MUNASABAH DALAM AL QUR’AN
By Sariono Sby
PENDAHULUAN
Ilmu asbab an-nuzul mengaitkan satu ayat atau sejumlah ayat dengan konteks sejarahnya maka fokus perhatian ilmu “ persesuaian (munasabah) antar ayat dan beberapa surat” bukan pada kronologi historis dari bagian-bagian teks, tetapi aspek pertautan antar ayat dan surat menurut urutan teks, yaitu yang disebut dengan”urutan bacaan” sebagai bentuk lain dari “urutan turunnya ayat”. Jika pemahaman ulama Al-Qur’an menyimpulkan bahwa urutan ayat dalam surat bersifat tauqifi, sudah ditentukan, maka mereka berselisih pandangan mengenai urutan-urutan surat dalam mushaf, apakah ia tauqifi atau taufiqi. Ulama kontemporer cenderung menjadikan urutan surat dalam mushaf sebagai tauqifi karena pemahaman seperti itu sejalan degan konsep tentang eksistensi teks azali yang ada di Lauh al-Mahfuzh. Perbedaan antara urutan “turun” dan urutan “bacaan” terletak pada susunan dan penataan. Melalui pebedaan susunan dan penataan ini, “persesuaian” antar ayat dalam satu surat dan antar berbagai surat, sisi lain dari aspek-aspek i’jaz dapat disingkapkan:
“Mushaf seperti suhuf-suhuf mulia, sama dengan terdapat dalam kitab yang tertutup rapat(Lauh al-Mahfuzh), semua surat dan ayatnya disusun secara tauqifi. Penghafal Al-Qur’an bila meminta fatwa mengenai berbagai macam hukum, atau ia memperdebatkannya, atau mendiktekannya maka ia akan menyebutkan ayat sesuai dengan yang ditanyakan. Dan jika ia kembali pada bacaan maka ia tidak mengatakan seperti yang ia fatwakan, dan tidak pula seperti yang diturunkan secara terpisah-pisah, melainkan seperti yng diturunkan secara keseluruhan di bait al-izzah. Diantara yang jelas-jelas merupakan mukjizat adalah uslub dan susunannya yang mengagumkan sebab ia memang” sebuah kitab yang ayat-ayatnya dikokohkan, kemudian diturunkan secara terpisah-pisah dari sisi yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. Ia mengatakan: Yang pertama kali pantas untuk diteliti dalam setiap ayat adalah apakah ayat berkaitan dengan ayat sebelumnya atau ia berdiri sendiri. Jika berdiri sendiri, pada sisi apa ada kesesuaiannya dengan yang sebelumnya. Dalam hal ini, terdapat banyak ilmu. Demikian pula dalam surat, sisi keterkaitan dengan sebelumnya dan kontesnya perlu dicari. Dari sudut ini, ilmu munasabah terkait erat dengan masalah i’jaz. Persoalan ilmu ini pada dasarnya mengacu pada kajian mekanisme khusus teks yang membedakannya dari teks-teks lain dalam kebudayaan.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MUNASABAH
Ketahuilah, bahwa munasabah merupakan ilmu yang mulia yang menjadi teka-teki akal pikiran. Dengan ilmu ini dapat diketahui tingkat ucapan pembicara. Kata munasabah menurut bahasa adalah mendekati (muqarabah): fulan yunasib fulan, maksudnya ia mendekati dan menyerupainya. Kata an-nasib adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika keduanya munasabah dalam pengertian saling terkait maka namanya kerabat (qarabah). Adapula munasabah dalam ‘illat (sebab) pada kajian qiyas (analogi): sifat yang mendekati hukum sebab apabila terdapat kedekatan sifat dengan hukum maka dapat diduga apabila sifat tersebut ada, maka hukum itu ada. Oleh karena itu, dikatakan bahwa munasabah adalah suatu yang rasional, apabila diperlihatkan pada akal pikiran ia akan diterima dengan baik. Demikian pula munasabah pada bagian permulaan ayat dan bagian akhirnya. Munasabah-dan Alah lebih mengetahui- bersumber pada makna yang mengaitkan antara keduanya: umum atau khusus, rasional, perseptif tau imajinatif, dan bentuk-bentuk hubungan lainnya. Atau keterkaitan internal seperti sebab dan akibat, ‘illat dan ma’lul, dua hal yang mirip, dua hal yang bertentangan dan sebagainya, atau keterkaitan eksternal, umpamanya tersusun seperti susunan alam realitas.
Dasar munasabah antar ayat dan surat-surat adalah bahwa teks merupakan suatu kesatuan struktural yang bagian-bagianya saling berkaitan. Tugas mufassir berusaha menemukan hubungan-hubungan tersebut atau munasabah-munasabah yang mengaitkan antara ayat dengan ayat pada satu pihak, dan antara surat dengan surat pada pihak lain. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan hubungan-hubungan tersebut dibutuhkan kemampuan dan ketajaman pandangan mufassir dalam menangkap cakrawala teks. Musanabah ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, ada yang rasional, perseptif, atau imajinatif. Ini berarti bahwa hubungan-hubungan atau munasabah-munasabah merupakan kemungkinan-kemungkinan. Kemungkina-kemungkinan ini harus diungkap dan ditentukan pada setiap bagian teks oleh mufassir. Mengungkapkan hubungan-hubungan antarayat dan hubungan-hubungan antar surat, bukan berarti menjelaskan hubungan-hubungan yang memang ada secara inherent dalam teks, tetapi membuat hubungan antara akal mufassir dengan teks. Melalui hubungan inilah hubungan antar bagian teks dapat diungkapkan. Dari sini, upaya menentukan hubungan-hubungan tertentu oleh seorang mufassir didasarkan pada beberapa data teks yang ada, sementara hubungan-hubungan dengan pola lain oleh mufassir lain didasarkan pada data-data (teks) lain. Hubungan-hubungan atau munasabah-munasabah antara bagian-bagian teks pada dasarnya merupakan sisi lain dari hubungan antara akal mufassir atau pembaca dengan data-data teks. Atau dengan kata lain, mufassir mengungkapkan dialektika bagian-bagian teks melalui dialektikanya (mufassir/pembaca) dengan teks. Barangkali inilah yang mendorong ulama mengajukan keberatan terhadap ilmu munasabah. Keberatan ini berangkat dari dimensi historisitas teks, yaitu dimensi keterkaitan ayat dengan sebab (peristiwa) khusus.
Syaikh Izzuddin bin Abdussalam mengatakan :” Ilmun munasabah merupakan ilmu yang bagus. Akan tetapi, keterkaitan ujaran dianggap bagus apabila terjadi karena satu hal yang sama, yang pertama terkait dengan akhir. Sehingga, apabila terjadi karena berbagai sebab yang berbeda-beda maka keterkaitan salah satu dengan yang lainnya tidak menjadi persyaratan. Ia mengatakan : orang yang mengaitkan itu berarti memaksakan sesuatu di luar jangkauan kemampuannya. Kalaupun itu terjadi, kaitan yang terjadi sangat rapuh yang justru dihindari oleh ujaran yang bagus, apabila oleh ujaran yang paling bagus. Al-Qur’an diturunkan lebih dari dua puluh tahun mengenai berbagai hukum, dengan sebab yang berbeda-beda. Fenomena yang seperti itu tidak mungkin saling terkait satu sama lain sebab tidaklah baik kalau tindakan tuhan dalam penciptaan dan hukum-hukumNya saling berkaitan sementara sebabnya berbeda-beda, seperti para raja, hakim dan mufti, dan yang bertentangan. Tak seorangpun yang menuntut adanya kaitan antar beberapa tindakan tersebut dengan tindakan lainnya sementara tindakan-tindakan itu sendiri berbeda, selain waktunya (kemunculannya) berbeda pula.”
Sebagaimana ulama kuno, izzuddin pun juga berkhayal bukan hanya karena Al-Qur’an disusun berdasarkan hikmah semata, tetapi karena ia mencampuradukkan antara regulasi umum dan regulasi kebahasaan. Bahasa memiliki mekanisme sendiri. Melalui mekanisme tersebut bahasa mempresentasikan realitas. Ia tidak mempresentasikan realitas secara literal, tetapi membentuknya secara simbolik sesuai dengan mekanisme dan hukum-hukum tertentu. Dari sini, hubungan-hubungan antara realitas eksternal bisa jadi tidak ada, tetapi bahasa membentuk realitas-realitas ini didalam relasi-relasi kebahasan. Teks Al-Qur’an, meskipun bagian-bagiannya merupakan ekspresi dari realitas-realitas yang terpisah-pisah, adalah teks bahasa yang memiliki kemampuan menumbuhkan dan menciptakan hubungan-hubungan khusus antar bagian, yaitu hubungan-hubungan atau munasabah-munasabah yang menjadi fokus kajian ilmu ini(munasabah). Realitas-realitas eksternal dalam teks Al-Qur’an mungkin mirip dengan tujuan atau tema eksternal yang bermacam-macam dalam qashidah puisi jahiliah. Jika tujuan dan tema tersebut (yang berbeda-beda) tidak menutup kemungkinan qashidah tersebut merupakan kkesatuan hub ungan, yang harus disingkapkan oleh kritikus dan pembaca, maka kesatuan teks Al-Qur’an sebagai, meminjam istilah ulama kuno strukutr yang bagian-bagiannya terkait secara integral adalah fokus kajian ilmu munasabah.
B. PERKEMBANGAN PERHATIAN TERHADAP STUDI MUNASABAH
Ilmu ini dinyatakan sebagai ilmu yang berkembang pesat di Baghdad dan sangat disukai karena mereka belum pernah memahaminya. Ulama yang pertama kali memperkenalkan ilmu muasabah ialah:
1. Abu Bakar al-Nisaburi wafat tahun 324 H
2. Al-Fakhru al-Rozi wafat tahun 606 H.
3. Abu Ja’far Ibnu Zubair wafat tahun 707 H.
4. Burhan al-Din Ibrahim al Biqa’I wafat tahun 885 H.
5. Jalaluddin al-Suyuti wafat tahun 911 H.
6. Al- Zarkasi wafat 794 H.
7. Muhammad Ibnu Muhammad al- ‘Imadi wafat tahun 982 H
8. Sihabu al-Din al-Alusi wafat tahun 1270 H.
Ini adalah sebagian dari sekian banyak ulama yang membahas ilmu munasabah sehingga ilum ini berkembang sangat cepat.
C. MACAM – MACAM MUNASABAH
1. Munasabah antar surat
Jika dalam mengkaji munasabah antar surat dan ayat, ulama berangkat dari pertanyaan tentang tujuan dibalik penempatan satu ayat dengan ayat lain. Dan penempatan surat denga surat lain maka wajar apabila mereka berusaha menciptakan hubungan-hubungan umum antar surat., pertama-tama, dari sisi isi. Sudah barang tentu apabila Surat al-Fatihah mnduduki tempat yang khusus karena ia merupakan pengantar dasar bagi teks, seperti yang kita lihat dari namanya al-Fatihah (yang membuka) atau Ummu al-Kitab (induk kitab). Dengan demikian, al-Fatihah harus memuat meskipun secara tersirat semua bagian Al-Qur’an. Ia sebagai pembuka atau gerak pertama dalam nyanyian simponi, harus memberikan indikasi bagi gerak-gerak berikutnya. Atas dasar ini, ilmu-ilmu Al-Qur’an dapat diringkas dalam tiga bagian, yang masng-masing sebagai pengantar dan pembukaan ditunjukkan oleh surat al-Fatihah. Dengan cara demikian, surat ini mendapatkan kedudukannya sebagai Induk al-Kitab.
Induk ilmu-ilmu Al-Qur’an ada tiga bagian: tauhid, peringatan dan hukum-hukum. Masuk dalam bagian tauhid adalah pengetahuan tentang makhlik dan Sang Pencipta dengan segala nama, sifat dan perbuatanNya. Termasuk dalam bagian peringatan adalah janji, ancaman, surga, neraka, dan penyucian lahir dan batin. Dan yang termasuk dalam hukum-hukum adalah taklif-taklif, penjelasan tentang manfaat dan mudarat, perintah , larangan, dan anjuran...karena pengertian seperti ini, al-Fatihah menjadi induk al-Kitab sebab didalamnya terkandung ketiga bagian tersebut. Masalah tauhid terkandung dalam ayat : اياك نعبد واياك نستعين, dan masalah peringatan terdapat dalam ayat yang berbunyi: اهدنا hingga akhir surat. Dengan demikian, surat ini menjadi induk karena dari situlah semua cabang bermunculan”.
Jika bagian-bagian Al-Qur’an tersimpul dalam tiga bagian ini, dan dari sini hubungan-hubungan antara surat al-Fatihah dengan seluruh Al-Qur’an dapat diungkapkan, maka kesimpulan inipun dapat dipergunakan untuk menafsirkan surat al-Ikhlas yang konon dikatakan sebagai yang sepadan dengan sepertiga Al-Qur’an.
Oleh karena itu, dikatakan bahwa makna ucapan Nabi SAW : والله احد sama dengan sepertiga Al-Qur’an, artinya sama dalam masalah pahala. Ini merupakan anugrah Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Ada yang mengatakan: Sepertiga kandungan Al-Qur’an sebab Al-Qur’an terdiri dari tiga bagian, seperti yang telah kami sebutkan diatas. Surat ini memuat bagian tauhid.
Akan tetapi, kita perlu memberikan catatan bahwa hubungan-hubungan umum ini bukan pengganti hubungan-hubungan khusus antara Surat al-Fatihah dengan surat berikutnya, yaitu surat al-Baqarah.hubungan khusus lebih bersifat stilistika-kebahasaan, sementara hubungan-hubungan umum lebih berkaitan dengan isi dan kandungan. Hubungan stilistika-kebahasaan ini tercemin dalam pernyataan bahwa surat al-Fatihah diakhiri dengan doa: اهدنا الصراط لمستقيم صراط الذين انعمت عليهيم ولاالضلين . Doa ini mendapatkan jawabannya pada permulaan surat al-Baqarah: الم ذلك الكتب لاريب هدى اللمتقين. Atas dasar ini, disimpulkan bahwa teks tersebut bersinambungan:
Seolah-olah ketika mereka memohon hidayah(petunjuk) kejalan yang lurus maka dikatakanlah kepada mereka: petunjuk jalan yang lurus yang ngkau minta itu adalah Al-Kitab.”
Jika kaitan antara surat al-fatihah dan surat al-Baqarah bersifat stilistika maka hubungan surat al-Baqarah dengan surat al-Imran lebih mirip dengan hubungan antara dalil dengan keraguan-keraguan akan dalil. Maksudnya, surat al-Baqarah merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai hukum karena surat ini memuat aidah-kaidah agama, sementara surat al-Imram sebagai jawaban atas keraguan-keraguan para musuh.
Oleh karena itu, dalam surat tersebut masalah-masalah yang diragukan(mutasyabih) disebut bersama argumentasi dan penjelasan sebab bagian awal surat diturunkan pada akhir peristiwa, ketika utusan bani Najran dan Nasrani tiba, dan bagian akhirnya berkaitan dengan perang uhud. Orang-orang nasrani memegang hal-hal yang mutasyabih, karena keraguan mereka dijawab dengan penjelasan. Pada hari perang uhud, orang-orng kafir bersikeras perang, karenanya mereka dihadapi dengan penjelasan. Dengan cara demikian, jawaban dapat diketahui oleh orang yang mengamati antara perkataan dan perbuatan ada yang tidak jelas(mutasyabih). Haji diwajibkan dalam surat Ali-Imran, sementara dalam surat al-Baqarah disebutkan bahwa haji disyariatkan dan diperintahkan menyempurnakannya ketika mulai mengerjakannya. Oleh karena itu, nama Ka’bah, safa, dan Marwah disebutkan.”
Jika kaitan antara surat al-Baqarah dan surat Ali Imran didasarkan pada semacam ta’wil terhadap kandungan surat Ali Imran yang dibatasi hanya pada ayat ketujuh saja maka kita harus memberikan catatan, pertama, bagaimana mufassir dalam ta’wil tersebut mengandalkan asbab an-nuzul, dan kedua, bagaimana ia menafsir ulang bagian akhir surat berdasarkan sebab turunnya ayat juga-perang uhud-untuk dikaitkan dengan konsep mutasyabih. Ta’wil ini menyebabkan kandungan surat Ali Imran hanya terbatas pada jawaban atas masalah-masalah yang diragukn oleh para musuh. Ta’wil dilakukan agar surat tersebut menyempurnakan surat al-Baqarah yang memuat dalil mengenai hukum. Jika kita bertanya: hukum apakah yang dimuat oleh surat al-Baqarah dan jawaban apakah yang diberikan oleh surat Ali Imran atas keragu-raguan para musuh? Para mufassir kuno menjawab bahwa hukum tersebut adalah yang terkandung surat al-Fatihah, dan memuat:
Pengakuan pada ketuhanan, berlindung kepada-Nya dalam agama Islam, dan menjaga diri dari agama Nasrani dan Yahudi.
Ini berarti bahwa surat al-Baqarah memuat dalil yang mengacu pada hukum-hukum yang ditunjukkan surat al-fatihah, sementara surat Ali Imran memuat jawaban atas keragu-raguan pada musuh, khususnya yang berkaitan dengan dalil tersebut. Oleh karena keragu-raguan para musuh terhadap dalil islam muncul dari pihak yahudi atau nasrani maka wajar jika surat al-Baqarah mendahului surat Ali Imran lantaran hubungan yang lebih awal antara islam dengan yahudi pada satu sisi karena hidup berdampingan, dan lantaran taurat mendahului injil dari sisi lain dari faktor historis:
Ujaran yang ditujukan kepada nasrani lebih banyak terdapat dalam surat Ali Imran, sebagaimana ujaran kepada yahudi banyak terdapat dalam surat al-Baqarah sebab kitab taurat adalah asal, sementara kitab injil merupakan cabang darinya. Setelah hijrah ke madinah, Nabi Muhammad SAW menyeru orang-orang yahudi dan memerangi mereka, sedangkan jihad Nabi SAW kepada orang-orang Nasrani berlangsung pada fase akhir, sebagaimana seruannya kepada kaum musyrik dilakukan sebelum seruannya kepada masyarakat berkitab. Oleh karena itu, dalam surat-surat makkiyah disebutkan agama yang disepakati oleh para nabi sehingga semua orang menjadi sasaran surat tersebut. Surat-surat madaniyyah mengandung ujaran yang dituukan kepada mereka yang mengakui para nabi, yaitu masyarakat berkitab. Mereka diseru dengan ucapan: Hai ahli kitab, hai bani Israil.
Adalah wajar jika dua surat setelahnya, yaitu an-Nisa’ dan al-Maidah memuat detil-detil hukum dan syariat. An-Nisa’ memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan sosial; sementara al-Maidah memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan perdangan dan ekonomi. Jika hukum-hukum syariat, baik dalam tataran hubungan sosial ataupun perdagangan dan ekonomi, hanya sekedar sarana untuk mencapai tujuan dan sasaran lain, yaitu melindungi masyarakat dan menjaga keselamatannya maka tujuan dan sasaran tersebut diberi jaminan dalam surat al-An’am dan surat al-A’raf. Oleh karena itu, urutan surat dalam mushhaf didasarkan pada asas mendahulukan yang unversal yang pertama-tama dibentuk oleh surat al-Fatihah, kemudian surat al-Baqarah memikul tugas menjelaskan hukum-hukum, sementara surat Ali Imran memuat”jawaban atas keragu-raguan musuh” terhadap hukum-hukum tersebut, sedangkan surat an-Nisa’ dan al-Maidah berfungsi sebagai rincian hukum yang berkaitan dengan berbagi bentuk hubungan, kemudian dua surat berikutnya, yaitu al-An’am dan al-A’raf menjelaskan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran syari’at dari rincian hukum-hukum tersebut.
Akan tetapi, seluruh hubungan dari sisi kandungan ini tidak menafikan adanya hubungan-hubungan lain yang bersifat kebahasan-stilistika, seperti yang telah kami singgung tentang hubungan khusus antara surat al-Fatihah dengan surat al-Baqarah. Sangat wajar apabila huungan-hubungan kebahasaan-stilistika dapat terungkapkan karena didasarkan pada semacam ta’wil yang menjadi dasar bagi terungkapnya hubungan-hubungan makna. Melalui ta’wil yang dipergunaka u tuk mengungkapkan hubungan antara akhir surat al-Maidah dengan awal surat al-An’am inilah surat al-Maidah diakhiri dengn firman-Nya yang berbunyi: Qala Allahu hadza...’ala kulli syai’in qadir, dan surat al-An’am diawali dengan firmn-Nya yang berbunyi: Al-hamdu li Allahi al-ladzi..ya’dilun. Sarjana kontemporer berpendapat bahwa untuk membuat munasabah atau “hubungan” kebahasaan antara kedua surat tersebut sebenarnya cukup hanya dengan mengulang kata-kata: as-samawat wa al-ardh pada kahir surat pertama(al-Maidah) dan pada awal surat kedua(surat al-An’am). Akan tetapi, mendasarkan hanya pada fenomena pengulangan(repetisi) tidak bagi ilmuwan Al-Qur’an yang ingin menemukan bukti dari teks sendiri bahwa ada hubungan yang ia temukan, meskipun dari juz ketiga Al-Qur’an.
Kaitan yang dibangun oleh teks antara keputusan(perkara) dan pemisahan dengan pujian berubah menjadi ketentuan umum yang menafsirkan hubungan-hubungan antara beberapa surat. Jika surat Fathir(35) juga dimulai dengan pujian maka munasabah antara surat ini dengan surat yang mendahuluinya adalah hubungan antara pujian, pemisahan, dan keputusan perkara. Surat Saba’ (34) yang mendahului Surat Fathir diakhiri dengan ayat: Dan, dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka inginkan seperti yang dilakukan terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa dahulu. Sesungguhnya, mereka dahulu dalam keraguan yang mendalam. Selain itu, disini dapat juga dipergunakan teks lain apabila ada yang berkeberatan bahwa situasi “keputusan perkara” di sini tidak sama dengan situasi yang ada pada akhir Surat Saba’, yaitu “situasi tidak tercapainya apa yang diinginkan orang kafir”. Teks tersebut adalah firman Allah: Maka, kaum yang berlaku aniaya dibasmi dan segala puji bagi Allah Penguasa Alam. Tidak dapat disangkal bahwa “membasmi” lebih tajam dalam menunjukkan “ketidaksampaian” sebab kata tersebut berarti menghancurkan eksistensi itu sendiri.
Ada bentuk hubungan lain antarsurat yang tidak memerlukan sejumlah interprestasi seperti itu. Bentuk hubungan ini didasarkan pada adanya semacam hubungan kebahsaan atau pada pengulangan bahasa anatara kata yang ada pada akhir surat dengan kata yang ada pada awal surat berikutnya. Termasuk pola yang kedua (pengulangan bahasa) adalah Surat al-Waqi’ah yang diakhiri dengan perintah bertasbih, dengan Surat al-Hadid yang diawali dengan tasbih. Termasuk dalam pola pertama (adanya hubungan kebahasaan) adalah hubungan antara dua Surat al-Kahfi dan al-Isra’, meskipun hubungan antara kedua surat tersebut terungkap lewat bagian awal kedua surat tersebut, bukan melalui akhir surat pertama dan awal surat kedua seperti pada contoh-contoh sebelumnya, namun disebutkannya tasbih dengan pujian dalam bentuk doa: Maha Suci Allah dan segala puji bagi Allah, inilah yang membuat kedua surat tersebut saling berkaitan, di mana Surat al-Isra’ dimulai dengan firman-Nya: Maha Suci Zat yang telah memperjalankan hamba-Nya di sebagian malam, sementara Surat al-Kahfi dimulai dengan: Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab.
Sebab, tasbih muncul mendahului tahmid, akan diucapkan sebagai: Subhana Allah wa al-hamdu li Allah.
Atas dasar konsep keserupaan antara awal-awal surat, sarjana Al-Qur’an dapat menafsirkan urutan-urutan surat yang dimulai dengan huruf-huruf yang serupa seperti ha mim, yaitu surat-surat yang disebut dengan nama hawamim. Lebih dari itu, munasabah antarsurat pendek akan menempatkan kita ke dalam hubungan-hubungan kebahasaan yang jauh lebih difinitif. Hubungan antara Surat-al-Fil denga Surat Quraisy adalah hubungan kebahasaan yang mengubah keduanya menjadi satu surat apabila kita menerima pandangan ulama kuno terhadap kedua surat tersebut. Jika surat pertama diakhiri dengan: Maka, Allah menjadikan mereka seperti dedaunan yang dimakan (ulat) maka surat kedua diawali dengn huruf lam “lantaran kebiasaan orang-orang Quraisy”. Daripada huruf lam ini (li) dikaitkan dengan amil yang dibuang dalam: “berpergian mereka di musim dingin dan panas, maka huruf tersebut dikaitkan dengan akhir surat pertama (al-Fil). Dengan cara demikian, kedua surat tersebut menjadi satu surat, dan pergertiannya menjadi: “Sesungguhnya, Allah telah membinasakan tentara gajah, dan hasilnya adalah orang-orang Quraisy berarti lam akibat (masabbab) berdasar pendapat al-Akhfasy bahwa:
Model keterkaitan antara keduanya seperti firman Allah. Maka, ia ditemukan oleh keluarga Fir’aun untuk menjadi musuh dan yang menyusahkan mereka.
Jika hubungan antara Surat “al-Fil” dan “Quraisy” bersifat kebahasaan-semantik maka hubungan antara Surat al-Masad (al-Lahab) dengan al-Ikhlash bersifat ritmik yang didasarkan pada ritme fasmilah terakhir pada Surat al-Masad yang seirama dengan fashilah-fashilah yang ada dalam Surat al-Ikhlash (huruf dal). Barangkali yang menguatkan hubungan ini adalah bahwa fashilah terakhir dari Surat “al-Masad” berbeda dengan fashilah-fashilah pada surat yang sama, yaitu fashilah terakhir berupa dal, sementara fashilah-fashilah sebelumnya berupa ba’ semua. Jika fashilah-fashilah Surat al-Ikhlash semuanya berupa huruf dal maka tentunya hal seperti ini menciptakan hubungan ritmik antaa kedua surat tersebut.
Tipe terakhir hubungan antarsurat pendek adalah hubungan “kontras”. Ini dapat ditemukan antara Surat al-Ma’un dan Surat al-Kautsar pada satu sisi, dan antara surat adh-dhuha dan asy-syarh pada sisi lain. Dalam surat al-ma’un, terdapat empat sifat yang dikontraskan dengan empat sifat berlawanan dalam surat al-kautsar.
“karena dalam surat yang pertama (al-ma’un) Allah melukiskan orang munafik dengan empat karakter:kikir, meninggalkan shalat, berlaku riya’ dalam menjalankan shalat, dan menolak zakat maka di sini (surat berikutnya) Allah menyebutkan sebagai lawan dari kikir: Sesungguhnya, Kami telah memberimu nikmat amat banyak; sebagai kontras meninggalkan shalat adalah maka shalatlah, maksudnya senantiasalah melakukan shalat; sebagai kontras dari bersikap riya’ adalah untuk Tuhanmu, maksudnya untuk kerifhaan-Nya, bukan untuk manusia; sebagai kontras dari sifat menghindari zakat adalah dan berkorbanlah, maksudnya bersedekahlah dengan daging korban. Renungkanlah munasabah yang mengagumkan ini.
Kontras semacam ini kita temuka pula antara surat al-dhuha dengan surat asy-syah. Surat pertama berusaha menegaskan rumor yang dikembangkan oleh orang-orang musyrik bahwa Tuhan Muhammad telah meninggalkan Muhammad, kemudian surat tersebut menceritakan situasi-situasi di mana Allah mendukung Muhammad, sementara surat kedua—dari sudut ini—menempatkan diri sebagai kelanjutan dari surat yang pertama, suatu kelanjutan yang ditegaskan oleh kemiripan stilistika yang didasarkan pada bentuk kalimat tanya-negatif “a-lam…” yang diulang-ulang dalam kedua surat tersebut, selain kemudian ungkapan tersebut diikuti, dalam kedua surat tersebut, dengan kalimat penghubung dengan kata kerja bentuk lampau, dan masing-masing surat diakhiri dengan bentuk penegasan yang terlihat nyata dengan penggunaan uslub ikhtishash (pemberian tekanan) yang berbentuk mendahulukan (apa yang semestinya dikhirikan) pada surat pertama, dan terlihat jelas dengan menggunakan uslub pengulangan dan mendahulukan objek pada surat kedua.
2. Munasabah antar ayat
Jika kajian mengenai munasabah antarsurat, seperti yang telah kita lihat, berusaha membangun kesatuan umum bagi teks yang didasarkan pada berbagai macam hubungan yang kebanyakannya bercorak “interpretatif”, kajian mengenai munasabah antar ayat secara langsung menggiring kita ke dalam inti kajian kebahasaan terhadap mekanisme teks. Penting untuk diperhatikan bahwa ilmu munasabah tidak mengkaji hubungan-hubungan ekstenal, dan tidak pula didasarkan pada bukti-bukti di luar teks. Teks dalam ilmu ini merupakan bukti itu sendiri. Tekslah yang menegaskna norma-norma hubungan-hubungannya berdasarkan struktur bahanya, rasional, dan persepsi. Hal itu tidak berarti bahwa hubungan-hubungan tersebut bersifat “objektif” yang terpisah dari gerak akal pembaca dan mufassir, tetapi ia merupakan hubungan yang muncul dari dialektika pembaca dengan teks dalam prises pembacaan.
Pada dasarnya, konsep “kesatuan” teks berasal dari persoalan I’jaz, yaitu sebuah persoalan yang sebagian besar, sebagaimana yang telah kami singgung dalam bab sebelumnya, bersumber dari perbedaan antara yang mengatakan teks—Allah—dengan pembicara-pembicara selain-Nya. Oleh karena itu, ulama ilmu munasabah berusaha menghindari pembicaraan tentang munasabah antarayat, yang aspek keterkaitan antarayatnya sangat jelas, seperti:
“Apabila yang kedua terhadap yang pertama merupakan bentuk penegasan, penafsiran, atau bantahan dan tekanan.”
Mereka juga menghindari pembicaraan mengenai contoh-contoh yang didalamnya terdapat ayat yang dihubungkan (di-‘athaf-kan) dengan ayat sebelumnya, sementara aspek hubungan antara keduanya didasarkan pada aspek penyatuan.
“Seperti dua hal yang sama dan serupa. Hubungan antara keduanya terkada berlawanan, seperti munasabah antara rahmat yang disebut setelah siksa, senang setelah takut. Kebiasaan Al-Qur’an yang agung adalah menyebut hukum, setelah itu menyebut janji dan ancaman. Hal itu dimaksudkan untuk membangkitkan dorongan mengamalkan apa yang sudah disebutkan, kemudian menyebutkan ayat-ayat tauhid dan penyucian Allah, agar diketahui keagungan Zat yang memerintahkan dan yang melarang.”
Fokus perhatian hanya ditujukan pada ayat-ayat yang dihubungkan satu dengan lainnya, bukan pada hubungan yang memiliki aspek hubungan yang jelas yang secara panjang lebar dijelaskan dan dianalisis oleh Abdul Qahir al-Jurjani dalam sebuah bab penting Al-Fashl wa al-Washl. Ia mengatakan:
“Ketahuilah bahwa pengetahuan tentang apa yang selayaknya dibuat dalam kalimat-kalimat, apakah satu kalimat dengan lainnya dihubungkan, atau tidak, masing-masing terpisah, merupakan salah satu dari rahasia balaghah, yang dapat ditangkap secara penuh hanya oleh orang Arab tulen, dan mereka menguasai balaghah dan yang dikaruniai disiplin pengetahuan di dalam menikmati ujaran. Mereka adalah individu-individu yang menguasai balaghah. Karena sedemikian kuatnya kedudukan masalah ini sehingga mereka menjadikan ilmu ini sebagai definisi bagi balaghah. Ada riwayat yang berasah dari mereka bahwa mereka ditanya tentang balaghah, mereka menjawab: Balaghah adalah pengetahuan tentang fashl dan washl. Hal ini karena masalah ini sangat pelik dan halus. Tak seorang pun yang memiliki kelebihan dalam masalah ini (fashl dan washl) selain orang yang telah menguasai semua konsep balaghah.”
Tampak bahwa ayat pertama surat al-isra’ dalam bahasan ilmu munasabah memiliki tempat khusus, di mana hubungan antarayat perlu diungkapkan dengan cara menghindari hubungan-hubungan ‘athaf biasa. Ayat pertama berbicara tentang isra’, ayat kedua beralih pada pembicaraan tentan Musa dan bani Isra’il. Kedua ayat tersebut dihubungkan dengan huruf wawu. Ayat kedua melukiskan bani Israil secara khusus bahwa mereka adalah “keturunan yang Kami kumpulkan bersama Nabi Nuh”. Ayat tersebut menyisipkan lukisan tentang Nuh bahwa ia seorang hamba yang amat bersyukur. Kemudian, muncul ayat keempat menyebutkan janji Allah untuk bani Israil, dan penjelasan ini diteruskan sampai ayat kedelapan. Pada ayat Sembilan, teks beralih berbicara tentang Al-Qur’an. Dalam semua ayat tersebut kita melihat fashilah bermacam-macam. Fashilah pada ayat pertama berupa huruf ra’, ayat kedua huruf lam yang dibaca penjang, sementara pada ayat ketiga sampai kesembilan berupa huruf ra’ yang dibaca panjang, pertanyaannya adalah hubungan apa yang ada di antara isra’ (perjalanan malam) dengan cerita tentan bani Israil? Mengapa focus utama tentang mereka disebutkan sebagai keturunan orang yang bersama dengan Nuh, padahal semua umat manusia dianggap berasal dari keturunan ini, bukan hanya bani Israil saja? Kemudian, peralihan ke penjelasan tentang Al-Qur’an, apa maknanya?
“Dalam upaya mengungkapkans isi keterkaitan antarayat tersebut sebagai salah satu aspek i’jaz, al-Baqillani berpendapat bahwa apa yang tampat sebagai “fashl/pemisahan” antara ayat pertama dengan ayat kedua sebenarnya “washl/hubungan” yang berasal dari bentuk susunan yang memang tidak ada dalam ujaran biasa—kalam manusia. Susunan semacam inilah yang menyebabkan muncul penrgeseran ke tema tentang Nuh sebagai seorang hamba yang banyak bersyukur. Penuturan tema tentang Nuh seperti ini menyebabkan ujaran (kalimat) yang satu denga yang lainnya terkait karang kesamaan fashilah pada satu sisi, dan pada sisi yang lain untuk mengisyaratkan bahwa bani Israil—yang hidup sezaman dengan turunnya teks—semestinya meneladani Nabi Nuh. Dengan demikian, yang menjadi dasar focus perhatian al-Baqillani adalah perbedaan teks dari teks-teks lainnya, meskipun ia tidak memberikan penjelasan yang pasti mengenai aspek keterkaitan antara ayat pertama denga ayat kedua. Ia cukup mengatakan:
Jika al-Baqillani hanya menjelaskan secara garis besar seperti itu maka az-Zarkasyi, yang banyak mengutip dari al-Baqillani, melihat salah satu aspek munasabah antara tema isra’ pada ayat pertama dengan tema tentang bani Israil pada ayat-ayat berikutnya. Ia juga menyingkapkan aspek munasabah antara kisah bani Israil dengan tema yang disebutkan Al-Qur’an pada ayat kesembilan. Hubungan antara isra’ dengan kisah bani Israil:
Perkiraannya: Kami memperlihatkan padanya hal-hal yang ghaib secara kasatmata, dan Kami beritakan padanya kejadian-kejadian umat yang telah berlalu secara jelas agar kisah-kisah mereka dapat berfungsi sebagai bukti bagai kemukjizatannya, maksudnya Mahasuci Allah yang telah memperlihatkan kepadamu sebagaian ayat-ayat-Nya agar dapat engkau ceritakan sebagai peringata, dan yang menceritakan kepadamu tentang apa saja yang terjadi pada Musa dan uamtnya dua kali agar cerita tentang keduanya menjadi pertanda yang lain, atau bajwa Ia memperjalankan Muhammad menuju Tuhannya sebagaimana Ia telah memperjalankan Musa dari Mesir ketika keluar dari Mesir dalam kondisi ketakutan sampai ia harus sembunyi-sembunyi.
Munasabah antara isra’ dan cerita bani Israil dapat diungkap melalui dua sudut: sudut pertama babwa peristiwa isra’ bertujuan untuk memperlihatkan hal yang gaib, yaitu tujuan yang dapat terwujud melalui kisah-kisah Al-Qur’an. Perbedaan antara isra’ dan ceriata adalah bahwa isra’ didasarkan pada “penglihatan langsung”, sementara penglihatan terhadap hal-hal yang gaib, yang metafisiks, sementara kisah merupakan berita atau “penjelasan” mengenai hal-hal gaib yang historis. Sudut yang kedua yang dapat dipergunakan untuk menyingkapkan aspek munasabah adalah kesamaan antara isra’ Muhammad SAW pada sebagian malam dengan keluarnya Musa a.s. dari Mesir dalam keadaan ketakutan sambil sembunyi-sembunyi setelah ia menohok orang Mesir yang kemudian meninggal.
Setelah itu, fokus cerita dialihkan ke nabi Nuh. Peralihan ini menjadikan seluruh kisah demikian bermakna dalam konteks hubungan eks denga realitas. Bukankah tujuan dari kisah-kisah al-qur’an tidak hanyan memberikan hiburan atau kesenangan, lebih dari itu tujuannya—selain bermakna menunjukkan sesuatu yang gaib-historis kepada Muhammad—terkait dengan tujuan dan orientasi teks secara umum, yaitu mengubah realitas melalui dialektika teks dengan realitas. Oleh karena itu, kisah nuh ini merupakan semacam mengingat kembali sejarah bani israil yang pernah dikaruniai nikmat oleh Allah takala mereka diselamatkan bersama nuh. Dengan demikian, pemberian atribut kepada nuh sebagai hamba yang banyak bersyukur bersifat simbolik dan menyiratkan bahwa mereka harus bersyukur atas nikamta yang berupa Rasul Muhammad. Hal ini tertunya, selain nilai ritmik yang muncul dari dekripsi cerita, menjadikan ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat berikutnya.
Pergeseran fokus ke al-Qur’an pada ayat kesembilan berarti pergeseran pembicaraan tentang ayat ketiga, ayat yang agung. Pergeseran ini terjadi setelah pembicaraan tentang ayat isra’ dan ayat tentang pemberitaan yang gaib dengan segala cerita yang dikandungnya secara internal, yaitu ayat-ayat tentang keselamtan dari tenggelam dan janji yang diberikan Allah pada bani Israil. Demikianlah, ayat-ayat tersebut saling berkait dari tataran isi dan bentuk, sebagaimana juga saling berkait dari segi acuannya ke realitas yang dengannya teks berdialektika, yaitu realitas yang menyatukan nabi dan menyatukan bani israil.
Jika ayat-ayat sebelumnya, untuk menjelaskan munasabah-nya, tidak membutuhkan pengetahuan tentang asbab al-nuzul maka untuk mengungkapkan munasabah pada beberapa ayat dibutuhkan pengetahuan tentang asbab al-nuzul dalam rangka menyingkapkan maknanya. Pengetahuan ini dapat membantu mufassir menyingkapkan sisi keterkaitan atau munasabah
C. KEDUDUKAN MUNASABAH DALAM TAFSIR DAN HUBUNGANNYA DENGAN ASBAB Al- NUZUL
Untuk mengetahuai kedudukan munasabah dalam tafsir dan hubungannya dengan asbab al- nuzul perlu kita membedakan kedua ilmu tersebut.
Perbedaan antara ilmu munasabah dengan ilmu asbab al-nuzul adalah yang pertama mengkaji hubungan-hubungan teks dengan bentuknya yang akhir dan final, sementara yang kedua mengkaji hubungan bagian-bagian teks dengan kondisi eksternal. Dari sini kita dapat memahami mengapa ulama kuno berpendapat bahwa ilmu asbab al-nuzul adalah ilmu “historis”, sementara ilmu munasabah adalah ilmu “stilistika” dengan pengertian bahwa ilmu memberikan perhatian pada bentuk-bentuk keterkaitan antara ayat-ayat dan surat-surat. Kalau asbab al-nuzul mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemahaman makna dan tafsir suatu ayat, maka pemahaman terhadap munasabah atau hubungan antar surat dan ayat tidak kalah pentingnya dalam upaya penafsiran ayat secara sempurna, maupun memperoleh wacana baru yang luas dan padat. Ilmu ini juga berperan mengganti ilmu asbab al-nuzul, apabila kita tidak dapat mengetahui adananya relevansi ayat dengan ayat lainnya.
C. FAEDAH ILMU MUNASABAH
Kegunaan mengetahui ilmu munasabah ini adalah:
1. Menggali mu’jizat al-Qur’an dari segi bahasanya, kita dapat mengetahui mutu dan tingkat kebalaghahan bahasa al-Qur’an sehingga lebih meyakinkan bahwa al-Qur’an adalah mu’jizat Allah bagi Nabi Muhammad Saw.
2. Memperluas wawasan para mufassir untuk memahami makna yang dikandungnya, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kita al-Qur,an.
3. Dengan mengetahui munasabah akan sangat membantu dalam menafsirkan al-Qur;an sehinggga mempermudah istimbath hukum maupun penjelasan hukumnya.
4. Dengan mempelajari munasabah kita dapat mengetahui prinsip-prinsip kalimat yang dipakainya
KESIMPULAN
1. Munasabah ialah adanaya hubungan antara satu susunan kata dengan susunan kata lain dalam satu surat dengan surat sebelum atau sesudahnya, atau satu ayat dengan ayat lainnya dalam al-Qur’an, atau melalui makna yang berhungan dengannya.
2. Ilmu munasabah pertama kali berkembang di Baghdad pada abad ke empat atau sekitar tahun 324 H. yang dipelopori oleh seorang ulama yang bernama Abu Bakar al-Nisaburi.
3. Munasabah antar surat dengan surat dan munasabah antar ayat dengan ayat, baik itu hubungan yang nyata atau tampak jelas atau hubungan yang tersembunyi atau tidak jelas.
4. Ilmu munasabah memberikan perhatiannya pada bentuk keterkaitan antara ayat-ayat dan surat-surat.
5. Ilmu munasabah adalah menjadikan bagian-bagian kalimat saling terkait sedemikian kuat sehingga susunan dan penataannya menjadi seperti bangunan kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis.
http://referensiagama.blogspot.com/januari/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar