Jumat, 28 Januari 2011

PENGEMBANGAN ILMU DAN HUBUNGANNYA DENGAN DUNIA POLITIK



PENGEMBANGAN ILMU DAN HUBUNGANNYA
DENGAN DUNIA POLITIK

by sariono sby

PENDAHULUAN

Secara epistemologis dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan yang ada saat ini merupakan hasil dari akumulasi pengetahuan yang terjadi dengan pertumbuhan, pergan-tian dan penyerapan teori. Kemunculan teori baru yang menguatkan teori lama akan memperkuat citra sains normal. Tetapi, anomali dalam riset ilmiah yang tidak bisa dise-lesaikan oleh paradigma yang menjadi referensi riset, menyebabkan berkembangnya paradigma baru yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya (mela-hirkan revolusi sains). Tumbuh kembangnya teori dan pergeseran paradigma adalah po-la perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Berkembangnya peralatan analisis juga mendorong semakin berkembangnya ilmu. Contoh epistemologi ilmu dimana terjadi perubahan teori dan pergeseran paradigma terlihat pada perkembangan teori atom, teori pewarisan sifat dan penemuan alam semesta. Dalam perkembangan ilmu, suatu kekeliruan mungkin terjadi terutama saat pembentukan paradigma baru. Tetapi, yang harus dihindari adalah melakukan kesalahan yang lalu ditutupi dan diakui sebagai kebenaran.
Berangkat dari pemahaman diatas, kita dapat menegaskan bahwa pengetahuan adalah keseluruhan pikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara sistematis. Ini berarti pengetahuan lebih spontan sifatnya, sedangkan ilmu pengetahuan lebih sistematis dan reflektif. Dengan demikian, pengetahuan jauh lebih luas dari pada ilmu pengetahuan karena pengetahuan mencakup segala sesuatu yang di ketahui oleh manusia tanpa perlu berarti di bakukan secara sistematis. Pengetahunan mencakup penalaran, penjelasan dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu juga mencakup praktek dan kemampuan teknis dalam memecahkan persoalan hidup yang belum dibakukan secara metodis dan sistematis.
Dengan pembedaan ini, maka jelas bagi kita bahwa tidak hanya ada filsafat ilmu pengetahuan, melainkan juga ada filsafat pengetahuan. Filsafat pengetahuan terutama berkaitan dengan segala upaya mengkaji segala sesuatu yang berkaitan dengan pengetahuan manusia. Dalam hal ini kemudian di pertanyakan dan di persoalkan, misalnya tentang bagaimana manusia bisa tahu ? apakah manusia bias sampai pada pengetahuan yang bersifat pasti ? apakah pengetahuan yang pasti itu mungkin ? apa artinya mengetahui sesuatu ? bagaimana manusia bisa tahu bahwa ia tahu ? dari mana asal dan sumber pengetahuan manusia itu ? apakah pengetahuan sama dengan keyakinan ? di mana letak perbedaannya ?
Di pihak lain, filsafat ilmu pengetahuan adalah cabang filsafat yang mempersoalkan dan mengkaji segala persoalan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Jadi yang di persoalkan misalnya, apa itu kebenaran ? apa metode ilmu pengetahuan itu ? manakah metode yang paling bisa di andalkan ? apa kelemahan metode yang ada ? apa itu teori ? apa itu hipotesis ? apa itu hukum ilmiah ?
Berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan terakhir ini, ilmu pengetahuan di lihat sebagai upaya untuk menjelaskan hubungan antara berbagai hal dan peristiwa dalam alam semesta ini secara sistematis dan rasional (masuk akal). Asumsinya, apa yang di lihat dalam alam semesta ini sebagai sesuatu yang berdiri sendiri-sendiri sesungguhnya tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan terdapat hubungan dan kaitan satu sama lain. Ini yang kemudian memberikan indikasi positif bahwa segala hal dan dinamika kehidupan, termasuk dunia politik memiliki keterkaitan dan hubungan yang integral dengan pengembangan ilmu pengetahuan.



PEMBAHASAN

A. Tinjauan Filosofis Tentang Ilmu Dan Perkembangannya
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).
Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, dan filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar- bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.

B. Tinjaun Historis tentang ilmu dan perkembangannya
Dalam buku History and Philosophy of Science karangan L.W.H. Hull (1950), menulis setidaknya sejarah filsafat dan ilmu dapat dibagi dalam beberapa periode, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal pada periode itu. Pertama, periode filsafat Yunani (Abad 6 SM-0 M). Pada masa ini ahli filsafatnya adalah Thales yang ahli filsafat, astronomi dan geometri. Dalam pengembaraanya intelektualnya menggunakan pola deduktif. Aristoteles sebagai tokoh filsafat dan ilmu empiris menggunakan pendekatan induktif, sedangkan Phytagoras menggunakan pendekatan mistis dan matematis dalam aritmatika dan geometrinya. Plato sebagai orang yang ahli ilmu rasional dan filsafat menggunakan pendekatan deduktif. Yang pasti pada periode ini para filosof dan intelek pada masa itu menggunakan dua metode yaitu metode filosofis deduktif dan filosofis induktif dan empiris.
Kedua, periode kelahiran Nabi Isa (Abad 0-6 M). Pada masa ini pertentangan antara gereja yang diwakili oleh para pastur dan para raja yang pro kepada gereja. Sehingga pada masa ini filsafat mengalami kemunduran. Para raja membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat seolah-olah telah mati suri. Ilmu menjadi beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para raja yang berhak mengatakan dan menjadi sumber kebenaran. Ketiga, Periode kebangkitan Islam (Abad 6-13 M), pada masa ini dunia Kristen Eropa mengalami kegelapan, ada juga yang menyatkan periode ini sebagai periode pertengahan. Masa keemasan atau kebangkitan Islam ditandai dengan banyaknya ilmuan-ilmuan Islam yang ahli dibidang masing-masing, berbagai buku ilniah diterbitkan dan ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam hokum Islam, Al-farabi ahli astronomi dan matematika, Ibnu Sina ahli kedokteran dengan buku terkenalnya yaitu The Canon of Medicine. Al-kindi ahli filsafat, Al-ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan kesinambungan dan mensintesis antara agama, filsafat, mistik dan sufisme . Ibnu Khaldun ahali sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi, social dan kenegaraan. Anzahel ahli dan penemu teori peredaran planet. Tetapi setelah perang salib terjadi umat Islam mengalami kemunduran, umat Islam dalam keadaan porak-poranda oleh berbagai peperangan.
Keempat, periode kebangkitan Eropa (Abad14-20). Pada masa ini Kristen yang alam berkauasa danmenjadisumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, abad kemunduran umat Islam berbagai pemikiran Yunai muncul, aluyr pemikiran yang mereka anut adalah empirisrme dan rasionalitas. Peradaban Eropa bangkit melampaui dunai islam. masa ini juga muncul intelektual Gerard Van Cromona yang menyalin buku Ibnu Sina The canon of medicine , Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran pemikiran empirisme dan realisme berusaha mnenentang berbagai kebijakan gereja dan penguasa pada waktu itu. Dalam hal ini Galileo dan Copernicus juga mengalami penindasan dari penguasa, masa ini juga menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen katolik dan protestan.perlawanan terhadap gereja dan raja yang menindas terus berlangsung, revolusi ilmu pengetahuan makin gencar dan meningkat, apakah revolusoi dalam bidang teknik maupun intelektul. Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan seperti Newton dengan teori gravitasinya, John Locke yang menghembuskan perlawanan kepada pihak gereja dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk berbicara, bebas mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, hak berfikir. Hal serupa juga dilakuklan ole J.J .Rousseau mengecam penguasa dalam bukunya yang berjudul Social Contak.
Secara elementer bahwa pengetahuan telah berkembang sejak adanya manusia. Tetapi pengorganisasian ilmu oleh bangsa Yunani dengan pendekatan silogistik merintis perkembangan ilmu secara sistematis, sekurang-kurangnya, sebelum masa Renaissance yang ditandai oleh Galileo Galilei dengan teropong bintangnya. Sampai dengan saat ini, logika deduktif mengembangkan teori-teori yang terlepas dari pengalaman empirik. Bahkan Aristoteles pun tak terhindar dari kesalahan ketika ia menyatakan beberapa perkiraan yang mengandalkan logika belaka, dan kemudian ternyata salah.
Francis Bacon pada permulaan abad XVII memelopori penggunaan metode induktif karena menurutnya alam jauh lebih misterius dibandingkan kepelikan argumen. Galileo, Lavoiser dan Darwin menggunakan bukti-bukti empirik sekadar untuk menguji kebenaran hipotesis mereka. Tetapi pengumpulan keterangan yang cukup mengenai sesuatu tanpa hipotesis terlebih dulu sekadar untuk mempertahankan kesempurnaan obyektivitas sungguh tidak efisien maupun efektif. Tanpa hipotesis sebelumnya, seorang peneliti akan cenderung tidak selektif dalam mengumpulkan data. Perumusan masalah dan kejelasan formulasinya akan membuahkan hipotesis yang membuat langkah pengumpulan data dan eksplorasinya tepat guna. Tetapi metode induktif pun tidak memuaskan pada tingkat kemajuan ilmu sebagaimana diragukan oleh Albert Einstein. Menurut dia, tak ada metode induktif yang mampu menuju pada konsep fundamental dari ilmu alam.
Dengan menggabungkan metode deduktif Aristoteles dan metode induktif Bacon, Charles Darwin dapat dipandang sebagai pelopor metode keilmuan modern. Metode deduktif dan induktif yang digunakan secara komplementer dalam langkah-langkah pencarian kebenaran ilmiah telah menjadi pilihan cerdas untuk pengembangan ilmu yang kini semakin pesat kemajuannya. Ilmuwan modern pada umumnya menggunakan metode induktif untuk mengembangkan hipotesis dari pengalaman. Dalam kajiannya, ia memanfaatkan pengetahuan yang telah ada untuk menguji hipotesisnya. Fakta dan teori dijadikan alat konfirmasi terhadap hipotesis sehingga ia memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang masalah yang dihadapinya. Pendekatan ganda ini menjadikan kegiatan keilmuan bersifat efisien dan efektif, sesuai peribahasa “Virtus stat in medio” (Kebijaksanaan berdiri di tengah-tengah).
George J. Mouly membagi perkembangan ilmu pada tahap animisme, ilmu empiris dan ilmu teoritis. Pembagiannya ini mengingatkan kita pada tahap perkembangan kebudayaan yang dikemukakan oleh van Peursen: tahap mistis, tahap ontologis, tahap fungsional. Pada tahap animisme, manusia menjelaskan gejala yang ditemuinya dalam kehidupan sebagai perbuatan dewa-dewi, hantu dan berbagai makhluk halus. Pandangan mistis itu hingga kini masih berlangsung juga, bahkan di negara-negara yang peradabannya telah sangat maju.
Observasi sistematis dan kritis yang kemudian dilakukan telah mengembangkan pengetahuan manusia ke tahap ilmu empiris. Manusia mulai mengambil jarak dari obyek di sekitarnya dan mulai menelaah obyek-obyek itu. Langkah paling penting yang menandai permulaan ilmu sebagai suatu pendekatan sistematis dalam pemecahan masalah terjadi pada tahap ini, yakni ketika manusia menyadari bahwa gejala alam dapat diterangkan melalui telaah sebab-musabab alamiah.
Penemuan yang semula terpisah-pisah mulai diintegrasikan ke dalam suatu struktur yang utuh dengan menguji hipotesis-hipotesis dalam kondisi yang terkontrol. Proses ini oleh Mouly dibagi menjadi dua tahap perkembangan yang saling bertautan:
1) tingkat empiris: ilmu terdiri dari hubungan empiris yang ditemukan dalam berbagai gejala dalam bentuk pernyataan serupa “X menyebabkan Y” tanpa mengetahui alasan mengapa hal itu terjadi;
2) tingkat teoritis: penjelasan yang mengembangkan suatu struktur teoritis yang bukan hanya menerangkan hubungan empiris yang terpisah-pisah, tetapi juga mulai mengintegrasikannya menjadi suatu pola yang berarti.
Titik tolak ilmu adalah pengalaman. Ilmu mulai dengan suatu observasi dan menggabungkannya dengan observasi-observasi lain sehingga diperoleh suatu kesamaan atau perbedaan untuk menyusun prinsip-prinsip dasar yang dapat digunakan untuk menerangkan terjadi atau tidak terjadinya serangkaian pengalaman. Jumlah dan ragam pengalaman yang terpisah-pisah itu harus direduksi sedemikian rupa hingga menjadi prinsip-prinsip dasar yang kokoh untuk menyatukan semua pengalaman yang bersifat lebih umum dan dapat diterapkan secara lebih luas.

C. Ilmu dan Perkembangan dalam kritik ilmiah
1. Pengembangan Ilmu
Dalam hati dan akal manusia terdapat keinginan untuk mengetahui, apabila keinginan ini di kumpulkan secara terartur dan sistematik dan kita lakukan dengan kesadaran akan pengetahuan tersebut, sehingga apa yang sebelumnya tersirat dalam pikiran menjadi tersurat maka itu disebut refleksi. Meskipun pengetahuan berkat refleksi yang bersifat spontan dan langsung kehilangan spontanitas dan kelangsungannya, namun dengan mengatur dan pengetahuan tersebut dengan sistematik, terbentuklah ilmu pengetahuan. Ciri pengetahuan yang bersifat sistematis dan holistic (sistemik) agar hasilnya dapat di pertanggungjawabkan kebenarannya, adalah ciri dari ilmu pengetahuan.
Terjadinya pergesaran dalam pengetahuan ilmiah dalam sejarah merujuk pada keterkaitan sarana-sarana yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Walapun faktor di luar penegetahuan itu berpengaruh, namun tidak menghentikan pengembangan ilmu pengetahuan itu secara mandiri, karena ilmu pengetahuan memiliki kedudukan sendiri (baca:autonomous) dalam ihktiar mengembangkan norma ilmiah bagi dirinya sendiri. Meskipun demikian ilmu selalu merupakan bagian integral dari kebudayaan dan masyarakat.
Dengan demikian ilmu dan pengetahuan ilmiah (atau ilmu pengetahuan), merupakan pengetahuan yang memilki dasar pembenaran, bersifat sistematik dan sistemik serta bersifat intersubjektif. Ketiga ciri saling terkait dan merupakan persyaratan bagi pengetahuan untuk disebut sebagai pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Dasar pembenaran menuntut pengeaturan kerja ilmiah yang di arahkan pada perolehan derajat kepastian sebesar mungkin. Pernyataan harus didasarkan atas pemahaman apriori yang juga didasarkan atas hasil kajian empiric.
b. Sistematik dan sistemik masing-masing menunjuk pada susunan pengetahuan yang di dasarkan pada penyelidikan (riset) ilmiah yang keterhubungannya merupakan suatu kebulatan yang melalui komparasi dan generalisasi secara teratur.
c. Sifat intersubjektif ilmu atau pengetahuan ilmiah tidak didasarkan atas intuisi dan sifat subjektif orang perorang, namun harus ada kesepakatan dan pengakuan akan kadar kebenaran dari ilmu itu didalam setiap bagian dan didalam hubungan menyeluruh ilmu tersebut, sehingga tercapai intersubjektivitas.
2. Ilmu Dan Ketidakpastian
Istilah ilmiah merupakan kualifikasi positif yang jawabannya memiliki dasar yang kokoh dan dapat di percaya, yang hasil cara-cara kerja bersifat sistematik, kritis dan berdasarkan keahlian. Meskipun hasil kegiatan dapat disempurkan dan dilengkapi, tidak ada ilmu yang memiliki “a zero tolerance” (ilmu empirik selalu revisable). Ilmu pengetahuan selalu tunduk pada otokritik yang tujuannya mencakup penjelasan yang selalu terkait dengan kemengapaanya, sebelum di jelaskan apa dan bagaimananya.
Pencapaian ilmiah suatu pengetahuan tertentu selalu memerlukan riset yang oleh masyarakat ilmiah tertentu di nyatakan sebagai fundasi bai praktik ilmiah selanjutnya. Apa yang dicapai harus bersifat baru, belum pernah ada sebelumnya. Selain itu pencapaian tersebut bersifat terbuka sehingga praktik selanjutnya oleh kelompok sebidang dalam praktik ilmiah menjadi satuan fundamental bagi yang mempelajari perkembangan ilmu tersebut. Satuan ini tidak dapat di reduksi sehingga secara logis satuan-satuan ini menjadi komponen-kompenen yang adalah kaidah dan standar praktik ilmiah yang disebut paradigma.
Paradigma ini akan mempengaruhi struktur kelompok yang akan melakukan praktik di lapangan dan menjadikan kegiatan pengumpulan fakta maupun pengutamaan teori lebih terarah. Orang-orang yang melakukan berbagai penelitian dan pengkajian tentang ilmu itu mendasarkannya atas paradigm bersama, yang terikat pada kaidah-kaidah dan standar praktik yang sama. Komitmen itu adalah konsesus yang jelas yang di hasilkannya berdasarkan asumsi-asumsi yang eksplisit, terbuka dan belum pernah ada sebelumnya. Konteks penemuan (discovery) dan konteks pembenaran (Justification) akan mewujudkan transformasi paradigm yang didasarkan pada kaidah dan titik pandang yang mapan atau yang disebut prakonsepsi, yang menemukan suatu perangkat kaidah dan asumsi jelas dari yang member karakter yang khas kepada tradisi ilmiah.
Tata cara untuk memperoleh dasar pembenaran seperti telah dikemukanan itu membuat ilmu pengetahuan memiliki kecenderungan besar untuk bertambah, berkembang, dan mengalami pemurnian kadar pembenarannya. Di samping itu, kecenderungan itu tampaknya juga di dorong oleh
a. Suatu pengetahuan, apalagi yang baru, yang sering membuat orang bertanya-tanya dan mendorongnya untuk menelusuri pengetahuan itu lebih lanjut.
b. Kebenaran sering merupakan tantangan untk pengujian, yang kemudian terbukti salah, atau memamng benar.
Dalam konteks ini Lubis (2003) dalam bukunya masih adakah tempat berpijak para ilmuan sebuah uraian filsafah ilmu pengetahuan kaum postmodern mengutip pendapat foucoult yang terkenal tentang penelitiannya sebagai sekumpulan data yang dipakai sebagai pisau analisis.
3. Paradoks Ilmu
Dalam konteks ini, berbagai ilmu baru ditemukan dengan berbagai metode ilmiah, terutama pengembangan ilmu fisika, yang terus menerus dibedah, seperti William Herschel yang telah menemukan infra-red rays, yaitu gelombang yang kurang dari satu millimeter yang ditemukan waktu kamera di arahkan pada muka orang yang sensitive terhadap radiasi.
Namun kesempurnaan ilmu (sampai kini pun) belum di temukan. Disini kita berhadapan dengan paradox ilmu, artinya betapapun halus instrumen yang digunakan untuk mengenali ilmu, namun selalu ada kondisi di mana kita berhadapan dengan sesuatu yang masih kabur, yang tidak pasti.
4. Act Of Judgement
Werner Heisenberg (1972), menyebutkan suatu prinsip ketidakpastian. suatu act of judgement telah dibangun berdasarkan toleransi atau ketidakpastian. prinsip Heisenberg adalah bahwa tidak ada kejadian, bahkan kejadian dengan atom pun tidak, dapat dijelaskan secara pasti dengan zero tolerance. Heisenberg bahkan memberikan spesifikasi tentang toleransi yang dapat dicapai. Di dalam ilmu yang berkembang langkah demi langkah, pertukaran informasi antar manusia selalu merupakan permainan tentang toleransi. Ini juga berlaku dalam ilmu eksakta ataupun bahasa, ilmu sosial, religi ataupun politik bahkan juga bagi setiap bentuk pikiran yang akan menjadi dogma.
D. Dunia Politik Sebagai Bagian Dari Ilmu Dan Perkembangannya
Dengan seiring semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, maka semakin dewasa pula praktik-praktik realistis dalam rancana aplikasi politik oleh manusia. Terlebih dalam kaitannya dengan relasi kuasa yang ada, maka pendewasaan cara pandang dan berfikir kian menentukan arah dan alur gerakan. Dunia politik yang teridentifikasi sebagai dimensi sosial, sangat memerlukan adanya keseimbangan laju perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan kebijaksanaan dalam rangka tata kehidupan bermasyarakat. Seiring dengan hal-hal tersebut (sebelum terlalu jauh), adakalanya terdapat sebuah pertanyaan yang mengemuka, manakala politik bersanding dengan ilmu pengetahuan, yakni apakah dimensi keilmuan politik merupakan suatu ilmu pengetahuan atau tidak, dan di sangsikan apakah ilmu politik memenuhi syarat sebagai ilmu pengetahuan. Umumnya dalam ilmu-ilmu eksakta bahwa ilmu pengetahuan di susun dan di atur sekitar hukum-hukum umum dan telah di buktikan kebenarannya secara empiris (berdasarkan pengalaman). Menemukan hukum-hukum ilmiah inilah yang kemudian menjadi tujuan penelitian ilmiah.
Maka kalau uraian diatas di jadikan patokan, maka ilmu politik serta ilmu-ilmu social lainnya tidak atau belum memenuhi syarat, oleh karena sampai sekarang belum menemukan hukum-hukum ilmiah itu. Hal ini disebabkan oleh karena obyek yang di teliti adalah mansuia, dan manusia adalah mahluk yang kreatif yang selalu menemukan akal baru yang belum pernah diramalkan dan malahan tidak dapat diramalkan. Lagi pula tingkah laku manusia itu tidak selalu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasionil dan logis, sehingga mempersukar usaha untuk mengadakan perhitungan serta proyeksi untuk masa depan.
Oleh karena itu para sarjana ilmu social pada mulanya cenderung untuk mengemukakan definisi yang lebih umum sifatnya seperti yang terlihat pada pertemuan-pertemuan sarjana-sarjana ilmu politik yang diadakan di paris pada tahun 1948. Mereka berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah “keseluruhan dari pengetahuan yang terkoordinasi mengenai pokok pemikiran tertentu” (The sum of coordinated knowledge relative to a determined subject). Definisi yang serupa pernah dikemukakan oleh seorang ahli belanda yang mengatakan ilmu adalah pengetahuan yang tersusun, sedangkan pengetahuan adalah pengamatan yang di susun secara sistematis. Apabila perumusan ini dipakai patokan, maka jelaslah bahwa ilmu politik boleh dinamakan suatu ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, ternyata bahwa banyak sarjana ilmu politik tidak puas dengan perumusan yang luas ini, oleh karena ia tidak mendorong para ahli untuk memperkembangkan metode ilmiah ini. Disesalkan kurangnya usaha untuk mengidetifisir pola-pola ulangan dalam proses politik untuk dijadikan dasar bagi penyusunan generalisasi. Diharapkan oleh mereka agar ilmu politik menggunakan cara-cara baru untuk meneliti gejal-gejala dan peristiwa-peristiwa politik secara lebih sistematis, bersandarkan pengalaman-pengalaman empiris dan dengan menggunakan kerangka teoritis yang terperinci dan ketat. Pendekatan baru ini terkenal dengan nama “Pendekatan Tingkah Laku” (Behavioral Approach).
“Pendekatan Tingkah Laku” ini timbul dalam masa sesudah perang dunia II, terutama dalam decade lima puluhan, sebagai gerakan pembaharuan yang ingin meningkatkan mutu ilmu politik. Gerakan ini terpengaruh oleh karya-karya sarjana sosiologi Max Wbber dan Talcott Parsons, disamping penemuan-penemuan baru di bidang psikologi. Sarjana-sarjana ilmu politik yang terkenal karena pendekatan tingkah laku politik ini ialah Gabriel A. Almond (Structural – Functiional Analysis), David Easton (General System Analysis), Karl W. Deutsch (Communication Theory), David Truman dan lain sebagainya.
Salah satu pemikiran pokok dari pelopor-pelopor pendekatan tingkah laku adalah bahwa tingkah laku politik lebih menjadi focus, daripada lembaga-lembaga politik atau kekuasaan atau keyakinan politik. Akan tetapi yang lebih menonjol lagi adalah penampilan suatu orientasi tertentu yang mencakup beberapa konsep pokok. Konsep-konsep pokok dari kaum behavioralis dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Tingkah laku politik memperlihatkan ketarturan (regularities) yang dapat dirumuskan dalam generalisasi-generalisasi.
2. Generalisasi-generalisasi ini pada azaznya harus dapat dibuktikan kebenarannya dengan menunjuk pada tingkah laku yang relevan.
3. Untuk mengumpulkan dan menafsirkan data diperlukan tehnik-tehnik penelitian yang cermat.
4. Untuk mencapai kecermatan dalam penelitian diperlukan pengukuran dan kuatifikasi.
5. Dalam membuat analisa politik nilai-nilai pribadi peneliti sedapat mungkin tidak memainkan peran (Value-Free)
6. Penelitian politik mempunyai sikap terbuka terhadap konsep-konsep, teori-teori dan ilmu social lainnya. Dalam proses interaksi dengan ilmu-ilmu social lainnya misalnya dimasukkan istilah baru seperti sistim politik, fungsi dan peranan, struktur, budaya politik dan sosialisasi politik disamping istilah lama seperti Negara, kekuasaan, jabatan, institutusi, pendapat umum dan pendidikan kwarganegaraan (citizenship training).
7. Dalam rangka timbulnya pendekatan tingkah laku, pada dewasa ini telah berkembang beberapa macam analisa yang mengajukan rumusan-rumusan baru tentang ilmu politik sebagai ilmu pengetahuan, kedudukan nilai-nilai (value) dalam penelitian politik serta satuan-satuan social yang hendak di amati.


KESIMPULAN

1. filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
2. Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi.
3. Ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
4. Dunia politik adalah merupakan bagian dari ilmu dan perkembangannya.
5. Pengembangan ilmu dan dunia politik terjadi hubungan plus minus yang erat dengan pengertian adakalanya kebijakan politik yang berlaku mendukung atau bahkan menghambat pengembangan ilmu.


http://referensiagama.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar