Minggu, 30 Januari 2011

DINASTI THAHIRIYAH


DINASTI THAHIRIYAH
by sariono sby


PENDAHULUAN


Menurut para pakar sejarah Islam, Daulat Abbasiyah (750-1258 M), telah berjasa dalam memajukan umat Islam. Hal ini ditandai dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, peradaban, kesenian, dan filsafat. Data monumental dari kebesaraan daulat abbasiyah, yaitu berdirinya kota Baghdad yang megah, kota yang didirikan atas prakarsa raja-raja dinasti ini. Menurut Philip K. HItti, kota Baghdah merupakan kota terindah yang dialiri sungai dan benteng-benteng yang kuat serta pertahanan militer yang cukup kuat. Sekalipun demikian Dinasti ini tidak mampu mempertahankan integritas negerinya , karena setelah Khalifah Harun al-Rasyid, daerah kekuasaan Dinasti ini mulai goyah, baik daerah yang ada di bagian barat maupun yang ada di bagian timur Baghdad. Di bagian timur menurut saunder terdiri Dinasti-dinasti kecil yaitu Tahiriyah, Safariyah dan Samaniyah.
Faktor-faktor yang mendorong berdirinya Dinasti-dinasti kecil ini, yaitu adanya persaingan jabatan Khalifah diantara keluarga rajadan munculnya sikap Ashabiyah antara keturunan Arab dan Non-Arab, tepatnya persaingan Arab dan Persia. Tumbuhnya dinasti-dinasti yang memisahkan diri dari kekuasaan antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah dan munculnya Bani Ali, yang merupakan pecahan dari Bani Hasyim. Perpecahan, namun di segi lain dapat dipandang sebagai suatu kemunduran persaingan di antara dinasti untuk berlomba mempertahankan kekuasaan dan kemajuan yang dicapainya. Seperti persaingan antara Baghdad yang Abbasiyah dengan Cordova yang dijadikan tempat Umawiyah II dalam memajukan ilmu pengetahuan. Dilihat dari segi ini barangkali tidak salah kalau dikatakan merupakan penyumbang dan sekaligus pemacu tersendiri bagi perkembangan di bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam alam Islami.
Akan tetapi, perkembangan dinasti-dinasti kecil di timur tampaknya mempunyai corak dan latar belakang yang berlainan dengan sifat dan tujuan timbulnya dinasti-dinasti kecil di barat. Bila yang kemudian dilatari oleh keinginan melepaskan diri dari ikatan Baghdad dan berdiri sebagai satu kekuatan, yang terdahulu kalau boleh disebut sebagai dinasti yang mempunyai sifat dan tujuan yang berbeda, yakni bukan persaingan antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah atau Bani Abbasiyah dengan Alawiyah. Namun, dinasti-dinasti kecil di timur itu merupakan gejala perkembangan baru yang berada di luar persaingan utama di atas. Mereka berdiri bukan untuk melepaskan atau memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad , tetapi justru mereka pada umumnya tidak ada keinginan untuk membuat kekuasaan yang lepas dari pemerintahan pusat, apalagi menentangnya dan menandingi kekhalifahannya. Dinasti-dinasti kecil di timur ini tetap mempertahankan ikatan dan struktur lama dengan pemerintahan pusat di Baghdad dengan menyatakan tunduk pada kekuasaan khalifah.
Dinasti Thahiriyah merupakan dinasti kecil yang didirikan oleh Thahir Ibn Husain (150-207 H), seorang yang berasal dari Persia, terlahir di desa Musanj dekat Marw, Ia diangklat sebagai panglima tentara pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun. Ia telah banyak berjasa membantu al-Ma’mun dalam menumbangkan Khalifah al-Amin dan memadamkan pemberontakan kaumAlwiyin di Khurasan. Pada mulanya, Al-Ma’mun memberikan kesempatan kepada Thahir untuk memegang jabatan gubernur di Mesir pada tahun 205 H. Kemudian dipercaya pula untuk mengendalikan wilayah timur. Thahir Ibn Husain yang memerintah pada tahun 205-207 H, menjadikan kota Marw sebagai tempat kedudukan gubernur. Setelah ia wafat, jabatan gubernur dilimpahkan oleh khalifah kepada anaknya, yaitu Thalhah Ibn Thahir yang memerintah selama 6 tahun, yaitu sejak 207-213 H.
Para ahli sejarah mengakui bahwa pada zaman Thahiri, dinasti ini telah memberikan sumbangan dalam memajukan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan dunia Islam. Kota Naisabur berhasil bangkit menjadi salah satu pusat perkembangan ilmu dan kebudayaan di timur. Pada masa itu, negeri Khurasan dalam keadaan makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang baik sehingga dapat mendukung kegiatan ilmu dan kebudayaan pada umumnya. Keadaan ini merupakan suasana yang menguntungkan bagi perkembangan seterusnya


PEMBAHASAN

Sejarah Dinasti Thahiri (200-259 H/820-872 M)

Dinasti ini didirikan oleh Thahir Ibn Husain (150-207 H), seorang yang berasal dari Persia, terlahir di desa Musanj dekat Marw, Ia diangklat sebagai panglima tentara pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun. Ia telah banyak berjasa membantu al-Ma’mun dalam menumbangkan Khalifah al-Amin dan memadamkan pemberontakan kaumAlwiyin di Khurasan. Pada mulanya, Al-Ma’mun memberikan kesempatan kepada Thahir untuk memegang jabatan gubernur di Mesir pada tahun 205 H. Kemudian dipercaya pula untuk mengendalikan wilayah timur. Thahir Ibn Husain yang memerintah pada tahun 205-207 H, menjadikan kota Marw sebagai tempat kedudukan gubernur. Setelah ia wafat, jabatan gubernur dilimpahkan oleh khalifah kepada anaknya, yaitu Thalhah Ibn Thahir yang memerintah selama 6 tahun, yaitu sejak 207-213 H. Dalam redaksi lain, Philip K. Hitti menjelaskan pendirian dinasti ini sebagai berikut.

“The first to estabilished a quasi independent state east of Baghdad was the once trusted general of al-Ma’mun, Tahir Ibn Al-HUsayn of kurasan, who had victoriously led his masters army against Al-Amin. In This was the one-eyed Tahir is said to have used the sword so evectively with both hands that Al-Ma’mun. The descendeant of a Persian slave, Tahir waseast of Baghdad , with the centre of this power in Khurasan. Before his death two years later in his capital, Marw, Tahir had omitted mention of the caliph’s name in the Friday Prayer.”

Setelah Thalhah, kekuasaan berpindah ke tangan penerusnya, yaitu Abdullah Ibn Thahih dan merupakan pemegang jabatan gubernur Khurasan terlama (213-248 H). Selama memegang pemerintahan setingkat gubernur, Dinasti Thahiri mempertahankan hubungan baik dan setia kepada pemerintahan Abbasiyah di Baghdad. Bahkan, daerah mesir pun diserahkan oleh al-Ma’mun kepada penguasaan Abdullah Ibn Thahir pada tahun 210 H, yang pada waktu itu sempat menimbulkan gejolak. Karena hubungan dekat dan kepercayaan yang diberikan al-Ma’mun cukup besar, wilayah kekuasaan Abdullah diperluas sampai ke daerah Suriah dan Jazirah.
Pada tahun 213 H, Wilayah kekuasaan Abdullah Ibn Thahir dikurangi dan al-Ma’mun menyerahkan Suriah, Mesir, dan Jaaazirah kepada saudaranya sendiri, yaitu Abu IshakIbn Harun al-Rasyid. Hal ini dilakukan oleh al-Ma’mun setelah ia menguji kesetiaan Abdullah Ibn Thahir, yang diketahui ternyata cenderung memihak pada keturunan Ali Ibn Abi Thalib.
Sesudah Abdullah Ibn Thahir, jabatan gubernur Khurasan dipegang oleh saudaranya, yaitu Muhammad Ibn Thahir (248-259H). Ia merupakan gubernur terakhir dari keluarga Thahiri. Kemudian daerah Khurasan diambil alih oleh keluarga Saffari melalui perjuangan bersenjata. Keluarga Saffari merupakan saingan keluarga Thahiri di Sijistan.
Walaupun beberapa kekuasaan atas wilayah-wilayah mereka dikurangi oleh khalifah, mereka terus memperluas wilayahnya dengan cara mempertahankan hubungan baik dengan Khalifah Abbasiyah dan saling membantu dalam menjalankan Abbasiyah. Hal ini terbukti ketika al-Mu’tashim harus memerangi pemberontakan al-Maziyar Ibn Qarun dari Tabarristan. Abdullah Ibn Thahir turun tangan menyelesaikan dan menghancurkan al-Maziyah.
Akan tetapi, ketika Dinasti Thahiri di Khurasan mendekati masa kemunduran, tampaknya keluarga Abbasiyah menunjukkan perubahan sikap. Mereka mengalihkan perhatiannya kepada keluarga Saffari yang mulai menggerogoti dan melancarkan gerakan untuk menguasai Khurasan.
Dalam keadaan mulai melemah, keluarga dan pengikut Alawiyin di Thabaristan menggunakan kesempatanuntuk memunculkan gerakan mereka. Bersamaan dengan gerakan Saffari yang terus mendesak kekuasaan Tahbari dari arah selatan, pada tahun 259 H, jatuh dan berakhirlah dinasti Thahiri.
Para ahli sejarah mengakui bahwa pada zaman Thahiri, dinasti ini telah memberikan sumbangan dalam memajukan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan dunia Islam. Kota Naisabur berhasil bangkit menjadi salah satu pusat perkembangan ilmu dan kebudayaan di timur. Pada masa itu, negeri Khurasan dalam keadaan makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang baik sehingga dapat mendukung kegiatan ilmu dan kebudayaan pada umumnya. Keadaan ini merupakan suasana yang menguntungkan bagi perkembangan seterusnya.
Kemudian, Dinasti Thahiri dapat diandalkan oleh Khalifah Abbasiyah untuk menjaga ketentraman dan kemajuan dfunia Islam. Mereka berhasil menguasai dan mengamankan wilayah sampai ke Turki yang para sultannya telah menyatakan kesetiaan dan ketaatan sebagai umat Islam yang tunduk di bawah kekuasaan Khalifah Abbasiyah.
Dengan demikian, meskipun kekuasaan Thahiri dapat direbut oleh keluarga Saffari, selama kekuasaannya, mereka telah menyumbangkan sejumlah perluasan wilayah kekuasaan dunia Islam ke bagian timur.

KESIMPULAN
Dinasti Thahiriyah didirikan oleh Thahir Ibn Husain (150-207 H), seorang yang berasal dari Persia, terlahir di desa Musanj dekat Marw, Ia diangklat sebagai panglima tentara pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun. Ia telah banyak berjasa membantu al-Ma’mun dalam menumbangkan Khalifah al-Amin dan memadamkan pemberontakan kaumAlwiyin di Khurasan. Pada mulanya, Al-Ma’mun memberikan kesempatan kepada Thahir untuk memegang jabatan gubernur di Mesir pada tahun 205 H. Kemudian dipercaya pula untuk mengendalikan wilayah timur. Thahir Ibn Husain yang memerintah pada tahun 205-207 H, menjadikan kota Marw sebagai tempat kedudukan gubernur. Setelah ia wafat, jabatan gubernur dilimpahkan oleh khalifah kepada anaknya, yaitu Thalhah Ibn Thahir yang memerintah selama 6 tahun, yaitu sejak 207-213 H.

http://referensiagama.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar