Rabu, 12 Januari 2011

makalah: Ahlul As sunah

AHLUS SUNAH
OLEH : Sariono sby
BAB I
PENDAHULUAN

Ummat Islam sekarang ini telah terpecah belah dan bercerai – berai menjadi banyak golongan yang masing – masing berbeda pendapat,sikap dan tindakan yang mereka tampakkan dalam menghadapi persoalan yang sama.Hal itu mereka lakukan sebagai usaha untuk mewujudkan hakekat ajaran islam yang sesuai dengan apa yang dapat diserap oleh masing – masing golongan dari ajaran Islam yang hanya satu itu .
Namun di antara sekian banyak golongan dan aliran yang dianut oleh umat Islam diseluruh dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya pada masa sekarang ini, masih ada golongan yang masih tetap setia menjaga kemurnian ajaran agama Islam seperti yang diajarkan Oleh Nabi besar Muhammad SAW .cara golongan ini melaksanakan dan mengamalkan ajaran Islam di bidang Ke-iman-an, Ke- Islam-an dan Ke-Ihsan-an selalu disesuaikan dengan apa yang dicontohkan oleh Nabi besar Muhammad SAW dan para sahabat beliau.
Golongan ini dinyatakan oleh Nabi besar Muhammad SAW dalam hadith – hadith beliau sebagai golongan yang akan selamat dapat masuk pada surga sehingga tidak mengherankan ada golongan – golongan lain dalam agama Islam yang berusaha untuk memonopoli ajaran Ahlu As Sunnah seperti yang disebut Nabi dan menuduh golongan lain sebagai golongan diluar Ahlu as sunnah.
Sunnah adalah benteng Allah yang kuat, yang bila dimasuki seseorang, orang itu akan aman. Sunnah merupakan pintu Allah terbesar, yang barang siapa memasukinya akan termasuk di antara mereka yang menyambung silaturrahmi denganNya. Ia akan tetap menegakkan pemilikinya meskipun sebelumnya terduduk karena amal perbuatan mereka. Cahayanya akan berjalan di hadapan mereka, ketika cahaya ahli bid'ah dan kemunafikannya sudah sirna.
Penulis membatasi makalah Polarisasi Ahlu As Sunnah menjadi beberapa bagian, yaitu :
Pengertian Ahlu as sunnah


Penulis













BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Ahlu as sunnah

Pengertian Ahlu
Ahlu berarti Kaum atau keluarga atau Golongan
Pengertian As Sunnah.
Kata As Sunnah secara bahasa ( etimologi) artinya At Thoriq yg berarti jalan atau riwayat hidup, baik atau pun buruk.
Sedangkan definisi Sunnah menurut Istilah ( terminology ) mengalami beberapa variasi yang disebabkan pandangan ulama yang berbeda – beda ketika menghadapi materi as sunnah yang sesuai dengan disiplin ilmunya baik ilmu hadis, fiqih maupun usul fiqih.
Menurut Ulama fiqih As sunnah mempunyai arti :
كل ما ثبت عن النبى ص م ولم يكن من باب الفرض ولا الواجب
Artinya : Segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dan tidak masuk dalam katagori Fardlu ataupun wajib.
Sedangkan Ulama Ushul fiqih mendefinisikan As sunnah sebagai berikut :
كل ما صدر عن النبى ص م غير القران الكريم من قول او فعل او تقريرمما يصلح ان يكون دليلا لحكم شرعي .
Artinya : Segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW selain Al qur’an al karim baik berupa perkataan ,perbuatan atau taqrir yang bias dijadikan sebagai dasar menetapkan hokum syara’.
Sedangkan Ulama Muhaddithin mendefinisikan As sunnah sebagai berikut :
كل ما اثر عن الرسول ص م من قول او فعل اوتقرير او صفة خلقية او خلقية او سيرة سواء اكان ذاك قبل البعثة لتحنثه في غار حراء ام بعدها
Artinya : Segala sesuatu yang dinukil dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan ,perbuatan , taqrir , sifat moral ( khuluqiyyah ) sifat jasmani ( Kholqiyyah ) ataupun perjalanan hidupnya sejak sebelun diangkat menjadi Rasul seperti uzlahnya di Gua Hira maupun sesudah diangkat menjadi Rasul.
Pengertian inilah yang menurut para ahli hadith dikatakan bahwa As sunnah sama atau searti dengan al Hadith.
Sementara as sunnah menurut istilah para ulama aqidah Islam adalah petunjuk yang dijalani oleh Rasulullah dan para sahabat beliau dalam ilmu, amalan, keyakinan, ucapan dan perbuatan.

Sejarah munculnya Ahlus sunnah

Term Ahlus Sunnah pada dasarnya timbul sebagai reaksi terhadap faham – faham golongan Mu’tazilah yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam berfikir, mempunyai kemauan dan perbuatan. Aliran Mu’tazilah (memisahkan diri) muncul di Basra, Irak, abad 2 H. Yang sering dirujuk dalam buku-buku ‘Ilm al-Kalam tentang Mu’tazilah berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin ‘Atha’ serta temannya ‘Amr bin ‘Ubaid di satu pihak, dan Hasan al-Basri di pihak lain. Dia selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan al-Basri di masjid Basrah. Awal masalah yang menimbulkan pertikaian di antara me­reka, adalah masalah “ikhtiar”, kebebasan kemauan manusia dan perbuatannya dengan ikhtiar itu, dan masalah tentang orang yang melakukan dosa besar, sedang ia tidak taubat.
Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa be­sar. Sebagaimana diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir sedang kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Ha­san al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan : “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di masjid; di sana ia mengulangi penda­patnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan : “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazala ‘anna)”. Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.
Perkembangan yang sangat signifikan, dalam sejarah umat Islam yang melatar belakangi kemunculannya dipengaruhi: Pertama, pada waktu itu banyaklah orang-orang yang hendak menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya Islam ataupun tidak. Sebagaimana diketahui, sejak Islam meluas banyaklah bangsa-bangsa yang masuk Islam dan hidup dibawah naungannya. Pada masa itu, banyak orang dengan bermacam-macam agama terdorong masuk Islam, sambil membawa kepercayaan yang sebelumnya mereka anut. Terutama bangsa Parsi dan sekitarnya masuk ke dalam Islam berikut pemikiran dan keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam benak masing-masing. Mereka ingin sekali mempertemukan Islam dengan apa yang telah mereka peroleh sebelumnya. Akan tetapi tidak semuanya memeluk agama ini dengan segala keikhlasan. Ketidak-ikhlasan ini terutama dimulai sejak per­mulaan masa pemerintahan khilafat Umawi, disebabkan karena khalifah-khalifah Umawi memonopoli segala kekuasaan negara kepada orang-orang Islam dan bangsa Arab sendiri. Tindakan me­reka menimbulkan kebencian terhadap bangsa Arab dan menyebabkan ada keinginan untuk menghancurkan Islam itu sendiri dari dalam, karena Islam menjadi sumber kejayaan dan kekuatan mereka, baik psychis maupun mental.
Kedua, kenyataan bahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang boleh jadi tidak pernah diinginkan oleh mereka sendiri, dimana satu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain, tapi telah saling membunuh. Perkembangan yang tragis ini, dikenal dengan sebutan al-fitnah al-kubra, “cobaan besar.” Dengan perkembangan itulah muncul pertanyaan-pertanyaan teologis. Sebagaimana tergambar dalam peristiwa munculnya Mu’tazilah di atas.
Menilik dari peristiwa yang melatarbelakangi munculnya Mu’tazilah ini, menunjukkan bahwa kehadiran Mu’tazilah adalah upaya untuk menengahi antara posisi Khawarij di satu pihak dengan Murji’ah di pihak lain. Tetapi walaupun situasi yang melatarbelakangi munculnya memiliki nuansa politis, Mu’tazilah pada awalnya mampu mewujudkan gerakan keagamaan semata-mata. Mereka tidak pernah membentuk pasukan, dan tidak pernah menghunus pedang. Menurut Salabi, riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang ikut-sertanya beberapa orang pemimpin kaum Mu’tazilah, seperti ‘Amr ibn `’Ubaid dalam serangan yang dilancarkan oleh Yazid ibn Walid, dan yang menyebabkan gugurnya Al-Walid ibn Yazid, tidaklah menyebabkan Mu’tazilah ini menjadi suatu golongan yang mempunyai dasar-dasar kemi­literan, sebab pemberontakan terhadap Al-Walid itu bukanlah pemberon­takan kaum Mu’tazilah, melainkan suatu pemberontakan yang berakar panjang yang berhubungan dengan kepribadian dan moral Khalifah. Maka ikut sertanya beberapa orang Mu’tazilah dalam pemberontakan itu hanyalah secara perseorangan, disebabkan prinsip-prinsip yang umum, yang menyebabkan rakyat berontak kepada penguasa yang zalim, atau penguasa yang suka menurutkan hawa nafsunya.
Ketika awal kemunculanya, aliran Mu’tazilah tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan istiqamah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Agaknya, rasionalitas yang dikembangkan oleh Mu’tazilah tidak lepas dari karakteristik pemikiran Washil Ibn Atha, founding father Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah abad ke-9 menyatakan bahwa aliran mereka sebe­narnya telah dirintis sejak awal abad ke-8 oleh dua orang, Wasil ibn ‘Atha’ (w. 748) dan Amru bin ‘Ubaid (w. 761). Namun menurut Mongomery Watt, kedua orang yang dikatakan sebagai perintis itu tampaknya tidak mem­berikan sumbangan berarti bagi Mu’tazilisme dalam hal ini. Selanjutnya ia menyatakan, para pen­diri Mu’tazilah yang sebenarnya sebagai suatu aliran teologi, yang membawa Mu’tazilah pada puncak kejayaannya, dengan perembesan dari ide-ide Yunani adalah Abu al-Hudhail (w. s. 840), al-Nazzam (w. s. 835) dan Bishri ibn al-Mu’tamir (w. 825), bersama dengan para pemikir lain sekitar waktu yang sama. Dalam hal-hal merupakan kebesaran mereka orang-orang ini tidak banyak berhutang kepada ketiga orang yang dikatakan sebagai perintis itu ketimbang kepada non-Mutazilah.
Ketiga orang ini dikatakan Nadir bersama orang-orang lain dalam suatu sim­posium mengenai cinta menuruti model Socrates di rumah Yahya Bar­maki, dan ini kemungkinan besar terjadi sebelum tahun 803 M. Abu al-Hudhail, penyusun 5 ajaran pokok Mu’tazilah, dianggap sebagai pemuka kaum Mu’tazilah dari Basrah dan meru­pakan guru utama Kalam di sana. Al-Nazzam juga berada di Basrah dan memperlihatkan minat lebih besar dibanding Abu al-Hud­hail dalam sains Yunani. Bisyri ibn al-Mu’tamir adalah pemuka Mu’­tazilah di Bagdad yang, barangkali karena mereka tinggal di ibukota, terlibat dalam percaturan politik masa itu. Bisyri adalah salah seorang yang hadir di istana al-Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M), ketika ditandatangani dokumen yang menjadikan Ali al-Ridha sebagai pewaris khilafah.
Pada pemerintahan Khalifah al-Ma’mun itulah, aliran Mu’tazilah mendapatkan tempat, terutama di kalangan intelektual. Kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah Khalifah al-Ma’mun menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan ilmu pengetahuan. Di bawah pengaruh Thumamah al-Ma’mun membentuk Inquisisi, karena doktrin kemakhlukan Qur’an adalah bagian dari ajaran Mu’tazilah. Kelompok ini memaksakan alirannya yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah (Pengujian atas paham bahwa Al-Qur’an itu makhluk Allah, jadi tidak qadim. Jika Al-Qur’an dikatakan qadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah dan ini musyrik hukumnya).
Pada peristiwa Mihnah atau yang dikenal dengan peristiwa “Khalq al-Quran,” khalifah al-Ma’mun menganjurkan kepada para ulama untuk mengikuti pendapat kaum Mu’tazilah, bahwa al-Quran itu adalah makhluk. Al-Ma’mun menghendaki supaya orang-orang yang menga­takan al-Quran itu bukan makhluk hendaklah dipandang sebagai orang yang fasik dan menentang agama. Pemakaian kekerasan itu dipandang sebagai salah satu dari sikap Mu’tazilah yang tercela.
Namun menurut Salabi, meski hal itu dianggap suatu aib dari kaum Mu’tazilah, namun mereka dapat dibela, karena tindakan tersebut adalah tindakan penguasa, bukan tindakan Mu’tazilah. Adapun kaum Mu’tazilah sendiri, mereka tetap berada dalam gerakan fikiran dan falsafah, tanpa memanggul senjata, ataupun menimbulkan kekacauan-kekacauan yang ber­sifat militer. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa watak Mu’tazilah ini senantiasa jauh berbeda dengan watak Syi’ah atau Khawarij.
Akan tetapi tekanan politik tersebut justru, yang mau gak mau memiliki keterkaitan erat dengan Mu’tazilah, berbalik menjadi sebab yang terpenting bagi lenyapnya mazhab ini di kemudian hari. Hal itu terjadi pada saat perubahan kebijakan di bawah al-Mutawakkil. Kaum Mu’tazilah tidak disukai di istana, tetapi mereka terus merupakan suatu aliran teolog akademik.
Di kalangan para pemikir Mu’tazilah terjadi banyak perselisihan. Walau para pemikir ini berselisih di antara mereka sendiri, mereka sepakat dalam lima hal: keesaan Allah (penting bagi ke­makhlukan Qur’an); keadilan Allah (mengisyaratkan kebebasan ma­nusia); janji dan ancaman (mengisyaratkan pahala surga bagi yang baik dan hukuman neraka bagi yang jahat); posisi tengah (yaitu antara percaya dan tidak percaya, dalam hal ini mengenai pendosa besar); dan mengan­jurkan yang benar serta menjauhi yang salah (atau memajukan keadilan sosial). Yang dikenal sebagai “al-usul al-khamsah.” Dua yang terakhir atau bahkan tiga memiliki implikasi-implikasi politis; tetapi kebanyakan pembahasan teologis adalah mengenai dua yang pertama. Begitu terjadi kesepakatan mengenai asas-asas ini, mereka yang menerima kesemuanya menyatakan bahwa orang yang menolak satu asas atau lebih bukanlah Mu’tazilah.
Selain itu golongan Mu’tazilah meyakini bahwasannya Al Qur’an adalah barang baru ciptaan Allah SWT.bukan sesuatu yang qadim .dan bila ada orang yang beranggapan bahwa Al Qur’an adalah qadim berarti dia telah Musyrik karena yang qadim hanyalah Allah SWT.siapapun yang tidak mengakui pendapat ini tentu akan dibunuh dan disingkirkan oleh karena golongan Mu’tazilah dijadikan faham resmi negara , yakni ketika dipegang oleh Khalifah Al Makmun, Al Mu’tasim dan Al Wasiq yang terkenal dengan peristiwa Mihnah , yaitu Ujian yang disampaikan pada setiap Ulama hususnya para Hakim atau qadli untuk mengakui bahwa Al Qur’an adalah barang baru, bukan sesuatu yang qadim. banyak sekali orang yang menjadi korban dari peristiwa ini . sejak peristiwa itu maka muncullah kelompok – kelompok yang masih kuat berpegang pada As Sunnah dalam hal ini Hadith dan merupakan kelompok mayoritas sebagai lawan dari kelompok Mu’tazilah yang minoritas dan tidak kuat berpegang pada Hadith.
Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah yaitu generasi Shahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in. Detailnya pada sistem pemahaman Islam menurut Ahlus Sunnah yang hanya merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur-rasyidin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke II H
Semenjak itulah maka para ulama’ yang mengutamakan dalil al-Qur’an dan Hadith namun tetap menghargai akal pikiran mulai memasyarakatkan cara dan sistem berfikir mereka di dalam memahami agama. Kelompok ini kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah . Sebenarnya pola pemikiran model terakhir ini hanya merupakan kelangsungan dari sistem pemahaman agama yang telah berlaku semenjak Rasulullah SAW dan para shahabatnya.
Dalam riwayat lain disebutkan Awal terjadinya penamaan Ahlus Sunnah adalah ketika terjadinya perpecahan sebagaimana yg dikhabarkan Nabi saw. Karena sebelum terjadinya perpecahan tidak ada istilah-istilah itu sedikit pun baik istilah Ahlus Sunna , Syi’ah, Khawarij atau lainnya. Pada saat itu kaum muslimin seluruhnya berada di atas dien dan pemahaman yg satu yaitu Islam. “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.” Cobaan itu muncul pada permulaan abad ketiga masa pemerintahan al-Ma’mun dan al-Mu’tashim kemudian al-Watsiq pada saat kaum Jahmiyah menafikkan sifat-sifat Allah dan menyerukan menusia agar mengikuti paham mereka. madzab ini di anut oleh tokoh-tokoh Rafidlah yang mendapat dukungan pihak penguasa. Terhadap penyimpangan tersebut Madzab Ahli Sunnah tentu menolak. oleh karena itu mereka sering mendapat ancaman ataupun siksaan. Adapula yang di bunuh, ditakut-takuti ataupun dibujuk rayu. Namun dalam menghadapi situasi yang seperti ini Imam Ahmad dan kawan – kawan tetap tabah dan tegar sehingga mereka memenjarakan beliau beberapa waktu lamanya.
Imam Ahmad dan Imam-imam lainnya dari Ahli Sunnah serta Ahli Hadits sangat mengetahui kerusakan Madzab Mereka. Beliau tidak mengeluarkan statement-statemen baru apalagi pandangan bid’ah terhadap kelompok lain. Kegigihan beliau dalam memeperjuangkan Ahli Sunnah tidak dapat diragukan lagi . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitabnya Minhaju As-Sunnah “Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah madzhab yg terdahulu dan telah terkenal sebelum Allah menciptakan Imam Abu Hanifah Malik Syafi’i dan Ahmad. Ia adalah madzhab para shahabat yg diterima dari Nabi mereka. Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa Ahli Sunnah adalah kelompok yang berpegang teguh pada Hadith dan membentenginya serta merupakan kelanjutan dari jalan hidup yang ditempuh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Kalaupun bangkit seorang Imam pada jaman bid’ah dan keterasingan Ahli Sunnah yang menyeru manusia kepada aqidah yg benar dan memerangi pendapat yang menentangnya maka ia tidaklah membawa sesuatu yg baru. Ia hanya memperbaharui madzzab ahli sunnah yang sudah usang dan menghidupkan ajaran yang sudah terkubur. Sebab aqidah dan sistemnya bagaimanapun tidak pernah berubah. Dan jika pada suatu masa atau pada suatu tempat terjadi penisbatan madzab Ahli Sunnah terhadap seorang ulama maka hal itu bukan karena ulama tersebut telah menciptakan atau mengada-ada. Hal itu pertimbanganya semata-mata karena ia selalu menyerukan manusia agar kembali kepada as-sunnah. Adapun mengenai awal penamaan Ahlus Sunnah atau Ahli Hadits ialah ketika telah tejadi perpecahan munculnya berbagai golongan serta banyaknya bid’ah dan penyimpangan. Pada saat itulah Ahli Sunnah menampakkan identitasnya yang berbeda dengan yang lain baik dalam aqidah maupun manhaj mereka. Namun pada hakikatnya mereka itu hanya merupakan proses kelanjutan dari apa yg di jalankan Rasulullah saw dan para shahabatnya.









BAB III

KESIMPULAN

Ahlus Sunnah adalah kelompok yang berpegang kuat pada Hadith Nabi.
Ahlus Sunnah berdiri di atas prinsip itiba’ (mengikuti), meneladani dan berpedoman kepada peunjuk Allah, bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ‘aqidah generasi terdahulu (Salaful Ummah). ‘Aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari sumber fitrah yang suci dan akal yang sehat itu sendiri serta pedoman yang lurus. Betapa sejuknya sumber rujukan ini. Sedangkan ‘aqidah dan keyakinan golongan yang lain itu hanya berupa khayalan dan dugaan-dugaan yang membutakan fitrah dan membingungkan akal belaka.
Ahlus Sunnah mengakui aqidah adalah masalah yang ghaib, dan hal yang ghaib itu hanya tegak dan bersandar kepada kepasrahan (taslim) dan keyakinan sepenuhnya (mutlak) kepada Allah (dan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam). Maksudnya, hal tersebut adalah apa yang diberiakan Allah dan Rasul-Nya wajib diterima dan diyakini sepenuhnya.
Ahlus Sunnah membatasi diri di dalam masalah ‘aqidah kepada berita dan wahyu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sangat berbeda dengan Ahli bid’ah dan Ahli Kalam (mutakalimin). Mereka memahami masalah yang ghaib itu dengan berbagai dugaan. tidak mungkin mereka mengetahui masalah-masalah ghaib. Mereka tidak melapangkan akalnya [2]. dengan taslim, berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pula menyelamatkan ‘aqidah mereka dengan ittiba’ dan mereka tidak membiarkan kaum Muslimin awam berada pada firtah yang telah Allah firtahkan kepada mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar