood that what people don't see, they will never know.
Welcome to the Global KOS hacking agency where every request on hacking related issues are met within a short period of time.
If your shoe fits in any of the requested services below, you will be assigned to a designated professional hacker who is systematically known for operating on a dark web V-link protocol.
The manual operation of this hackers is to potentially deploy a distinguished hacking techniques to penetrating computers and various type of database system to meet your request. Penetration of computing systems are achieved using software tools like Ransomeware, SQL/Keylogger injection. botnet, trojan and DDOS attacks.
Providing value added services to clients as a hacker has been our sustaining goal.
Are you faced with cyber challenges like
● Hacking into the mobile phone of a cheating spouse.✅ This type of hack helps you track every move of your cheater as we are bent on helping you gain full remote access into the cheater's mobile phone using a trojan clone cracking system to penetrate their social media platforms like Facebook, whatsapp, snapchat etc.
●Recovery of lost funds:✅.It saddens our mind when client expresses annoyance or dissatisfaction of unethical behaviours of scammers.
with a diverse intercall XX breacher software enables you track the data location of a scammer. Extracting every informations on the con database, every requested information required by the Global KOS would be used to tracking every transaction, time and location of the scammer using this systematic courier tracking base method.
●Credit Score Upgrade:✅Due to our transformed changes on Equifax tracking , upgrading of credit score are backed by our cyber tech breaching licence, This hacking process drastically generates you an undestructive higher credit score which correlates to a higher level of creditworthiness. The time frame for upgrading a credit score requires eighteen(18) hours
● BITCOIN GENERATOR:✅ (Higher job profile). This involves using the ANTPOOL Sysytem drifting a specialized hardware and software implementing tool in slot even-algorithms to incentivize more coins into your wallet which in turn generates more coins exponentially like a dream at specified intervals.
Other suberb services rendered by the globalkos are
• Email hacks📲
• Hacking of websites.📲
• Uber free payment hacks.📲
• website hack.📲
Our strength is based on the ability to help you fix cyber problems by bringing together active cyber hacking professionals in the GlobalkOS to work with.
For more inquiries and prolific Hacking services visit
Clarksoncoleman(at)gmail • com.
Theglobalkos(at)gmail •com.
©Global KOS™
2030.