Rabu, 26 Januari 2011

TA’AMUDUL HADIS


TA’AMUDUL HADIS
By sariono sby

PENDAHULUAN

بسم الله الرحمن الرحيم
Pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup, segala persoalan yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu beliau juga memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut hadits atau as-sunnah.
Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab begitu juga Al-hadits. Maka dalam pemahamannya terhadap segala bentuk hal atau upaya untuk memformulasikan hukum bagi para sahabat tidaklah memperoleh kesulitan yang berarti. Hal ini didasari dengan pemahaman mereka yang mendalam tentang bahasa arab dan segala bentuk hal yang melatar belakangi dalam turunnya ayat-ayat al-Qur-an dan Hadis
.
Didalam hadīts nabi kadangkala kita jumpai seolah-olah hadis yang satu pertentengan hadis yang lain ( satu dalil dengan dalil yang lain ), bahkan kadang juga kita jumpai seolah-olah dalil yang berasal dari hadīts bertentangan pula dengan dalil yang ada didalam al-Qur'an.
Karena adanya dalil-dalil yang nampak bertentangan tersebut pula, banyak orang terjebak pada pemahaman yang salah dalam pemahaman








P E M B A H A S A N


A. Pengertian Ta'arrrud
Secara etimologi, ta'arrud (تعرض ) berarti pertentangan . Secara terminology ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama diantaranya :
1. Imam al-Syaukani mendefinisiklan dengan suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan itu”.
2. Al-Taftazani (w 792H) mendefinisikan dengan "pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dikompromikan antara keduanya."
3. 'Ali Hasabullah mendefinisikanya dengan " Terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat”
Menurut Wahbah Al Zuhaili, pertentangan antara kedua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis dan kekuatan logikanya bukan pertentangan actual, karena tidak mungkin terjadi bila Allah dan RasulNya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan”.
Demikianlah beberapa pengertian “Ta’arud” yang telah dikemukakan oleh beberapa ulama, yang intinya yang dimaksud “ Ta’arud “ adalah adanya dalil yang nampak bertentangan atau kontradiktif antara satu dalil dengan dalil yang lain ( satu hadis dengan hadis yang lain atau satu hadis dengan ayat al-Quran ) dalam suatu persoalan yang sama.

B. Pengertian Hadis
Kata hadis berasal dari bahasa arab, al H{adith, yang sekurang-kurangnya mempunyai dua pengertian ;
a) Jadid (yang baru) lawan dari qadim, jamaknya hidath, hudatha
b) Khabar (berita, riwayat) jamaknya ahadith, hidthan dan hudhtan.
Sedangkan menurut terminologi, hadis diberi pengertian yang berbeda – beda oleh para ulama’. Perbedaan pandangan tersebut banyak dipengaruhi oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing – masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.
Menurut istilah ahli ushul ; pengertian hadis adalah :
كل ما صدر عن النبى ص م غير القر ان الكريم من قول اوفعل اوتقرير ممايصلح ان يكون دليلا لحكم شر عى
‘Hadis yaitu segala sesuatu yang dikeluarkan dari Nabi SAW selain Al Qur’an al Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara’
Sedangkan menurut istilah fuqaha. Hadis adalah :
كل ماثبت عن النبى ص م و لم يكن من باب الفر ض ولا الو اجب
“yaitu segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah – masalah fardhu atau wajib”
Para ahli ushul memberi pengertian yang demikian disebabkan mereka bergelut dalam ilmu ushul yang banyak mempelajari tentang hukum syari’at saja. Dalam pengetian tersebut hanya yang berhubungan dengan syara’ saja yang merupakan hadis, selain itu bukan hadis, misalnya urusan berpakaian. Sedangkan para fuqaha mengartikan yang demikian dikarenakan segala sesuatu hukum yang berlabel wajib pasti datangnya dari Allah swt melalui kitab Al Qur’an. Oleh sebab itu yang terdapat dalam hadis adalah sesuatu yang bukan wajib karena tidak terdapat dalam Al Qur’an atau mungkin hanya penjelasannya saja.
Sedangkan menurut ulama’ Hadis mendefinisikannya sebagai berikut :
كل ما اثر عن النبى ص م من قول اوفعل اوتقرير او ضفة خلقية او خلقية
“Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat – sifat maupun hal ikhwal Nabi”
Menurut jumhur muhadithin sebagaimana ditulis oleh Fatchur Rahman adalah sebagai berikut :
مـاضيف للنبى ص م قو لااوفعلااوتقريرااونحوها
“segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan yang sebagainya”
Perbedaan pengertian antara ulama ushul dan ulama hadist diatas disebabkan adanya perbedaan disiplin ilmu yang mempunyai pembahasan dan tujuan masing – masing. Ulama ushul membahas pribadi dan perilaku Nabi SAW sebagai peletak dasar hukum syara’ yang dijadikan landasan ijtihad oleh kaum mujtahid di zaman sesudah beliau. Sedangkan ulama hadist membahas pribdi dan perilaku Nabi SAW sebagai tokoh panutan (pemimpin) yang telah diberi gelar oleh Allah SWT sebagai Uswah wa Qudwah (teladan dan tuntunan). Oleh sebab itu ulama hadis mencatat semua yang terdapat dalam diri Nabi SAW baik yang berhubungan dengan hukum syara’ maupun tidak. Oleh karena itu hadist yang dikemukakan oleh ahli ushul yang hanya mencakup aspek hukum syara’ saja adalah hadist sebagai sumber tasyri. Sedangkan definisi yang dikemukakan oleh ulama hadist mencakup hal – hal yang lebih luas
Disamping istilah hadist terdapat sinonim istilah yang sering digunakan oleh para ulama yaitu sunnah. Pengertian istilah tersebut hampir sama, walaupun terdapat beberapa perbedaan. Maka dari itu kami kemukakan pengertiannya agar lebih jelas.
Sunnah dalam kitab Ushul al hadith adalah sebagai berikut :
مـااثر عن النبى ص م من قول اوفعل اوتقريراوصفة خلقية اوسيرة سواء كان قبل البعثة
اوبعد ها
“Segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakukan, perjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi rasul atau sesudahnya”
Dalam pengertian tersebut tentu ada kesamaan antara hadist dan sunnah, yang sama – sama bersandar pada Nabi SAW, tetapi terdapat kekhususan bahwa sunnah sudah jelas segala yang bersandar pada pribadi Muhammad baik sebelum atau sesudah diangkat menjadi Nabi, misalnya mengembala kambing, menikah minimal umur 25 tahun dan sebagainya.
Walaupun demikian terdapat perbedaan yang sebaiknya kita tidak berlebihan dalam menyikapinya. Sebab keduanya sama – sama bersumber pada Nabi Muhammad SAW.
.
C. Contoh Hadīts yang Bertentangan
Pertentangan hadīts Rasulullah SAW adalah dalam masalah riba. Dalam satu hadīts Rasulullah SAW menyatakan bahwa :
لا ربا الا فى النسيئة
Artinya : Tidak ada riba kecuali riba nasi'ah (riba yang muncul dari utang piutang) (HR al-Bukhori-Muslim).
Hadīts ini seolah-olah meniadakan bentuk riba selain riba nasiah yaitu riba yang berasal dari pinjam-meminjam uang. Dengan demikian, riba al-fadl (riba yang muncul akibat suatu transaksi, baik jual beli dan transaksi lainnya) tidaklah haram. Akan tetati dalam hadīts lain Rasulullah SAW menyatakan :
لا تبيع البر با لبر الا مثلا بمثل
Artinya : jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam juimlah yang sama (HR al-Bukhori, Muslim dn Ahmad ibn Hambal)
Hadīts ini mengandung hukum bahwa riba al-fadl diharamkan. Antara kedua hadīts tersebut nampak terkandung pertenangan hukum dalam masalah riba al-faldl, hadīts pertama membolehkan sedangkan hadīts kedua melarang.
Menurut Wahbah Zuhaili, pertentangan antara kedua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan Mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis, dan kekuatan logikanya; bukan pertentangan actual, karena tidak mungkin terjadi Allah dan RasulNya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan.
Oleh sebab itu, menurut Imam al-Syathibi, pertenatan itu bersifat semu, bisa terjadi dalam dalil yang qath'i (pasti benar) dan dalil yang dzanni (relative benar), selama kedua dalil itu dalam satu derajat. Apabila pertentangan itu antara kualitas dalil yang berbeda, seperti pertentangan antara dalil yang qath'i dengan dhanni, maka yang diambil adalah dalil yang qath'i, atau apabila yang bertentangan itu ayat al-Qur'an dengan hadīts ahad (hadīts yang diriwayatkan oleh satu, dua atau tiga lebih yang tidak sampai ke tingkat (mutawatir) maka dalil yang diambil adalah al-Qur'an, karena dari segi periwayatannya ayat-ayat al-Qur'an bersifat qath'i, sedangkan hadīts ahad bersifat dhanni.
D. Cara Menyelesaikan Ta'arrud al-Hadīts
1. Menurut Hanafiah
Ulama Hanafiah dan Hanabilah mengemukakan metode penyelesaian antara kedua dalil yang bertentangan tersebut dengan berbagai cara :
a. Naskh (النسخ)
Naskh (النسخ), adalah membatalkan hukum yang ada didasarkan adanya dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum pertama. Dalam hubungan ini, seorang Mujtahid harus berusaha untuk mencari sejarah munculnya kedua dalil tersebut. Aspabila dalam pelacakannya satu dalil muncul lebih dahulu dari dalil lainnya, maka yang diambil adalah dalil yang datang kemudian.
b. Tarjih ( الترجيح)
Tarjih (الترجيح) adalah menguatkan salah satu diantara dua dalil yang bertentangan tersebut berdasarkan beberapa indikasi yang dapat mendukung ketetapan tersebut. Apabila dua dalil yang bertentangan sulit untuk dilacak sejarahnya, maka bisa menggunakan tarjh dengan mengemukakan alas an-alasan yang mendukung dalil–dalil tersebut.
. Akan tetapi dalam melakukan tarjih itu pun Mujtahid yang bersangkutan harus mengemukakan alasan-alasan lain yang membuat ia menguatkan satu dalil dari dalil lainnya. Tarjih itu bisa dilakakukan dari tiga sisi.
1. Penunjuk kandungan lafal suatu nash. Contohnnya, menguatkan nash yang muhkan (hukumnya pasti) dan tidak bias di nasakh-kan (dibatalkan ) dari mufassar (hukumnya pasti tapi masih bias di nasakh-kan)
2. Dari segi hukum yang dikandungnya, seperti menguatkan dalil yang mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh.
3. Dari sisi keadilan periwayat suatu hadīts
c. Al-Jam'u wa al-Taufiq (الجمع والتوفيق)
Al-Jam'u wa al-Taufiq (الجمع والتوتيق), yaitumengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan itu kemudian mengkompromikannya. Apabila dengan cara tarhih-pun tidak bisa diselesaikan, maka menurut ulama hanafiah dalil-dalil itu dikumpulkan dan dikompromikan. Dengan demikian, hasil kompromi dalil inilah diambil hukumnya.
Karena kaidah fiqih mengatakan,"mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain." Misalnya Rasulullah SAW bersabda :
الا أخبركم بخير الشهداء؟ هو الذى يأتي با الشهداء قبل أن يسألها (رواه مسلم)
Artinya : Bukankah saya telah memberitahu kamu sebaik-baik persaksian? yaitu kesaksian yang diberikan seorang sebelum diminta menjadi saksi (HR Muslim).

Maksudnya, kesaksian yang baik itu adalah kesaksian seseorang dihadapan peradilan tanpa diminta, baik itu kesaksian dalam hak-hak Allah maupun dalam kasus yang menyangkut hak manusia.
Kemudian dlaam hadīts lain Rasulullah SAW menyatakan :
انّ خيركم قرني ثم الذين يلونها ثم الذين يلونها ثم يكون قوم يشهدون ولا يستشهددون ويخونون ولا يؤتمنون..... (رواه البخارى)
Artinya : sebaik-baik generasi adalah generasiku kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya pula.lalu setelah itu orang-orang akan memberikan kesaksian (didepan hakim) tanpa diminta, sedngkan mereka tidak menyaksikan peristiwa itu, dan mereka berkhianat serta tidak dapat dipercaya (HR Bukhori dan Muslim)

Hadīts ini mengandung pengertian bahwa pada suatu generasi nanti akan muncul orang-orang yang berusaha menjadi saksi sementara mereka sendiri tidak menyaksikan peristiwa yang disidangkan.
Dalam pertentangan antara kedua hadīts ini, maka hadīts pertama bidsa diartikan dengan kasus-kasus yang terkait dengan hak Allah dan kesaksian dalam hadīts kedua menyangkut hak-hak manusia.
d. Tasaqut al-Dalilain (تساقط الدليلين)
Tasaqut al-Dalilain (تساقط الدليلين) , yaitu menggugurkan kedua dalil yang berentangan. Apabila cara ketiga diatas tidak bias juga dilakukan oleh seorang Mujtahid, maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut. Dalam arti ia merujuk dalil lain yang tingkatannya dibawah derajat dalil yang bertentangan tersebut.
Seorang Mujtahid, hanya dibolehkan memilih dalil yang kualitasnya rendah apabila ia telah melakukan upaya maksimal dalam melacak dalil yang kualitasnya lebih tinggi. Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan di atas, harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai ke cara ke empat.
2. Menurut Syafi'iah, Malikiyah dan Dzahiriah.
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut Ulama Syafi'iah, Malikiyah, Dan Zhahiriah adalah sebagai berikut:
a. Al-Jam'u wa al-Taufiq (الجمع والتوفيق)
Ulama Ulama Syafi'iah, Malikiyah, Dan Zhahiriah menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah mengumpulkan danmengkompromikan kedua dalil tersebut sekalipun dari satu sisi saja. Alas an mereka adalah kaidah fiqih yang dikemukakan hanafiah diatas yaitu" mengamalkan kedu adalil itu lebih baik daripada meninggalkan salah satu diantaranya". Mengamalkan kedua dalil, sekalipun dari satu segi menurut mereka ada tiga cara, yaitu:
1. Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa dibagi, maka dilakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya. Apabila dua orang saling menyatakan bahwa rumah "A" adalah miliknya, maka kedua pernyataan itu jelas bertentangan yang sulit untuk diselesaikan, karena pemilikan terhadap sesuatu sifatnya menyeluruh, akan tetapi karena barang yang disengketekan adalah barang yang bias dibagi, maka penyelesaiannya adalah dengan membagi dua rumah tersebut.
2. Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang berbilang, seperti sabda Rasyulullah SAW yang menyatakan :
لا صلاة لجار المسجد الا في المسجد (رواه أبو داود واحمد بن حنبل)
Artinya : Tidak (dinamakan) shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid (HR Abu Daud dan Ahmad ibn Hambal)

Dalam hadīts ini ada kata " لا" yang dalam ushul fiqh mempunyai pengertian banyak, yaitu berarti "tidak sah", bias berarti "tidak sempurna" dan bisa berarti "tidak utama". Oleh sebab itu Mujtahid boleh memilih salah satu pengertian mana saja asal didukung olehdalil lain.

b. Tarjih (الترجيح)
Apabila pengkompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan, maka seorang Mujtahid boleh menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya. Umpamanya dengan men-tarjih dalil yang lebih banyak diriwayatkan orang dari dalil yang perawinya sedikit. Bias juga melalui pen-tarjih-han sanad (para penutur hadīts) atau di-tarjih berdasarkan indikasi lain di luar nash.

c. Naskh
Apabila dengan cara tarjih kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan, maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat harus diketahui mana dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan, seperti sabda RAsulullah SAW :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها (رواه مسلم)
Artinya : saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahilah (HR Muslim)

Dalam hadīts ini mudah sekali dilacak mana hukum yang pertama, maka seorang Mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan ber-ijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang bertentangan tersebut.
Menurut ulama Syafi'iyah, Malikiyah dan Zhahiriah, keempat ccara tersebut harus ditempuh oeh seorang Mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan.
d. Tasāqut al-Dalīlain (تساقط الدليلين)
Apabila cara ketiga , yaitu naskh pun tidak bisa ditempuh, maka seorang Mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang bertentangan tersebut. Keempat cara tersebut ditempuh oleh seorang Mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan.


KESIMPULAN
1. “ Ta’arud “ adalah adanya dalil yang nampak bertentangan atau kontradiktif antara satu dalil dengan dalil yang lain ( satu hadis dengan hadis yang lain atau satu hadis dengan ayat al-Quran ) dalam suatu persoalan yang sama.
2. Hadis adalah “Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat – sifat maupun hal ikhwal Nabi”
3. Seberapapun pertentangan dalil yang ada dalam hadīts Rasul, semuanya ada solusinya selama sang mujtahid mau berfikir jernih dalam istinbath hokum.
4. Para ulama tekemuka, baik Malikyah, syafi'iyah dan lain-lain telah membeberkan metode penyelesaian jika terjadi pertentangan dalil ( antara satu hadis dengan hadis lain, atau antara satu hadis dengan ayat al-Qur-an) yakni dengan cara; Naskh (النسخ), Tarjih ( الترجيح ), Al-Jam'u wa al-Taufiq (الجمع والتوفيق), atau Tasaqut al-Dalilain (تساقط الدليلين) .

http://referensiagama.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar