Oleh : Sariono Sby
Pendahuluan
Sumber pengetahuan ada dua macam yaitu aqli dan naqli. Sumber yang bersifat naqli ini merupakan pilar dari sebagian besar ilmu pengetahuan yang di butuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus, maupun dalam masalah dunianya pada umumnya. Dan sumber yang paling otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah.
Allah telah memberikan kepada kita para pendahulu yang selalu menjaga Al-Qur’an dan hadis Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap Al-Qur’an dan ilmunya yaitu para Mufassir. Dan sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadis Nabi dan ilmunya, mereka adalah para ahli hadis (Muhaddithi
Fakta penyebaran hadis di ratusan kitab koleksi, seleksi kualitas hadisnya lebih ditekankan pada jaminan kualitas sanad. Tema yang terpasang pada kelompok unit-unit hadis semateri, relatif lebih mencerminkan subjektifitas kolektor masing-masing dalam menyimpulkan substansi matan-matan hadis yang hampir-hampir tidak menyiratkan peran aktif kolektor dalam pengujian kualitas matan dan uji keselarasan substansi doktrinalnya dengan dalil-dalil syara’ yang lain. Imam al Bukhari (w. 256 h), Abu Dawud (w. 276 h), Imam al Turmudzi (w. 279 h), dan al Baihaqi (w. 458 h) mungkin layak diakui reputasi keunggulan tema-tema yang terdapat pada kleksi masing-masing yang mengindikasikan sikap kritis pada teks dan subtansi doktrinal matan hadis.
Memasuki tahap pemanfaatan hadis sebagai hujjah shar’iyyah (kekuatan argumen untuk merumuskan konsep syari’at) terjadi pergeseran tolak ukur yang semula dikembangkan oleh ulama hadis (muhaddithi>n) dengan konsisten melindungi sifat ke- ma’shum-an pemegang otoritas nubuwah/risalah, sedang kritik teks matan hadis lebih didudukkan pada indikasi kelemahan persepsi dan kadar ke-d{abit-an periwayat. Kisaran hasil evaluasi muhaddithi>n terhadap matan hadis terfokus pada data dugaan syadz atau temuan ‘illat (sebab). Praktisi hukum Islam (fuqaha>’) justru menerapkan pradigma qath’i-zanni yang pola dikotominya berorientasi pada strata khabar mutawatir mashhur untuk kategori qath’ I dan khabar ahad untuk kategori zann. Parameter kritik matan hadis semakin mengundang hasil yang kontrofersial bila memperhadapkan substansi ajaran hadis dengan instrumen ‘aqli, seperti qiyas, perilaku perawi, praktek keagamaan penduduk Madinah, standar ‘umum al balwa, asas-asas syari’at, dan lain-lain.
Pelaksanaan kritik matan hadis pada tataran teori mudah tercapai persamaan pendapat, seperti parameter (tolok ukur) guna menduga kepalsuan hadis. akan tetapi pada praktek penerapan secara parsial, unit hadis demi unit hadis, hampir pasti terjadi perbedaan hasil penilaian. Kesenjangan hasil verifikasi itu semakin mencolok apabila menimpa matan hadis yang telah beroleh pengakuan perihal ke-s{ahih-an hadisnya.
Nah, dari diskripsi diatas setidaknya ada beberapa permasalahan yang hendak diteliti yang berkaitan dengan penelitian matan, yaitu;
Sekilas tentang penelitian dan kritik hadis
Penelitian matan hadis di tinjau dari kualitas sanadnya
Penelitian matan hadis di tinjau dari susunan lafaz matan
Penelitian matan hadis di tinjau dari kandungan matan
Sekilas tentang penelitian dan kritik hadis
Berbagi pihak menuduh bahwa seleksi otentitas berita yang bersumber dari Nabi saw sepanjang dilakukan oleh para muhaddithi>n selalu terbatas pada penelitian sanad. Tercatat nama Ibn Khaldun (w. 808 h) pernah menyatakan demikian. menyusul kemudian, kaum orientalis yang menilai pusat perhatian kaum muhaddisin hanya hanya sebatas naqd shakli (kritik eksternal hadis), yakni mencermati sanad hadis. Tuduhan serupa belakangan dinyataka oleh Ahmad Amin (w. 1373 h), Abd Mun’im Al Bahi seperti terbaca dalam artikelnya yang dimuat pada majalah al ‘Arabi, Kuwait edisi ke 89 dan Muhammad al Ghazali.
Muhammad al Ghazali sebagai ulama Mesir mutakhir seperti pendahulunya Muhammad Abu Rayah menilai bahwa kegiatan kritik hadis oleh muhaddithi>n tercurah pada aspek sanad, sedangkan upaya mencermati matan hadis justru dilakukan oleh fuqaha’ mujtahidi>n. Akumulasi tuduhan itu seakan mengulangi sindiran mutakallimi>n Mu’tazilah bahwa perilaku muhadithi>n tidak berbeda dengan hawamil asfar atau unta-unta pemikul kertas. Kerja muhaddithi>n dianggap tak lebih dari kesibukan mencari hadis dan mensosialisasikan tanpa memahami maknanya.
Persepsi Ibn Khaldun (w. 808 h) tentang praktek muhaddithi>n dalam kritik hadis dikesankan hanya tercurah pada penelitian aspek sanad semata, bisa dimaklumi bila dikaitkan dengan kondisi umat islam, khususnya kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, dan Andalusia (Spanyol) sepanjang kehidupan beliau. Persepsi itu juga tidak berlebihan mengingat kecenderungan metodologik kritik sejarah dimana Ibn Khaldun tergolong sebagai sejarawan.
Langkah metodologi kritik hadis terhitung pasca fitnah ditandai dengan terbunuhnya Khalifah Uthman bin Affan (w. 35 H) dan kondisi tak terbendungnya pemalsuan khadis, telah terjadi pembalikan, bukan dimulai dari kritik matan yang telah menjadi tradisi kalangan sahabat Nabi saw, justru mendahulukan kontrol sanad. Pembalikan alur kerja penelitian itu disebabkan oleh kadar integritas keagamaan (al ‘adalah) dan loyalitas umat Islam dalam membela dan mempertahankan keutuhan maupun keaslian hadis (sunah) telah memudar, bahkan memprihatinkan. Seperti diketahui beragam kepentingan telah memotivasi pemalsuan dan menciptakan kerancuan hadis.
Melihat fenomena tersebut maka, diadakanlah penelitian dan kritik terhadap hadis dengan hal-hal yang berkaitan dengannya. Kata “kritik” berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya “seorang hakim, krinein berarti “menghakimi”, kriterion berarti “dasar penghakiman”. Dalam konteks tulisan ini kata “kritik” dipakai untuk menunjuk kepada kata an-naqd dalam studi hadis. Dalam literatur Arab kata “an-naqd” dipakai untuk arti “kritik”, atau “memisahkan yang baik dari yang buruk.” Kata “an-naqd” ini telah digunkan oleh beberapa ulama hadis sejak awal abad kedua Hijriah, hanya saja istilah ini belum populer di kalangan mereka. Kata “an-naqd” dalam pengertian tersebut tidak dijumpai dalam al-Qur’an maupun hadis. Namun kata yang memiliki pengertian yang sama disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu kata yami>z yang berarti memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain. Bahkan seorang pakar hadis abad ketiga Hijriah, Imam Muslim (w. 261 H/875 M) memberi judul bukunya yang mebahas metode kritik hadis dengan al-Tamyi>z. Sebagian ulama menamakan istilah an-naqd dalam studi hadis dengan sebutan al-jarh wa al-ta’dil sehingga dikenallah cabag ilmu hadis, al-jarh wa al-ta’di>l yaitu ilmu untuk menunjukkan ketidaksahihan dan keandalan. Memperhatikan pengertian dan perkembangan istilah tersebut, dalam bahasa Indonsia identik dengan kata “menyeleksi” yang secara leksikal memiliki arti menyaring atau memilih.
Dari pengertian kata atau istilah kritik di atas, dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kritik matan hadis (naqd al-matn) dalam konteks ini ialah usaha untuk menyeleksi matan-matan hadis sehingga dapat ditentukan antara matan-matan hadis yang sahih atau lebih kuat dan yang tidak. Kesahihan yang berhasil diseleksi dalam kegiatan kritik matan tahap pertama ini baru pada tahap menyatakan kesahihan matan menurut eksistensinya. Pada tahap ini belum sampai pada pemaknaan matan hadis, kendatipun unsur-unsur interpretasi matan boleh jadi ada terutama jika menyeleksi matan dengan cara melihat tolok ukur kesahihan matan hadis. Bila terdapat matan-matan hadis yang sangat rumit dikritik atau diseleksi berkaitan dengan pemaknaannya, maka hal tersebut “diserahkan” kepada studi matan hadis tahap kedua yang menangani interpretasi atau pemaknaan matan hadis (ma’na al-hadi>th).
Secara historis, sesungguhnya kritik atau seleksi (matan) hadis dalam arti upaya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah telah ada dan dimulai pada masa Nabi masih hidup meskipun dalam bentuk yang sederhana. Praktik penyelidikan atau pembuktian untuk meneliti hadis Nabi pada masa itu tercermin dari kegiatan para sahabat pergi menemui atau merujuk kepada Nabi untuk membuktikan apakah sesuatu benar-benar telah dikatakan oleh beliau. Praktik tersebut antara lain pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, ‘Abdullah bin ‘Amr, ‘Umar bin Khattab, Zainab istri Ibn Mas’ud dan lain-lain.
Setelah Nabi wafat (11 H/632 M), tradisi kritik hadis dilanjutkan oleh para sahabat. Pada periode ini, tercatat sejumlah sahabat perintis dalam bidang ini, yaitu Abu Bakar as-Siddiq (w. 13 H/634 M), yang diikuti oleh Umar bin Khattab (w. 234 H/644 M) dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M). Sahabat-sahabat lain yang dikenal pernah melakukan kritik hadis, misalnya ‘Aisyah (w. 58 H/678 M) istri Nabi, dan ‘Abd Allah bin ‘Umar bin al-Khattab (w. 73 H/687 M) .
Pada periode pasca sahabat, mulai ditandai dengan penyebaran hadis yang semakin banyak dan meluas, dan banyak bermunculan (matan-matan) hadis palsu (maudu>’). Menanggapi keadaan seperti itu, bangkitlah para ulama untuk melakukan kritik atau seleksi guna menentukan hadis-hadis yang benar-benar berasal dari Nabi, dan yang tidak. Sementara itu, rangkaian para periwayat hadis yang “tersebar” menjadi lebih banyak dan panjang. Perhatian ulama untuk meneliti matan dan sanad hadis makin bertambah besar, karena jumlah periwayat yang tidak dapat dipercaya riwayatnya semakin bertambah banyak. Mereka pun merumuskan kaidah dan cara untuk melakukan kritik atau seleksi hadis. Misalnya saja, untuk menyeleksi antara hadis-hadis yang sahih dan yang maudu‘ para pakar hadis menetapkan ciri-ciri hadis maudu’ sebagai tolok ukurnya. Dalam hadis palsu, mreka menetapkan tanda-tanda matan hadis yang palsu, yaitu : (1) susunan bahasanya rancu, (2) isinya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional, (3) isinya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam, (4) isinya bertentangan dengan hukum alam (sunnatullah), (5) isinya bertentangan dengan sejarah, (6) isinya bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an atau hadis mutawatir yang telah mengandung petunjuk secara pasti, dan (7) isinya berada di luar kewajaran bila diukur dari petunjuk ajaran Islam.
Seiring dengan itu, perhatian para ulama dalam menyeleksi hadis banyak waktu yang tersita untuk meneliti orang-orang yang meriwayatkan hadis. Jadi, dapat dikatakan bahwa studi hadis mengalamai pergeseran ; pada periode sahabat kritik hadis tertuju pada matannya, sedangkan periode sesudahnya cenderung lebih banyak mengkaji aspek sanadnya. Hal tersebut dapat dimaklumi karena tuntutan dan situasi zaman yang berbeda, pada periode sahabat Nabi belum dikenal tradisi sanad, sedangkan pasca sahabat sanad dan seleksi sanad menjadi suatu keniscayaan dalam proses penerimaan dan penyampaian (tahammul wa al-ada>’) hadis.
Penelitian Matan Hadis di Tinjau dari Sanad Hadis
Apabila dilakukan studi banding dengan cara menukil (mengutip) teks ayat al Qur’an, sepanjang menyangkut data-data Tauqifi, maka tidak diperlukan dukungan sanad. Perlakuan itu terjadi berkat jaminan sifat ke-mutawa>tir-an data yang melekat pada mushaf. Sementara itu komponen mushaf yang diakui tauqifi meliputi : bentuk kosa kata (mufrada>t ), komponen kalimat, tata letak ayat dalam surah masing-masing dan cara tulis hiruf hijaiyah al Qur’an berpedoman pada gaya rasm uthmani. Sekira orang ingin mengoper hal-hal yang ijtihadi, karena bersifat terminologis, maka dibutuhkan dukungan sanad. Seperti cara baca teks al Qur’an, aplikasi kaidah tartil dalam tilawah termasuk waqaf dan was}al, cara menghitung jumlah satuan ayat dalam surat, riwayat sabab nuzu>l, makna mufrada>t dan tafsir ayat. Dikarenakan oleh peran sanad bagi hal-hal yang ijtihadi itulah berlaku kriteria qira’ah (mutawa>tir, aha>d dan sha>z. Sanad qira’ah difungsikan sebagi sarana untuk mengondisikan landasan bagi sistem proteksi bagi al Qur’an. Bukankah cara baca teks ayat, karena berbeda dan mengubah I’rab atau alih bentuk kata, bisa berakibat pada perubahan dari dalalah haqi>qiyah hingga dalalah Nisbiyah. Dalalah haqiqiyah berkecenderungan sama pada setiap pengkaji al Qur’an sedang dalalah nisbiyah bisa dipengaruhi hal-hal diluar teks. Proses periwayatan hadis memperlihatkan dominasi fungsi ijtihad yang melibatkan perawi selaku saksi primer hingga mukharrij yang mendokumentasikan hadis dan fakta proses periwayatan hadis terbesar bersifat ahad. Oleh karenanya keberadaan sanad untuk penyajian setiap unit hadis mutlak diperlukan.
Adapun langkah prosedural penelitian hadis berlaku keharusan mendahulukan kritik sanad, tradisi itu didasarkan atas pertimbangan pertimbangan sebagai berikut :
latarbelakang sejarah periwayatan hadis sejak mula didominasi oleh tradisi penuturan (shafahiyah) setidaknya hingga generasi tabi’in dan amat sedikit data hadis yang tertulis. Tradisi riwayat semacam itu memposisikan silsilah keguruan dalam proses pembelajaran menjadi penentu data kesejarahan hadis, karena kecil kemungkinan menyandarkan kepada dokumentasi hadis.
upaya antisipasi terhadap gejala pemalsuan hadis ternyata efektif bila ditempuh dengan mengidentifikasi kepribadian orang-orang yang secara berantai meriwayatkan hadis yang diduga palsu.
proses penghimpunan hadis secara formal memakan waktu yang lama (sejak abad ke 2 hijriyah hingga 3 abad kemudian) melibatkan banyak orang dengan pola koleksi, cara seleksi dan sistimatika yang beragam. Namun tanpa ada kesepakatan sebelumnya, telah terjadi kekompakan dikalangan ulama kolektor hadis dalam mempotensikan sanad sebagai mahkota bagi keberadaan matan, terbukti hampir seluruh kitab koleksi hadis menempatkan rangkaian sanad sebagai pengantar riwayat, minimal nama perawi terutama pada pola penyajian hadis mua’allaq.
akibat pemanfaatan dispensasi penyaduran (riwa>yah bi al ma’na) yang tidak merata dan diketahui sebagian perawi lebih berdislipin meriwayatkan secara harfiyyah (riwa>yah bi al lafzi) maka uji kualitas komposisi teks matan lebih ditentukan oleh tingkat kredibilitas perawi dengan sifat kecenderungannya dalam beriwayat.
hasil uji hipotesis tentang gejala sha>z pada matan hadis ternyata berbanding lurus dengan keberadaan rawi hadis (sanad) yang sha>z. Shu’bah bin al Hajjaj ( w. 160 h) sebagaimana dikutip oleh kha>tib al Baghdadi (w. 463 h) dalam al kifa>yah menegaskan :
لا يجيئك الحديث الشاذ الا من الرجل الشاذ
Tidak datang kepadamu hadis yang shaz kecuali riwayat hadis itu melalui orang yang shaz pula.
Memang dalam aplikasi kaidah untuk menduga gejala shaz pada matan hadis, harus dilakukan uji ked{abitan (thiqah)perawi yang merupakan bagian dari kegiatan kritik sanad. Hasil temuan akan memunculkan staus berbeda, bila perawi yang kedapatan menyimpang dalam matan hadis itu sesama orang thiqah, maka hadisnya distatuskan shaz. Tetapi bila perawi btersebut tidak thiqah maka matan hadis yang menyimpang itu dikategorikan mungkar. Prosedur penduggaan gejala penyimpangan (kelainan) adalah dengan memperbandingkan antar teks matan dari perawi yang berbeda.
diperoleh petunjuk bahwa dalam rangka pengujian kkualitas matan hadis acapkali peneliiti dihadapkan pada kondisi kekurangan data, namun sebatas mengkritisi sanad hadis bersangkutan cukup memadai data yang mendukung. Nisbah label hadis;
هذا اصح شيئ فى الباب. هذا حديث حسن الإسناد.
هذا حديث صحيح الإسناد. هذا حديث حسن صحيح
Idiom-idiom tersebut mensifati kondisi kualitas sanad dan belum menyinggung hal ihwal matannya.
kecenderungan menempatkan keunggulan matan hadis dengan mensejajarkan derajat keunggulan sanadnya. Sebagai contoh derajat kesahihan hadis tertinggi dilihat proses tahrij ditempati oleh hadis muttafaq ‘alaih.
Penelitian Matan Hadis di Tinjau dari Susunan Lafaz Matan hadis
Komposisi bahasa teks matan bisa terbentuk mulai melalui proses talaqqy al-za>hir atau teknik perekaman berita secara harfiyyah dan formula teks mencerminkan riwa>yah bi al-lafzi. Bisa pula berasal dari talaqqy al-dala>lah yang menekankan pada penguasaan inti konsep dan formula redaksi matan terkesan penyaduran atau riwa>yah bi al-ma’na. Pada kedua proses pembentukan teks redaksi matan itu, peran kreatifitas perawi dalam upaya memvisualisasikan obyek berita hadis relatif besar. Oleh karenanya, bahasa teks matan hadis, termasuk hadis qudsi, tidak mengekspresikan daya i’jaz sebagaimana redaksi ayat al-Qur’an dan hukum bacaannya pun tidak dinilai sebagai ibadah. Tepat kiranya bila dikatakan al-Qur’an berkedudukan sebagai dalil nash, karena sejak redaksi ayatnya sudah menyuratkan dala>lah al-ibrah (petunjuk implikasi teks), sedang hadis sebatas dalil naqli yakni konsep doktrin kenabian yang siap ditransformasikan.
Menyadari proses pembentukan bahasa teks matan tersebut, maka dalam penerapan kaidah untuk menguji validitas teks terjadi mekanisme yang kondusif bagi peluang terjadinya penempatan kata sinonim, penghalusan, pemaparan berita selengkap kronologi kejadian atau berlaku penyingkatan, subjek berita sengaja dianonimkan lantaran kode etik sesama sahabat Nabi, sampai fakta penyisipan (idra>j), penambahan ( ziya>dah), penjelasan yang dirasa perlu, ungkapan karena keaguan (shak min al-ra>wy) dan sejenisnya. Asas metodologi dalam pengujian bahasa redaksi matan tekanannya pada mendeteksi rekayasa kebahasaan yang merusak citra informasi dan ancaman penyusutan atau penyesatan inti peryataan aslinya.
Penelitian Matan Hadis di Tinjau dari Kandungan Matan Hadis
Di kalangan muhaddithi>n terdapat pernyataan bahwa, ”tidak berlaku keharusan bahwa sanad yang shahih pasti diikuti keshahihan matannya.” Pernyataan ini disinggung Ibn Hajar al-Asqala>ni dalam Fahrasatnya.pernyataan bahwa sanad hadis yang shahih pasti diimbangi dengan matan yang shahih pula, itu berlaku sepanjang rija>l al-hadi>th yang menjadi pendukung mata rantai sanad terdiri dari periwayat yang thiqah semua.
Sangat mungkin terjadi kesenjangan kualitas sanad dengan matan hadis yang diantarkannya. Contoh, hadis tentang isra’ dalam koleksi al-Ja>mi’ al-Bukhari yang bersumber dari Syarik bin abi Namr seorang tabiin. Kondisi formal sanadnya cukup shahih, akan tetapi kronologi kejadian isra’ yang termuat dalam matannya dinilai tidak shahih. Penilaian bahwa isi pemberitaan matan tidak shahih datang dari ibn kathir, al-Nawawi, dan Ibn Hajar al-Asqala>ni. Dalam verifikasi data atas subtansi konsep yang tersurat dalam matan al-Bukhari, Ibn Hajar al-Asqalani berhasil menghimpun 12 butir kelainan bila dilakukan rujuk silang ke matan hadis shahih lain yang bermuatan tema kronologi isra’. Mungkin pula kualitas hadis hanya berkualitas hasan, sedang kondisi matan belum ada kepastian. Dari data kesenjangan itulah muncul predikat:
هذا اصح شيئ فى الباب. هذا حديث صحيح الإسناد. هذا حديث حسن الإسناد.
Label tersebut dikaitkan pada sanad semata, sedang untuk matannya menurut persepsi ibn shalah dan lainnya ada dugaan kuat shaz atau berindikasi illat yang mencederai matan yang belum tertuntaskan upaya mengkritisinya.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, perlu ditegaskan kembali bahwa penelitian matan hadis merupakan bagian yang sangat penting dan integral dalam proses studi (matan) hadis, baik Penelitian Matan Hadis di Tinjau dari Sanad Hadis dengan langkah-langkah prosedural untuk mengkritisi sanad. dan Penelitian Matan Hadis di Tinjau dari Susunan Lafaz Matan hadis dengan memperhatikan susunan bahasa teks matan hadis dengan formulasi riwa>yah bi al-lafzi dan riwa>yah bi al-ma’na. Dan Penelitian Matan Hadis di Tinjau dari Kandungan Matan Hadis dengan memperhatikan ”tidak berlaku keharusan bahwa sanad yang shahih pasti diikuti keshahihan matannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar