Rabu, 26 Januari 2011

RESUME MABAHIS FI ULUMIL QUR’AN Karya Subhi As-Shalih


RESUME MABAHIS FI ULUMIL QUR’AN Karya Subhi As-Shalih
By sariono sby

PENDAHULUAN
Al-qur’an Sebagai kitab suci ummat Islam yang kebenarannya bersifat mutlak selalu memerlukan penjelasan-penjelasan agar dapat dipahami dan diamalkan oleh ummat. Dalam menjelaskan segala sesuatu tentang al-Qur’an, dikenal ilmu-ilmu al-Qur’an yang akhirnya dikenal dengan ulumul Qur’an.
Salah satu buku yang cukup representatif tentang ulumul Qur’an adalah buku karya Syekh Dr. Subhi as-Shalih yang berjudul mabahis fi ulumil qur’an. Buku tersebut cukup tebal dan tidak semua orang memiliki waktu dan minat serta intelektulitas yang cukup untuk melakukannya. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk meringkas atau meresume isi kitab tersebut sehingga semakin mudah dipahami oleh orang yang berminat dalam kajian-kajian al-Qur’an.






PENAMAAN AL-QUR’AN DAN AKAR KATANYA
Secara bahasa, al-Qur’an paling umum dikenal sebagai bentuk mashdar dari kata qa-ra-a yang berarti bacaan. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang lafadz al-Qur’an tersebut. Asy-Syafi’i, al-Farra dan al-Asy’ari termasuk ulama yang berpendapat bahwa lafadz al-Qur’an ditulis tanpa huruf hamzah. Adapun yang berpendapat bahwa lafadz al-Qur’an ditulis dengan tambahan huruf hamzah diantaranya adalah az-Zajjaj, al-Lihyani serta jama’ah lainnya. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat dan bermakna sebagai bacaan. Sebagai contoh firman Allah SWT:
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.”(QS. 75: 17-18).
Al-Qur’an memiliki nama-nama lain seperti al-Furqan (QS. 25: 1), dzikrun (QS. 21: 50, 21: 10), tanzil (QS. 26: 129). Banyak sekali penamaan al-Qur’an oleh para ulama, bahkan sampai mencapai 90 nama. Meskipun memiliki banyak nama, yang pasti secara istilah al-Qur’an adalah kalam ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan tertulis di dalam mushaf berdasarkan sumber-sumber mutawatir yang bersifat pasti kebenarannya dan yang dibaca ummat Islam dalam rangka ibadah. Penamaan al-Qur’an secara istilah sedemikian disepakati oleh para ulama baik ahli ilmu kalam, ulama ahli fiqh maupun ulama ahli bahasa Arab.
SEGI KENYATAAN WAHYU
Diantara makna wahyu antara lain:
1. ilham fitriyah (naluriah) bagi manusia. Firman Allah SWT:
!$uZøŠym÷rr&ur #’n<Î) ÏdQé& #Óy›qãB ÷br& Ïm‹ÏèÅÊö‘r& ( “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa supaya ia menyusuinya” (QS. 28: 7) 2. Isyarat dalam bentuk lambang atau petunjuk sebagaimana firman Allah SWT: yltsƒmú 4’n?tã ¾ÏmÏBöqs% z`ÏB É>#tósÏJø9$# #Óyr÷rr'sù öNÍköŽs9Î) br& (#qßsÎm7y™ Zotõ3ç/ $|‹Ï±tãur ÇÊÊÈ
“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” (QS. 19: 11).
3. Bisikan, seperti dalam firman Allah SWT:
y7Ï9ºx‹x.ur $oYù=yèy_ Èe@ä3Ï9 @cÓÉ<Î) <Ù÷èt/ t$ã÷zã— ÉAöqs)ø9$# #Y‘ráäî 4 öqs9ur uä!$x© y7•/u‘ $tB çnqè=yèsù ( öNèdö‘x‹sù $tBur šcrçŽtIøÿtƒ ÇÊÊËÈ “Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. 6: 112) 4. Perintah yang harus dilaksanakan saat itu juga. Firman Allah SWT: øŒÎ) ÓÇrqムy7•/u‘ ’n<Î) Ïps3Í´¯»n=yJø9$# ’ÎoTr& öNä3yètB (#qçGÎm;sWsù šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä 4 “(ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang Telah beriman". (QS. 8: 12). Dalam kaitan al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, maka maknanya adalah pemberitahuan yang bersifat rahasia dan sangat cepat-tidak terbatas pada kenyataan adanya hubungan ghaib antara Allah dan pribadi-pribadi pilihannya yang menerima kitab-kitab suci lewat perantaraan malaikat pembawa wahyu. Ada tiga gambaran tentang turunnya wahyu. Pertama, menanamkan pengertian dalam hati seorang nabi, atau meniupkan pengertian itu ke dalam jiwanya yang sadar. Kedua, dialog dengan seorang nabi dari belakang hijab. Ketiga, penyampaian wahyu melalui malaikat utusan Allah SWT kepada seorang Nabi, baik malaikat itu menyampaikannya dalam wujud seorang pria atau berbentuk asli sebagai malaikat. Firman Allah SWT: * $tBur tb%x. AŽ|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ムª!$# žwÎ) $·‹ômur ÷rr& `ÏB Ç›!#u‘ur A>$pgÉo ÷rr& Ÿ@Å™öãƒ Zwqß™u‘ zÓÇrqã‹sù ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ $tB âä!$t±o„ 4 ¼çm¯RÎ) ;’Í?tã ÒOŠÅ6ym ÇÎÊÈ
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. 42: 51).
Dalam kaitan cara turunnya wahyu, Rasulullah SAW sendiri pernah melukiskan dalam shahih Bukhariy: kadang-kadang datang kepadaku seperti bunyi lonceng dan hal itu yang paling berat kurasakan, setelah suara itu lenyap aku menyadari (memahami) apa yang kudengar. Namun adakalnya juga tampak bagiku malaikat berupa seorang lelaki, ia berbicara kepadaku dan aku menyadari (memahami) apa yang dikatakannya.
Rasulullah SAW adalah manusia biasa seperti manusia lainnya. Perbedaannya adalah beliau adalah Rasul yang mendapat wahyu. Wahyu tersebut kadang turun sebagai teguran kepadea beliau. Turunnya wahyu kadang diwaktu malam gelap gulita, waktu udara dingin membeku, waktu panas terik menyengat, waktu muqim atau bepergian.
Adakalanya wahyu turun dengan dengan seringnya. Adakalanya juga wahyu tidak turun sekian waktu lamanya. Yang pasti wahyu turun sesuai dengan kehendak Allah SWT, bukan sekehendak Nabi Muhammad SAW. Maka, bohonglah orang yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah hasil kesurupan, ucapan orang gila, atau ucapan penyair. Allah SWT menjawab tuduhan palsu mereka dengan firman-Nya yang menghibur Rasul-Nya:
úc 4 ÉOn=s)ø9$#ur $tBur tbrãäÜó¡o„ ÇÊÈ !$tB |MRr& ÏpyJ÷èÏZÎ/ y7În/u‘ 5bqãZôfyJÎ/ ÇËÈ
“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis, Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila.” (QS. 68: 1-2).
Untuk orang yang meragukan al-Qur’an, maka al-Qur’an menantang mereka untuk membuat semacam al-Qur’an atau sepuluh surah atau bahkan satu surah saja. Setelah terbukti mereka tidak mampu melayani tantangan al-Qur’an, maka al-Qur’an menantang seluruh manusia:
@è% ÈûÈõ©9 ÏMyèyJtGô_$# ߧRM}$# `Éfø9$#ur #’n?tã br& (#qè?ù'tƒ È@÷VÏJÎ/ #x‹»yd Èb#uäöà)ø9$# Ÿw tbqè?ù'tƒ ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ öqs9ur šc%x. öNåkÝÕ÷èt/ <Ù÷èt7Ï9 #ZŽÎgsß ÇÑÑÈ “ Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".( QS. 17: 88). TURUNNYA AL-QUR’AN SECARA BERANGSUR-ANGSUR DAN RAHASIA HIKMAHNYA Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Adapun hikmahnya adalah sebagai berikut: 1. Untuk memantapkan dan memperteguh hati beliau karena setiap peristiwa yang terjadi selalu disusul dengan turunnya ayat-ayat baru. Kadang wahyu tersebut turun untuk menjawab pertanyaan, menghibur kesedihan atau mengajak bersabar. 2. Agar al-Qur’an mudah dihafal. Rasulullah SAW adalah seorang Nabi yang ummi. Beliau tidak mengenal baca-tulis. Turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur lebih tepat untuk beliau. 3. Mendidik Nabi dan kaum muslimin dengan cara menuntun dan membimbing sehingga hati berhias iman yang sungguh-sungguh, ikhlas beribadah dan berjiwa toleran. SEJARAH AL-QUR’AN BAB I PENGHIMPUNAN DAN PENULISAN AL-QUR’AN Penghimpunan al-Qur’an mempunyai dua pengertian yaitu penghafalan dan penulisan. Untuk pengertian yang pertama, Rasulullah SAW adalah sayyidul huffadz. Banyak juga para sahabat Rasulullah yang merupakan para penghafal al-Qur’an. Untuk pengertian yang kedua, ada tiga periode; peride Rasulullah, periode kekhalifahan Abu bakar as-Shiddiq dan periode kekhalifahan Usman bin Affan. 1. Kodifikasi al-Qur’an di masa Rasulullah SAW. Penulisan al-Qur’an di masa ini dilakukan oleh para pencatat wahyu diantaranya Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Muawiyah, Zaid bin Tsabit, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka’ab dan Tsabit bin Qais. Menurut Blachere jumlah mereka mencapai 40 orang. Rasulullah SAW menyuruh mereka menulis wahyu setiap kali Rasulullah saw mendapat wahyu. 2. Kodifikasi al-Qur’an zama Abu Bakar as-Shiddiq Abu Bakar as-Shiddiq memerintahkan kodifikasi al-Qur’an pasca perang Yamamah. Zaid bin Tsabit selesai merampungkan kodifikasi al-Qur’an dalam waktu satu tahun. Sejak zaman itulah kumpulan al-Qur’an itu dinamakan dengan mushaf. 3. Kodifikasi Zaman Usman bin Affan Pada zaman inilah mushaf yang sudah ada di zama Abu bakar as-Shiddiq ditulis ulang. Cara penulisan diseragamkan oleh komisi empat yang dipimpin Zaid bin Tsabit. Hasilnya lalu disebut dengan istilah mushaf usmani. BAB II MUSHAF SALINAN USMAN PADA TARAF PENYEMPURNAAN DAN PERBAIKAN Salinan Usman tidak bersyakal dan tidak bertitik. Baru pada masa berikutnya ada perbaikan dan penyempurnaan. Abul Aswad ad-Duali dikenal sebagai orang pertama yang meletakkan kaidah tata bahasa Arab atas perintah Ali bin Abi Thalib. BAGIAN KETIGA ILMU AL-QUR’AN BAB I Lintasan Sejarah Ilmu Al-Qur’an Pada masa hidup Rasulullah SAW dan masa berikutnya, pada masa zaman generasi sahabat Nabi, tidak ada kebutuhan sama sekali untuk menulis atau mengarang buku-buku tentang ilmu al-Qur’an. Para sahabat Nabi adalah orang Arab murni yang mampu mencerna kesusasteraan tinggi. Kalaupun ada kesulitan, para sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Selain itu, Rasulullah SAW melarang para sahabatnya untuk menulis sesuatu selain al-Qur’an karena khawatir bercampur dengan al-Qur’an. Usman bin Affan adalah sahabat peletak dasar ilmu rasmil qur’an (ilmu tentang penulisan al-Qur’an). Sahabat Ali bin Abi Thalib pernah memerintahkan Abul Aswad ad-Duali supaya meletakkan kaidah pramasastra Arab demi menjaga corak keasliannya. Dengan demikian Ali bin Abi Thalib adalah peletak dasar ilmu I’rabul Qur’an. Adapun perintis ilmu al-Qur’an yang lain adalah sebagai berikut: 1. Kelompok sahabat: empat orang khulafaur rasyidin, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. 2. Dari kelompok Tabi’in Madinah: Atha’ bin Yasar, Ikrimah, Qatadah, Hasan Bashri, Sa’id bin Jubair dan Zaid bin Aslam. 3. Dari kaum Tabi’it Tabi’in: Malik bin Anas. Periode berikutnya, ilmu tafsir menjadi sangat dominan. Dari abad 2 H, Syu’bah bin al-Hajjaj, Sufyan bin Uyainah dan Waki’ bin al-Jarrah adalah para ulama yang menekuni ilmu tafsir. Pada masa berikutnya muncul Ibnu Jarir at-Thabari. Kitab tentang ilmu al-Qur’an antara lain: 1. Abad ke-3 H: kitab tentang asbabun nuzul oleh Ali bin al-Madani (guru Imam Bukhari), Ubaid bin Qasim Bin Salam menulis tentang nasikh dan mansukh, qiraat dan fadhailul Qur’an. Muhammad bin Ayyub adh-Dharis (w. 294 H) menulis tentang kandungan ayat-ayat yang turun di Mekkah dan di Madinah. Muhammad bin Khalaf bin Murzaban (w. 309 H) menulis al-Hawi fi ulumil Qur’an. 2. Abad ke-4 H: Abu Bakar bin Qasim al-Anbari (w. 328 H) menulis Aja’ibu Ulumil Qur’an. Al-Asy’ari menulis al-Mukhtazan Fi Ulumil Qur’an. Abu Bakar as-Sajistani menulis tentang keanehan-keanehan al-Qur’an. Abu Muhammad al-Qashshab Muhammad Ali al-Kurkhi (w. 360 H.) menulis Nukatul Qur’an ad-Daallah ‘Alal-Bayan fi ‘Anwail-Ulumi Wal-Ahkam al-Munabbiah ‘An Ikhtilafil-Anam. Muhammad bin ‘Ali al-Afdawi (w. 388 H.) menulis al-Istighna fi ulumil Qur’an sebanyak 20 jilid. 3. Dalam abad ke-5 H: Ali bin Ibrahim bin Said al-Hufi menulis al-Burhan fi ulumil Qur’an da I’rabul Qur’an. Abu Amr ad-Dani (w. 444 H.) menulis at-Taisir fi Qira’atis Sab’I dan al-Muhkam fin-Nuqath. 4. Dalam abad ke-6 H: Abdurrahman as-Suhaili menulis Mubhamatul Qur’an. 5. Dalam abd ke-7 H: Ibnu Abdus Salam menulis majazul Qur’an. Ilmuddin as-Sakhawi menulis tentang qiraat. Setelah itu, kemudian muncul ilmu-ilmu baru yaitu Badi’ul Qur’an, Hujajul Qur’an, Aqsamul Qur’an dan Amtsalul Qur’an. BAB II Ilmu Asbabun-Nuzul Ilmu asbabun nuzul adalah ilmu tentang sesuatu yang menjadi sebab turunnya ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa. Adakalanya sebuah ayat mengandung beberapa versi riwayat tentang sebab turunnya. Jika hal ini berdasarkan dua versi riwayat yang sama shahihnya, maka keduanya bisa diterima. Namun jika yang sahih hanya salah satunya, maka yang diambil adalah riwayat yang shahih. Adakalanya satu peristiwa menjadi sebab bagi turunnya dua ayat atau lebih atau dikenal dengan istilah ta’addadun-nazil was-sabab wahid (beberapa ayat turun karena satu sebab). Untuk kasus ini para mufassir lalu memadukan penjelasan antara dua ayat atau lebih tersebut. Meskipun ilmu asbabun nuzul penting, namun jumhur ulama tetap mengambil keumuman makna suatu lafadz, tidak terbatas pada kekhususan maknanya yang menunjuk kepada sebab turunnya ayat. BAB III Pengetahuan Tentang Ayat-Ayat yang Turun di Mekkah dan Madinah Ilmu makki dan ilmu madani (pengetahuan tentang ayat-ayat dan surah-surah yang turun di Mekkah dan Madinah) lebih banyak membutuhkan penelitian riwayat-riwayat dan nash-nash hadits yang mendasarinya dengan bersandar pada fakta sejarah yang benar. Ilmu ini juga membutuhkan pengenalan terhadap seluruh isi al-Qur’an, surah-surahnya maupun ayat-ayatnya. Ini mengingat tidak selalu satu surat semuanya makkiyah atau semuanya madaniyah. Para ulama sudah menetapkan ayat tertentu sebagai ayat makkiyah atau madaniyah dengan criteria yang kritis, teliti dan cermat. Bidang cakupan ilmul makky wal madany sangatlah luas. Ia merupakan pengetahuan tentang tahapan dakwah, tentang urutan waktu turunnya surah dan ayat, mengenai kepastian tempat turunnya, pemilihan soal dan temanya, serta penentuan oknum yang dimaksud oeh suatu ayat. Dengan demikian, titik berat dalam ilmul makky wal madany ada pada tempat (Mekkah-Madinah), pada waktu (sebelum hijrah-sesudah hijrah), pada Oknum (penduduk Mekkah-Penduduk Madinah) dan pada subyek (maudhu’). Abul Qasim an-Nisaburi membagi turunnya al-Qur’an menjadi enam tahap: tiga tahap di Mekkah; permulaan, pertangahan dan akhir. Demikian juga tiga tahap di Madinah; awal pertengahan dan akhir. Selanjutnya ada juga ayat yang turun di Mekkah tapi hukumnya madaniyah, dan ada ayat yang turunnya di Madinah tapi hukumnya makkiyah. Adapun cirri-ciri surah Makkiyah antara lain: 1. Terdapat ayat sajdah. 2. Terdapat lafadz kallaa. 3. Terdapat kalimat yaa ayyuhannaas. 4. Terdapat kisah para Nabi dan umat terdahulu kecuali surah al-Baqarah. 5. Terdapat kisah Nabi Adam dan Iblis kecuali surah al-Baqarah 6. Diawali huruf-huruf hijaiyah kecuali al-Baqarah dan Ali Imran. Selain cirri, surah-surah Makkiyah juga memiliki tanda antara lain: 1. Ayat maupun surahnya pendek, ringkas, bernada keras dan lain nada suaranya. 2. Da’wah mengenai poko-pokok keimanan, hari akhir, sorga dan neraka. 3. Da’wah mengenai budi pekertidan amal kebajikan. 4. Sanggahan terhadap kaum musyrikin dan celaan terhadap alam fikiran mereka. 5. Banyak pernyataan sumpah. Adapun cirri surah Madaniyyah antara lain: 1. Ada izin perang dan hokum-hukumnya. 2. Ada rincian hukum had, fara’idh, hukum sipil, hukum social dan hukum antar Negara. 3. Terdapat uraian tentang kaum munafik kecuali surah al-ankabut. 4. Bantahan terhadap ahli kitab dan seruan agar mereka meninggalkan sikap berlebihan dalam mempertahankan agamanya. Tanda-tanda umum dari surah Madaniyah antara lain: 1. Sebagian besar ayat-ayatnya panjang-panjang dan susunan kalimat-kalimatnya mengenai soal-soal hukum bernada tenang. 2. Mengemukakan dalil-dalil dan pembuktian mengenai kebenaran agama Islam secara rinci. BAB IV Pandangan Sekilas Tentang Awalan Surah Dalam al-Qur’an terdapat huruf awalan yang berbeda-beda. Ada yang dimulai dengan satu huruf yaitu surah shad, qaaf dan al-Qalam. Ada juga sepuluh surah yang diawali dengan dua huruf. Surah ke-40 sampai 46 diawali dengan haa dan miim ditambah surah ke-20, 27 dan 36 yang juga diawali dengan dua huruf dengan huruf berbeda. Ada juga tiga belas surah lainnya yang diawali dengan tiga huruf, enam diantaranya dengan alif laam miim. Selain itu, ada juga dua surah yang diawali empat huruf dan satu surah dengan lima huruf. Total ada 14 huruf yang menjadi awalan surah. Ini artinya separoh dari huruf hijaiyah. Banyak pendapat ulama tentang huruf sebagai awalan surah ini. Ada yang menyatakan bahwa itu untuk membuktikan bahwa al-Qur’an berbahasa Arab. Ada lagi yang mengatakan itu adalah misteri yang hanya Allah SWT saja yang tahu. Bahkan ada yang mengambil takwil untuk menyokong kelompok seperti syi’ah dan ahlus sunnah. Ada juga yang menghitung dengan bilangan ‘Adda Ubay Jad. Ada yang memberikan kepanjangan dari huruf-huruf tersebut. Pentakwilan tersebut semuanya tidak berdasar dan hanya memenuhi selera dan keinginan orang. Yang jelas, huruf-huruf terpisah tersebut cukup menarik perhatian kaum musyrikin dan ahlul kitab agar mereka mau mendengarkan yang disampaikan Rasulullah. BAB V Ilmu Qiraat dan Pandangan Sekilas Tentang Para Ahli Qiraat Pada umumnya, orang menganggap bahwa ada tujuh qiraat yang berlaku dan itulah yang dimaksud dalam hadits bahwa al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf. Padahal anggapan ini tidak benar. Tujuh huruf tidak bias dirtika tujuh qiraat. Masih ada qiraat lain dari tujuh huruf tersebut. Adalah Abu Bakar Ahmad bin Musa al-‘Abbas atau dikenal dengan Ibnu Mujahid yang mengumpulkan tujuh system qiraat pada permulaan tahun ke 300 H dari tujuh orang imam qiraat saat itu sehingga memunculkan anggapan salah seperti di atas. Pada permulaan tahun ke-200 H sudah dikenal orang beberapa system qiraat yang berasal dari imam-imam: 1. Abdullah bin Katsir ad-Dari (w. 210 H.) yang ada di Mekkah. 2. Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Naim (w. 120 H.) yang ada di madinah. 3. Abdullah al-Yahsyabi atau Ibnu Amir (w. 118 H.) yang ada di Syam. 4. Zayyan bin al-‘Ala bin ‘Ammar atau Abu Amr (w. 154 H.) yang ada di Basrah. 5. Ya’qub bin Ishaq al-Hadhrami (w. 205 H.) yang ada di Basrah. 6. Hamzah bin Ibnu Habib az-Zayyat Maula yang ada di Kufah. 7. Ashim bin Anin Nujud al-Asadi (w. 127 H.) juga di Kufah. Ibnu Mujahid menghimpun ketujuh qiraat di atas, hanya saja Ya’qub digantinya dengan Ali bin Hamzah al-Kisa’i (w. 189 H.) yang berasal dari Kufah. Sebutan sepuluh qiraat adalah ketujuh qiraat di atas ditambah dengan: 1. Sistem qiraat Ya’qub. 2. Sistem qiraat Khalaf bin hisyam (w. 299 H.) 3. Sistem qiraat Abu Ja’far Yazid bin al-Qa’qa (w. 130 H.) Adapun sebutan empat belas qiraat, adalah sepuluh qiraat di atas ditambah dengan: 1. System qiraat Hasan al-Bashri (w. 110 H.). 2. System qiraat Muhammad bin Abdurrahman atau Ibnu muhaishan (w. 123 H.). 3. System qiraat Yahya bin Mubarok al-Yazidi (w. 202 H.) 4. System qiraat Abul Faraj Muhammad bin ahmad as-Syanbudzi (w. 388 H.) Mengutip pendapat Ibnul Jazri, Imam Suyuthi mengatakan bahwa ada enam qiraat menurut sunnah: 1. Qiraat mutawatir 2. Qiraat masyhur 3. Qiraat yang isnadnya benar tetapi tidak sesuai dengan tulisan yang dibacanya, tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tidak terkenal luas. 4. Qiraat yang syadz (menyimpang). 5. Qiraat yang tanpa dasar dan tidak pasti asal usulnya. 6. Qiraat yang menyerupai kalimat hadits-hadits yang menambahkan kalimat penafsiran ke dalam ayat-ayat tersebut. BAB VI NASIKH DAN MANSUKH Naskh kadang bermakna meniadakan (izaalah), kadang bermakna pengalihan (tahwit), dan kadang bermakna pemindahan (naqt). Meskipun maknanya berbeda-beda, tetapi para ulama memandang ada tiga macam naskh dalam al-Qur’an: 1. Ayat yang dinaskh bacaannya tetapi tidak dinaskh kandungan hukumnya. 2. Ayat yang dinaskh kandungan hukumnya tetapi tidak dinaskh bacaannya. 3. Ayat yang dinaskh bacaannya dan kandungan hukumnya sekaligus BAB VII ILMU RASAM QUR’ANI Rasm usmani banyak menjadi rujukan orang dalam penulisan al-Qur’an. Tentang hal ini, ada ulama yang menyatakan bahwa huruf-huruf al-Qur’an itu adalah tauqifi dari Rasulullah. Ada yang sebaliknya, yakni bukan tauqifi. Untuk yang memandang tauqifi, mereka melarang atau mengharamkan menulis dalam bentuk selain rasm usmani. Sedangkan yang berpendapat bukan tauqifi, mereka membolehkan menulis sesuai dengan kebiasaannya. BAB VIII ILMU TENTANG MUHKAM DAN MUTASYABIH Semua ayat al-Qur’an adalah muhkam dalam artian kokoh, kuat, rapih dan indah susunannya. Kita bisa juga mengartikan bahwa semua ayat adalah mutasyabih dengan artian sebagai “kesamaan” ayat-ayatnya dalam hal balaghah, I’jaz, kesukaran membedakan mana ayat al-Qur’an yang lebih afdlol. Namun yang dimaksud bukanlah demikian. Para ulama sudah merumuskannya bahwa muhkam adalah jelas sedang mutasyabih adalah tidak jelas. Muhkam terang maknanya, kuat dan cepat difahami. Sedang mutasyabih adalah ayat yang mujmal, yang memerlukan ta’wil, yang musykil (sukar difahami). Diantara contoh yang termasuk mutasyabih adalah lafadz istiwa’ yang berarti bersemayam. Untuk lafadz seperti ini ada dua madzhab: 1. Madzhab salaf. Mengimani sifat mutasyabihat dan menyerahkan makna serta pengertiannya kepada allah SWT. 2. Madzhab khalaf. Menetapkan makna bagi lafadz-lafadz yang dlahirnya mustahil bagi Allah dengan pengertian yang layak bagi Allah SWT. Diantara hikmah adanya ayat mutasyabih adalah menjadi pendorong bagi kaum mu’minin untuk terus menggali berbagai ilmu menurut batas kemampuannya dalam memahami ayat-ayat mutasyabih. BAGIAN KEEMPAT TAFSIR DAN I’JAZ BAB I TAFSIR, PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANNYA Rasulullah saw adalah orang pertama yang menjelaskan al-Qur’an kepada para sahabat. Tidak ada sahabat satupun saat itu yang berani menafsirkan al-Qur’an. Setelah Rasulullah saw wafat, muncullah 10 orang sahabat yang dikenal sebagai ahli tafsir al-Qur’an. Mereka adalah khalifah yang empat ditambah Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Dari generasi tabi’in, muncullah Mujahid, Atha’ bin Abi Rayyah, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, thawus dan lain-lain. Sedangkan dari tabiit tabiin muncullah nama seperti: Sufyan bin Uyainah, Waki’ bin al-Jarrah, Syu’bah bin al-Hajjaj, Yazid bin Harun, Abd bin Hamid dan lain-lain. Cara penafsiran al-Qur’ann bisa dibedakan menjadi dua macam: 1. Tafsir bil ma’tsur yaitu tafsir dari para sahabat dan tabi’in dengan dilengkapi isnad. Memang kadang bercampur antara riwayat yang shahih dan tidak shahih. Contoh adalah tafsir at-Thabari dan tafsir Ibnu Katsir. 2. Tafsir bir-Ra’yi yaitu dengan pendapat atau akal. Ada yang membolehkan penafsiran seperti ini ada yang mengharamkannya. As-Suyuthi memberikan syarat bagi penafsir bir-ra’yi antara lain: 1. Berpegang pada hadits shahi. 2. Berpegang pada ucapan sahabat Nabi dalam hal asbabun nuzul. 3. Berpegang pada kaidah bahasa Arab. 4. Berpegang pada maksud ayat. BAB II AYAT-AYAT AL-QUR’AN SALING MENAFSIRKAN Ada dua istilah yaitu al-manthuq dan al-mafhum. Al-manthuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh lafadz dengan ucapan. Sedangkan al-mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh kata tidak menurut pengucapannya. Dari mafhum ini ada mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Mafhum muwafaqah adalah makna yang lebih baik yang bisa diambil. Sedangkan mafhum mukhalafah adalah pemahaman terbalik yang dipahami dari ayat. A. Keumuman dan Kekhususan al-Qur’an. Dalam al-Qur’an ada makna yang umum dan ada makna yang khusus. Keumuman ditunjukkan dengan lafadz-lafadz nakirah dalam al-Qur’an. Sedangkan kekhususan ditunjukkan dengan lafadz kullu, jamii’, kaaffah dan lain-lain. Juga ditunjukkan dengan isim maushul, isim ma’rifat, dhamir, isim syarat atau isim nakirah yang dinegasi dengan illa dan lain-lain. B. Yang Mujmal (global) dan yang Mubayyan (diterangkan). Kemujmalan ayat al-Qur’an disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Adanya lafadz yang ganjil yang lalu dijelaskan sendiri olah al-Qur’an seperti lafadz haluuan dalam ayat 19 al-Ma’arij yang lalu dijelaskan dalam ayat berikutnya. 2. Adanya lafadz isytirak (bermakna ganda) 3. Perbedaan makna dlamir C. Adanya Lafadz yang didahulukan (taqdim) dan Yang dibelakangkan (ta’khir) D. Nash dan Dzahir. BAB III DAYA MU’JIZAT (I’JAZ) AL-QUR’AN Ada beberapa I’jaz dalam al-Qur’an diantaranya: A. Tasybih (penyerupaan) dan isyti’arah (metafora) dalam al-Qur’an. B. Majaz (figurative) dan kinayah (kiasan) BAB IV I’JAZ DALAM IRAMA AL-QUR’AN Setiap surah and ayat dalam al-qur’an masing-masing memiliki uraian dan kisah, dengan keistimewaan yang khas karena gaya bahasanyayang penuh dengan irama dan lagu. Keharmonisan irama yang timbul dari rangkaian kata dan kalimat telah ada di dalam setiap lafadz dan ayat-ayat al-Qur’an. Hal inilah yang dimaksud dengan I’jaz dalam irama al-Qur’an. PENUTUP Upaya ringkas-meringkas kitab yang tebal sebenarnya sudah menjadi tradisi keilmuan dalam Islam dan dikenal dengan istilah khulashoh. Apa yang kami lakukan ini adalah meneruskan tradisi tersebut. Tentu saja yang kami lakukan jauh dari sempurna. Mungkin ada pokok-pokok pikiran yang tidak tercover dalam ringkasan ini. Untuk itu, sebagai manusia biasa, kami menyadari kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam ringkasan ini. http://referensiagama.blogspot.com



2 komentar: