Senin, 17 Januari 2011

TAFSIR MAUDLU’I (TEMATIK)


TAFSIR MAUDLU’I (TEMATIK)
by Sariono Sby

PENDAHULUAN
Al-Qur-a>n diturunkan Allah kepada umat manusia dijadikan
sebagai hudan, bayyinah, dan furqa>n. Al-Qur-a>n selalu dijadikan
Agar fungsi al-Qur-a>n sebagai
pedoman dalam setiap aspek kehidupan dan al-Qur-a>n merupakan kitab
suci ummat Islam yang selalu relevan sepanjang masa dapat terwujud, maka kita harus menemukan makna firman Allah SWT saat menafsirkan al-Qur-a>n. Upaya untuk menafsirkan ayat - ayat al-Qur-a>n untuk mencari dan menemukan makna - makna yang terkandung di dalamnya. Muhammad Arkon, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa “al-Qur-a>n memberikan kemungkinan - kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk diinterpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.
Dalam menafsirkan Al-Qur-a>n, para mufasir mempunyai metode yang mungkin tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya. Kadang – kadang mereka mereka menggunakan tidak hanya satu metode tetapi lebih. Metode penafsiran Al-Qur-a>n itu antara lain :
A. METODE TAFSI>R DARI SEGI SUMBER PENAFSIRAN
v Bil-Ma’tsur
v Bil-Ra’yi
v Bil-Iqtirani

B. METODE TAFSI>R DARI SEGI KELUASAN PENJELASANNYA
v Tafsi>r ijmaly/Global
v Tafsi>r Ithnabi (tafsili) / detail

C. METODE TAFSI>R DARI SASARAN DAN TERTIB AYAT
v Tahlily
v Maudlu>’i
v Nuzuly

D. METODE TAFSI>R DARI SEGI CARA PENJELASANNYA
v Bayani / Deskriptif
v Muqarin / Komporatif


PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Tafsi>r Maudlu>’i
Metode tematik ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur-a>n
sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang
berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata,
dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung
oleh dalil - dalil atau fakta - fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur-a>n, hadith, maupun pemikiran
rasional
Dalam kamus ilmu Al-Qur-a>n menerangkan bahwa metode penafsiran maudlu>’i adalah suatu cara penafsiran Al-Qur-a>n yang karakteristik utamanya menafsirkan Al-Qur-a>n dengan upaya mencari jawaban Al-Qur-a>n tentang suatu tema dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengannya, lalu menganalisisnya lewat ilmu – ilmu Bantu yang relevan, untuk kemudian melahirkan konsep yang utuh tentang tema tersebut.
M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode maudhu’i mempunyai
dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur-a>n
dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan
tema ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga
dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai
masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua,
penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur-a>n yang dibahas
satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur-a>n dan sedapat
mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan
pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur-a>n
secara utuh tentang masalah yang dibahas itu
Dengan pengertian para ahli tersebut dapat penulis sikapi bahwa metode maudlu>’i merupakan cara menafsirkan Al-Qur-a>n dengan mengutamakan tema tertentu dengan tidak melihat urutan ayat atau surat yang tertulis dalam mus}haf uthma>ni. Demikian pula berdasarkan pada definisi yang dikemukakan diatas , maka penulis dapat membuat karakteristik atau ciri khas tafsi>r maudlu,i sebagai berikut :
v Pembahasan dipayungi oleh tema sentral yang telah ditetapkan sebelumnya
v Pembahasan didasarkan atas sejumlah ayat dari berbagai surat dalam al-Qur-a>n.
v Pembahasan didasarkan pada ayat-ayat al-Qur-a>n secara kronologis masa turunnya, tidak berdasarkan urutan ayat dan surat yang tersusun dalam mus}haf.
B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsi>r Maudlu>’i
Pada masa pembukuan disamping tafsi>r bercorak biasa atau umum, tafsi>r yang mengkaji masalah – masalah khusus berjalan beriringan dengannya, misalnya Ibnu Qayyim menulis kitab Al Tibya>n Fi> Aqsa>mi al Qur-a>n, Abu ‘Ubaidillah menulis kitab tentang Maja>z al Qur-a>n. Disamping itu telah tersirat dalam salah satu cara penafsiran yang dilakukan oleh Rasululloh saw. Misalnya Rasululloh saw. menafsirkan kata al-Dzulmu pada surat al-An’a>m ayat 82 dengan ayat 13 surat Luqma>n. Dan berdasar pada Al-Qur-a>n sendiri, dengan penamaan surat, kiranya dapat dikatakan, telah memberikan isyarat akan al-Maudlu>’i.
Karena ayat-ayat al-Qur-a>n yang terangkum pada suatu surat memberikan pesan-pesan tertentu secara maudlu>’i. Misalnya surat al-Kahfi, yang artinya “Gua”, diuraikan padanya, bahwa gua tersebut dijadikan tempat perlindungan sekelompok pemuda yang menghindar dari kekejaman penguasa, sehingga setiap ayat atau sekelompok ayat dari surat tersebut dapat dikaitkan dengan makna perlindungan.
Para mufassir sejak masa kodifikasi tafsi>r, yang sementara ahli menduga dimulai oleh al-Farra> (w207 H) sampai tahun 1960 M, dalam mentafsi>rkan al-Qur-a>n lebih banyak memusatkan perhatian pada analisa redaksi, dan sebagian besar dari mereka mentafsi>rkan al-Qur-a>n ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushhaf. Hal ini menyebabkan pentafsi>ran al-Qur-a>n menjadi terpisah-pisah dan tidak menyeluruh. Namun demikian, pada rentang waktu tersebut ada beberapa mufassir yang dapat dikategorikan memiliki pemikiran ke arah maudlu>’i. Seperti Fakhr al di>n al Ra>zi> (wafat 606 H) yang menyadari, betapa pentingnya korelasi antar ayat, walaupun korelasi antar ayat ini hanya menyangkut sistimatika penyusunan ayat dan surat sesuai urutannya dalam mushhaf, tidak dari segi korelasi ayat-ayatnya yang membahas masalah yang sama. Beliau juga mengajak para mufasir mencurahkan perhatian kepadanya, namun dia sendiri dalam kitab tafsi>rnya tidak menyinggung banyak tentangnya. Karena perhatiannya tercurah pada filsafat dan ilmu falak.
Pembahasan seperti ini mencapai puncaknya di bawah usaha Ibrahim bin ‘Umar al Biqa’i> (809 – 885 H). Tetapi korelasi disini ternyata menyangkut sistematika penyusunan ayat dan surat sesuai dengan urut – urutanya dalam mushaf, bukan dari segi korelasi ayat – ayat yang membahas masalah – masalah yang sama dan terkadang bagian – bagiannya terpencar dalam sekian surat.
Kemudian, Al-Sha>tibi> (wafat 1388 M) menjelaskan, bahwa suatu surat walaupun mengandung banyak masalah tetapi masalah tersebut berkaitan antara satu dengan lainnya, sehingga jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat tetapi juga pada akhir surat atau sebaliknya. “Tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian – bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti lahiriah dari satu kosa kata menurut tinjauan etimologi, bukan maksud pembicara. Kalau arti tersebut tidak dipahami maka ia harus segera memperhatikan seluruh pembicaraan hingga akhir”.
Atas ide yang terlontarkan oleh Al Sha>tibi> ini Mahmu>d Shaltut (1960 M) dalam tafsi>r al-Qur-a>n al Karim, mentafsi>rkan al-Qur-a>n tidak ayat demi ayat, tetapi dengan jalan membahas surat demi surat atau bagian suatu surat, dengan menjelaskan tujuan – tujuan utama serta petunjuk – petunjuk yang dapat dipetik darinya.
Demikian juga yang dilakukan oleh Bint al-Shathi`, seorang guru besar sastra dan bahasa Arab pada Universitas `Ain al-Syams, Mesir menulis penafisran dengan metode maudlu>’i yang karyanya antara lain: Kita>buna> al-Akbar(1967); al-Tafsi>r al-Baya>ni> li al-Qur`a>n al-Kari>m, II (1969); Maqa>l fI al-Insa>n Dira>sah Qur`a>niyah (1969); al-Qur`a>n wa al-Tafsi>r al-`Ashri> (1970); al-I’Ja>z al-Bayani> li al-Qur`a>n (1971); al-Shakhs}iyah al-Isla>miyah Dira>sah al-Qur`a>niyah (1973)
Selain itu banyak sekali ahli tafsi>r, baik sebelum Mahmu>d Shaltut maupun sesudahnya. Namun belum ada yang menulis secara resmi methde ini. Baru pada tahun 1977 seorang guru besar pada fakultas Ushuluddin Al Azhar untuk pertama kalinya, metode Maudhu’i dicetuskan oleh Prof Dr. Abdul Hay Al Farmawiy. Beliau menulis buku Al Bidayah fi Al Tafsi>r Al Maudhu’i.
Menurut hemat penulis, walaupun Prof Dr. Abdul Hay Al Farmawiy disebut sebagai orang yang pertama kali menulis metode ini, tetapi sebelum beliau sudah ada indikasi tentang metode penafsiran Al-Qur-a>n secara maudlu>’i ini. Bahkan orang pertama yang menemukan ide penafsiran secara maudlu>’i adalah Al Sha>tibi> dan orang pertama yang menafsirkan secara maudlu>’i adalah Mahmu>d Shaltut. Oleh sebab itu menurut penulis Mahmu>d Shaltut yang disebut sebagai orang pertama yang menggunakan metode ini walaupun belum menulisnya secara spesifik dalam buku tetapi hanya tersirat pada karyanya saja.
Seterusnya banyak sekali mufasir yang menafsirkan dengan metode ini, bahkan pada zaman sekarang metode ini yang lebih relefan, dikeranakan kebutuhan akan tafsi>r yang bersifat tematik sangatlah besar.
C. Langkah – Langkah Tafsi>r Maudlu>’i
Tafsi>r maudlu>’i merupakan salah satu metode atau cara dalam menafsirkan Al-Qur-a>n. Dengan cara mengambil topik tertentu. Dengan demikian langkah – langkah untuk menafsirkan Al-Qur-a>n berbeda dengan metode yang dipakai oleh metode yang lain.
Terdapat bebarapa langkah yang tersirat dalam beberapa karya tafsi>r antara lain : Bint al Shathi yang merupakan pengembangan penafsiran Al Khulli, yaitu :
(1) mengumpulkan semua ayat yang berkaitan,
(2) menyusun berdasarkan kronologi pewahyuan,
(3) menggali bahasa asal untuk mendapatkan petunjuk lafat
(4) berpegang pada makna dan semangat nas untuk memecahkan masalah – masalah yang sulit.
Menurut dia langkah ini untuk mendobrak kelemahan yang terdapat dalam metode penafsiran al-Qur-a>n sebelumnya yaitu:
(1) memperlakukan ayat secara atomistic, individual yang terlepas dari konteks umumnya sebagai suatu kesatuan. Pada hal al-Qur-a>n adalah satu kesatuan yang utuh, dimana ayat dan surat yang satu dengan lainnya saling terkait,
(2) kemungkinan masuknya ide mufasir sendiri yang tidak sesuai dengan maksud ayat sebenarnya. Tetapi beliau belum menulis secara resmi dalam suatu metode, hanya tersirat dalam penafsiran beliau saja.
Pada tahun 1977 untuk pertama kalinya Abd al- Farmawi, menulis kitab Al-Bida>yah Fi al-Tafsi>r al-Maudhu>’i, dimana didalamnya terdapat rumusan langkah – langkah (cara kerja yang menjadi ciri khas tafsi>r maudlu>’i) sebagai berikut :
1. Menetapkan masalah / tema yang akan dibahas;
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya;
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing;
5. Menyusun pembahasan dalam rangka yang sempurna;
6. Melengkapi pembahasan dengan hadith-hadith yang relevan dengan pokok pembahasan;
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang memiliki pengertian sama, atau mengkompromasikan antara yang ”amm” dengan yang ’khosh”, yang ”mutlak”, yang ”muqoyyad”, atau yang lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu ke dalam satu muara tanpa perbedaan atau pamaksaan.
Langkah – langka tersebut antara para mufasir di abad sekarang hampir sama, seperti yang dikemukakan oleh Dr Zahir bin ’Iwad al al Ma>’i>, Fazlur Rahman ( tahun 1980 menulis buku tema pokok Al-Qur-a>n), Muhammad Shahrur yang menulis kitab ”al Kita>b wa al-Qur-a>n Qira>’ah Mu’as}i>rah. Muhammad al-Ghazali, tahun 1996, menerbitkan buku dengan judul Nahw Tafsî>r Maudû>`i Lisuwar al-Qur`a>n al-Karî>m. Disini ia berusaha menangkap dan mengungkapkan satu tema pokok ”tidak lebih” dalam setiap surat al-Qur`a>n, dan setiap ayat yang ada didalamnya, dari yang awal dan akhir adalah pendukung kebenaran tema sentral tersebut
Menurut penulis, bahwa langkah – langkah yang dikemukakan oleh para ahli tersebut hampir sama, bahkan tujuannya sama yaitu menafsirkan al-Qur->an dengan melihat tema tertentu. Dengan inti mengumpulkan ayat dengan tema tertentu, kemudian ayat tersebut dijadikan untuk menafsirkan ayat yang lain dengan melihat urutan turunnya ayat yang satu tema.
D. Macam – Macam Tafsi>r Maudlu>’i
Telah dijelaskan bahwa sejalan dengan kodifikasi tafsi>r, maka metode penafsiran berjalan pula beriringan, walaupun sebelum ditulisnya buku oleh Prof Dr. Abdul Hay Al Farma>wiy. Tafsi>r yang menggunakan metode ini tersebar dalam jumlah yang tidak sedikit, antara lain :
1. At Tibyan fi Aqsa>mi al-Qur-a>n, karya Ibnu Qayyim,
2. Maja>zu al-Qur-a>n, karya Abu Ubaidah,
3. Mufradat al-Qur-a>n, karya al-Raghib al-Ishfahani,
4. Asba>bun Nuzul karya Abul Hasan al Wahidi
5. al-Na>sikh wa al-Mansukh, karya Abu Ja’far an Nahas
6. Ah}ka>mu al-Qur-a>n, karya al-Jash-Shas.
7. al-Insa>n fi al-Qur-a>n, al-Mar’ah fi al-Qur-a>n, karya Abbas Muhammad al-Aqqad
8. al-Riba> fi al-Qur-a>n karya al-Maudu>di>.
Pada abad modern ini kajian Al-Qur-a>n juga banyak sekali yang menafsirkan ayat dengan menggunakan metode maudlu>’i ini, antara lain:
v ‘Aisyah Abd al Rahma>n atau biasa disebut Bint al Sha>thi, dengan karyanya Kita>buna> al-Akbar(1967); al-Tafsi>r al-Baya>ni> li al-Qur`a>n al-Kari>m, II (1969); Maqa>l fI al-Insa>n Dira>sah Qur`a>niyah (1969); al-Qur`a>n wa al-Tafsi>r al-`Ashri> (1970); al-I’Ja>z al-Bayani> li al-Qur`a>n (1971); al-Shakhs}iyah al-Isla>miyah Dira>sah al-Qur`a>niyah (1973)
v Prof Dr. H. Imam Mukhlas, yang setiap bulinnya menulis tafsi>r Maudlu>’i kontemporer dalam MPA. Penafsiran beliau antara lain
(1) Menulis ayat inti dalam tema
(2) Mengartikan
(3) Tafsi>r dan analisisi yang bersisikan
ü Pengertian kata – kata
ü Tema dan sari tilawah
ü Masal;ah dan analisis jawaban
ü Tinjauan dan pendalaman, dimana didalamnya terdapat ayat – ayat atau hadith atau yang lainya yang mendukung dari ayat inti dalam tema
Sedangkan menurut penulis masih banyak lagi para mufasir zaman sebelum Prof Dr. Abdul Hay Al Farma>wiy menulis bukunya maupun sesudahnya, bahkan sekarang yang mungkin di dunia ini para mufasir tidak dapat terlepas dari menggunakan metode maudlu>’i ini.
E. Pentingnya Tafsi>r Maudlu>’i dan Kebutuhan Kepadanya
Menurut M. Quraish Shihab bahwa tafsi>r tematik mempunyai keistimewaan di dalam menuntaskan persoalan-persoalan masyarakat dibandingkan metode lainnya, antara lain:
1. menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadith Nabi adalah suatu cara terbaik di dalam menafsirkan Al-Qur-a>n,
2. kesimpulan yang dihasilkan oleh metode tematik mudah dipahami. Hal ini disebabkan ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Qur-a>n tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu.Dengan demikian ia dapat membawa kita kepada pendapat Al-Qur-a>n tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya. Hal ini
membuktikan bahwa Al-Qur-a>n adalah petunjuk hidup.
3. metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Qura’an, sekaligus membuktikan bahwa Al-Qur-a>n sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat
Ali Hasan al-Aridl, mengatakan bahwa urgensi metode maudhu>’i dalam era sekarang ini yaitu :
v Metode maudhu>’i berarti menghimpun ayat-ayat al-Qur-a>n yang tersebar pada bagian surat dalam al-Qur-a>n yang berbicara tentang suatu tema. Tafsi>r dengan metode ini termasuk tafsi>r bi al-ma’tsur dan metode ini lebih dapat menghindarkan mufassir dari kesalahan.
v Dengan menghimpun ayat-ayat tersebut seorang pengkaji dapat menemukan segi relevansi dan hubungan antara ayat-ayat itu.
v Dengan metode maudhu>’i seorang pengkaji mampu memberikan suatu
pemikiran dan jawaban yang utuh dan tuntas tentang suatu tema dengan
cara mengetahui, menghubungkan dan menganalisis secara komprehensif
terhadap semua ayat yang berbicara tentang tema tersebut.
v Dengan metode ini seorang pengkaji mampu menolak dan menghindarkan diri dari kesamaran-kesamaran dan kontradiksi-kontradiksi yang ditemukan dalam
ayat.
v Metode maudhu>’i sesuai dengan perkembangan zaman modern
dimana terjadi diferensiasi pada tiap-tiap persoalan dan masing-masing masalah tersebut perlu penyelesaian secara tuntas dan utuh seperti sebuah
sistematika buku yang membahas suatu tema tertentu.
v Dengan metode maudhu>’i orang dapat mengetahui dengan sempurna muatan materi dan segala segi dari suatu tema.
v Metode maudhu>’i memungkinkan bagi seorang pengkaji untuk sampai pada sasaran dari suatu tema dengan cara yang mudah tanpa harus bersusah payah dan menemui kesulitan.
v Metode maudhu>’i mampu menghantarkan kepada suatu maksud dan hakikat suatu masalah dengan cara yang paling mudah, terlebih lagi pada saat ini telah
banyak bertaburan ”kotoran” terhadap hakikat agama-agama sehingga
tersebar doktrin-doktrin kemanusiaan dan isme-isme yang lain sehingga
sulit untuk dibedakan
Demikian juga jika kita melihat dari paparan diatas, penulis juga menemukan kelebihan metode ini antara lain:
v Menjawab tantangan zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
v Praktis dan sistematis: Tafsi>r dengan metode tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang timbul.
v Dinamis: Metode tematik membuat tafsi>r al-Qur-a>n selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur-a>n senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan starata sosial.
v Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur-a>n dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsi>r yang dikemukakan di muka. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas
Akan tetapi dalam menafsirkan al-Qur-a>n harus benar – benar memperhatikan kaidah – kaidah yang berlaku sehingga mufasir tidak terjerumus pada kesalahan.


KESIMPULAN
1. Metode maudlu>’i adalah suatu metode yang menafsirkan al-Qur-a>n sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Dengan demikian metode maudlu>’i ini mempunyai karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan metode yang lain dalam menafsirkan al-Qur-a>n.
2. Sejarah tumbuhnya metode maudlu>’i sebenarnya sudah tersirat pada Zaman Rasulullah SAW. Kemudian dilanjutkan pada zaman sahabat dan mufasir selanjutnya. Yang mempunyai ide untuk menafsirkan secara maudlu>’i adalah Al Sha>tibi>. Kemudian Mahmu>d Shaltu>t orang pertama yang menafsirkan berdasarkan tema tertentu. Sedangkan Prof Dr. Abdul Hay Al Farmawiy dianggap penulis pertama tentang metode tafsi>r maudlu>’i. Dan sampai abad sekarang hampir tidak ada mufasir yang dapat menghindar dari metode maudlu>’i ini.
3. Dalam metode maudlu>’i terdapat langkah – langkah yang harus ditempuh oleh mufasir. Antara lain yang dikemukakan oleh Prof Dr. Abdul Hay Al Farmawiy sebagai berikut: Menetapkan masalah / tema yang akan dibahas; Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut; Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya; Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing; Menyusun pembahasan dalam rangka yang sempurna; Melengkapi pembahasan dengan hadith-hadith yang relevan dengan pokok pembahasan; Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang memiliki pengertian sama, atau mengkompromasikan antara yang ”amm” dengan yang ’khosh”, yang ”mutlak”, yang ”muqoyyad”, atau yang lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu ke dalam satu muara tanpa perbedaan atau pamaksaan. Tetapi Para ahli tafsi>r juga banyak yang mengemukakan langkah – langkah tersebut, baik yang tersirat maupun yang sudah dibukukan. Namun langkah – langkah tersebut walaupun terdapat sedikit perbedaan tetapi pada dasarnya hampir sama. Yang semuanya mengarah pada tema atau pokok bahasan pada al-Qur-a>n.
4. Banyak sekali macam tafsi>r tematik, antara lain : At Tibyan fi Aqsa>mi al-Qur-a>n, karya Ibnu Qayyim, Maja>zu al-Qur-a>n, karya Abu Ubaidah, Mufradat al-Qur-a>n, karya al-Raghib al-Ishfahani, Asba>bun Nuzul karya Abul Hasan al Wahidi, al-Na>sikh wa al-Mansukh, karya Abu Ja’far an Nahas. Ah}ka>mu al-Qur-a>n, karya al-Jash-Shas. al-Insa>n fi al-Qur-a>n, al-Mar’ah fi al-Qur-a>n, karya Abbas Muhammad al-Aqqad. al-Riba> fi al-Qur-a>n karya al-Maudu>di>. Bahkan setelah Mahmu>d Shaltu>t menafsirkan secara maudlu>’i banyak sekali mufassir yang menafsirkan secara maudlu>’i terlebih lagi setelah Prof Dr. Abdul Hay Al Farmawiy menulis buku tentang metode maudlu>’i hampir semua mufassir abad modern menggunakan metode ini.
5. Banyak kelebihan dalam metode ini, walaupun tidak menutup kemungkinan ada kekurangan, antara lain: menjawab tantangan zaman, praktis dan sistematis, dinamis, membuat pemahaman menjadi utuh. Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur-a>n dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsi>r yang dikemukakan di muka. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas
http://referensiagama.blogspot.com/januari/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar