Sabtu, 15 Januari 2011

Nasakh wa Mansukh


Nasakh wa Mansukh
by Sariono Sby


PENDAHULUAN

al-Qur’a>n adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat yang pertama kali turun adalah surat al-‘Alaq ayat 1-5.
Ayat-ayat yang pertama kali turun ini menunjukan bahwa al-Qur’a>n mengajak manusia untuk menguasai ilmu pengetahuan. Sedangakan ayat yang terakhir kali turun adalah surat al-Maidah ayat 3.
al-Qur’a>n turun secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun, yaitu masa dimana kerisalahan Nabi Muhammad SAW berlangsung. Sebagian diantaranya di Makkah dalam masa tegaknya kerisalahan itu, dan sebagaian yang lain turun di kota Madinah. Dengan turun secara berangsur-angsur itu, al-Qur’a>n sungguh telah terpelihara dalam hafalan lebih dulu sebelum terpelihara dalam bentuk tulisan dalam mushhaf sebagaimana yang sampai pada kita sekarang ini.
Banyak tujuan diturunkanya al-Qur’a>n, dalam bidang ibadah dan mu’amalah misalnya, prinsip dasar pada umumnya adalah sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dalam ikatan kerjasama dan persaudaraan. Walaupun demikian, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang sesuai untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak sesuai lagi pada masa yang lain. Di samping itu, perjalanan dakwah pada pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan.
Bahkan ayat-ayat dalam ­al-Qur’an juga ada yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Sehingga menimbulkan interprestasi dikalangan ulama ahli tafsir dan para ulama dalam mengahadapi dan memahami ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari sinilah kemudian muncul pembahasan tentang naskh dan mansukh .
Bahkan Ali> Ibn Abi> T}a>lib Karroma Alla>hu Wajhah pernah berkata kepada seseorang yang sedang memberikan khutbah disebuah masjid: “Apakah kamu mengetahui na>sikh dan mansu>kh?”. Dia berkata: “Tidak”. Ali berkata: “Keluarlah dari masjid dan janganlah kamu memberikan khutbah didalamnya karena kamu celaka dan mencelakakan. Beberapa Imam yang ahli dalam ilmu al-Qur’a>n mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang boleh menafsirkan al-Qur’a>n kecuali setelah dia mengetahui na>sikh dan mansu>kh.
Jika memang hukum-hukum dalam sebagian ayat al-Qur’a>n telah dihapus oleh sebagian ayat yang lain, maka jelas bahwa mengetahui ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebuat sangat penting. Kalau tidak, bagaimana mungkin seorang ahli hukum, misalnya, dapat membedakan mana yang halal dan mana yang haram, mana perintah dan mana yang larangan, karena mungkin saja sebagian dari yang halal telah diharamkan atau sebagian perintah telah dilarang. Bagaimana cara mengetahuinya?. Inilah problem selanjutnya. Karena kitab al-Qur’a>n tidak disusun berdasarkan kronologis turunnya, maka untuk mengetahui na>sikh dan mansu>kh meniscayakan seseorang untuk mengetahui sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’a>n.
Sedangkan dalil-dalil teks al-Qur’a>n yang dijadikan asas legalitas pemberlakuaan konsep naskh antara lain adalah.
Artinya: ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Artinya: Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
Berawal dari kenyataan diatas, dapat dikatakan bahwa ilmu nasi>kh dan mansu>kh ini merupakan salah satu bagian ulu>m al-Qur’a>n yang sangat penting untuk diketahui dalam memahami dan menginterpretasikan sebuah ayat dalam al-Qur’a>n sehingga kita boleh mengimplementasikan suatu hukum yang tersirat didalamnya.
Untuk lebih menfokuskan pokok bahasan, dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal yang berhubungan dengan nasi>kh dan mansu>kh antara lain:
1. Pengertian nasi>kh dan mansu>kh.
2. Perbedaan naskh dan takhsi>s}.
3. Syarat-syarat dan macam-macam naskh.
4. Pendapat ulama yang menerima dam menolak naskh.
5. Hikmah adanya naskh


PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN NAlah (menghilangkan). Misalnya dalam perkataan: نَسَخَت الشَّمْسُ الظِلَّ artinya, matahari menghilangkan bayang-bayang: dan نَسَخَت الرِّيْحُ أَثَرَ الْمَشْي, artinya, angin menghapuskan jejak langkah kaki. Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya نَسَخْتُ الْكِتَابَ , artinya, saya menyalin isi kitab. Sedangkan menurut istilah, naskh adalah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain. Sedangkan mansu>kh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapuskan.
Sedangkan Menurut Ima>m Jala>l al-Di>n al-Suyut}i>,
1. Secara bahasa, naskh adalah bentuk mas}dar atau abstrak noun yang berarti penghapusan. Beliau mendasarkan pengertian ini pada firman Allah SWT dalam al- Qur’a>n surat al-Hajj ayat 52.

2. Dan juga bisa bermakna penggantian, seperti pada surat al-Nahl ayat 101:
3. Dan juga bisa bermakna pengalihan atau pemindahan.

Begitu juga menurut Ima>m Abd al-Az}im al-Zarqani> , beliau memberikan pengertian yang senada dengan Ima>m Jala>l al-Di>n al-Suyut}i> dan Manna> al-Qot}t}o>n mengenai makna naskh secara bahasa maupun istilah walupun dengan redaksi yang sedikit berbeda, yaitu naskh secara istilah\ adalah :
رَفْعُ الْحُكْمِ الشَّـرْعِيِّ بِدَلِيْلٍ شَـرْعِيٍّ
Disamping itu juga banyak yang memberikan interpretasi yang berbeda. Perbedaan interpretasi naskh ini, juga diakui oleh Ima>m al-Sha>tibi. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa terdapat perbedaan tentang terminologi naskh. Para ulama mutaqaddimi>n (abad I hingga abad III H) memperluas arti naskh sehingga mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Para ulama tidak berselisih pendapat tentang adanya ayat-ayat al-Qur’a>n mencakup butir-butir b, c, dan d, yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimi>n tersebut. Namun istilah yang diberikan untuk hal-hal tersebut bukannya naskh tetapi takhs}i>s} (pengkhususan).
Yang kemudian menjadi bahan perselisihan adalah butir a, dalam arti adakah ayat yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama yang menyatakan adanya naskh dalam pengertian tersebut mengemukakan alasan-alasan berdasarkan 'aql (logika) dan naql (al-Qur’a>n).
Sedangkan menurut istilah ulama Us}u>l al-Fiqh, ada beberapa definisi terminiologi naskh. Definisi pertama adalah:
بَيَانُ إنْتِهَاءِ أمَدِ حُكْمِ شَرْعِيٍّ مُتَرَاخٍ عَنْهُ
Yakni penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil syar’i yang datang kemudian, sehingga hukum yang dihapuskan itu atas kehendak Allah dan penghapusan ini sesuai dengan habisnya masa berlaku hukum itu.

Definisi kedua menurut Ta>j al-Di>n al-Subki> adalah:
رَفْعُ حُكْمِ شَرْعِيٍّ عَنِ التَّكَلُّفِ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ مِثْلِهِ مُتَأَخَّرٍ
Yakni pembatalan hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hukum syara’ yang sama yang datang kemudian.
Menurut Abd al-Wahha>b al-Khallaf, naskh adalah membatalkan pelaksanaan hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan penghapusanya secara jelas atau implisit.
Dari beberapa definisi terminologi naskh yang dikemukana ulama us}u>l al-fiqh diatas ada titik temu dengan definisi yang diberikan oleh ulama ulu>m al-Qur’a>n yakni yang bisa men-naskh adalah ayat yang datang kemudian terhadap ayat yang datang lebih dahulu karena adanya kontradiksi subtansi ayat yang sepintas tidak bisa dikompromikan.
Sehingga berdasarkan beberapa definisi yang penulis kutip diatas dapat disimpulkan bahwa secara bahasa naskh adalah masdar dari “Nasakha”, isim fa’ilnya : “nasikh”, dan isim maf’u>lnya: mansu>kh,. artinya: al- iza>lah, kadang berarti al-tabdi>l, juga bisa berarti at-tahwi>l. Sedangkan menurut istilah naskh adalah mengganti atau menghapus berlakunya suatu hukum syara’ dengan menggunakan suatu dalil syara’ yang datang kemudian.
Sedangkan secara istilah definisi yang dikemukakan oleh para ulama pada intinya menekankan pada penggantian hukum suatu ayat yang diturunkan lebih awal oleh hukum suatu ayat yang turun belakangn. Sehingga bukan teks ayatnya yang diganti tetapi konsekuensi hukum ayat tersebut yang berubah. Pengertian tersebut lebih pas daripada mengartikan naskh dengan makna al-‘iza>lah (menghilangkan).

B. PERBEDAAN NASKH DAN TAKHSIs perlu kita ketahui kembali definisi keduanya. Sudah kita ketahui bersama bahwa naskh adalah mengganti sebuah hukum syara’ dengan dalil syara’. Sedangkan takhsi>s adalah membatasi keumuman lafadz dalam suatu kalimat. Dari sini bisa kita lihat adanya tasabbuh antara naskh dan takhsi>s. Naskh menyerupai pengkhususan hukum dari suatu masa tertentu, sedangkan takhsi>s menyerupai pengkhususan hukum dari sebagian kalimat.
Tetapi sebenarnya ada perbedaan antara naskh dan takhsi>s, kedua konsep tersebut dari satu sisi ada persamaannya, tetapi dari sisi yang lain juga banyak perbedaanya. Persamaan naskh dengan takhsi>s terletak pada fungsi keduanya, yaitu membatasi kandungan suatu hukum. Keduanya berfungsi sebagai pengkhususan sebagian kandungan suatu lafaz. Hanya saja takhsi>s lebih khusus dalam membatasi berlakunya hukum yang bersifat umum, sedangkan naskh membatasi berlakunya suatu hukum pada masa tertentu.
Berikut ini perbedaan naskh dan takhsi>s menurut Imam Abu> Hami>d al-Ghaza>li> sebagaimana dikutip oleh Nasrun Haroen danalam bukunya Ushul Fiqh:

NO TAKHSIs-an bisa dilakukan melalui lafadz yang datang kemudian dari lafaz akan di-takhsi>s-kan dan bisa juga dengan lafadz yang mengiringi (datang belakangan) lafadz yang akan di-takhsi>s Tidak bisa dilakukan kecuali dengan nash yang datang kemudian
2. Pen-takhsi>s-an bisa dilakukan dengan dalil ‘aqli >dan dalil naqli> (nas}) Hanya boleh dengan dalil naqli>
3. Lafazd umum yang di-takhsi>s-kan tetap eksis sesuai dengan maknanya yang umum Naskh membatalkan seluruh kandungan hukum lafazd tersebut, sehingga nas} yang telah di-naskh-kan itu tidak berlaku lagi setelah di-naskh-kan
4. Pen-takhsi>s-an tidak berlaku pada amr (perintah) yang hanya mengandung satu perintah Naskh bisa berlaku dalam kasus seperti itu
5. Lafazd umum yang pada dasarnya bersifat qat}’i> bisa saja di-takhsi>s-kan dengan qiya>s, hadith a>had, dan dalil-dalil syara’ lainya Apabila yang di-naskh-kan itu nas} yang qat}’i>, maka yang me-naskh-kannya pun harus nas} yang qat}’i>

Dari beberapa perbedaan tersebut tampak jelas, mana suatu ayat yang bersifat takhsi>s dan mana yang bersifat naskh. Sehingga dengan mengetahui perbedaan tersebut memberikan gambaran yang benar dalam memahami suatu ayat dalam al-Qur’a>n, serta menjauhkan dari adanya salah kaprah dalam menilai ayat al-Qur’a>n.
C. SYARAT-SYARAT NASKH
Jumhur Ulama yang berpendapat adanya naskh dalam al-Qur’a>n mengemukakan syarat-syarat berlakunya naskh. Syarat-syarat yang disepakati antara lain :
Pertama: Hukum yang mansu>kh adalah hukum syara’. Naskh tidak dapat digunakan pada hukum yang berhubungan dengan masalah taukhid, keimanan dan aqidah.
Kedua: Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khit}a>b shar’i> yang datang lebih kemudian dari khit}a>b yang hukumnya dimansu>kh. Karena naskh berfungsi menghentikan berlakunya hukum yang terkandung dalam nas} yang di mansu>kh, maka nas} yang mengganti (na>sikh) turunnya harus sesudah nas} yang diganti (mansu>kh). Disamping itu, kedua nas} diatas harus sama tingkat kekuatannya.
Ketiga: Pembatalan hukum itu tidak disebabkan berakhirnya waktu berlaku hukum tersebut sebagaimana yang ditunjukkan khit}a>b itu sendiri.
Keempat: Diantara kedua dalil tersebut memang ada kontradiksi yang tidak bisa dikompromikan. Apabila kedua dalil tersebut masih dapat dikompromikan dengan berbagai cara yang memungkinkan maka dalil tersebut tidak dapat di­mansu>kh.
Sehingga sebuah hukum tidak dapat dimansu>kh kalau salah satu dari syarat-syarat diatas tidak terpenuhi. Sebagian ulama juga ada yang memberikan syarat-syarat adanya naskh selain dari tiga syarat diatas. Namun beberapa persyaratan tersebut banyak diperselisihkan dikalangan ulama yang mendukung adanya naskh.
Diantara syarat yang diperselisihkan tersebut adalah persyaratan bahwa hukum itu tidak di-naskh-kan kecuali apabila orang mukallaf telah mempunyai kesempatan untuk melaksanakanya. Syarat ini dikemukakan oleh ulama Mu’tazilah dan sebagian ulama H}anafiyyah dengan beberapa argumentasi yang menguatkan pendapatnya serta beberapa persyaratan lain yang diperselisihkan antara ulama yang menerima adanya naskh dalam al-Qur’a>n.





D. MACAM-MACAM NASKH
Menurut kitab Maba>hith fi Ulu>m al-Qur’a>n ada empat jenis naskh yaitu :
1. Naskh al-Qur’a>n dengan al-Qur’a>n.
Naskh model tersebut disepakati kebolehanya oleh para ulama yang menerima adanya naskh dalam al-Qur’a>n. Contohnya, ayat yang yang menerangkan tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari bagi wanita yang ditnggal mati suaminya, sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’a>n suratal-Baqarah ayat 234 :

Ayat tersebut telah menaskh firman Allah SWT dalam al-Qur’a>n suratal-Baqarah ayat 40:

2. Naskh al-Qur’a>n dengan al-Sunnah
Naskh model ini dibagi menjadi dua mcam
a. Naskh al-Qur’a>n dengan hadith ahad. Jumhur berpendapat, al-Qur’a>n tidak boleh dinaskh oleh hadith ahad, sebab al-Qur’a>n adalah mutawattir dan menunjukkan keyakinan, sedang hadith ahad itu z}anni, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lu>m (jelas diketahui) dengan maz}nu>n (diduga).
b. Naskh al-Qur’a>n dengan hadith mutawattir. Naskh semacam ini dibolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Hal ini berdasarkan QS. al-Najm ayat 4-5:

3. Naskh al-Sunnah dengan al-Qur’a>n
Ini dibolehkan oleh jumhur ulama. Sebagai contoh ialah masalah menghadap Bai\yt al-Maqdith waktu sholat yang telah ditetapkan oleh al-Sunnah dan didalam al-Qur’a>n terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan ini dinaskh oleh al-Qur’a>n
Tetapi naskh versi ini ditolak oleh Imam Syafi’i dalam salah satu riwayat. Menurutnya apa saja yang ditetapkanya al-Sunnah tentu didukung oleh al-Qur’a>n begitu juga sebaliknya. Hal ini karena antara al-Qur’a>n dengan al-Sunnah harus sejalan dan tidak boleh bertentangan.
4. Naskh al-Sunnah dengan al-Sunnah
Dalam kategori ini ada empat bentuk: 1) naskh mutawattir dengan mutawatir; 2) naskh a>had dengan a>had; 3) naskh a>had dengan mutawattir; 4) naskh mutawattir dengan a>had. Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedangkan pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh al-Qur’a>n dengan hadith a>had yang tidak diperbolehkan oleh jumhur ulama.
Jadi dalam pembagian naskh menurut ada atau tidaknya badal para ulamapun juga berselisih pendapat tentang keabsahannya. Tetapi yang bisa kita simpulkan dari pembagian tersebut adalah bahwa baik dengan adanya badal ataupun tidak ayat tersebut memberikan gambaran kepada kita akan rahmat Allah SWT untuk memberikan ‘ibrah berupa kemudahan ataupun sepintas yang kelihatanya memberatkan terhadap hukum syara’ yang berlaku.

E. PENDAPAT PENERIMA DAN PENOLAK NASKH
Jumhur ulama berpendapat bahwa naskh menurut logika boleh saja dan secara syara’ telah terjadi. Alasan mereka adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah, 2: 106 dan surat al-Nahl, 16:101.

Berkaitan dengan kandungan surat al-Baqarah ayat 106 tersebut para mufassir memberi komentar. Ibn Kathi>r dalam kitab tafsirnya menyatakan: “Sesungguhnya menurut rasio tidak ada alasan yang menunjukkan tidak adanya naskh dalam hukum-hukum Allah, karena Allah menetapkan hukum menurut kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.
Jumhur ulama juga beralasan dengan kesepakatan para ulama dalam menyatakan bahwa syariat sebelum Islam telah dinaskh-kan oleh syariat Islam, sebagaimana naskh itu sendiri telah terjadi dalam beberapa hukum Islam.
Akan tetapi, Abu> Musli>m al-Isfahani> (256-322H./mufassir), berpendapat bahwa naskh tidak berlaku dalam syariat Islam dan tidak ada bukti yang menunjukkan adanya naskh itu. Menurutnya, apabila hukum-hukum syara’ boleh di-naskh-kan, maka ini berarti terdapat perbedaan kemaslahatan sesuai dengan pergantian zaman. Hal ini akan membawa akibat bolehnya seseorang mengubah keimanannya, karena tuntutan zaman. Hal ini menurutnya sama sekali tidak mungkin dan tidak diterima akal. Kemudian, apabila naskh diterima, maka hal ini menunjukkan ketidaktahuan Allah terhadap kemaslahatan umat disuatu zaman, sehingga ia harus mengganti (membatalkan) suatu hukum dengan hukum lain. Perbuatan ini mustahil bagi Allah dan sia-sia. Selanjutnya Abu> Musli>m menyatakan bahwa Allah sendiri berfirman dalam surat Fusshilat, 41:42
Ayat ini menurutnya, menegaskan bahwa al-Qur’a>n tidak disentuh oleh “pembatalan”. Dengan demikian, jika naskh diartikan sebagai pembatalan. Maka tidak akan ada dalam ­al-Qur’a>n.
Pendapat tersebut diatas ditangkis oleh para ulama pendukung naskh dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi “kebatilan” yang berarti batil, karena sesuatu yang dibatalkan penggunaanya karena adanya perkembangan dan kemasalahatan pada suatu waktu bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika berlakunya merupakan sesuatu yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan dan memabtalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan batil.
Sedangkaan ayat surat al-Baqarah ayat 106 yang dijadikan dasar para ulama pendukung adanya naskh, ditafsirkan berbeda dengan penafsiran para ulama yang menolak adanya naskh dengan menyatakan bahwa “ayat” yang dimaksud adalah mukjizat para nabi. Mereka juga mengemukakan ayat 101 Surat al-Nahl sebagai dasar.
Disisi lain, mereka yang menolak adanya naskh dalam ­al-Qur’a>n, seperti Abu> Musli>m al-Asfiha>ni> yang didukung Ima>m al-Ra>zi, Muhammad Abduh, Rashi>d Rida, Dr. Taufiq Sidqy dan Muhammad Khuz}ari Bi>k. Alasan penolakan mereka didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’a>n yang sama yang dikemukakan oleh para ulama pendukung naskh, dengan perbedann penafsiran. Alasannya adalah mereka menganggap bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu (a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain; dan (b) kesia-siaan dan permainan belaka.
Muhammad ‘Abduh (1265-1323 H/1849-1905 M./Mufassir dan tokoh pembaharuan di Mesir), setelah menganalisa ayat-ayat yang mengandung naskh yang dikemukakan jumhur ulama diatas, berpendapat bahwa naskh lebih tepat diartikan sebagai penggantian, pengalihan (pemindahan) ayat hukum ditempat ayat yang lainnya. Oleh karena itu, naskh penggantian atau pemindahan dari satu wadah kewadah yang lain.
Dengan demikian , menurut M. Quraish Shihab, mufassir Indonesia, pengertian ini akan membawa pada kesimpulan bahwa semua ayat-ayat al-Qur’an tetap berlaku, tidak ada yang kontradiktif, hanya saja terjadi pergantian hukum bagi masyarakat (tertentu), karena adanya kondisi yang berbeda. Namun, ayat hukum yang tidak berlaku lagi bagi masyarakat tersebut tetap berlaku bagi masyarakat (orang lain) yang kondisinya sama dengan kondisi ketika hukum ayat yang diganti itu berlaku.
Sehingga dari pemaparan diatas, dapat penulis ambil benang merah bahwa salah satu yang menjadikan sumber perbedaan antara ulama yang menudukung dan menolak na>skh adalah perbedaan mereka dalam menafsirkan lafadz “ayat” dalam surat al-Baqarah ayat 106. Mereka yang mendukung, menginterpretasikan kata “ayat” sebagai nas} atau ayat al-Qur’a>n itu sendiri. Sedangkan yang menolak adanya naskh, menginterpretasikan lafadz “ayat” yang di maksud adalah mu’jizat. Sehingga makna yang di hasilkan adalah penghapusan mu’jizat dengan adanya mu’jizat yang muncul setelahnya.
Oleh karena itu jalan tengah yang diambil Quraisy Shihab lebih tepat, yang mengatakan bahwa semua ayat dalam al-Qur’a>n tidak ada yang berlawanan. Dan jika terjadi na>sikh wa mansu>kh maka yang dimansu>kh hanyalah hukumnya saja bukan serta merta nas} ayatnya. Karena al-Qur’a>n memang diturunkan secara bertahap, dan proses turunnya ayat tersebut kepada Nabi Muhammad SAW disesuaikan pada kondisi dan situasi pada waktu itu. Dan kondisi itu akan berubah sesuai dengan perjalanan dakwah Nabi, sehingga ayat yang diturunkan kemudian sangatlah mungkin sepintas berlawanan dengan ayat sebelumnya yang konteksnya sama tetapi situasi kondisi berbeda. Sehingga dengan adanya ayat yang dimansusikh.








F. CONTOH-CONTOH NASKH
al-Shuyu>ti menyebutkan dalam kitabnya (al-Itqa>n fi Ulu>m al-Qur’a>n) ada sekitar dua puluh satu ayat yang dipandang sebagai ayat-ayat mansukh antara lain:

NO MANSUidah (5):49 dan al-Isra>’(17):35 Qisas atau hukum balasan
3. al-Baqarah (2):183 al-Baqarah (2):187 Puasa Ramadan
4. al-Baqarah (2):184 al-Baqarah (2):185 Fidyah atau penebus puasa
5. Ali Imra>n (3):102 Al-Tagh>abu>n (64):16 Taqwa pada Allah
6. al-Nisa>’ (4):88 al-Nisa>’ (4):89 dan al-Tawbah (9):5 Jihad
7. al-Baqarah (2):216 al-Twubah (9):36 Berperang pada bulan suci
8. al-Baqarah (2):240 al-Baqarah (2):234 Iddah janda (ditinggal mati suami)
9. al-Baqarah (2):191 al-Taubah (9):5 Membunuh dalam bulan suci
10. al-Nisa>’ (4):15 al-Nu>r (24):2 Hukum perzinaan
11. al-Ma>idah (5):106 al-T}ala>q (65):2 Saksi
12. al-Nu>r (24):4 Al-Nu>r (24):6 Menuduh perempuan berzina tanpa saksi
13. al-Anfa>l (8\):65 al-Anfa>l (8\):67 Memerangi orang kafir
14. al-Nu>r (24):3 al-Nu>r (24):32 Perkawinan diantara pelaku zina
15. al-Ah}za>b (33):52 al-Ah}za>b (33):50 Istri-istri Nabi Muhammad SAW
16. al-Muja>dalah (58):13 (awal ayat) al-Muja>dalah (58):13 (akhir ayat) Membayar zakat
17. al-Mumtahanah (60):11 al-Tawbah (9):1 Memberikan harta rampasan orang kafir untuk mengawini istrinya
18. al-Tawbah (9):39 al-Tawbah (9):92 Berperang dengan orang kafir
19. al-Muzammil (73):2 al-Muzammil (73):20 Shalat malam
20. al-Nu>r (24):58 al-Nu>r (24):59 Izin anak untuk masuk kamar orang tua
21. al-Nisa>’ (4):7 al-Nisa>’ (4):11 Bagian warisan

G. HIKMAH ADANYA NAlih li kulli zama>n wa al-maka>n.
al-Mara>ghi> menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan bahwa: "Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.
Sedangkan menurut Manna> al-Qat}t}an ada beberapa hikmah adanya naskh antar lain :
1. Memelihara kemasalahatn hamba
2. Perkembangan tashri>’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf apakah mengikutinya atau tidak
4. Menghendaki kebaikan bagi umat




KESMPULAN

Dari pemaparan kami tentang na>sikh dan mansu>kh diatas ada beberapa hal yang dapat penulis simpulkan antara lain:
1. Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan pengertian naskh. Dari beberapa perbedaan tersebut ulama memberikan pengertian bahwa secara bahasa al-naskh adalah mas}da>r dari “nasakha”, isim fa’ilnya : “na>sikh”, dan isim maf’ulnya: mansu>kh,. artinya: al-iza>lah, kadang berarti al-tabdi>l, juga bisa berarti al-tah}wi>l. Sedangkan menurut istilah, naskh adalah menghapus atau mengganti berlakunya suatu hukum syara’ dengan menggunakan suatu dalil syara’ yang datang kemudian.
2. Para ulama yang mendudkung adanya naskh dalam al-Qur’a>n memberikan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam proses na>sikh mansu>kh. Artinya jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka ayat tersebut tidak dapat dimansus. Tetapi beberapa ulama memberikan perbedaan yang jelas antara naskh dan takhsi>s.
4. Para ulama terbagi atas dua kelompok dalam memahami adanya naskh dalam al-Qur’a>n yaitu, antara yang menerima naskh dan menolaknya. Jumhur ulama yang mendukung adanya naskh yaitu, Ima>m al-Sha>fi’i>, Ja’fa>r al-Nuh}h}as, Ima>m al-Shuyu>t}i>, al-Shawkani> dan Ibn Hazm. Mereka beralasan dengan dua dalil yang diyakini sebagai alasan adanya naskh dalam al-Qur’a>n. Sedangkan yang tidak mendukung adanya naskh antara lain Abu> Musli>m al-Asfihani>, didukung oleh M. Abduh, Rashi>d Rida, dan Fakhru> al-Ra>zi>..
5. Banyak hikmah yang bisa kita ambil dengan adanya na>sikh mansu>kh dalam al-Qur’a>n.
Demikian sebuah makalah sederhana mengenai na>sikh dan mansu


http/:referensiagama.blogspot.com/januari/2011

1 komentar:

  1. ARE YOU IN NEED OF A PROFESSIONAL HACKER?(CATCHING A CHEATING SPOUSE, RECOVERY OF LOST FUNDS, WEBSITE HACK...)
    High prolific information and Priviledges comes rare as i would be sharing with you magnificent insight you wish you heard years before now. As it's been understood that what people don't see, they will never know.
    Welcome to the Global KOS hacking agency where every request on hacking related issues are met within a short period of time.
    If your shoe fits in any of the requested services below, you will be assigned to a designated professional hacker who is systematically known for operating on a dark web V-link protocol.
    The manual operation of this hackers is to potentially deploy a distinguished hacking techniques to penetrating computers and various type of database system to meet your request. Penetration of computing systems are achieved using software tools like Ransomeware, SQL/Keylogger injection. botnet, trojan and DDOS attacks.
    Providing value added services to clients as a hacker has been our sustaining goal.
    Are you faced with cyber challenges like
    ● Hacking into the mobile phone of a cheating spouse.✅ This type of hack helps you track every move of your cheater as we are bent on helping you gain full remote access into the cheater's mobile phone using a trojan clone cracking system to penetrate their social media platforms like Facebook, whatsapp, snapchat etc.
    ●Recovery of lost funds:✅.It saddens our mind when client expresses annoyance or dissatisfaction of unethical behaviours of scammers.
    with a diverse intercall XX breacher software enables you track the data location of a scammer. Extracting every informations on the con database, every requested information required by the Global KOS would be used to tracking every transaction, time and location of the scammer using this systematic courier tracking base method.
    ●Credit Score Upgrade:✅Due to our transformed changes on Equifax tracking , upgrading of credit score are backed by our cyber tech breaching licence, This hacking process drastically generates you an undestructive higher credit score which correlates to a higher level of creditworthiness. The time frame for upgrading a credit score requires eighteen(18) hours
    ● BITCOIN GENERATOR:✅ (Higher job profile). This involves using the ANTPOOL Sysytem drifting a specialized hardware and software implementing tool in slot even-algorithms to incentivize more coins into your wallet which in turn generates more coins exponentially like a dream at specified intervals.
    Other suberb services rendered by the globalkos are
    • Email hacks📲
    • Hacking of websites.📲
    • Uber free payment hacks.📲
    • website hack.📲
    Our strength is based on the ability to help you fix cyber problems by bringing together active cyber hacking professionals in the GlobalkOS to work with.
    For more inquiries and prolific Hacking services visit
    Clarksoncoleman(at)gmail • com.
    Theglobalkos(at)gmail •com.
    ©Global KOS™
    2030.

    BalasHapus