Rabu, 12 Januari 2011

kebangkitan filsafat islam

Kebangkitan Falsafah Islam
Oleh: Sariono sby

Pendahuluan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa, segala yang ada didunia ini tidak bisa terlepas dari ruang dan waktu yang melingkupinya. Satu dengan yang lainnya saling berinteraksi, saling mendominasi, atau bahkan menjadi sesuatu yang melebur menjadi satu dan berubah menjadi sesuatu yang bercorak dengan nuansa dan karakteristik yang beda dengan asalnya. Begitu juga dengan filsafat, ia mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat segnifikan ketika bersentuhan dengan dunia Islam, yang di kemudian hari disebut dengan filsafat Islam.
Dalam kajian filsafat Islam pada makalah ini, ada beberapa hal yang hendak di fokuskan untuk di kaji, hal ini dimaksudkan agar kajian tersebut tidak melebar. Dalam pembahasannya pun yang dipakai adalah analisis historis, hal ini digunakan karena yang dikaji adalah hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan filsafat Islam, bukan isi yang hendak di jelaskan secara detail dari filsafat itu sendiri. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang hendak dikaji lebih mendalam, yaitu tentang; apa itu filsafat dan filsafat Islam? Bagaimana perkembangan filsafat Islam? Apa kontribusi filsafat Islam dalam membangun peradaban?
Dari pertanyaan-pertanyaan diatas, diharapka kita mendapat pemahaman yang bermakna tentang filsafat Islam, baik dari aspek pengertian, sejarah dan kontribusi filsafat Islam.

Pengertian Filsafat dan Filsafat Islam
Sebelum membahas tentang filsafat Islam, terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang pengertian filsafat dan filsafat Islam. Kata filsafat (philosophy)berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti “ cinta kepada pengetahuan ”, dan terdiri dari dua kata, yaitu philos yang berarti cinta (loving) dan Sophia yang berarti pengetahuan ( wisdom,hikmah ) atau فيلا danسوفيا ; فيلا (الإيثار ;mengutamakan ) الحكمة ) سوفيا;hikmah,kebijaksanaan). Orang cinta pengetahuan disebut “philosophos” atau “failasu>f” dalam ucapan bahasa Arabnya. Pecinta pengetahuan ialah orang yang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya, atau dengan perkataan lain, orang yang mengabdikan dirinya kepada pengetauan.
Menurut Cicero, penulis Romawi(106-43 SM), orang yang pertama memakai kata filsafat ialah Pythagoras ( 497 SM), sebagai reaksi terhadap cendekiawan pada masanya yang menamakan dirinya “ahli pengetahuan”. Pythagoras mengatakan bahwa pengetahuan dalam arti yang lengkap tidak sesuai untuk manusia. Tiap orang mengalami kesukaran-kesukaran dalam memperolehnya meskipun menghabiskan seluruh umurnya, namun ia tidak akan mencapai tepinya. Jadi pengetahuan adalah perkara yang kita cari dan kita ambil sebagian darinya tanpa mencakup keseluruhannya. Oleh karena itu, maka kita ini bukan ahli pengetahuan, melainkan, pencari dan pencinta pengetahuan, yaitu filosof. Namun, dalam perjalanan sejarah pemaknaan tersebut mengalami pergeseran, yaitu dari “cinta pengetahua” menjadi “ahli pengetahuan” atau “haki>m”. Asal makna kata “hikmah” ialah “tali kendali”untuk kuda untuk mengekang kenakalannya. Dari sini, maka diambillah kata hikmah dalam arti pengetahuan atau kebijaksanaan, karena hikmah menghalang-halangi orang yang mempunyainya dari perbuatan yang rendah.
Sedangkan mengenai istilah Filsafat Islam, Ibrahim Madzkur lebih suka menyebutnya dengan istilah tersebut dengan alasan bahwa, Islam bukan hanya aqidah atau keyakinan semata, melainkan juga peradaban; dan setiap peradaban mencakup segi-segi kehidupan moral, material, pemikiran dan perasaan. Jadi, filsafat Islam adalah segala studi filsafat yang di tulis dalam dunia Islam, baik penulisnya orang Muslim, Kristen ataupun Yahudi. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa Ibn Maimun ( Yahudi ) adalah penerus karya-karya al-Fara>bi dan Ibnu Rusyd.
Berbeda dengan Endang Saifuddin Anshari, ia memberikan formulasi untuk membedakan antara Filsafat Arab, Filsafat Muslim dan Filsafat Islam yaitu:
Filsafat Arab adalah usaha dan sikap falsafiyah orang- orang Arab, baik itu Muslim maupun non Muslim, Filsafat Arab belum tentu Filsafat Muslim, karena orang Arab itu ada yang Muslim dan ada yang tidak Muslim, disamping ada Arab Pra Islam (pra Al Qur’an) ada Arab post Islam ( post Al Qur’an).
Filsafat Muslim adalah usaha dan sikap falsafiyah Muslim, baik dia itu orang Arab maupun bukan orang Arab. Filsafat Muslim belum tentu Filsafat Islam, Karena ada kalanya filsuf Muslim berorientasi ke Filsafat Yunani di dalam hal-hal tertentu, seperti Al Fara>bi, Ibn Si>na>, Ibn Rusyd.
Filsafat Islam adalah usaha dan sikap falsafiyah Muslim yang setia kepada Islam. Dengan demikian Filsafat Islam seharusnya adalah Falsafah Qur’aniyyah, yaitu usaha filsuf Muslim dengan akal budinya untuk memahami secara radikal dan integral jawaban Al Qur’an terhadap tiga masalah asasi filsafat: tentang Tuhan, Alam dan Manusia. Sikap Filsuf merupakan konsekuensi dari pemahaman hal tersebut. Oleh karena itu Filsafat Islam adalah Falsafah Qur’aniyyah, yaitu filsafat yang berorientasi kepada Al Quran, dalam mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi filsafat kepada wahyu.
Dari pemaparan beberapa pengertian diatas tentang batasan-batasan filsafat Islam, dapat di pahami dari segi filsufnya ( muslim atau tidak ) dan dari segi isi filsafatnya ( Qur’ani atau tidak ). Tetapi, yang menjadi permasalahan adalah apabila yang menjadi batasan filsufya adalah muslim dan batasan isi filsafatnya adalah harus Qur’ani maka, batasan tersebut akan mengesampingkan filsuf non muslim tetapi isi filsafatnya tidak bertentangan dengan al Qur’an. Kalau dikaji lebih dalam penyebutan dengan filsafat Islam (Islamic philosophy), setidaknya 3(tiga) alasan untuk mendukungnya; Pertama: Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam telah mengembangkan sistem teologi yang menekankan keesaan Tuhan dan syari’ah, yang menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu dominannya Pandangan tauhid dan syari’ah ini, sehingga tidak ada suatu sistem apapun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan ajaran pokok Islam tersebut (tawhi>d) dan pandangan syari’ah yang bersandar pada ajaran tauhid. Oleh karena itu ketika memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam, para filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam tersebut, sehingga disadari atau tidak, telah terjadi “pengIslaman” filsafat oleh para filosof Muslim.
Kedua, sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adalah pemerhati filsafat asing yang kritis. Ketika dirasa ada kekurangan yang diderita oleh filsafat Yunani, misalanya, maka tanpa ragu-ragu mereka mengeritiknya secara mendasar. Misalnya, sekalipun Ibn Sina sering dikelompokkan sebagai filosof Peripatetik, namun ia tak segan-segan mengkritik pandangan Aristoteles, kalau dirasa tidak cocok dan 1a menggantikannnya dengan yang lebih baik.
Ketiga, adalah adanya perkembangan yang unik dalam filsafat Islam, akibat dari interaksi antara Islam, sebagai agama, dan filsafat Yunani. Akibatnya para filosof Muslim telah mengembangkan beberapa isu filsafat yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian, mi’ra>j dsb.

Lingkup Filsafat Islam
Filsafat Islam, sebagaimana yang telah dikembangkan para filosof agungnya, meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti logika, fisika, matematika dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang filosof tidak akan dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang luas ini.
Ketika Ibn Si>na> menulis al-Syifa>’, yang dipandang sebagai karya utama filsafatnya, ia tidak hanya menulis tentang metafisika, tetapi juga tentang logika, matematika dan fisika. Dan ia menulisnya sedemikian lengkap pada setiap bidang tersebut, sehingga kita misalnya memiliki beberapa jilid tentang logika, meliputi pengantar, kategori, analitika priora, analitika posteriora, topika, dialektika, retorika, sopistika dan poetika. Sedangkan untuk matematika, ia menulis beberapa jilid meliputi, aritmatika, geometri, astronomi dan musik. Untuk fisika, ia juga menulis beberapa jilid yang meliputi bidang kosmologi, seperti tentang langit, meteorologi, kejadian dan khancuran yang menandai semua benda fisik, tentang batu-batuan (minerologi), tumbuh-tumbuhan (botani), hewan (zoologi), anatomi, farmakologi, kedokteran dan psikologi. Dan sebagai puncaknya ia menulis tentang metafisika (al-‘ilm al-ilahi) yang meliputi bidang ketuhanan, malaikat dan akal-akal, dan hubungan mereka dengan dunia fisik yang dibahas dalam bidang fisika.
Pembicaraan tentang lingkup filsafat Islam ini perlu dikemukakan, berhubung banyaknya kesalahpahaman terhadapnya, sehingga filsafat Islam dipahami hanya sejauh ia meliputi bidang-bidang metafisik. Kebanyakan kita hanya tahu Ibn Sina sebagai filosof, dan hanya mempelajari doktrin dan metode filsafatnya. Sedangkan Ibn Sina sebagai ahli kedokteran, ahli fisika, atau dengan kata lain sebagai saintis dan metode-metode ilmiah yang digunakanaanaya sama sekali luput dari perhatian kita. Jarang sekali, kalau tidak dikatakan tidak ada, sarjana filsafat Islam di negeri ini yang pernah meneliti teori-teorinya tentang fisika, psikologi, atau geometri, astronomi dan musiknya. Tidak juga kedokterannya yang sangat dikenal di dunia Barat berkat karya agungnya al-Qa>nu>n fi al-Thibb. Hal ini terjadi, menurut hemat penulis, karena selama ini filsafat hanya dipahami sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersifat metafisik, sehingga fisika, matematika, seolah dipandang bukan sebagai disiplin ilmu-ilmu filsafat.

Perkembangan Filsafat Islam
Pemikiran filosofis masuk kedalam Islam melalui falsafat Yunani yang di jumpai ahli-ahli piker Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Kebudayaan dan filsafat Yunani dating ke daerah tersebut dengan ekspansi Alexander yang agung ke timur di abad ke-empat sebelum Kristus. Politik Alexander untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan kebudayaan Persia meninggalkan bekas besar di daerah yang pernah dikuasainyadan kemudian timbullah pusat-pusat kebudayaan yunani di timur, seperti Alexandria di mesir, Antioch di Suria, Jundisyapur di Mesopotamia dan Bactra di Persia.
Kelahiran ilmu filsafat Islam dilanjutkan dengan adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat kedalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam. Usaha ini melahirkan sejumlah filosof besar Muslim. Penerjemahan tersebut diantaranya dari bahasa Suryani, Yunani, Persia, dan India, kedalam bahasa Arab. Usaha penerjemahan tersebut berlangsung selama tidak kurang satu setengah abad di zaman klasik Islam ( abad ke-1 hingga abad ke-7 H), dan berlangsung secara besar-besaran di Baghdad sejak masa pemerintahan al-Mansur (137-159 H/ 754-775 M), serta mencapai puncaknya pada masa pemerintahan al-Ma’mun ( 198-218 H/ 813-833 M), usaha ini telah menghasilkan tersedianya buku-buku berbahasa Arab dengan jumlah banyak di perpustakaan-perpustakaan.
Sebagai hasil pengkajian kalangan muslim terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dan filsafat yang diwariskan oleh peradaban bangsa-bangsa kuno itu muncullah di kalangan mereka tiga kelompok ahli ilmu pengetahuan, yaitu: 1) kelompok yang memusatkan perhatian pada cabang-cabang ilmu pengetahuan saja, 2) kelompok yang selain mengkaji dan mengembangkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, juga memusatkan perhatian pada bidang filsafat, dan 3) kelompok yang berupaya menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dan filsafat untuk keperluan berteologi. Kelompok pertama disebut ilmuan, kelompok kedua di sebut filsuf , dan kelompok ketiga disebut teolog. Selain ketiga kelompok tersebut, masih terdapat ulama-ulama dikalangan Islam yang mengutamakan kajian dalam bidang pengetahuan agama Islam saja, seperti ulama tafsir, hadis dan fiqih.
Dunia Islam belahan timur yang berpusat di Baghdad, Irak, lebih dahulu melahirkan Filosof muslim dari pada dunia Islam belahan barat yang berpusat di Cordoba, Spanyol. Keterlambatan munculnya filosof muslim di dunia Islam belahan barat di sebabkan antara lain oleh kenyataan bahwa buku-buku yang dihasilkan di dunia Islam belahan timur baru masuk secara besar-besaran ke dunia Islam belahan barat sejak paro kedua abat ke-4 H, dengan dorongan dan bantuan besar dari pihak penguasa, terutama pada masa pemerintahan Hakam II ( 350-366 H/ 937-953 M) di Andalusia ( Spanyol ).
Dengan demikian, setidaknya ada dua fase dalam sejarah perkebangan pemikiran Islam, yaitu fase sebelum penerjemahan dan fase sesudah penerjemahan. Fase pertama, segi pemikira ketuhanan pada kaum muslimin masih bercorak Islam murni yang masih berada dalam lingkungan kepercayaan Islam dan dasar-dasarnya, seperti persoalan pengertian iman, hukum perbuatan dosa besar, qadla’ dan ihtiyar dan sebagainya. Fase kedua, segi Aqidah ketuhanan pada kaum muslimin telah mengalami perkembangan, yaitu ketika mereka telah bersentuhan dengan golongan luar Islam. Masa kedua ini dapat di bagi ke beberapa masa, yaitu;
Masa penerjemahan dan pengulasan terhadap buku-buku filsafat, atau masa pemaduan antara pemikiran yunani dengan ketentuan agama. Tokoh masa ini adalah al-Kindi, al-Fara>bi, Ihwanussafa, dan Ibn Sina.
Masa kritikan terhadap filsafat yunani, namun kadang-kadang dipakai sebagai alat memperkuat kepercayaan. Tokohnya diantaranya adalah al-Ghaza>li.
Masa pembelaan terhadap filsafat Yunani di negeri Islam bagian barat( Spanyol dan sekitarnya), dan di waktu yang sama filsafat tidak dipakai untuk memperkuat kepercayaan, di sampig diusahakan pemaduan dengan agama menurut cara yang lain. Tokoh masa ini adalah Ibn Rusyd.
Masa kritikan terhadap filsafat yunani beserta ulasan-ulasannya dari golongan rasionalis ( filosof-filosof Islam), di bawah pengaruh buku Tahsifah, di samping mempersempit daerah akal dalam memahami soal-soal aqidah.tokohnya adalah al-Iji, at-T}u>si>, dan Sa’aduddin at-taftazani>.
Masa kritikan terhadap pemakaian metode pikiran dalam memahami soal-soal aqidah, yang berarti mengkritik aliran-aliran filsafat dan teologi Islam dalam memperkuat kepercayaan. Tokohnya adalah Ibn Taimiyyah dan Ibn Qoyyim.
Masa kritikan terhadap pemakaian metode pikiran dengan mengikuti madzhab-madzhab aqidah tertentu dalam memahami kepercayaan agama.
Adapun faktor-faktor penerimaan orang Islam terhadap filsafat Yunani adalah;
Ketelitian yang dimiliki oleh logika Aristoteles dan matematika yang cukup mengagumkan dunia piker Islam, sehingga mereka mempercayai kebenaran logika dan seluruh hasil pemikiran yunani, sampai dalam masalah metafisika.
Corak keagamaan pada filsafat yunani yang berkaitan tentang ketuhanan ( digambarkan dengan Tuhan yang esa )dan kebahagiaan manusia ( dengan jalan zuhud da tasawuf).
Bercampur aduknya pikiran keagamaan, dari kalangan yahudi dan masehi yang bercorak filsafat, dengan buku-buku yunani, sehingga ketika terjadi penerjemahan buku tersebut disangka buku karangan filosof Yunani.

Tokoh-tokoh Filosof Islam
Filosof Muslim yang dilahirkan di dunia Islam di belahan Timur
Al-Kindi ( 180-260 H/ 796-873 M)
Namanya adalah Abu Yusuf bin Ishak, terkenal dengan filosof Arab, karena ia adalah keturunan Arab asli. Ia mendapat kedudukan yang tinggi dari al Ma’mun al Mu’tasim dan anaknya ( Ahmad), bahkan menjadi gurunya.
Unsur-unsur filsafat yang terdapat pada pemikiran al-Kindi adalah;
Aliran Pyhtagoras tentang matematika sebagai jalan kearah filsafat.
Pikiran Aristoteles dalam soal fisika dan metafisika, meskipun al kindi tidak setuju tentang pendapat Aristoteles tentang qadimnya alam.
Pikiran Plato dalam soal kejiwaan.
Pikiran Plato dan Aristoteles dalam soal Etika.
Wahyu dan iman dalam soal yang berhubungan dengan tuhan dan sifatnya.
Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat al Qur’an.
Ar-Ra>zi ( 250-313 H/ 864-925 M)
Namanya, Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Ra>zi. Lahir dan meninggal di Ray, dekat Teheran, Persia, tetapi pernah juga hidup berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain. Pandangan Filsafatnya yang terkenal adalah tentang doktrin lima yang kekal, yaitu; Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama, Ruang Absolut, dan Zaman Absolut. Kelima yang kekal itu dapat di pahami secara logis dari kenyataan adanya alam benda yang empiris ini. Alam benda ini haruslah tersusun dari materi pertama dan haruslah membutuhkan ruang. Oleh karena itu ruang haruslah ada, dan ruang dari segenap materi yang ada disebut ruang absolut. Materi atau alam benda ini mengalami perubahan atau gerakan, dan dengan gerakan itu terjadilah zaman. Orang bisa membatasi zaman itu menjadi satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun, dan seterusnya. Zaman yang dibatasi itu di sebut waktu ( al-waqt/time). Kendati demikian, menurutnya, tidaklah masuk akal bahwa materi yang ada ini muncu dari tidak ada atau pernah tidak ada, atau akan berubah menjadi tidak ada. Materi itu akan tetap ada dan berubah selamanya. Zaman yang terus-menerus itu, yakni dari masa lalu yang tanpa batas awal dan terus berlanjut ke masa depan tanpa batas akhir, disebut zaman absolut ( al-dahr/duration ). Pada alam benda ini jelas terdapat benda-benda hidup dank arena itu haruslah ada jiwa-jiwa, yang berasal dari jiwa universal. Semua kenyataan dari alam empiris, agar tetap berjalan tertib, haruslah perlu pada yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu, yakni Tuhan. Dari lima kekal itu, maka yang hidup dan yang aktif adalah tuhan dan jiwa, yang pasif dan tidak hidup adalah materi, sedagkan ruang dan zaman tidaklah hidup, tidak aktif, dan tidak pasif.
Al-Fara>bi (259-339 H/ 872-950 M)
Namanya Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Uzlagh bin Turkhan al-Farabi. Ia terkenal sebagai guru kedua, berdasarkan penilaian bahwa ia adalah tokoh terkemuka dalam lapangan Logika setelah Aristoteles. Ia bukan saja menguasai logika dengan baik, namun juga pemikiran filsafat umumnya. Pemahamannya cermat, mendalam, matang, sistematis, dan berkat tulisannya Ibn Sina dapat mengatasi kesulitan dalam memahami metafisika Aristoteles. Di antara karya al-Farabi adalah: Kitab A’ Ahl al-Madi>nah al-Fad}i>lah ( tentang pandangan-pandangan kota utama), Kitab Ihs}a>’ al-Ulu>m ( tentang perincian pengetahuan), Risa>lah fi al-Aql ( tentang akal), Risalah fi Isba>t al-Mufariqa>t (tentang wujud-wujud rohaniah ), Tahsi>l al-Sa’a>dah (tentang upaya mewujudkan kebahagiaan), Masa>il Falsafiyyah ‘an Gard Aristutalis (tentang pemikira Aristoteles), Kitab at-Taufiq bain Aflatun wa Aristu au al-Jam’ bain Ra’yai al-Hakimain (tentang persesuaian pendapat Plato dengan Aristoteles ). Melalui tulisan ini al Farabi memperlihatkan dirinya sebagai muslim yang teguh memegang Agama, penerus Plato dalam bidang etika dan politik, penerus Aristoteles dalam bidang Logika, dan Fisika, dan sebagai pengikut Plotinus dalam bidang metafisika.
Diantara pemikirannya adalah tentang konsep politik, menurutnya manusia adalah mahluk sosial, tidak bisa hidup sendiri-sendiri. Manusia butuh hidup bermasyarakat dan perlu bekerja sama, saling membantu untuk mencapai tujuan hidup, yakni kebahagiaan. Masyarakat yang mapu bekerja sama untuk mencapai kebahagiaan itu disebutnya masyarakat utama. Ia pun menjelaskan tentang kota utama (al-Madi>nah al-Fad}>ilah) dan berbagai kota yang tidak utama, seperti al-Madi>nah al-Ja>hilah, al-Madi>nah al-Fa>siqah, al-Madi>nah ad-D}allah.
Ikhwan as-Safa ( abad IV H)
Setelah al-Farabi wafat, muncul dikalangan muslim yang menyebut dirinya Ikhwan as-Safa yang berarti saudara-saudara (yang mementingkan ) kesucian( batin atau jiwa ). Mereka meninggalkan karya ensiklopedis tentang ilmu pengetahuan dan filsafat, dengan judul Rasail Ikhwan as-Safa, yang terdiri dari 52 risalah. Diantara pemikirannya; membagi pengetahuan menjadi tiga kelompok; 1) pengetahuan adab/ sastra, 2) pengetahuan Syariat, 3) pengetahuan filsafat. Pengetahuan filsafat mereka bagi menjadi empat; a) matematika, b) logika, c) fisika d) metafisika.
Ibn Maskawaih (330-421 H/940-1030 M)
Namanya, abu Ali Ahmad bin Muhammad ibn Maskawaih. Karyanya, antara lain; al-Fauz al-Asgar( tentang keberhasilan), Taja>rib al-Umam, Tahzi>b al Akhla>q dll.
Pemikirannya antara lain tentang prinsip sejarah( agar sejarah di tulis dengan sikap kritis ilmiah dan filosofis ) dan evolusi ( berlangsung dari alam mineral ke alam tumbuh-tumbuhan, selanjutnya kea lam binatang, kemudian kea lam manusia ).
Ibn Si>na> (370-428 H/980-1036 M)
Nama lengkapnya Abu Ali al-Husain bin Abdullah Ibn Sina.ia terkenal dengan asy Syaikh ar- Ra>is karena kematangan dalam bidang pengetahuan dan filsafat dan atas kepimimpinannya dalam bidang politik. Karangannya yang terkenal adalah al-Shifa>’, al-Naja>t, al-Isha>ra>t wa al-Tanbi>ha>t, al-Hikmah al-Mashriqiyyah, al-Qa>nu>n.
Al-Ghaza>li (450-505 H/1058-1111 M)
Namanya, Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Gho>zali, gelar Hujjatul Islam, lahir di Tus, khurasan ( Iran). Al-Ghaza>li, berbeda dengan filosof-filosof lain, ia tidak hanya mementingkan filsafat saja tetapi juga soal hokum, teologi dan Sufisme. Tetapi ia lebih cenderung bersifat sufi dari pada bersifat filosof. Dalam filsafat ia dikenal sebagai filosof yang banyak mengkritik pendapat para filosof.

Filosof muslim di dunia Islam barat;
Ibn Bajjah (w. 533 H/1136 M)
Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad BinYahya Ibn Bajjah, Andalusia. Karya tulisnya relative sedikit, diantaranya Risa>lah al-Wada’ dan Tadbi>r al-Mutawahhid.

Ibn Thufail (500-581 H/1106-1185 M)
Nama lengkapnya Abu Bakr Muhamad bin Abd Malik Ibn Tufail, lahir di Wadi Asy (dekat Granada). Karya tulisnya; Risa>lah Hayy ibn Yaqzan fi Asra>r al-Hikmah al-Mashriqiyyah.
Ibn Rusyd (520-595 H/1126-1198 M)
Namanya, Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad ibn Muhamad Ibn Rusyd, Andalusia. Ia banyak memusatka perhatianya pada filsafat Aristoteles dan menulis ringkasan-ringkasan dan tafsiran-tafsiran yang mencakup sebagian filosof Yunani, walaupun ia juga menulis karangannya sendiri. Diantara karyanya adalah buku al-Kulliyat, Taha>fut al-Taha>fut, Fasl al-Maqa>l, dan Bida>yah al-Mujtahid.

Pandangan Filsafat yang Holistik
Dalam mengenal dan memandang filsafat Islam, seharusnya kita memandangannya secara integral-holistik. Integrasi ini, terjadi pada berbagai bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di bidang metodologi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burha>ni, untuk meneliti entitas-entitas yang bersifat abstrak, ‘irfa>ni, untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan (musya>hadah) secara langsung entitas-entitas rohani, yang hanya bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir baya>ni, yaitu sebuah metode untuk memahami teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, filsafat Islam mengakui keabsahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumber-sumber yang sah dan penting bagi ilmu.
Hal ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi. Namun, seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak perlu menolak keabsahan dari masing-masing bidang tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga unsur tersebut dipandang sama realnya.

Peran Filsafat Islam dalam Dunia Modern
Pada saat ini, dalam pandangan, umat Islam telah dilanda berbagai persoalan ilmiah filosofis, yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekuler. Berbagai teori ilmiah, dari berbagai bidang, fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah, atas nama metode ilmiah, menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Tuhan tidak dipandang perlu lagi dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah. kehadiran Tuhan dalam pandangan ilmiah hanyalah menempati posisi hipotesa. Bahkan, sekarang saintis tidak memerlukan lagi hipotetsa tersebut, karena alam telah bisa dijelaskan secara ilmiah tanpa harus merujuk kepada Tuhan. Tuhan dipandang bukanlah sebagai yang bertanggung jawab atas keteraturan alam, tetapi adalah hukum alam itu sendiri. Jadi Tuhan telah diberhentikan sebagai pemelihara dan pengatur alam.
Demikian juga dalam bidang biologi, Tuhan tidak lagi dipandang sebagai pencipta hewanhewan, dengan anggapan munculnya spesies-spesies hewan adalah karena mekanisme alam sendiri, yang ia sebut sebagai seleksi alamiah (natural selection). Menurutnya hewan-hewan harus bertransmutasi sendiri agar ia dapat tetap survive, dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan.
Dalam bidang psikologi, ada pandangan yang memandang Tuhan sebagai ilusi. Baginya bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan.
Tuhan, sebagai konsep, muncul dalam pikiran manusia ketika ia tidak sanggup lagi menghadapi tantangan eksternalnya, serti bencana alam dll., maupun tantangan internalnya, ketergantungan psikologis pada figur yang lebih dominan.
Tantangan yang lain juga terjadi di bidang lain seperti bidang spiritual, ekonomi, ekologi dll. Tentu saja tantangan seperti ini tidak boleh kita biarkan tanpa kritik, atau respons kritis dan kreatif yang dapat dengan baik menjawab tantangan-tantangan tersebut secara rasional dan elegan, dan tidak semata-mata bersifat dogmatis dan otoriter. Dan di sinilah kita bisa melihat bahwa filsafat Islam bisa berperan sangat aktif dan signifikan.

Filsafat sebagai Pendukung Agama
Sesungguhnya filsafat bisa kita jadikan sebagai mitra atau pendukung bagi agama. Tentunya, kita harus bisa mensikapi, mengelola dan mendaya gunakan denga arif dan bijak. Sebagai contoh, dalam keadaan di mana agama mendapat serangan yang gencar dari sains dan filsafat modern, filsafat Islam bisa bertindak sebagai pembela atau tameng bagi agama, dengan cara menjawab serangan sains dan filsafat modern terhadap agama secara filosofis dan rasional. Karena tantangan ilmiah-filosofis harus dijawab juga secara ilmiah-filosofis dan bukan semata-mata secara dogmatis. Dengan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang menempatkan akal pada posisi yang terhormat, sesungguhnya Islam, pada dasarnya bisa dijelaskan secara rasional dan logis.
Selama ini filsafat dicurigai sebagai disiplin ilmu yang dapat mengancam agama. Ya, memang betul. Apalagi filsafat yang selama ini kita pelajari bukanlah filsafat Islam, melainkan filsafat Barat yang telah lama tercerabut dari akar-akar metafisiknya. Tetapi kalau kita betul-betul mempelajari filsafat Islam dan mengarahkannya secara benar, maka filsafat Islam juga adalah sangat potensial untuk menjadi mitra filsafat atau bahkan pendukung agama. Di sini filsafat bisa bertindak sebagai benteng yang melindungi agama dari berbagai ancaman dan serangan ilmiah-filosofis seperti yang saya deskrisikan di atas.
Serangan terhadap eksistensi Tuhan, misalnya dapat dijawab dengan berbagai argumen adanya Tuhan yang telah banyak dikemukakan oleh para filosof Muslim, dari al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dll., Serangan terhadap wahyu bisa dijawab oleh berbagai teori pewahyuan yang telah dikemukakan oleh banyak pemikir Muslim dari al-Ghazali, al-Farabi,Ibn Sina, Ibn Taymiyyah, Ibn Rusyd, dll.
Untuk itu, perlu kita bangun kembali ( rekonstruksi) akar tradisi filsafat Islam yang pernah tenggelam seiring perjalanan sejarah. Yaitu dengan memetakan kembali filsafat Islam ( dengan cara mengadakan studi-studi tentang kefilsafatan; (1) studi biografis, yang memperkenalkan ribuan ilmuan-filosof Muslim, (2) studi gnomologis, yang mencoba membahas berbagai karya hikmah yang pernah dibuat oleh para filosof Muslim, (3) sains Islam, yang sangat penting dikaji ulang tetapi yang sangat terabaikan, (4) filsafat perenial, yang membahas pemikiran dari berbagai pemikir Muslim perenial yang umumnya berasal dari Eropa, yang telah banyak menghasilkan karya-karya besar, dan terakhir (5) filsafat paska-Ibn Rusyd, yang akan membicarakan perkembangan filsafat Islam setelah masa Ibn Rusyd hingga saat ini). Kemudian, yang berkaitan dengan Epistemologis, kita harus mengerti betul apa yang disebut ilmu dalam tradisi Islam dan bedanya dengan sains. Ilmu dibedakan dengan sains terutama dalam lingkupnya. Sementara sains modern membatasi lingkupnya hanya pada bidang-bidang fisik-empiris, ilmu dalam tradisi ilmiah Islam meliputi bukan hanya bidang fisik tetapi juga bidang matematik dan bahkan metafisik. Isu lain yang perlu mendapat perhatian juga berkaitan dengan objek ilmu dan metode ilmiah. Dalam filsafat ilmu modern, objek-objek ilmu dibatasi hanya pada objek-objek fisik, sedangkan dalam tradisi ilmiah Islam, objek ilmu tidak pernah dibatasi hanya pada objek-objek fisik, tetapi melebar pada objek-objek matematik dan metafisik.
Selain isu-isu di atas, filsafat Islam juga, perlu mendiskusikan tentang realitas pengalaman mistik atau religius, karena sikap skeptik dari banyak kalangan ilmuwan dan filosof modern terhadapnya. Kita harus bisa menunjukkan secara rasional, bahwa pengalaman religus (mistik atau kenabian) adalah real, sama realnya dengan pengalaman indrawi. Dan karena itu bisa untuk dijadikan sebagai sumber yang sah bagi ilmu, sebagaimana pengalaman indrawi. Selain pengalaman mistik, kita juga perlu mendiskusikan realitas pewahyuan dan menjelaskan secara rasional kemungkinan pewahyuan seperti yang dialami oleh para Nabi.
Persoalan lain yang perlu dicermati adalah soal objektivitas ilmu. Sementara ini banyak kalangan percaya bahwa sains telah mencapai tingkat objektivitas yang demikian tinggi, sehingga bisa berlaku universal dan bebas nilai. Tetapi peneltian yang cermat, menunjukkan bahwa objektivitas absolut tidak mungkin bisa dicapai, dan ini terjadi karena hasil penelitian ilmiah sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kecenderungan bahkan ideologi dan kepercayaan dari ilmuwan-ilmuwan itu sendiri. pi tidak bertentangan dengan kepercayaan agama.
Kemudian yang perlu dibangun adalah Integrasi Ilmu. Dikotomi yang terjadi antara ilmu-ilmu agama, di satu pihak, dan ilmu-ilmu umum, di pihak lain telah menimbulkan berbagai masalah keilmuan yang merugikan. Terjadinya penolakan terhadap keabsahan ilmiah dari keduaanya seringkali terjadi. Oleh karena itu perlu sekali dicari jalan untuk menjembatani dan mengintegrasikan berbagai aspek keilmuan tersebut dalam suatu pandangan yang holistik-integral. Adapun integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum terletak pada kenyataan bahwa objek dari kedua jenis ilmu tersebut adalah sama, yakni sama-sama sebagai ayat Allah. Dengan demikian, maka dalam Integrasi Ilmu ini saya mencoba mendiskusikan sekurangnya empat macam metode ilmiah yang pernah digunakan oleh para ilmuwan Muslim, yaitu tajri>bi> (metode eksperimen), burha>ni> (metode logika demonstratif), ‘irfa>ni> (metode intuitif) dan baya>ni (metode hermeneutik, yang digunakan untuk memahami naskah suci).
Dengan merujuk penjelasan diatas, guna merealisasikannya agar lebih real ialah dengan cara mengaktualkan kembali tradisi-tradisi filsafat dengan menata ulang bangunan tradisi ilmiah Islam dengan pusat-pusat kajian dan penyebaran informasi yang memadai.

Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat ada beberapa hal yang patut di garis bawah, yaitu;
Bahwa perkembangan dan kemajuan Islam ( dalam hal ini ilmu pengetahuan dan filsafat ) tidak terlepas dari nilai dan ajaran Islam itu sendiri yang menghargai pemberdayaan akal disamping naql.
Kemajuan Islam tidak bisa lepas dari sikap penguasa yang ikut berperan aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Untuk meraih kejayaan peradaban Islam kembali, perlu langkah-langkah kongkrit untuk merealisasikannya, diantaranya dengan pemberdayaan nalar dengan harmonisasi ajaran Agama.
referensiagama.blogspot.com/12-januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar