Selasa, 25 Januari 2011

PERIWAYATAN HADIS SECARA RESMI


PERIWAYATAN HADIS SECARA RESMI
by sariono sby

PENDAHULUAN

Al Qur’an telah memerintahkan kepada kita untuk belajar dan Rasulullah sendiri juga menganjurkan hal itu. Karena wahyu memerlukan penulisan, maka konsekwensinya dibutuhkan beberapa ahli di bidang tulis menulis. Rasulullah memiliki penulis-penulis wahyu yang jumlahnya empat puluh orang. Beliau juga memiliki ahli tulis sedekah, ahli tulis hutang-piutang dan ahli tulis untuk surat dengan bahasa-bahasa asing. Akan tetapi kegiatan penulisan itu belum merambah ke al Hadith. Hal ini disebabkan selain karena Rasulullah saat itu masih hidup, juga karena ada beberapa riwayat yang melarang menulis hadith, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al Khudriy yang meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Jangan kalian tulis (riwayat) dariku. Siapa yang menulis riwayat dariku selain al Qur’an hendaklah ia menghapusnya.
Sahabat Abu Hurairah juga meriwayatkan, bahwa ia berkata : Rasulullah saw keluar dan kami menulis beberapa hadits. Lalu beliau bertanya :” Apa yang kalian tulis itu ?” Kami menjawab : “Hadith-hadits yang kami dengar dari Tuan.” Beliau bersabda :
Kitab selain Kitabullah? Tahukah kalian? Tidaklah tersesat ummat-ummat sebelum kalian, kecuali karena kitab-kitab yang mereka tulis bersama Kitabullah Ta’ala.
Akan tetapi di sisi lain ada juga riwayat-riwayat yang membolehkan penulisan al Hadits, diantaranya Abdullah ibn Amr ibn al Ash pernah diperintah oleh Rasulullah melalui sabdanya :
Tuliskanlah. Demi dzat yang menguasai jiwaku, tidaklah keluar dari mulut ini kecuali yang benar.
Shahabat Abu Hurairah juga pernah berkata :
Di antara sahabat Nabi saw. Tidak ada seseorang yang lebih banyak meriwayatkan hadits dari beliau dibanding diriku, kecuali yang ada pada Abdullah ibn Amr, karena ia menulis, sedang aku tidak.
Apabila kita perhatikan teks hadits di atas, sepintas terdapat kontradiksi. Tetapi larangan penulisan hadits itu hanya bersifat makruh. Beliau memakruhkan penulisan bagi mereka yang tidak bisa menulis dengan baik atau bisa mengandalkan hafalan. Dan beliau memperbolehkannya bagi yang tidak bisa mengandalkan hafalan. Ada juga yang berpendapat bahwa larangan menulis hanya hadits terjadi pada awal Islam, supaya tidak terjadi campur baur antara al Qur’an dan sunnah.
Disamping riwayat dari Rasulullah tentang kebolehan menuliskan hadits, kita juga melihat para sahabat juga memasang rambu bagi penulisan hadits. Umar ibn Khaththab pernah berpikir untuk menghimpun hadits. Tidak lama kemudian beliau mengurungkan pikiran itu, karena beliau khawatir terjadi pencampur adukan antara al Qur’an dan hadits atau khawatir al Qur’an terabaikan dengan menfokuskan perhatian pada hadits. Akan tetapi setelah ummat Islam mampu menjaga Kitabullah dengan cara menghimpunnya dalam Mushhaf asy Syarif, beliau kadang-kadang memperbolehkan penulisan Hadits.
Pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadits dalam suatu kitab, seperti halnya al Qur’an. Hal disebabkan karena :
1. Agar tidak memalingkan perhatian ummat Islam dalam mempelajari al Qur’an
2. Bahwa para sahabat yang banyak menerima hadits dari Rasulullah saw. Sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan masing-masing sebagai pembina masyarakat, sehingga dengan kondisi seperti ini, akan kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap.
3. Bahwa soal pembukuan hadits, di kalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat, belum lagi terjadinya perselisihan soal lafal dan shahihnya.
Upaya kodifikasi hadits secara resmi oleh kalangan penguasa menurut pendapat yang populer di kalangan ulama dilakukan oleh khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Beliau yang pertama memerintahkan kodifikasi hadits dan yang telah melaksanakannya. Akan tetapi benih-benih kodifikasi hadits telah dimulai oleh ayahnya, Gubernur Mesir Abdul Aziz yang meminta Katsir ibn Murrah al Hadhramiy untuk menuliskan kepada beliau hadits-hadits yang ia dengar dari sahabat-sahabat Rasulullah saw.
Pada awal abad 2 Hijriyah penghimpunan dan penulisan hadits beralih pada penyusunan hadits ke dalam bab-bab, dan mengumpulkan satu bab dengan yang lainnya dalam satu “mushannaf” ataupun “jami’”. Jadi awal abad 2 Hijriyah bukanlah awal kodifikasi hadits, tetapi awal penyusunan karya-karya hadits. Karya-karya itu muncul dalam waktu yang berdekatan di berbagai pusat kegiatan ilmu di kawasan Islam. Kemudian muncul musnad-musnad dan kitab-kitab shahih. Dengan demikian kodifikasi hadits telah melampaui berbagai tahap, sampai ke tangan kita melalui kitab-kitab shahih dan kitab-kitab musnad.












PEMBAHASAN
A. KODIFIKASI PEMBUKUAN
Kata kodifikasi atau dalam bahasa Arab disebut al-tadwin berarti mengumpulkan dan menyusun. Menurut istilah kodifikasi adalah penulisan dan pembukuan hadits nabi secara resmi berdasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam bidang ini, bukan yang dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi. Kodifikasi hadits ini dimaksudkan untuk menjaga hadits nabi dari kepunahan dan kehilangan baik karena banyaknya periwayat penghafal hadits yang meninggal dunia maupun karena adanya hadits-hadits palsu yang dapat mengacau balaukan keberadaan hadits-hadits nabi.
B. SEJARAH KODIFIKASI HADITS
Sebagaimana yang dijelaskan pada bab pendahuluan bahwa ide penghimpunan hadits nabi secara tertulis pertama kali dikemukakan oleh ‘Umar ibn Khaththab. Untuk merealisasikan idenya itu, Umar bermusyawarah dengan para shahabat yang lain dan beristikharah. Para sahabat menyetujui idenya itu. Tetapi setelah sekian lama istikharah, Umar sampai pada kesimpulan bahwa ia tidak akan melakukan penghimpunan dan kodifikasi hadits, karena khawatir ummat Islam akan berpaling dari al Qur’an
Sebagian ulama mengatakan bahwa pengumpulan hadits sudah dimulai pada masa Abdul Aziz ibn Marwan ibn Hakam yang saat itu menjabat sebagai gubernur Mesir. Ia memerintahkan Katsir ibn Murrah al Hadhrami untuk mengumpulkan hadits Rasulullah. Hanya saja menurut mayoritas ulama hadits kodifikasi secara resmi dilakukan pertama kali pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz, khalifah kelima Bani Umaiyah. Menurut mereka apa yang dilakukan oleh Abdul Aziz ibn Marwan lebih bersifat gagasan, ataupun apabila sudah terjadi kodifikasi lingkupnya sangat sempit karena hanya dalam batas wilayah propinsi Mesir saja, tidal keseluruhan wilayah Islam sebagaimana masa Umar ibn Abdul Aziz.
Proses kodifikasi hadits yang baru dimulai pada masa ini dimulai dengan khalifah mengirim surat ke seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada akhir tahun 100 H yang berisi perintah agar seluruh hadits nabi di masing-masing daerah segera dihimpun. Umar yang didampingi Muhammad ibn Muslimin Shihab az Zuhri, seorang ulama besar negeri Hijaz dan Syam, menggalang agar para ulama hadits mengumpulkan hadits di masing-masing daerah mereka. Sebelum khalifah meninggal dunia, al Zuhri berhasil menghimpun hadits dalam satu kitab kemudian dikirim oleh khalifah ke berbagai daerah, untuk bahan penghimpunan hadits selanjutnya. Umar juga memerintah Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm untuk mengumpulkan hadits yang terdapat pada Amrah binti abd al Rahman (murid kepercayaan A’isyah) dan Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar as Shiddiq.
Dalam menguraikan pembahasan tentang kodifikasi hadits ini, penulis membagi pada beberapa periode, yaitu :
1. Periode Abad II Hijriyah
Pada abad kedua ini, para ulama dalam mengkodifikasi hadits, tidak melakukan menyaringan dan pemisahan, mereka tidak membukukan hadits-hadits saja, tetapi fatwa sahabat dan tabi’in juga dimasukkan ke dalam kitab-kitab mereka. Sehingga dalam kitab-kitab itu terdapat hadits-hadits marfu’, hadits-hadits mawquf, dan hadits-hadits maqthu’. Pada masa ini di kota Madinah ada ulama ahli hadits yang berhasil menyusun kitab tadwin, yang bisa diwariskan sampai pada generasi sekarang, yaitu Malik ibn Anas, dengan kitab hasil karyanya yang terkenal Al Muwaththa’. Kitab ini disusun sejak tahun 143 H atas permintaan khalifah Al Manshur, salah seorang khalifah Bani Abbasyiyah. Kitab ini tidak hanya memuat hadits rasul saja tetapi ucapan sahabat dan tabi’in bahkan tidak sedikit yang berupa pendapat Malik sendiri atau praktek ulama pada masyarakat Madinah. Imam Syafi’I muridnya, memberikan pujian terhadap karya Imam Malik ini dengan sebutan kitab paling shahih setelah al Qur’an adalah Muwaththa’ Malik. Bahkan jumhur ulama menilai bahwa kitab Muwaththa’ ini sebagai kitab tadwin yang pertama dan banyak dijadikan rujukan oleh para muhaddits selanjutnya.
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, di antara kitab-kitab abad kedua yang mendapat perhatian umum ulama adalah Al Muwaththa’, al Musnad, Mukhtalif al Hadits susunan Imam al Syafi’i, dan al Maghazi wa al Siyar yang terkenal dengan al Sirah al Nabawiyah karya Muhammad ibn Ishaq. Kitab-kitab tersebut banyak menjadi perhatian dan rujukan dalam kajian-kajian hadits dan sirah. Meskipun pada abad kedua ini tidak dipisahkan dari fatwa sahabat dan pendapat tabi’in. Pada abad ini sudah ada pemisahan antara hadits-hadits umum dengan hadits-hadits tafsir, sirah, dan maghazi.
Pada adab kedua ini juga sudah diwarnai dengan meluasnya pemalsuan hadits yang telah ada pada masa khalifah Ali ibn Abi Thalib dan menyebabkan sebagian ulama pada abad ini tergugah untuk mempelajari keadaan para periwayat hadits, disamping pada waktu itu banyak periwayat yang lemah. Pada saat itu pula kegiatan telaah terhadap ahwal al ruwah (keberadaan para periwayat hadits) semakin diintensifkan, meskipun saat itu belum terbentuk sebagai disiplin ilmu tersendiri.
2. Periode Abad III Hijriyah
Periode ini merupakan masa penyaringan dan pemisahan antara sabda rasulullah dengan fatwa dahabat dan tabi’in. Masa penyeleksian ini terjadi pada masa Bani Abbasyiyah, yakni masa al Makmun sampai al Muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Munculnya periode seleksi ini karena pada periode sebelumnya, yakni periode tadwin, belum berhasil memisahkan beberapa hadits mawquf, maqthu’, dan marfu’. Begitu juga belum bisa memisahkan beberapa hadits yang shahih dan yang dha’if, bahkan masih ada hadits yang maudhu’ tercampur pada hadits-hadits yang shahih. Mereka hanya menulis dan mengumpulkan hadits-hadits nabi lengkap dengan sanadnya, yang kemudian kitab-kitab hadits karya mereka disebut dengan istilah musnad. Pada saat ini pula mulai dibuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan apakah suatu hadits itu shahih atau dha’if. Para periwayat hadits pun tidak luput dari sasaran penelitian tentang kejujuran, kekuatan hafalan, dan lain sebagainya.
Diantara kitab-kitab musnad yang ditulis pada awal abad ketiga Hijriyah ini adalah kitab yang ditulis oleh Abu Dawud Sulayman ibn Jarud al Thayalisi, Abu Bakar Abdullah ibn Zubayr al Humaydi, Ahmad ibn Hambal, Ishaq ibn Rawaih, dan sebagainya. Diantara musnad-musnad itu , Musnad karya Ahmad ibn Hambal-lah yang paling lengkap dan terluas cakupannya.
Walaupun dilakukan penyeleksian, hadits-hadits yang disusun dalam kitab musnad di atas masih tercampur antara hadits shahih, hasan, dan dha’if. Karena itu kemudian ulama-ulama hadits bangkit untuk memilih hadits-hadits yang shahih saja. Aktifitas ini dimulai oleh Ishaq ibn Rawayh. Pekerjaan ini kemudian disempurnakan oleh al Imam Abu Allah Muhammad ibn Ismail al Bukhari dengan menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama al Jami’al Shahih atau Kitab Shahih al Bukhari. Usaha al Bukhari ini kemudian diikuti oleh muridnya Muslim ibn al Hajjaj al Qusyayri dengan kitabnya Shahih Muslim. Pada saat yang hampir bersamaan, Abu Dawud Sulayman ibn al Asy’ats al Sijistani, menyusun kitab Sunan Abu Dawud. Kemudian dilanjutkan oleh Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Surah al Turmudzi dengan karyanya Sunan al Turmudzi, Ahmad ibn Syu’aib al Khurasani al Nasa’i dengan kitabnya al Nasa’i, kemudian Abd Allah ibn Muhammad ibn Yazid ibn Abd Allah al Qawzini yang dikenal dengan Ibn Majah dengan hasil karyanya sunan Ibnu Majah.
Keenam kitab di atas oleh ulama hadits disebut dengan al Kutub al Sittah, meskipun sebagian ulama ada yang tidak memasukkan sunan Ibnu Majah ke dalam kelompok enam kitab tersebut karena derajat kitab sunan ini dinilai lebih rendah dari kitab hadits yang lima. Menurut mereka kitab pokok yang nomor enam adalah al Muwaththa’ karya Imam Malik. Dari sekian banyak kitab di atas yang mempunyai peringkat utama dan pertama adalah Shahih al Bukhari kemudian Shahih Muslim.

3. Periode Abad IV-VII Hijriyah
Pada abad pertama, kedua, dan ketiga, hadits berturut-turut mengalami masa periwayatan, penulisan , pembukuan, serta penyaringan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, maka pada abad keempat dan seterusnya digunakan metode yang berlainan. Demikian juga ulama yang terlibat sebelum abad keempat disebut ulama Mutaqaddimun dan ulama yang terlibat dalam kodifikasi hadits pada abad keempat dan seterusnya disebut ulama Muta’akhirun. Penyusunan kitab-kitab hadits pada masa ini lebih mengarah pada usaha mengembangkan beberapa variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab yang sudah ada, maka setelah berjalan beberapa saat dari munculnya Ktub as Sittah, Al Muwaththa’ Malik ibn Anas, dan al Musnad Ahmad ibn Hambal, para ulama mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab Jawami’ (mengumpulkan kitab-kitab hadits menjadi satu kitab), kitab Syarah (kitab komentar dan uraian), kitab Mukhtasar (kitab ringkasan), men-takhrij (mengkaji sanad dan mengembalikan kepada sumbernya), menyusun kitab Athraj (menyusun pangkal-pangkal suatu hadits sebagai petunjuk kepada materi hadits secara keseluruhan), dan menyusun kitab hadits untuk topik-topik tertentu.
Dengan demikian, menurut Dr. Idri, M. Ag, usaha-usaha ulama hadits pada abad ini meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Mengumpulakn hadits-hadits al Bukhari dan Muslim dalam sebuah kitab, seperti kitab Ibn al Furrat karya Ismail ibn Ahmad, al Jami’ bayn al Shahihayn karya Muhammad ibn Abd Allah al jawzaqa.
2. Mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab yang enam dalam sebuah kitab, seperti kitab al Jami’ karya Ibn al Kurrath.
3. Mengumpulkan hadits-hadits dari berbagai kitab ke dalam satu kitab, seperti kitab Mashahib al Sunnah karya al Imam Husayn ibn Mas’ud al Baghawi yang kemudian diseleksi oleh al Khath ibn al Thabrizi dengan kitabnya Misykah al Masabih.
4. Mengumpulkan hadits-hadits hukum dalam satu kitab hadits, seperti kitab Muntaqa al Akhbar karya Ibn Taymiyah yang kemudian disyarah oleh as Syawkani dengan kitabnya Nayl al Awthar.
5. Menyusun pokok-pokok (pangkal-pangkal) hadits yang terdapat dalam kitab Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim sebagai petunjuk kepada materi hadits secara keseluruhan, seperti kitab Athraf al Shahihayn karya Ibrahim al Dimasyqi. Hadits-hadits yang terdapat dalam kitab enam seperti kitab Athraf al Kutub al Sittah karya Muhammad ibn Thahir al Maqdisi, dan hadits-hadits dalam kitab sunan yang empat seperti kitab Athraf al Sunan al Arba’ah karya Ibn Asakir al Dimasyki.
6. Mentakhrij dari kitab-kitab hadits tertentu, kemudian diriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain sanad yang sudah ada dalam kitab-kitab tertentu, seperti kitab Mustakhraj Shahih Muslim karya al Khafizh Abu Awanah, dan kitab Mustakhraj Shahih al Bukhari karya al Hafizh ibn Mardawayh.


KESIMPULAN

1. Bahwa ide penghimpunan hadits nabi secara tertulis pertama kali dikemukakan oleh Umar ibn Khaththab, tetapi karena suatu alasan, ide itu dibatalkan.
2. Khalifah Abd al Aziz ibn Marwan ibn Hakam, seorang Gubernur Mesir telah menelorkan gagasan untuk menkodifikasi hadits nabi dengan memerintahkan Katsir ibn Murrah al Hadhrami untuk mengumpulkan hadits rasulullah, tetapi ruang lingkupnya masih kecil karena hanya memerintahkan seorang ulama saja.
3. Menurut pendapat jumhur ulama kodifikasi hadits secara resmi dilakukan oleh khalifah Umar ibn Abd al Aziz pada akhir tahun 100 H dengan mengirim surat ke seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah untuk menghimpun seluruh hadits nabi di masing-masing daerah. Usaha menghimpun hadits ini dipimpin Muhammad ibn Muslim ibn Shihab al Zuhri yang berhasil menghimpunnya dalam satu kitab hadis dan selanjutnya dikirim oleh khalifah ke berbagai daerah.
4. Pada abad kedua Hijriah ulama berhasil menyusun kitab tadwin yang terkenal yaitu al Muwaththa’ karya Malik ibn Anas.
5. Pada abad ketiga Hijriah ulama sudah mulai mengadakan penyaringan dan pemisahan antara sabda nabi, fatwa sahabat dan tabi’in. Pada masa ini tersusun kitab musnad.
6. Pada abad empat sampai ketujuh pembukuan hadits mengarah pada usaha mengembangkan variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab hadits sudah ada dan menyusun kitab-kitab yang berbentuk Jawami’, Athraf, Syarah, dan Mukhtasyar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar