by Sariono Sby
PENDAHULUAN
Ibn Khaldu>n, nama ini begitu mashur dikalangan pemikir dan Ilmuwan Barat. Ia adalah pemikir dan Ilmuwan Muslim yang pemikiranya dianggap murni dan baru pada zamannya. Tak heran ide-idenya tentang masyarakat Arab seperti yang tertuang dalam buku fenomenalnya “muqaddimah” dianggap sebagai bibit dari kelahiran Ilmu Sosiologi. Penelitiannya tentang sejarah dengan menggunakan metode yang berbeda dari penelitian Ilmuwan pada saat itu juga disebut sebagai bibit dari kemunculan Filsafat Sejarah seperti yang ada sekarang. Kehidupannya yang malang melintang di Tunisia (Afrika) dan Andalusia, serta hidup dalam dunia politik tak ayal mendukung pemikirannya tentang Politik serta Sosiologi tajam dan mampu memberikan sumbangsih yang besar pada Ilmu Pengetahuan.
Patung Ibn Khaldu>n di pusat kota Tunis yang gagah perkasa memang seperti membersitkan dirinya sebagai seorang ilmuwan besar dan sekaligus politisi kawakan. Dua identitas itulah yang melekat pada diri Ibn Khaldu>n. Demikian juga dalam Muqadimah yang terdiri dari enam bab, pada setiap babnya ibn Khaldu>n tetap membicarakan berbagai hal tentang ilmu kemasyarakatan. Pembahasan tentang fenomena social ini ia namakan Wa>qi’at al ‘Umran al bashari> ( fakta peradaban manusia ) yang sekarang disebut ilmu sosiologi.
Dengan demikian begitu besar sumbangan Ibn Khaldu>n dalam sejarah peradaban manusia. Hal itu mendorong penulis untuk mengemukakan pemikiran – pemikiran beliau tentang sejarah peradaban tersebut. Demikian juga ungkapan Ibn Khaldu>n tentang “Manusia bukanlah produk nenek moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial.”
PEMBAHASAN
A. RIWAYAT HIDUP IBN KHALDU
Setelah Spanyol direbut penguasa Kristen, keluarga besar Ibn Khaldu>n hijrah ke Maroko dan kemudian menetap di Tunisia. Di kota itu, keluarga Ibn Khaldu>n dihormati pihak istana dan tinggal di lahan milik dinasti Hafsiah. Sejak terlahir ke dunia, Ibn Khaldu>n sudah hidup dalam komunitas kelas atas.
Guru pertama Ibn Khaldu>n adalah ayahnya sendiri. Sejak kecil, ia sudah menghafal al Qur-a>n dan menguasai tajwid. Selain itu, dia juga menimba ilmu agama, fisika, hingga matematika dari sejumlah ulama Andalusia yang hijrah ke Tunisia. Ia selalu mendapatkan nilai yang memuaskan dalam semua bidang studi. Studinya kemudian terhenti pada 749 H. Saat menginjak usia 17 tahun, tanah kelahirannya diserang wabah penyakit pes yang menelan ribuan korban jiwa. Akibat peristiwa yang dikenal sebagai Black Death itu, para ulama dan penguasa hijrah ke Maghrib Jauh (Maroko).
Ibn Khaldu>n hidup pada masa peradaban Islam berada diambang degradasi dan disintegrasi. Kala itu, Khalifah Abbasiyah di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258 M, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibn Khaldu>n. Pada masa hidupnya ini merupakan masa pengujung zaman pertengahan dan permulaan zaman renaissance. Perubahan krusial historis menanadai abad ini, baik dalam bidang politik maupun pemikiran. Di eropa zaman merupakan zaman cikal bakal renaissance. Sedangkan di timur (islam) periode ini sedang berlangsung suatu fase kemunduran dan disintegrasi.
Di tengah evolusi peradaban ini, Khaldu>n pernah terlibat langsung intrik politik dalam pemerintahan, ia juga pernah menjabat sebagai sekretaris sultan Abu Inan dari Fez dan sebagai perdana menteri di Bougie. Setelah itu Khaldu>n merasa lelah dalam intrik yang dihadapinya, sehingga ia memutuskan untuk menjauhi dunia politik dan berkecimpung di dunia keilmuan dan intelektual.
Setelah mundur dari percaturan politik praktis, Ibn Khaldu>n bersama keluarganya menyepi di “Qal’at Ibn Salamah” istana yang terletak di negeri Banu Tajin selama empat tahun. Selama masa kontemplasi itu, Ibn Khaldu>n berhasil merampungkan sebuah karya monumental yang hingga kini masih tetap dibahas dan diperbincangkan. Keputusan ini berbuah dengan munculnya karya-karya intelektualnya seperti kitab al ibar yang membahas mengenai sejarah. Kitab tersebut didahului oleh sebuah pembahasan tentang masalah-masalah sosial manusia, yang kemudian dikenal dengan muqaddimah Ibn Khaldu>n. Muqaddimah ini selesai ditulis oleh Khaldu>n dalam waktu selama lima bulan, dan berakhir pada pertengahan 779 H/ November 1377 M. hal ini ia ungkapkan dalam penutupan muqaddimah-nya: Saya selesaikan komposisi dan naskah dari pasal yang pertama ini, sebelum revisi dan koreksi, selama lima bulan, berakhir pada pertengahan tahun 779 (November 1377). Lalu, saya merevisi dan mengoreksi buku ini, dan saya tambahkan kepadanya sejarah berbagai macam bangsa, sebagaimana telah saya sebutkan dan saya niatkan untuk melakukannya pada permulaan karya itu.
Empat tahun kemudian, ia hijrah ke Iskandaria (Mesir) untuk menghindari kekisruhan politik di Maghrib. Di Kairo, Ibn Khaldu>n disambut para ulama dan penduduk. Ia lalu membentuk halaqah di Al-Azhar. Ia didaulat raja menjadi dosen ilmu Fikih Mazhab Maliki di Madrasah Qamhiyah. Tak lama kemudian, dia diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan.
Ibn Khaldu>n sempat mengundurkan diri dari pengadilan kerajaan, lantaran keluarganya mengalami kecelakaan. Raja lalu mengangkatnya lagi menjadi dosen di sejumlah madrasah. Setelah menunaikan ibadah haji, ia kembali menjadi ketua pengadilan dan kembali mengundurkan diri. Pada 803 H, dia bersama pasukan Sultan Faraj Barquq pergi ke Damaskus untuk mengusir Timur Lenk, penguasa Mogul.
Berkat diplomasinya yang luar biasa, Ibn Khaldu>n malah bisa bertemu Timur Lenk yang dikenal sebagai penakluk yang disegani. Dia banyak berdiskusi dengan Timur. Ibn Khaldu>n, akhirnya kembali ke Kairo dan kembali ditunjuk menjadi ketua pengadilan kerajaan. Ia tutup usia pada 25 Ramadhan 808 H di Kairo. Meski dia telah berpulang enam abad yang lalu, pemikiran dan karya-karyanya masih tetap dikaji dan digunakan hingga saat ini.
B. PEMIKIRAN IBN KHALDU>N TENTANG SEJARAH PERADABAN
Dalam metodeloginya, Ibn Khaldu>n mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. `’Ibn Khaldu>n adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial,” papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon. Pendapat ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Philip K. Hitti.
Di tangan Ibn Khaldu>n, sejarah menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-dongeng. Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia politik pada masanya, Ibn Khaldu>n mampu menulis Al Muqaddimah dengan jernih. Dalam kitabnya itu, Ibn Khaldu>n juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum kemasyarakatan dan perubahan sosial.
Dunia mendaulatnya sebagai `Bapak Sosiologi Islam’. Sebagai salah seorang pemikir hebat dan serba bisa sepanjang masa, buah pikirnya amat berpengaruh. Sederet pemikir Barat terkemuka, seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold J Toynbee, Ernest Gellner, Franz Rosenthal, dan Arthur Laffer mengagumi pemikirannya. Lewat Al-Muqaddimah, Ibn Khaldu>n adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah satu prinsip yang dikemukakan Ibn Khaldu>n mengenai ilmu kemasyarakatan antara lain; `’Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk soisal berubah dan berkembang.”
Secara garis besar Al-Muqaddimah menjadi tiga bagian utama, yaitu:
Pertama, membicarakan histografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan Arab-Muslim.
Kedua, Al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur. Bagi Ibn Khaldu>n, ilmu tersebut merupakan dasar bagi pemahaman sejarah.
Ketiga, mengupas lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan abad ke-14.
Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang berjudul Al-`Ibar, kenyataannya Al-Muqaddimah lebih termasyhur. Pasalnya, seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibn Khaldu>n diantara menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis
Ibn Khaldu>n menjelaskan bahwa manusia manusia berbeda dengan makhluk hidup yang lain, karena ia mempunyai ciri sendiri, Yaitu:
1. Ilmu pengetahuan dan keahlian yang merupakan hasil pikiran;
2. Butuh kepada pengaruh yang sanggup mengendalikan, dan kepada kekuasaan yang kokoh, sebab tanpa hal itu eksistensinya tak bisa dimungkinkan;
3. Usaha manusia menciptakan penghidupan, dan perhatiannya untuk memperoleh penghidupan itu dengan berbagai cara.
4. Peradaban ('umran).
Empat ciri tersebut yang membedakan manusia dengan yang lainnya, sehingga menurut Ibn Khaldu>n manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan.
Menurut Ibn Khaldu>n ada beberapa alasan manusia harus membentuk organisasi :
1. Manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan. Sedang untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam waktu satu hari saja memerlukan banyak pekerjaan. Artinya, manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan membutuhkan manusia yang lain.
2. Manusia memerlukan bantuan dalam hal pembelaan diri terhadap ancaman bahaya..
Setelah organisasi masyarakat terbentuk, dan inilah peradaban, maka masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat betindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat. Ini karena manusia mempunyai watak agresif dan tidak adil, sehingga dengan akal dan tangan yang diberikan Tuhan padanya tidak memungkinkan untuk mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia mempunyai akal dan tangan pula. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali / al wa>zi’. Dengan demikian tidak akan ada anggota masyarakat yang menyerang sesama anggota masyarakat lain.
Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk).
Selain apa yang telah dipaparkan diatas, Ibn Khaldu>n berpendapat bahwa ada faktor lain pembentuk Negara (daulah), yaitu al ‘as}abiyyah . Teorinya tentang al ‘as}abiyyah inilah yang melambungkan namanya dimata para pemikir modern, teori yang membedakannya dari pemikir Muslim lainnya. al ‘as}abiyyah mengandung makna Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau disakiti. Tujuan akhir dari solidaritas sosial adalah kedaulatan.
Adapun pendorong yang membentuk al ‘as}abiyyah yang terdapat dalam Muqaddimah antara lain :
1. Ikatan kekeluargaan atau lebih luas lagi persamaan Agama.
Khusus bangsa Arab menurut Ibn Khaldu>n, persamaan Ketuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan Dinasti. Sebab menurutnya, Bangsa Arab adalah Bangsa yang paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin. al ‘as}abiyyah yang ada hanya al ‘as}abiyyah kesukuan/qabilah yang tidak memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena Agama yang dibawa oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan dikendalikan.
2. Social fundamental, yang terdapat di kalangan orang desa dan juga dikalangan orang kota.
Untuk bertahan hidup masyarakat pedalaman harus memiliki sentimen kelompok (al ‘as}abiyyah ) yang merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki al ‘as}abiyyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri. Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus (khas) atau umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum
Bangsa-bangsa liar lebih mampu memiliki kekuasaan daripada bangsa lainnya. Kehidupan padang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi, suku liar lebih berani dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah, mereka lebih mampu memiliki kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam genggaman bangsa lain. Sebabnya, adalah karena kekuasaan dimiliki melalui keberanian dan kekerasan. Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup di padang pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan daripada golongan lain.
3. Persekutuan atau aliansi.
Homogenitas juga berpengaruh dalam pembentukan sebuah Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan yang mempunyai beragam aneka suku, sebab dalam keadaan demikian masing-masing suku mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit. Hanya dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga tercipta sebuah Dinasti yang besar.
4. Hubungan antara pelindung dan yang dilindungi.
Karena penduduk kota malas dan suka yang mudah-mudah. Mereka larut dalam kenikmatan dan kemewahan. Mereka mempercayakan urusan keamanan diri dan harta kepada penguasa. Sedangkan orang Badui hidup memencilkan diri dari masyarakat. Mereka hidup liar di tempat-tempat jauh di luar kota dan tak pernah mendapatkan pengawasan tentara. Karena itu, mereka sendiri yang mempertahankan diri mereka sendiri dan tidak minta bantuan pada orang lain.
Dalam masalah al ‘as}abiyyah tersebut Abd. Al Raziq al-Ma>kki, menelaah Muqaddimah karya Ibn khaldu>n dan berpendapat bahwa ada lima bentuk al ‘as}abiyyah , yaitu :
1. al ‘as}abiyyah kekerabatan dan keturunan, adalah Ashabiyah yang paling kuat.
2. al ‘as}abiyyah persekutuan, yang terjadi karena keluarga seseorang dari garis keturunannya yang semula ke garis keturunan yang lain.
3. al ‘as}abiyyah kesetiaan, yang terjadi karena peralihan seseorang dari garis keturunan dan kekerabatan keturunan yang lain akibat suatu kondisi. Dalam kasus ini Ashabiyah timbul dari penggabungan seseorang pada garis keturunan yang baru
4. al ‘as}abiyyah penggabungan, yang terjadi karena larinya seseorang dari keluarga dan kaumnya kemudian bergabung dengan keluarga dan kaum yang lain
5. al ‘as}abiyyah perbudakan, yang timbul dari hubungan antara para budak dan kaum mawali dengan tuan – tuan mereka.
Berdasarkan teorinya al ‘as}abiyyah , Ibn Khaldu>n membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu:
1. Tahap suksesi atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (al ‘as}abiyyah ) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
2. Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya.
3. Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara.
4. Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya.
5. Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya.
Tahap – tahap timbul tenggelamnya suatu peradaban yang di kemukakan oleh Ibn Khaldu>n dapat memunculkan tiga generasi, yaitu:
1. Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya.
2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.
3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa mempedulikan nasib negara.
Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut Ibn Khaldu>n proses ini berlangsung sekitar satu dekade / abad. Ibn Khaldu>n juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan al ‘as}abiyyah diantara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain. Tahapan-tahapan diatas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus.
Dengan demikian umur tiga generasi ini dibagi menjadi empat tahap yang harus dilalui oleh masyarakat tersebut :
1. Tahap primitif ( al-badawah ). Perhatian individu dalam tahap ini hanyalah tertuju kepada penghidupannya. Dia memiliki sifat yang keras untuk menghidupi dirinya, bahkan siap mencaplok orang lain dengan kejam. Dengan kata lain bercirikan kekerasan, keberanian, dan fanatic. Pada fase ini masyarakat dikendalikan oleh kebutuhan dan kebiasaannya, dan belum dikendalikan oleh hukum.
2. Tahap kepemilikan ( al-Mulk). Pada tahap ini kekuasaan masyarakat terpusat pada tangan seseorang atau keluarga atau suatu golongan. Fanatisme pada tahap ini dilakukan terang – terangan. Pada tahap ini juga terjadi perubahan kearah kemajuan budaya. Penduduknya mulai patuh pada hukum dan perundang – undangan dengan adanya penguasa yang mengatur urusan – urusan masyarakat. Fase ini merupakan awal munculnya Negara.
3. Tahap beradap dan kemakmuran. Pada tahap ini sudah terpupusnya rasa fanatic golongan. Penduduknya saling bekerja sama dalam memelihara dan mempertahankan kepentingan bersama. Pada fase inilah terdapat Negara sebagaimana yang kita lihat sekarang ini.
4. Tahap kelemahan, kerusakan akhlak dan kemunduran. Pada tahap ini Negara menjadi mangsa yang empuk untuk serangan musuh dari luar.
Pada tahap pertama manusia masih tergolong bangsa yang liar, sehingga yang dicari hanyalah masalah kebutuhan hidup dan adat kebiasaan masih mendominasi dengan jelas. Dilanjutkan tahap yang kedua dimana manusia sudah mulai timbul kesadaran akan kerjasama dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga mereka membuat dan melaksanakan peraturan – peraturan dan sudah mulai mengenal sistem kepemilikan (al-mulk) walaupun pemimpinnya terpusat pada seseorang atau golongan tertentu. Sedangkan pada tahap yang ketiga sudah mulai muncul rasa nasionalisme dengan membuang rasa fanatic terhadap golongan tertentu. Mereka sudah mulai sadar bahwa kepentingan bersama diatas segalanya. Dengan demikian masyarakat akan mengalami kemakmuran. Mereka hidup dengan kemewahan karena Negara atau peradapan sedang berada pada masa kejayaan. Hal ini akan menimbulkan tahap yang ke-empat dimana Negara atau peradapan akan melemah, karena masyarakatnya hanya menikmati kemewahan tanpa memperdulikan kepentingan Negara atau peradapan, sehingga musuh dari luar dengan mudahnya meanghancurkan Negara tersebut. Demikianlan akan terulang lagi tahap pertama dan seterusnya.
KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut tentang pemikiran Ibn Khaldu>n tentang sejarah peradaban manusia dapat kami simpulkan bahwa:
1. Ibn Khaldu>n lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M dengan nama Abd al Rahma>n bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibarahim bin Abd al Rahma>n bin Khaldu>n, dan lebih dikenal dengan Ibn Khaldu>n. Guru pertama Ibn Khaldu>n adalah ayahnya sendiri. Selain itu, dia juga menimba ilmu agama, fisika, hingga matematika dari sejumlah ulama Andalusia yang hijrah ke Tunisia.
Ibn Khaldu>n hidup pada masa peradaban Islam berada diambang degradasi dan disintegrasi. Di tengah evolusi peradaban ini, Khaldu>n pernah terlibat langsung intrik politik dalam pemerintahan, ia juga pernah menjabat sebagai sekretaris sultan Abu Inan dari Fez dan sebagai perdana menteri di Bougie. Setelah itu Khaldu>n merasa lelah dalam intrik yang dihadapinya, sehingga ia memutuskan untuk menjauhi dunia politik dan berkecimpung di dunia keilmuan dan intelektual. Keputusan ini berbuah dengan munculnya karya-karya intelektualnya seperti kitab al ibar yang membahas mengenai sejarah. Kitab tersebut didahului oleh sebuah pembahasan tentang masalah-masalah sosial manusia, yang kemudian dikenal dengan muqaddimah Ibn Khaldu>n. Ia tutup usia pada 25 Ramadhan 808 H di Kairo.
2. Perhatian Ibn Khaldu>n terhadap sejarah peradaban sangatlah besar. Hal ini dibuktikan dengan adanya pembahasan pada setiap pembahasan yang terdapat didalam Muqadimah yang terdiri dari 6 pembahasan/bab. Manusia mempunyai perbedaan yang mendasar dengan makhluk lain. Hal inilah yang menyebabkan manusia harus menjadi makhluk politik atau sosial yang harus membutuhkan yang lain.
Yang menyebabkan manusia membentuk sebuah organisasi antara lain karena manuisa tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan juga manusia membutuhkan perlindungan orang lain, serta factor al ‘as}abiyyah. Tahapan timbulnya sebuah peradaban melalui tahapan – tahapan sebagai berikut: suksesi atau konsolidasi, tirani, sejahtera, kepuasan hati, tentram, damai dan tahap hidup boros atau berlebihan. Dengan tahapan tersebut menimbulkan Generasi pembangun, penikmat dan generasi penghancur yang tidak mempunyai hubungan emosional dengan Negara. Tahapan tersebut terulang kembali dengan kebudayaan yang lain (Siklus peradaban).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar