PEMIKIRANAL HUSAIN IBN MANSHUR AL HALLAJ
TENTANG AL HULUL
by sariono sby
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna bila dibandingkan dengan makhluk lain. Sejak lahir, manusia telah dibekali dengan berbagai kemampuan. Kemampuan untuk mendengarkan, melihat dan memahami berbagai fenomena alam berdasarkan kecerdasan dengan sarana panca indera yang sempurna. Bahkan dalam kronologi penciptaannya, sengaja Allah memilihkan dengan prosedur (cara) yang berbeda.
Secara umum, dalam diri manusia terdapat dua dimensi yang antara keduanya saling mendukung. Pertama, dimensi jasmaniyah (jasad) yang dalam kronologi penciptaannya berasal dari tanah. Fenomena ini membangun sebuah argumentsi yang kokoh bahwa secara jasmaniyah manusia berasal dari tanah dan yang memuaskannya, semua berasal dari tanah serta ketika matipun, jasad dikembalikan ke tanah.Kedua, dimensi ruhani (ruh) yang berasal dari Allah. Konsekuensi logisnya, bahwa ruh berasal dari Allah dan yang bisa memuaskannya juga sesuatu yang berasal dari Allah serta ketika manusia dinyatakan mati, maka ruh kembali kepada Allah.
Dimensi jasad, mengantarkan manusia memiliki fitrah (kecenderungan) membutuhkan sesuatu yang bersifat materi. Sebaliknya, dimensi ruh mengantarkan manusia memiliki fitrah insting keberagaman, yang cenderung bernuansa spiritualis. Antara keduanya menjadi satu kesatuan yang utuh dalam diri manusia. Perspektif manusia seperti ini memberikan pilihan yang bersifat probability bahwa manusia bisa terjerumus ke dalam jurang kenistaan yang jauh dari perikemanusiaan atau bahkan mampu memahami secara komprehensif dan mengantarkannya mendapat derajat yang tinggi baik dihadapan Allah maupun dihadapan sesama manusia.
Manusia yang mampu memahami dirinya secara utuh, maka akan sampai pada pengetahuan kedekatannya tentang Tuhan. Artinya, manusia yang mampu mengenal dirinya sendiri, maka sungguh ia telah mengetahui dan mengenal Tuhannya. Pada tataran ini, tidak ada batas dan tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi hubungan langsung antara manusia dengan Allah.
Menurut Harun Nasution “Intisari dari mistisme, termasuk didalamnya sufisme adalah kesadaran adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhannya dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad bersatu dengan Tuhan. al-Hallaj dalam pengalaman spiritualnya, menemukan sebuah formulasi komunikasi ideal antara manusia dengan Tuhannya. Formulasi ini dibangun berdasarkan persepsinya yang utuh bahwa antara manusia dan Tuhan memiliki dua sifat yang sama, yaitu al-Lahut dan al-Nasut. Apabila kedua sifat ini melebur jadi satu, maka berarti antar manusia dengan Allah sebagai Tuhannya bisa menyatu. Momentum menyatunya antara al-Lahut dan al-Nusut ini dalam teori tasawufnya al-Husain Ibn Mansur al-Hallaj disebut al-Hullul.
Di samping sebagai sufi, al-HalIaj juga terkenal sebagai penulis. Salah satu karyanya yang terkenal, Kitab at-Tawasin, mengungkapkan keesaan Tuhan dan kenabian Muhammad s.a.w. Buku tersebut berisi nyanyian pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. Al-HaIlaj yang digelar “Sang Perantara” itu pernah berkunjung ke Mekah sebanyak tiga kali untuk menunaikan ibadah haji. Beliau bermukim di sana dan mengembara ke seluruh wilayah Parsi, India, Turkistan, dan wilayah perbatasan China. Dengan berkhutbah keliling, beliau mampu menarik sejumlah banyak pengikut. Mendengar khutbahnya, banyak orang yang memeluk Islam. Selain itu, salah satu negeri yang dikunjunginya adalah India.
Pengalaman mistik al-Hallaj ketika ‘bersatu dengan Tuhan’ dinamakan hulul. Ajarannya itu mirip dengan ajaran Syekh Siti Jenar, salah seorang sufi kontroversial di Jawa. Ketika hulul sedang berlangsung, beliau mengeluarkan kata-kata “Anã aI-Haqq” (Aku adalah Yang Maha Benar). Dalam istilah tasawuf, al-Haqq bererti Tuhan. Kata itu sering diterjemahkan menjadi “Aku adalah Tuhan”. Dalam ajaran itu, beliau menyatakan bahawa Tuhan bersemayam dalam tubuh manusia pilihan. Untuk menjadi manusia pilihan, sifat kemanusiaan harus dihilangkan terlebih dahulu agar dalam diri manusia itu hanya ada sifat ketuhanan.
Para pembela ajaran al-Hallaj menyatakan bahawa persatuan antara manusia dan Tuhan tidak dapat diartikan sebagai penyamaan Tuhan dan manusia. Konsep ini tetap mempertahankan perbedaan antara Tuhan dan manusia. Bahkan al-Hallaj sendiri mengecam orang yang mencampuradukkan ketuhanan dan kemanusiaan.
Ketika kembali ke Baghdad, al-Hallaj terus menyebarkan ajaran tasawufnya. Namun akhirnya Ia ditangkap oleh penguasa Abbasiah. Walaupun demikian, beliau berjaya menghasilkan beberapa karya. Kitáb al-Tawásin adalah salah satu karyanya yang masih ada hingga sekarang. Kitab itu ditulis sepanjang beliau berada di penjara. Al-Hallaj lahir pada tahun 244 H/858 M di Fars, selatan Parsi (kini Iran). Bagaimanapun, beliau dibesarkan di Wasith dan Tustar. Sejak berusia belasan tahun, beliau telah belajar ilmu tasawwuf. Ketika itu gurunya ialah Sahl at-Tustari, ‘Amr al-Makki, Abu Bakar asy-Syibli, dan al-Junaid al-Baghdadi
Di bawah bimbingan al-Junaid, beliau mempraktikkan kehidupan spiritual selama 20 tahun. Dengan tangannya sendiri, al-Junaid mengenakan khirqah (pakaian sufi) kepadanya. Namun seiring dengan perjalanan waktu, hubungan antara al-Hallaj, al-Junaid, dan sebagian besar guru sufi Baghdad kurang baik disebabkan perbedaan pendapat dan pemahaman di antara mereka.
PEMBAHASAN
A. Biografi Husain Ibn Manshur Al-Hallaj
Al-Husain Ibn Manshur al-Hallaj lahir di Persia (Iran) pada tahun 224 H/858 M. Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain ibn Mansur ibn Mahma al-Baidlawi al-Hallaj. Ayahnya bekerja sebagai pemital kapas. Kakeknya yang bernama Mahma adalah seorang Majusi. Ketika masih kecil, ayahnya pindah ke Tustar, kota kecil di kawasan Wasith, dekat Baghdad.
Masa kecilnya banyak dihabiskan untuk belajar ilmu keagamaan. Sejak kecil, al-Hallaj mulai belajar membaca al-Qur’an, sehingga berhasil menjadi penghafal al-Qur’an (hafidz). Pemahaman tasawuf pertama kali ia kenal dan pelajari dari seorang sufi yang bernama Sahl al-Tustari. Karena pengembaraannya yang intens, maka ia dikenal sebagai seorang sufi yang berkelana ke berbagai daerah sehingga dapat bertemu, berteman dan bahkan berguru kepada para sufi kenamaan pada masa itu.
Menginjak usia 20 tahun, al-Hallaj meninggalkan Tustar menuju kota Basra dan berguru kepada Amr Makki. Untuk memperdalam keilmuannya, seterusnya pindah ke kota Bagdad untuk menemui sekaligus berguru kepada tokoh sufi modern yang termasyhur, yaitu al-Junaid al-Baghdadi. Ia digelari al-Hallaj karena penghidupannya yang dia peroleh dari memintal wol. Dalam sumber lain dijelaskan, bahwa disebut al-Hallaj karena dapat membaca pikiran-pikiran manusia yang rahasia, maka terkenal dengan Hallaj al-Asror, penenun ilmu ghaib.
Selanjutnya, al-Hallaj muda pergi ke kota Makkah. Di kota suci ini, ia menetap selama kurang lebih satu tahun. Selama di kota suci ini ia tinggal dan bermukim di pelataran Masjid al-Haram sambil melakukan praktik kesufiannya. Pada situasi dan kondisi seperti inilah, ia mengalami dan merasakan sebuah pengalaman spiritual yang tiada tara bandingannya. Dalam sebuah pengakuannya, ia telah mengalami pengalaman mistik yang luar biasa, yang pada wacana berikutnya kemudian terkenal dengan istilah hulul.
Pada ujung proses merasakan dan mengalami pengalaman spiritual yang luar bisa tersebut, al-Hallaj memutuskan untuk kembali ke kota Baghdad dan menetap di kota ini sambil terus menyebarkan ajaran tasawufnya. Namun demikian, keadaan menentukan lain dan memaksanya menjadi rakyat yang tertindas dari kekejaman penguasa saat itu. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309 H / 922 M ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh pengusa Dinasti Abbasiyah (Khalifah Al-Muktadir Billah). Motive dan latar belakang penangkapan dan vonis hukuman mati ini adalah bermuara dari tuduhan membawa paham hulul yang dianggap menyesatkan ummat. Sisi lain, al-Hallaj juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syiah Qaramitah. Walaupun demikian, beliau berjaya menghasilkan beberapa karya. Kitáb al-Tawásin adalah salah satu karyanya yang masih ada hingga sekarang. Kitab itu ditulis sepanjang beliau berada di penjara.
B. Konsep Pemikiran Al-Husain Ibn Manshur Al-Hallaj tentang Al-Hulul
Konsep yang diusung oleh al-Hallaj dalam praktik pengalaman tasawufnya sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality). Spiritualitas Islam yang senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu, dan mengenali Yang Satu, Tuhan dalam kemutlakan realitas-Nya yang melampaui segala manifestasi dan determinasi, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam al-Qur’an dengan nama Allah.
Ajaran tasawuf al-Hallaj yang terkenal adalah konsep al-hulul. Tuhan dipahami mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia tersebut betul-betul berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuhnya.
Menurut al-Hallaj bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-lahut (sifat ketuhanan) dan al-nasut (sifat kemanusiaan). Demikian juga manusia juga memiliki dua sifat dasar yang sama. Oleh karena itu, antara Tuhan dan manusia terdapat kesamaan sifat. Argumentasi pemahaman ini dibangun berdasarkan kandungan makna dari sebuah hadits yang mengatakan bahwa : “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentukNya” sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahamad bin Hambal atau Imam Hambali. Hadits ini memberikan wawasan bahwa di dalam diri Adam as terdapat bentuk Tuhan yang disebutal- lahut. Sebaliknya di dalam diri Tuhan terdapat bentuk manusia yang disebut al-nasut.
Berdasarkan pemahaman adanya sifat antara Tuhan dan manusia tersebut, maka integrasi atau persatuan antara Tuhan dan manusia sangat mungkin terjadi. Proses bersatunya antara Tuhan dn manusia dalam pemahaman ini adalah dalam bentuk hulul.
Bersatunya antara Tuhan dan manusia harus melalui proses bersyarat, dimana manakala manusia berkeinginan menyatu dengan Tuhannya, maka ia harus mampu melenyapkan sifat al-nasutnya. Lenyapnya sifat al-nasut, maka secara otomatis akan dibarengi dengan munculnya sifat al-lahut dan dalam keadaan seperti inilah terjadi pengalaman hulul.
Untuk melenyapkan sifat al-nasut, seorang hamba harus memperbanyak ibadah. Dengan membersihkan diri melalui ibadah dan berhasil usahanya melenyapkan sifat ini, maka yang tinggal dalam dirinya hanya sifat al-lahut. Pada saat itulah sifat al-nasut Tuhan turun dan masuk ke dalam tubuh seorang Sufi, sehingga terjadilah hulul, dan peristiwa ini terjadi hanya sesaat.
Pernyataan al-Hallaj bahwa dirinya tetap ada, yang terjadi adalah bersatunya sifat Tuhan di dalam dirinya, sebagaimana ungkapan syairnya :
سبحان من أظهر ناسوته # سرسنا لاهوته الثاقب
ثم بدا لخلقه ظاهرا # في صورة الأكل و الشارب
“Maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya
membukakan rahasia ketuhanan-Nya yang gemilang.
Kemudian kelihatan bagi makhluknya dengan nyata
dalam bentuk manusia yang makan dan minum”.
Dalam syair di atas tampak Tuhan mempunyai dua sifat dasar ke- Tuhanan, yaitu “Lahut” dan “Nasut”. Dua istilah ini oleh al-Hallaj diambil dari falsafah Kristen yang mengatakan bahwa Nasut Allah mengandung tabiat kemanusiaan di dalamnya. Dalam konsep hulul al-Hallaj dimana Tuhan dengan sifat ketuhanan menyatu dalam dirinya, berbaur sifat Tuhan itu dengan sifat kemanusiaan. Penyatuan antara roh Tuhan dengan roh manusia dilukiskan oleh al-Hallaj di dalam syairnya sebagai berikut :
مزجت روحك في روحي كما # تمزج الخمرة بالماء الزلال
فإﺫا مسك شيء مسني # فإﺫا انت انا في كل حال
“JiwaMu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana
anggur dicampur dengan air suci.
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula
dan ketika itu dalam setiap keadaaan Engkau adalah aku”.
Bahkan didalam syairnya yang lain, al-Hallaj melukiskan dengan
sangat jelas bahwa :
أنا من أهوى ومن أهوى أنا # نحن روحان حللنا بدنا
فإﺫا أبصرتني أبصرته # وإﺫا أبصرته أبصرتنا
“Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai
adalah aku. Kami adalah dua roh yang bersatu dalam satu tubuh.
Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat kami”.
Tatkala peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat (kata-kata aneh) dari lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar). Kataal-Haq dalam istilah tasawuf, berarti Tuhan. Sebagian masyarakat saat itu menganggap al-Hallaj telah kafir, karena ia mengaku dirinya sebagai Tuhan. Padahal yang sebenarnya, dengan segala kearifan dan kerendahan hati spiritualnya, al-Hallaj tidak mengaku demikian. Perspektif ini dibangun berdasarkan ungkapan syairnya yang lain dengan mengatakan bahwa :
أنا سر الحق ما الحق أنا # بل أنا حق ففرق بيننا
“Aku adalah Rahasia Yang Maha Benar,
dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku,
aku hanya satu dari yang benar,
dibedakanlah antara kami atau aku dan Dia Yang Maha Benar”.
Dalam pengertian lain dapat diungkapkan bahwa syatahat yang keluar dari mulut al-Hallaj tidak lain adalah ucapan Tuhan melalui lidahnya. Dengan ungkapan ini, semakin tidak mungkin untuk memahami bahwa maksud al-Hallaj dengan hululnya dalam berbagai syairnya adalah dirinya al-Haq. Jadi karena sangat cintanya kepada Allah menjadikan tidak ada pemisah antara dirinya dengan kehendak Allah, seolah-olah dirinya dan Tuhan adalah satu. Sebagaimana diungkapkan dalam syairnya :
أنا من أهوى ومن أهوى أنا
“Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku”.
Seandainya apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution, tentang tafsiran al-Hallaj mengenai perintah Tuhan agar sujud kepada Adam (QS. 2 : 34) adalah pendapat yang sebenarnya yang dimaksud oleh al-Hallaj, tentu ini pandangan yang sesat. Karena apabila masuk ke jiwa seseorang misalnya Isa, maka jadilah Tuhan semisal Isa, ini bertentangan dengan firman Allah “Laisa kamitslihi syaiun”. Apabila dengan masuknya Tuhan ke dalam diri manusia tidak dengan tidak mengurangi keberadaan Tuhan, maka berarti ada dua Tuhan atau sekurang-kurangnya belahan Tuhan yang dapat dinamakan dengan anak Tuhan sebagaimana yang disebut penganut Kristen sekarang, tentu ini sangat bertentangan dengan Al-Qur’an Surat Al-Ikhlash.
Namun pendapat al-Hallaj bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan itu akan masuk ke dalam diri manusia dengan jalan fana’ yaitu dengan menghilangkan sifat kemanusiaan, hal ini dapat diterima. Sebagaimana menurut al-Hallaj ia bukanlah Yang Maha Benar, tetapi hanyalah satu dari yang benar. Jadi menurutnya, ia bukan Tuhan. Oleh karena itu yang lebih tepat dalam manafsirkan atau memahami ajaran al- Hallaj adalah bahwa menurutnya, Tuhan mengisi diri manusia-manusia tertentu dengan sifat ketuhanan, maka jadilah manusia itu satu dari yang benar, dialah manusia yang memiliki / dikaruniai sifat Tuhan.
KESIMPULAN
Demikianlah dalam perspektif al-Hallaj bahwa Tuhan dan manusia dipahami memiliki dua sifat yang sama. Suatu saat apabila manusia berhasil menghilangkan sifat kemanusiaannya dengan membersihkannya lewat berbagai ibadah yang tulus ikhlas hanya mencari keridlaan Allah, maka dipastikan ia akan bisa bertemu dan menyatu dengan sifat Allah. Sebaliknya, apabila manusia tanpa mau berusaha menghilangkan atau melenyapkan sifat kemanusiaannya, maka sulit untuk bisa dipastikan akan bertemu dan menyatu dengan Allah.
http://referensiagama.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar