FALSAFAH ETIKA ANTARA
IBN MISHKAWAYH DAN AL- GHAZALI
By Sariono Sby
BAB I
PENDAHULUAN
A. Biografi Singkat Ibn Mishkwayh dan al-Ghazali
Nama lengkap Ibn Mishkwayh adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qu>b ibn Mishkawayh, Abu> ‘Ali, seorang pengkaji dan sejarahwan. Dia berasal dari Ray, menetap di Isfahan, dan meninggal dunia di kota ini pada tahun 421 H. bertepatan dengan tahun 1030 M. Menekuni bidang kimia, filsafat dan logika untuk waktu yang cukup lama. Kemudian menonjol dalam bidang sastra, sejarah dan kepengarangan. Pengaruhnya sangat besar sekali di Rayy. Dia terkenal dengan julukan al-kha>zin (pustakawan), karena dipercaya untuk menangani buku-buku Ibn al-’Ami>d dan ‘Adhu>d al-Dawlah Suwayhi. Dia menulis begitu banyak buku yang bermanfaat, di antaranya, Thaha>rat al-Nafs, al-Fawz al-Ashgha>r fi Ushu>l al-Diyanat dan al-Fawz al-Akbar. Menurut al-Labi>b dulunya Ibn Miskawayh adalah seorang Majusi yang kemudian masuk Islam. Tapi barangkali juga yang dimaksudkan adalah kakeknya yaitu al-Qifthî. ndaipun betul begitu adanya, hal itu tidak harus berarti bahwa dia tercela gara-gara Majusi lalu masuk Islam. Bahkan hal itu justru mengangkat derajatnya. Karena, ternyata beliau mendapat petunjuk setelah sekian berada dalam kesesatan.
Sedangkan Al-Ghaza>liadalah salah satu tokoh yang paling terkenal yang hidup pada tahun 450-505 H. bertepatan dengan 1058-1111 M. Lebih-lebih lagi di kalangan mereka yang mempelajari kitab-kitab yang ditulisnya seperti Ihya’ ‘ulu>m al-Di>n,Minha>j al-”Abid>n, Bida>yat al-Hida>yah dan lain lain lagi. Nama lengkapnya ialah Muhamad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghaza>lial-Tu>si> Beliau lebih dikenal dengan panggilan al-Ghaza>li ,nisbah kepada kampung tempat kelahirannya yaitu Ghaza>lah yg terletak di pinggir bandar Tu>si> di dalam wilayah Khurasan, Parsi (Iran). Dengan itu al-Ghaza>liberarti orang Ghazalah, kemungkinan juga panggilan tersebut dinisbahkan kepada bapanya seorang tukang tenun kain bulu yang dalam bahasa arabnya dikatakan al-ghazzâl. Al-Ghaza>li juga digelar Abû Hamîd, dinisbahkan kepada anaknya. Beliau juga digelar hujjat al-isla>m itu suatu gelaran penghormatan yang diberikan kepadanya kerana kejituan dan kecerdasannya .
B. Pandangan falsafah tentang Etika
· Ibnu Mishkawayh dengan falsafah etika yang bersifat fleksibel dan dinamis.Ia memandang bahwa etika yang benar dalah etika yang di liputi oleh kebahagiaan jiwa dan materi.Kebahagiaan yang menjadi tujuan akhir dari etika bukan hanya di akhirat saja tetapi bisa di rasakan di dunia.
· al-Ghaza>li dengan falsafah etika yang bersifat sufistik fundamentalis dan teleologis (ada tujuannya) dengan tolak ukur bahwa etika yang benar adalah etika yang membawa pelakunya mendapatkan kebahagiaan akhirat bukan kebahagiaan dunia.
·
Pentingnya peran mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel dalam perumusan visi etika yang tegas dan jelas serta mengenal kajian para filsuf , maka penulis mencoba untuk membandingkan falsafah etika keduanya untuk menganalisa pemikiran keduanya tanpa melihat kurang dan lebihnya. Ambillah yang baik dan tinggalkan yang kurang baik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Etika Islam
1.Pengertian Etika
Begitu banyak term yang memiliki persamaan arti dengan term akhlak. Secara terminologi, kata akhlak berasal dari bahasa Arab, ia adalah bentuk jama’ dari Khulq yang berarti karakter dan sifat manusia, yaitu jiwanya, sifat sifatnya, dan semua ma’na yang sepadan dengan karakter manusia.
Sejauh penelitian para ahli bahasa Arab, kata khulq seakar kata dengan kata khalq, walaupun dia memiliki sisi yang berbeda, ketika menggunakan kata khulq, tendensinya adalah karakter (yang bersifat ba>t}iniah)pada manusia, sedangkan kata khalq, tendesinya lebih bersifat fisikal (yang bersifat lahiriah) pada manusia.
Sebagai sebuah istilah yang sering dipakai, akhlak digunakan secara beragam oleh para ulama akhlak dan para pemikir, sehingga memiliki arti yang berbeda-beda. Beberapa arti dari istilah akhlak adalah sebagai berikut; Arti akhlak secara umum yang sering digunakan para ulama' akhlak muslim adalah sifat-sifat yang melekat pada jiwa manusia.
2. Tujuan Etika
Menurut para filosof etika dari kalangan Muslim, tujuan dari etika adalah memperoleh kebahagiaan, seperti tercermin dalam karya al-Farabi, Tah}s}i>l al-Sa‘a>dah. Mengkaitkan etika dengan kebahagiaan merupakan hal yang penting, karena setiap orang mengenyam kebahagiaan, dan etika bisa membawanya menuju kebahagiaan. Etika terkait dengan masalah baik dan buruk, benar dan salah. Etika ingin agar manusia menjadi baik, karena hanya dengan menjadi baiklah seseorang akan menjadi bahagia. Alasannya, orang baik adalah orang yang sehat mentalnya, dan orang sehat mentalnya bisa mengenyam pelbagai macam kebahagiaan rohani. Sama halnya, orang yang sehat fisiknya bisa mengenyam segala macam kesenangan jasmaninya, seperti merasakan pelbagai macam rasa makanan atau minuman yang disantapnya. Terkadang kita mengalami “mati rasa,” tidak bisa membedakan rasa manis, asin atau pahit ketika kita flu atau menderita penyakit sejenisnya. Itu terjadi karena fisik kita sakit.
Sebaliknya, bila fisik kita sehat, maka bukan saja kita bisa membedakan aneka rasa, bahkan dapat membedakan tingkat rasa, seperti kemanisan, kurang manis, atau tidak manis. Demikian pula, kalau jiwa kita sakit, misalnya ketika kita mengidap penyakit iri. Kita yang biasanya merasa bahagia dengan penghasilan kita yang biasa, tiba-tiba, karena rasa iri, kita tidak merasa bahagia kala tetangga kita lebih beruntung dari kita. Jadi, dalam hal ini penyakit iri (h}asad) bisa menghapus rasa bahagia yang selama ini kita rasakan.
Dengan ilustrasi di atas, mudah-mudahan menjadi jelas betapa kalau jiwa kita sehat ––dengan kata lain kita baik dan berakhla>q al-kari>mah–– maka kita akan merasakan dan mencapai kebahagiaan yang kita dambakan
Sementara itu, rasionalitas juga memainkan peranan penting dalam etika, terutama dalam upaya kita mencapai kebahagiaan. Rasionalitas atau “akal” menempati posisi yang krusial dalam etika Islam. Nas}i>r al-Di>n al-T}u>si (w.1274), menyebut rasionalitas sebagai kesempurnaan (entelechy) manusia. Dalam rasionalitas terdapat perbedaan esensial antara manusia dan hewan;dan rasionalitas jualah yang dapat menghantar manusia menuju kebahagiaan. Adalah keliru, menurut Mishkawayh (w.1030), untuk berasumsi bahwa manusia bisa memperoleh kebahagiaan dan kebaikan tanpa memperhatikan fakultas kognitif, mengesampingkan prinsip rasionalitas (akal), dan berpuas diri dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan akal.
Akal biasanya hanya dipandang memiliki fungsi kognitif belaka. Tetapi, menurut visi etika yang benar (seimbang), akal atau rasionalitas manusia juga punya fungsi manajerial (tadbi>r). Dengan fungsi kognitifnya, akal mampu membangun ilmu pengetahuan teoritis yang sangat diperlukan untuk menerangi jalan hidup manusia. Tetapi, akal juga mempunyai fungsi mengatur. Al-Ra>zi> (w. 925), dalam bukunya al-T}ibb al-Ru>h}a>ni (Pengobatan Rohani), mengatakan bahwa “akal bukan saja merupakan daya yang memungkinkan seseorang memahami dunia sekelilingnya (memiliki ilmu pengetahuan), tetapi juga merupakan “prinsip yang mengatur” pada jiwa, yang berkat keunggulannya dapat menjamin terkekangnya hawa nafsu dan penyempurnaan akhlak.”
Nafsu yang mampu dikekang ekstrimitasnya oleh keunggulan akal —atau yang dalam termonologi psikologi modern disebut mental faculties—terdiri dari tiga: (1) al-nafs al-shahwiyah (nafsu sahwat); (2) al-nafs al-ghad}abiyah (nafsu kemarahan) dan (3) al-nafs al-nut}qiyah (nafsu rasional). Para pemikir etika Muslim percaya bahwa kebahagiaan atau kesem-purnaan bisa dirasakan ketika terjadi keseimbangan (equilibrium) di antara ketiga fakultas (nafsu) tersebut. Tetapi, karena keseimbangan ini baru bisa tercapai, bila akal telah melaksanakan peran manajerialnya, yakni telah melaksanakan fungsi kontrolnya terhadap nafsu-nafsu manusia, maka akal atau prinsip rasionalitas ini merupakan syarat yang paling fundamental bagi tercapainya tujuan etika yaitu “kebahagiaan” atau yang sering juga disebut “kesempurnaan” manusia.
Kini, kita beralih menuju ilmu dan kaitannya dengan etika. Etika, menurut para filosof Muslim, merupakan salah satu bagian filsafat praktis, seperti halnya ekonomi dan politik. Sebagai ilmu praktis, etika merupakan aplikasi dari ilmu-ilmu teoritis atau yang biasanya kita sebut ilmu pengetahuan (‘ilm). Dikatakan bahwa ilmu berkenaan dengan pengetahuan tentang sesuatu sebagai-mana adanya (obyektif), sementara filsafat praktis (termasuk etika) berkenaan dengan pengetahuan tentang tindakan-tindakan voluntir, sejauh mereka mendorong tercapainya kebahagiaan manusia.
Dengan bentuk yang sederhana, hubungan ilmu dan etika (amal) dapat diumpamakan dengan hubungan antara “pelita” dan pejalan kaki. Ilmu, kata Nabi, adalah cahaya (al-‘ilm nu>r) dan tentunya seredup apapun, cahaya sangat diperlukan oleh pejalan kaki yang sedang melakukan perjalanan tertentu di malam hari yang gelap. Sebagimana cahaya bisa membuat bagian-bagian yang gelap dan remang-remang menjadi terang, dapat dilihat dengan jelas. Demikian juga, ilmu dapat menerangi jalan yang sedang ditempuh oleh si pejalan kaki. Dengannya si pejalan kaki dapat mengetahui lubang-lubang atau jurang yang dijumpai dalam perjalanannya, sehingga ia dapat menghindari, supaya tidak terjerembab dan selamat sampai tujuan. Tetapi, kalau cahaya rembulan saja tidak diperolehnya, sedangkan malam sedang selap gulita, maka siapa yang akan menjamin bahwa ia akan sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Kedua aspek ini, ilmu dan amal, tidak bisa dipisahkan dalam etika Islam. Memiliki ilmu saja tidak cukup menjamin seseorang bisa menjadi baik moralnya kalau tindakan moralnya, tidak cukup menjamin sesorang bisa menjadi baik, dan tindakannya tidak didasari pengetahuan. Sekalipun si pejalan kaki memiliki senter, tetapi kalau tidak digunakan, maka keberadaan senter (simbol ilmu) tersebut tidak ada gunanya. Itulah barangkali mengapa Nabi kita mengatakan bahwa ilmu yang tidak diamalkan, tidak ada gunanya, seperti pohon yang tidak berbuah. Demikian juga, amal saja tanpa ilmu, tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan. Karenanya al-Farabi (w. 950) mengatakan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai ketika terjadi perpaduan antara ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis, dengan kata lain antara ilmu dan amal. Pernyataan ini sekaligus merupakan kritik al-Farabi terhadap Aristoteles yang percaya bahwa ilmu dapat membawa manusia menuju kebahagiaan.
B. Falsafah Etika Antara Ibn Mishkawayh dan Al- Ghaza>li
2. Filsafat Etika Ibn Mishkawayh.
Ibn Mishkawayh mengatakan:, moral atau akhlak adalah suatu sikap mental (ha>lun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan. Sikap mental ini terbagi dua ada yang berasal dari watak dan ada pula yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan akhlak yang benar, sebab dengan landasan yang begitu akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan. Akhlak terpuji sebagai manifestasi dari watak tidak banyak dijumpai. Yang banyak dijumpai di kalangan manusia adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang terpuji (ashra>r) karena watak. Karena itu kebiasaan atau latihan-latihan dan pendidikan dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji tersebut, sebaliknya juga akan membawa orang kepada sifat-sifat tercela.
Ibn Mishkawayh menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Oleh Ibn Mishkawayh ditegaskan kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan. Dengan demikian, dijumpai di tengah masyarakat ada orang yang memiliki akhlak yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih dekat kepada hewan.
Ibn Mishkawayh memulai pembahasan etikanya dengan menganalisa kebahagiaan dan mendefinisikan kebaikan tertinggi guna menyimpulkan kebahagiaan manusia selaku manusia. Kebahagian dimaksud harus menjadi tujuan tertinggi dengan sendirinya, karena berhubungan dengan akal, suatu hal yang paling mulia pada manusia
Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian tentang akhlak adalah kebaikan (al-Khayr), kebahagiaan (al-Sa'a>dah), dan keutamaan (al-Fad}i>lah). Menurut Ibn Mishkawayh, kebaikan adalah suatu keadaan di mana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan adakalanya umum, dan adakalanya khusus. Di atas semua kebaikan itu terdapat kebaikan mutlak yang identik dengan wujud tertinggi. Semua bentuk kebaikan secara bersama-sama berusaha mencapai kebaikan mutlak tersebut. Kebaikan Umum tadi adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan dalam bentuk terakhir inilah yang dinamakan kebahagiaan. Dengan demikian antara kebaikan dan kebahagiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu yang berlaku umum bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda tergantung pada orang-orang yang berusaha memperolehnya.
Pengertian kebahagiaan telah banyak dibicarakan oleh pemikir-pemikir Yunani yang pokoknya terdapat dua versi, yaitu pandangan pertama yang diwakili oleh Plato, mengatakan bahwa hanya jiwalah yang dapat mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih hidup atau selama jiwa masih terkait dengan badan, maka selama itu pula tidak akan diperoleh kebahagiaan itu. Sedangkan pandangan kedua yang diwakili oleh Aristoteles, mengatakan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh manusia di dunia, kendatipun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja kebahagiaan itu berbeda menurut masing-masing orang. Seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.
Ibn Mishkawayh tampil di antara dua pendapat yang tidak selaras itu secara kompromi. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Kebahagiaan itu ada dua tingkat. Pertama, ada manusia yang terikat dengan hal-hal yang bersifat benda dan mendapat kebahagiaannya dengannya, namun ia tetap rindu dengan kebahagiaan jiwa, lalu berusaha memperolehnya. Kedua, manusia yang melepaskan diri dari keterikatannya kepada benda dan memperoleh kebahagiaan lewat jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda tidak diingkarinya, tetapi dipandangnya sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Kebahagiaan yang bersifat benda menurut Ibn Mishkawayh, mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan jiwalah yang merupakan kebahagiaan yang paling sempurna dan mampu mengantar manusia yang memilikinya ke derajat malaikat.
Filsafat etika yang dipopulerkan oleh Ibn Mishkawayh adalah filsafat etika yang berdasarkan pada doktrin jalan tengah. Doktrin jalan tengah (al-wasath) yang dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah The Doctrin of The Mean atau The Golden. Ibn Mishkawayh secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Dari sini terlihat bahwa Ibn Mishkawayh memberi tekanan yang lebih untuk pertama kali buat pribadi.
Ibn Mishkawayh menegaskan bahwa setiap keutamaan akhlak memiliki dua sisi yang ekstrem. Yang tengah bersifat terpuji yang ekstrem bersifat tercela. Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibn Mishkawayh tidak membawa satu ayat pun dari al-Qurâan dan tidak pula membawa satu dalil dari hadis. Namun demikian menurut penilaian al- Ghaza>li , bahwa spirit doktrin jalan tengah ini sejalan dengan ajaran Islam. Hal demikian dapat dipahami, karena banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur’a>n yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, melainkan harus bersifat di antara kikir dan boros. Hal ini sejalan dengan ayat al-Qur’a>n surat al-Isra : 29 dan al-Furqon : 67. Ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa sikap pertengahan merupakan sikap yang sejalan dengan ajaran Islam.
Doktrin jalan tengah ini juga dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandungan arti dan nuansa dinamika. Letak dinamikanya paling tidak pada tarik menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan dan aktivitas. Sebagai makhluk sosial, selalu berada dalam gerak (dinamis), mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan maupun kelebihannya. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi untuk masyarakat kalangan mahasiswa misalnya tidak dapat disamakan dengan ukuran kesederhanaan pada masyarakat dosen. Demikian pula ukuran tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara maju akan berbeda dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara berkembang. Hal tersebut akan berbeda lagi dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat miskin.
Doktrin jalan tengah tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga fleksibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus-menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan akhlak. Jadi dengan doktrin jalan tengah manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.
Sementara itu, mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibn Mishkawayh memberikan perhatian yang cukup besar terhadap pendidikan anak-anak. Ia menyebutkan bahwa masa kanak-kanak mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani dan dimulailah ufuk manusiawi. Karena itu anak-anak harus dididik dengan akhlak yang mulia. Sedini mungkin anak-anak harus mendapat pendidikan akhlak mulia, sebab akhlak milia pada pendidikan dini inilah yang akan berakar kuat dalam kehidupan mereka di masa yang akan datang.
1.Falsafah Etika Al Ghaza>li .
Dalam karya karya awal Al Ghaza>li ,persoalan akhlak belum menjadi masalah
pokok. Hanya dalam satu karya awalnya, Miza>n al ‘amal, akhlak merupakan bahan pemikiran utama. Baru pada karya karyanya yang akhir Al Ghaza>li banyak menuangkan pemikirannya pada falsafah etis moralitas yang menjamin kebahagiaan sempurna. Adapun teori yang di kembangkan bersifat religius dan sufistik. Hal itu sangat terlihat jelas dari gaya bahasa Al Ghaza>li pada penamaan terhadap karya karya akhirnya. Setelah dia menjadi searang sufi, tidak lagi mempergunakan ungkapan ‘ilm akhla>q tatapi dengan “ilmu jalan akhirat” (‘ilm t}a>riq al Akhi>rah ) atau jalan yang di lalui para Nabi para leluhur saleh (al salaf al s}a>lih). Ia juga menamakannya dengan ilmu agama praktis (‘ilm al mu’a>malah).
Ada tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu :
1. Mempelajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoristis, yang berusaha memahami moralitas, tetapi tanpa maksud mempengaruhi prilakun orang yang mempelajarunya
2. Mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan prilaku sehari hari
3. Penyelidikan akhlak harus terdapat kritik yang terus menerus mengenai standar moralitas yang ada, karena akhlak merupakan subyek teoritis praktis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal hal yang berhubungan demngan moral.
Al Ghaza>li setuju dengan teori kedua. Dia menyatakan bahwa studi tentang 'ilm al mu'a>malah di maksudkan guna latihan kebiasaan, tujuan latihan adalah untuk meningkatkan keadaan jiwa agar kebahagiaan akhirat dapat tercapai. Tanpa kajian ilmu ini kebaikan tak dapat di cari dan keburukan tak dapat di hindari secara sempurna. Prinsip prinsip moral di pelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam kehidupan sehari hari.Al Ghaza>li menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak di amalkan tidak lebih baik dari pada kebodohan. Berdasarkan pendapatnya ini ,dapat di katakana bahwa akhlak yang di kembangkan Al Ghaza>li bercorak teologis, sebab ia menilai bahwa amal mengacu pada akibatnya. Corak etika ini mengajarkan, bahwa manusia mempunyai tujuan yang agung, yaitu kebahagiaan aknirat, dan bahwa amal itu baik kalau ia menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya menjurus ke tujuan tersebut, dan di katakana ilmu itu buruk, kalau menghalangi jiwa mencapai tujuan itu. Bahkan amal ibadah seperti sholat dan zakat adalah baik di sebabkan akibatnya bagi jiwa. Derajat baik atau buruk berbagai amal berbeda oleh sebab perbedaan dalam hal pengaruh yang di timbulkannya dalam jiwa pelakunya.
Adapun masalah kebahagiaan yang menjadi tujuan pokok etika yang di ajarkan Al Ghaza>li , menurut beliau tujuan manusia adalah kebahagiaan ukhrawi (al sa’a>dah al ukhrowiyyah), yang bisa di peroleh jika persiapan yang perlu untuk itu di laksanakan dalam hidup ini dengan mengendalikan sifat sifat manusia dan bukan dengan membuangnya.Kelakuan manusia di anggap baik, jika itu membantu bagi kebahagiaan akniratnya. Kebahagiaan akhirat inilah yang menjadi tema sentral ajaran para rasul dan demi menggairahkan manusia ke arah itulah, maka semua kitab suci di wahyukan. Karena itu, ilmu dan amal merupakan syarat pokok memperoleh kebahagiaan. Kemuliaan dalam penilaian Allah terletak pada usaha mencapai kebahagiaan ukhrawi.Barangsiapa yang gagal mendapatkannya lebih hina dari hewan yang rendah, karena hewan akan musnah sedangkan orang orang yang gagal tersebut akan menderita sengsara. Kebahagiaan ukhrawi mempunyai empat cirri khas, yakni berkelanjutan tanpa akhir, kegembiraan tanpa duka cita, pengetahuan tanpa kebodohan, dan kecukupan (ghina>) yang tak membutuhkan apa apa lagi guna kepuasan yang sempurna. Tentu saja kebahagiaan di maksud sesuai dengan al Qur’a>n dan hadis adalah surga, sedangkan tempat kesengsaraan adalah neraka. Nasib setiap orang akan di tentukan pada hari kebangkitan, tapi akibat kebahagiaan dan kesengsaraan itu di mulai segera setelah kematian. Pada hari kebangkitan, jiwa itu di kembalikan lagi ke suatu jasad,, orang yang bangkit itu dengan demikianakn mempunbyai badan dan jiwa, dan akan hidupo abadi dalam bentuk ini.
Kebahagiaan di surga ada dua tingkat,yang rendah dan yang tinggi. Yang rendah terdiri dari kesenangan inderawi mengenai makanan dan minuman, pergaulan dengan bidadari, pakaian indah, istana dan seterusnya. Tingkat ini pantas bagi orang orang baik, baik kelas rendah yang di sebut sebagai orang orang saleh (abro>r, s}a>lihu>n), yang taqwa kepada Allah(muttaqu>n) dan orang yang benar (As>ha>b al yami>n). Kesenangan inderawi akan memuaskan sekali bagi mereka, karena untuk kenikmatan semacam itulah mereka membekali diri dalam hidup ini. Kebahagiaan yang lebih tinggi ialah berada dekat dengan Allah, dan menatap wajahnya yang agung senantiasa. Kenikmatan pandangan (ru’yah) dan pertemuan (liqa>’) dengan Dia merupakan kebahagiaan tertinggi, puncak kesejahteraan dan bentuk anugerah Allah yang terbaik. Tidak ada di surga yang lebih nikmat dari pada memandang keindahan ilahi itu. Kesukacitaan indrawi tidak berharga jika di bandingkan dengan kenikmatan merenungkan keindahan ilahi. Kesenangan indrawi seumpama kenikmatan yang di nikmati hewan makan rumput di padang, sedangkan kesenangan yang di sebut terakhir merupakan kesenangan spiritual yang di sebut dalam hadi>th qudsi, “Aku sediakan bagi hamba hambaku yang saleh apa yang tidak pernah di lihat mata, apa yang tidak pernah di dengar telinga, dan apa yang tidak pernah timbul dalam pikiran manuasia”. Kebahagiaan tertinggi ini di peroleh oleh para nabi, orang orang suci (awliya>’), ahli ma’rifah (‘a>rifu>n), yang paling jujur (s}iddiqu>n), yang mendekatinya (muqarrabu>n), yang mencitainya (muh}ibbu>n), dan yang ikhlas (mukhlis}u>n). Tiap tingkat kebahagiaan yang terbilan jumlahnya. Anak derajat terendah dari tingkat tertentu bersinggungan dengan anak derajat tertinggi dari tingkat yang langsung di bawahnya.
BAB III
KESIMPULAN
Etika adalah sifat-sifat yang melekat pada jiwa manusia.Baik buruknya manusia bisa di ketahui dari tata cara beretika.Manusia yang beretika mempunyai tujuan yang jelas, karena ia selalu di iringi akhlak dalam setiap perjalanan hidupnya.Etika bukan hanya sekedar sikap individu belaka tetapi ia mempunyai tujuan abadi yaitu kebahagiaan, yang bisa di raih bukan hanya dengan nilai nilai dogmatis tetapi juga dengan rasionalitas.Sedangkan hubungannya dengan ilmu, etika adalah bentuk pengamalan dari ilmu itu sendiri.
Kemudian, dari analisa dua tokoh islam pada makalah di atas, ada persamaan dan ada perbedaannya yaitu; Sama sama memandang pentingnya etika dalam kehidupan dan sama berpendapat bahwa ; etika itu bisa berubah dari watak aslinya.Kemudian falsafah yang mereka paparkan adalah falsafah islamiyah yang mempunyai tujuan kebahagiaan.Sedangkan perbedaannya adalah teori yang di kembangkan al- Ghaza>li bersifat religius sufistik dengan tujuan kebahagiaan ukhrawi, Falsafahnya mengikat (tidak bisa di pengaruhi tempat, zaman, situasi dan kondisi).Untuk sasaran falsafahnya, lebih pada sufistik.Sedangkan Ibn Mishkawayh, mengembangkan teori yang bersifat moderat (dinamis dan fleksibel) dengan tujuan kebahagian materi dan jiwa, falsafahnya fleksibel, mengikuti dinamika kehidupan,bisa berubah ubah sesuai dengan situasi dan kondisi.Sasaran falsafahnya lebih pada kehidupan bermasyarakat.Sekian dan demikian Wa al-sawab Lillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar